07 Februari 2015

“Lampu Merah” Bagi “Penikmat Seks”: 4.500 PSK di Pulau Bali Mengidap HIV/AIDS



Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

“Ini mungkin sebuah peringatan bagi yang suka 'jajan' sembarangan.” Ini pernyataan di lead berita “75 Persen PSK di Bali Idap HIV/AIDS. Masih Mau Jajan?” di tribunkaltim.co (4/2-2015). Itu artinya dari 100 PSK ada 75 yang mengidap HIV/AIDS.

Dengan estmasi jumlah pekerja seks komersial (PSK) yang “beroperasi” di Bali 6.000, maka 75 persen berarti ada 4.500 PSK yang mengidap HIV/AIDS. Mereka ini adalah PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata yang ada di tempat-tempat pelacurna, lokasi dan lokalisasi pelacuran.

Yang jadi persoalan besar bukan yang akan “jajan”, tapi mereka yaitu:

(1) 4.500 laki-laki dewasa, bisa penduduk Bali bisa juga wisatawan asing atau wisatawan nusantara, yang menularkan HIV/AIDS kepada 4.500 PSK. Dalam kehidupan sehari-hari mereka ini bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, dll. Itu artinya ada 4.500 orang yang berisiko tertular HIV/AIDS. Jika ada di antara 4.500 laki-laki ini yang mempunyai istri atau pasangan seks lebih dari satu, maka jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS pun kian banyak.


PSK Tidak Langsung

(2) Ribuan bahkan jutaan laki-laki dewasa, bisa penduduk Bali bisa juga wisatawan asing atau wisatawan nusantara, yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan 4.500 PSK yang mengidap HIV/AIDS. Jumlahnya adalah 1.012.500  [4.500 PSK x 3 laki-laki/malam x 25 hari/bulan x 3 bulan (waktu minimal sejak tertular sampai tes HIV)].

Jika 4.500 PSK itu terdeteksi HIV/AIDS pada masa AIDS (sudah tertular antara 5.-15 tahun), maka jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS pun kian besar pula. 

Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari PSK bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, dll. Maka, ratusan ribu sampai jutaan perempuan berisiko tertular HIV/AIDS dari suami atau pasangan mereka yang “jajan” dengan PSK pengidap HIV/AIDS.

Persoalan besar adalah tidak bisa dilihat dengan mata telanjang berdasarkan kondisi fisik PSK apakah PSK tsb. mengidap HIV/AIDS atau tidak. Bahkan, banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang memakai moralitas dirinya menilai PSK yaitu jika PSK bersih mereka anggap tidak mengidap HIV/AIDS. Padahal, infeksi HIV/AIDS ada di darah dan tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik PSK yang sudah mengidap HIV/AIDS.

Dengan prevalensi (perbandingan PSK yang idap HIV/AIDS dan PSK yang tidak mengidap HIV/AIDS) sebesar 75 persen itu artinya sekali ngeseks saja dengan PSK langsung di Bali sudah ada kemungkinan dilakukan dengan PSK pengidap HIV/AIDS.

Ternyata bukan hanya PSK langsung yang banyak mengidap HIV/AIDS. Disebutkan pula bahwa “ .... sebagian besar PSK di berbagai kafe juga mengidap HIV/AIDS. Jumlahnya sekitar 20 persen. ....” (sindonews.com, 3/2-2015).

“PSK” yang tidak kasat mata yaitu yang tidak ‘praktek’ di lokasi pelacuran disebut PSK tidak langsung, seperti cewek panggilan, cewek kafe, cewek pub, cewek pemijat, ABG, ‘ayam kampus’, cewek SPG, cewek disko, dll. Dilaporkan ada 20 PSK tidak langsung yang mengidap HIV/AIDS.

Pelanggan PSK tidak langsung ini umumnya kalangan menengah ke atas sehingga risiko tertular HIV/AIDS pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tidak langsung juga berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Dengan prevalensi 20 persen di kalangan PSK tidak langsung, maka itu artinya dari 100 PSK tidak langsung ada 20 yang mengidap HIV/AIDS atau 1:5. Ini membuat probabilitas (kemungkinan) hubungan seksual dengan PSK tidak langsung sangat besar.

Celakanya, tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS ketika seseorang tertular HIV/AIDS sampai belasan tahun. Secara statistitular k masa AIDS baru muncul antara 5-15 tahun setelah tertular HIV. Itu artinya pada rentang waktu tsb. seseorang yang sudah tertular HIV/AIDS tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS. Akibatnya, mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Lalu, apa yang dijalakan Pemprov Bali secara konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS?

Ternyata tidak ada karena yang bisa dilakukan secara terukur adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.

Yang dilakukan di Bali ini dia: Untuk menekan angka atau mengurangi penyakit HIV/AIDS, Dinas Kesehatan Provinsi Bali dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali melakukan sejumlah langkah, antara lain dengan cara deteksi dini (sindonews.com, 3/2-2015).

