Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch
Indonesia
“Mengapa Kasus HIV/AIDS Masih Tinggi
di Papua?” Ini judul berita di Liputan6.com (28/1-2015).
Ada satu hal yang sangat mendasar dari judul
berita tsb., yaitu: Apa yang dimaksud dengan ‘kasus HIV/AIDS masih tinggi di
Papua’?
Kalau yang dimaksud dengan ‘kasus HIV/AIDS
masih tinggi di Papua’ adalah angka berupa jumlah kasus yang dilaporkan ke
Kemenkes RI, maka judul berita itu sangatlah naif.
Soalnya, angka berupa laporan kasus HIV/AIDS
di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif yaitu kasus lama (angka laporan
lama) akan ditambah dengan kasus baru sehingga angka laporan kasus tidak akan
pernah turun biar pun semua pengidap HIV/AIDS di Papua atau daerah lain mati
semua.
Laporan Ditjen
PP & PL, Kemenkes RI, tanggal 17/10-2014 disebutkan sampai tanggal 30
September 2014 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Papua adalah 26.235 yang
terdiri atas 16.051 HIV dan 10.184 AIDS.
Biar pun fakta menunjukkan angka kasus yang tinggi, dalam hal
ini di Papua dan bisa juga di daerah lain, terjadi karena banyak kasus yang
terdeteksi, al. melalui penjangkauan LSM dan instansi terkait dan deteksi di
rumah sakit pada pasien-pasien penyakit yang bisa terkait dengan HIV/AIDS.
Sarana atau fasilitas tes HIV yang sesuai standar pun banyak di Papua. Jika
dibandingkan dengan daerah lain penjangkuan, deteksi di rumah sakit dan tes HIV
sukarela jauh lebih tinggi di Papua. Tapi, Ramdani Sirait, Executive Director
Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA), justru menyampaikan mitos
(anggapan yang salah) terkait epidemi HIV/AIDS.
Dani menyebutkan bahwa angka kasus HIV/AIDS yang tinggi di
Papua karena, “Selain edukasi yang lemah,
ternyata ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi tingginya angka penderita
HIV/AIDS seperti banyaknya Pekerja Seks Komersial (PSK) asal daerah lain yang
berdomisili di Papua.”
Astaga, lagi-lagi mitos.
Di Eropa Barat dan Amerika Serikat edukasi kuat dan tinggi,
tapi tetap saja banyak yang tidak mau menerapkan seks aman ketika melalukan
kegitan yang berisiko tertular HIV/AIDS, seperti melakukan hubungan seksual dengan
pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering ganti-ganti pasangan.
Soal PSK, apakah tidak ada PSK asli daerah tsb.?
Baiklah kalau Sirait mengatakan bahwa tidak ada perempuan Papua yang jadi PSK.
Sirait lupa kalau persoalan bukan pada PSK yang berasal dari
daerah lain, tapi masalah ada pada laki-laki Papua dewasa. Laki-laki yang
ngeseks dengan PSK di lokasi pelacuran di wilayah Papua tidak memakai kondom
sehingga mereka berisik tinggi tertular HIV/AIDS. Laki-laki dewasa yang
tertular HIV menjadi mata rantai penyebar HIV/AIDS secara horizontal di
masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
Celakanya, regulasi yang ada, seperti peraturan daerah
(Perda), tentang pemakaian kondom pada laki-laki yang melacur tidak
komprehensif. Perda AIDS Kab Merauke, misalnya, hanya ‘menembak’ PSK pendatang.
Sudah banyak PSK pendatang yang dipenjarakan berdasarkan perda tsb. karena
terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, sepreti kencing nanah/GO,
raja singa/sifilis, dll.).
Pemkab Merauke dan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Kab
Merauke boleh-boleh saja menepuk dada karena mengurung PSK yang mengidap IMS,
mungkin juga sekaligus sudah mengidap HIV/AIDS.
Tapi, mereka lupa beberapa fakta yang justru akan memicu
malapetaka di Kab Merauke, yaitu:
(1) Jika PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu tertular dari
laki-laki dewasa penduduk Merauke, maka ada laki-laki dewasa penduduk Merauke yang
mengidap IMS. Laki-laki ini bisa jadi seorang suami, maka dia menularan IMS ke
istrinya.
(2) Jika laki-laki pada nomor (1) juga mengidap HIV/AIDS,
maka ada pula kemungkinan dia juga menularkan HIV/AIDS ke PSK tsb. Itu artinya
ada laki-laki Merauke yang mengidap HIV/AIDS. Laki-laki ini bisa jadi seorang
suami, maka dia menularkan HIV/AIDS ke istrinya. Jika istrinya tertular, maka kelak ada pula
risiko penularan HIV/AIDS ke janin yang dikandungnya.
(3) PSK yang tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya
sekaligus dari penduduk Merauke akan menularkan IMS atau HIV/AIDS atau
dua-duanya sekaligus kepada laki-laki Merauke yang melakukan hubungan seksual
dengan PSK tsb. dengan kondisi tidak memakai kondom. Kalau setiap malam
rata-rata seorang PSK melayani 3 laki-laki, maka jumlah laki-laki Merauke yang
berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS pun sangat banyak jika banyak PSK yang
mengidap HIV/AIDS.
(4) PSK yang datang ke Papua sudah mengidap IMS atau HIV/AIDS
atau dua-duanya sekaligus. Maka, laki-laki Papua yang ngeseks dengan PSK pengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya
sekaligus berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus jika laki-laki
Papua tidak memakai kondom setiap kali ngeseks
dengan PSK.
Dalam Perda-perda AIDS yang diterbitkan di tingkat provinsi,
kabupaten dan kota di Papua ada pasal tentang kewajiban memakai kondom, tapi
intervensinya tidak konkret sehingga tidak efektif. Yang diperlukan adalah
mekanisme yang konkret bukan sekedar catatan moral di atas kertas.
Disebutkan pula
oleh Dani, bedanya kasus HIV/AIDS di Papua dengan daerah lain adalah kesadaran
tes HIV begitu tinggi. Sedangkan di kota lain, masih seperti gunung es.
Pernyataan Dani
ini tidak objektif karena tidak dilengkapi dengan data yaitu perbandingan
antara ‘kesadaran tes HIV tinggi’ dan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi ketika
penduduk Papua berobata ke sarana kesehatan. Jika ada angka atau persentase
dari perbandingan ini baru Dani bisa mengatakan di Papua ‘kesadaran tes HIV
tinggi’.
Yang jelas
persoalan bukan pada PSK asal luar daerah Papua, tapi masalah besar ada pada
sebagian laki-laki Papua yang tidak
memakai kondom setiap kali ngeseks
dengan PSK. Ini fakta.
Kondisinya kian
runyam karena ada pendeta dan bupati di Papua yang menolak kondom sebagai alat
untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual dengan slogan “Seks Yes, Kondom No”. Bahkan, Pemprov
Papua memilih sunat sebagai “penangkal” AIDS.
Risiko laki-laki
dewasa Papua tertular HIV/AIDS kian tinggi karena mereka tidak akan mau lagi
memakai kondom karena mereka beranggapan sunat sebagai ‘kondom alam’.
Maka, bencana
berupa “ledakan AIDS” pun akan terjadi di Papua karena sunat bukan untuk
mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, tapi hanya sebatas
menurunkan risiko penularan HIV/AIDS. ***