Pernyataan ini menjungkirbalikkan akal sehat. Deteksi dini itu dilakukan di hilir. Artinya, seseorang sudah tertular HIV. Maka, ini sama saja artinya  Dinas Kesehatan Provinsi Bali dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali membiarkan penduduk Bali tertular HIV dahulu baru dideteksi.

‘Seks Bebas’

Ada pula cara lain yaitu: Setiap ibu hamil diminta melakukan pemeriksaan ke layanan Voluntary Counseling Testing (VCT). Selain itu, para PSK setiap bulan harus melakukan cek kesehatan (sindonews.com, 3/2-2015).

Pertanyaan Dinas Kesehatan Provinsi Bali dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali: Apakah suami atau pasangan ibu hamil menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya TIDAK, maka itu artinya Dinas Kesehatan Provinsi Bali dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali membiarkan suami atau pasangan ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.


Disebutkan lagi: Sementara, masyarakat atau PSK yang sudah terjangkit HIV/AIDS diterapi dengan meminum obat antiretroviral (ARV) (sindonews.com, 3/2-2015).

“Masyarakat” yang sudah terjangkit HIV/AIDS tidak otomatis menimum obat ARV. Fakta yang luput adalah: sebelum mereka terdeteksi mereka sudah menyebaran HIV/AIDS ke orang lain tanpa mereka sadari. Yang beristri menularkan HIV/AIDS ke istrinya dan pasangan seks lain.

Sedangan PSK yang sudah terjangkit HIV/AIDS sudah menularkan HIV/AIDS ke ratusan bahkan ribuan laki-laki sebelum mereka terdeteksi.


Dikatakan pula bahwa setiap PSK juga dibekali dengan pengetahuan bahaya berhubungan intim, dengan pelanggan bila tidak menggunakan pengaman (sindonews.com, 3/2-2015).

Seberapa hebat pun pengetahuan PSK posisi tawarnya sangat lemah ketika berhadapan dengan laki-laki ‘hidung belang’ untuk meminta laki-laki memamai kondom bukan pengaman karena pengaman adalah konotasi sehingga tidak jelas maksudnya.

Selain itu, pihaknya juga menyosialisasikan kepada masyarakat tentang bahaya seks bebas. (sindonews.com, 3/2-2015).

‘Hari gini’ koq masih pakai bahasa normatif yang satat moral.  Apa, sih, yang dimaksud dengan ‘seks bebas’?

Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai melakukan hubungan seksual dengan PSK, maka lagi-lagi pernyataan di atas adalah mitos (anggapan yang salah) karena ngeseks dengan PSK tidak otomatis tertular HIV/AIDS.

Kalau memang ‘seks bebas’ yang menyebabkan seseorang tertular HIV/AIDS, maka analoginya adalah “semua orang yang pernah melalukan ‘seks bebas’ pasti sudah mengidap HIV/AIDS.” Itu artinya jumlah kasus HIV/AIDS di negeri itu bisa mencapai jutaan jika ada mekanisme yang sistematis untuk melakukan tes HIV terhadap semua penduduk. Soalnya, banyak di antara penduduk, terutama laki-laki dewasa, yang pernah atau sering melakukan ‘seks bebas’.


Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS 13.898 yang terdiri atas 9.637 HIV dan 4.261 AIDS (peringat ke-4 nasional-Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 17/10-2014), Pemprov Bali sudah wajib melakukan penangulagan yang ril yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasas melalui hubungan seksual dengan PSK melalui intervensi berupa ‘memaksa’ laki-laki memakai kondom dengan regulasi dengan sanksi hukum yang tegas. Yang perlu diingat adalah yang jadi sasaran bukan PSK, tapi germo atau mucikari.

Tanpa intervensi dengan regulasi berupa program yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK, maka Pemprov Bali siap-siap menghadapi “tsunami AIDS”. ***

02 Februari 2015

Menempatkan Ibu-ibu Rumah Tangga Pengidap HIV/AIDS Sebagai Orang dengan Perilaku Buruk

* Soialisasi KPA Kab Lamandau, Kalteng, menyesatkan karena mengabaikan laki-laki sebagai penyebar HIV/AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

"Dari data tahun 2014, di kabupaten Lamandau, ditemukan 7 penderita HIV/AIDS, dan kaum ibu-ibu adalah salah satu pihak yang sangat rentan tertular penyakit tersebut," Ini ada dalam berita Ibu-Ibu Rentan Tertular HIV/AIDS” di kaltengpos.web.id  (30/1-2015). Ini terjadi di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Temgah.

Pernyataan itu disampaikan oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Lamandau, Multatuli.

Informasi yang tidak lengkap itu menempatkan ibu-ibu, dalam hal ini ibu rumah tangga atau istri, sebagai orang dengan perilaku berisiko tinggi tertular HIV, al. melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti, di dalam dan di luar nikah, dengan kondisi laki-laki tidak memaka kondom.

Sosialisasi yang tidak baik itulah yang justru mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang diketahui mengidap HIV/AIDS. Masyarakat melihat ibu-ibu rumah tangga itulah yang bersalah.

Cara Multatuli itu pun bias gender karena mengabaikan laki-laki, dalam hal ini suami, yang menularkan HIV/AIDS kepada ibu-ibu rumah tangga atau istri.

Kesan buruk terhadap ibu-ibu rumah tangga diperkuat dengan pernyataan ini: “ .... sebagai langkah untuk mencegah penyebarluasan HIV/AIDS, KPA kabupaten lamandau gencar menggelar sosialisasi tentang bahaya dan pencegahan HIV/AIDS, khususnya pada kaum ibu, baik itu ibu rumah tangga maupun ibu-ibu PKK.”

Pertama, ibu-ibu rumah tangga tertular dari suaminya sehingga yang menjadi penyebar HIV/AIDS adalah laki-laki dalam hal ini suami mereka.

Kedua, posisi tawar istri sangat lemah sehingga mustahil mereka berani bertanya kepada suami tentang perilaku seks suami di luar rumah.

Ketiga, kalau pun istri mengetahui perilaku seks suami di luar rumah mereka tidak akan bisa meminta apalagi memaksa suaminya memakai kondom setiap kali senggama.

Maka, yang perlu ‘ditembak’ adalah laki-laki, dalam hal ini suami. Lagi pula yang perlu ke pelacuran ‘kan laki-laki bukan ibu-ibu.

“Ibu-ibu” (baca: pekerja seks komersial/PSK) yang ada di tempat pelauran juga tertular HIV/AIDS dari laki-laki, bisa saja mereka sebagai suami. Lalu, ada pula laki-laki, bisa juga suami, yang tertular HIV/AIDS dari PSK. Ini semua terjadi karena laki-laki tidak memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK.

Dalam berita disebutkan: “Penyebaran penyakit HIV/AIDS ternyata bukan hanya terjadi di kota-kota besar saja. Tetapi, penyakit yang hingga kini belum ada obatnya ini, ternyata telah merambah hingga daerah-daerah, ....”

DFisebutkan pernyaaan di atas adalah penjelasan dari narasumber pada acara sosialisasi bahaya dan pencegahan HIV/AIDS, di aula kantor kecamatan Nanga Bulik, Kab Lamandau, Kaltim (30/1-2015).

Penyebaran HIV/AIDS tidak ada kaitannya dengan daerah, wilayah, kota, kabupaten, provinsi dan negara karena HIV/AIDS disebarkan oleh laki-laki yang mengidap HIV/AIDS.

Celakanya, di Indonesia tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi HIV/Aidi masyarakat sehingga orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Disebutkan pula: "Dari data tahun 2014, di kabupaten Lamandau, ditemukan 7 penderita HIV/AIDS, dan kaum ibu-ibu adalah salah satu pihak yang sangat rentan tertular penyakit tersebut."

Pertanyaan untuk KPA Lamandau: Apakah suami ibu-ibu rumah tangga pengidap HIV/AIDS tsb, sudah menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya belum, maka itu artinya bencana bagi Pemkab Lamandau karena laki-laki atau suami-suami itu menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara horizonal, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Jika ada di antara suami-suami itu yang mempunyai istri lebih dari satu dan menjadi pelanggan PSK itu artinya jumlah penduduk Lamandau yang berisiko tertular HIV/AIDS sangat besar.

Lalu, untuk apa sosialisasi HIV/AIDS kepada ibu-ibu?

Disebutkan bahwa kegiatan sosialisasi bahaya dan pencegahan HIV/AIDS itu sengaja diberikan kepada ibu-ibu PKK dengan tujuan agar mereka memahami dan mempunyai wawasan serta pengetahuan terhadap bahaya HIV/AIDS.

Pertanyaan: Kalau ibu-ibu PKK sudah mengetahui cara-cara mencegah HIV/AIDS agar tidak tertular dari suami, apakah ibu-ibu PKK itu bisa atau berani untuk bertanya kepada suami mereka tentang perilaku seks suami di luar rumah?

Tentu saja tidak bisa dan tidak berani.

Maka, sosialiasi itu pun sia-sia. Mengantang asap karena sumber ‘malapetaka’ tidak disentuh yaitu laki-laki sebagai penyebar HIV/AIDS.

Dikatakan pula: "Sosialisasi ini juga kita berikan kepada para remaja ataupun pelajar , agar mereka mengetahui bahaya dan cara pencegahan HIV/ AIDS ini sejak dini."

Yang menyebarkan HIV/AIDS adalah laki-laki dewasa, maka sasaran sosialiasi yang pas adalah laki-laki dewasa bukan remaja atau pelajar karena kalau remaja atau pelajar tertular HIV/AIDS mereka sudah ada di “terminal terakhir” yaitu tidak menyebarkan HIV/AIDS karena mereka tidak mempunyai pasangan.

Langkah KPA Lamandau ini tidak tepat sasaran karena yang menjadi penyebar HIV/AIDS, laki-laki dewasa, luput dari sosialisasi. Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Kab Lamandau akan terus terjadi yang kelak bermuara pada “ledakan AIDS”. ***