31 Januari 2015

Perihal Kasus HIV/AIDS yang Banyak (Terdeteksi) di Papua

Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

Mengapa Kasus HIV/AIDS Masih Tinggi di Papua?” Ini judul berita di Liputan6.com (28/1-2015).

Ada satu hal yang sangat mendasar dari judul berita tsb., yaitu: Apa yang dimaksud dengan ‘kasus HIV/AIDS masih tinggi di Papua’?

Kalau yang dimaksud dengan ‘kasus HIV/AIDS masih tinggi di Papua’ adalah angka berupa jumlah kasus yang dilaporkan ke Kemenkes RI, maka judul berita itu sangatlah naif.

Soalnya, angka berupa laporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif yaitu kasus lama (angka laporan lama) akan ditambah dengan kasus baru sehingga angka laporan kasus tidak akan pernah turun biar pun semua pengidap HIV/AIDS di Papua atau daerah lain mati semua.

Laporan Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, tanggal 17/10-2014 disebutkan sampai tanggal 30 September 2014 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Papua adalah 26.235 yang terdiri atas 16.051 HIV dan 10.184 AIDS.

Biar pun fakta menunjukkan angka kasus yang tinggi, dalam hal ini di Papua dan bisa juga di daerah lain, terjadi karena banyak kasus yang terdeteksi, al. melalui penjangkauan LSM dan instansi terkait dan deteksi di rumah sakit pada pasien-pasien penyakit yang bisa terkait dengan HIV/AIDS. Sarana atau fasilitas tes HIV yang sesuai standar pun banyak di Papua. Jika dibandingkan dengan daerah lain penjangkuan, deteksi di rumah sakit dan tes HIV sukarela jauh lebih tinggi di Papua. Tapi, Ramdani Sirait, Executive Director Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA), justru menyampaikan mitos (anggapan yang salah) terkait epidemi HIV/AIDS.

Dani menyebutkan bahwa angka kasus HIV/AIDS yang tinggi di Papua karena,  “Selain edukasi yang lemah, ternyata ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi tingginya angka penderita HIV/AIDS seperti banyaknya Pekerja Seks Komersial (PSK) asal daerah lain yang berdomisili di Papua.”

Astaga, lagi-lagi mitos.

Di Eropa Barat dan Amerika Serikat edukasi kuat dan tinggi, tapi tetap saja banyak yang tidak mau menerapkan seks aman ketika melalukan kegitan yang berisiko tertular HIV/AIDS, seperti melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering ganti-ganti pasangan.

Soal PSK, apakah tidak ada PSK asli daerah tsb.?

Baiklah kalau Sirait mengatakan bahwa tidak ada  perempuan Papua yang jadi PSK.

Sirait lupa kalau persoalan bukan pada PSK yang berasal dari daerah lain, tapi masalah ada pada laki-laki Papua dewasa. Laki-laki yang ngeseks dengan PSK di lokasi pelacuran di wilayah Papua tidak memakai kondom sehingga mereka berisik tinggi tertular HIV/AIDS. Laki-laki dewasa yang tertular HIV menjadi mata rantai penyebar HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Celakanya, regulasi yang ada, seperti peraturan daerah (Perda), tentang pemakaian kondom pada laki-laki yang melacur tidak komprehensif. Perda AIDS Kab Merauke, misalnya, hanya ‘menembak’ PSK pendatang. Sudah banyak PSK pendatang yang dipenjarakan berdasarkan perda tsb. karena terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, sepreti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, dll.).

Pemkab Merauke dan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Kab Merauke boleh-boleh saja menepuk dada karena mengurung PSK yang mengidap IMS, mungkin juga sekaligus sudah mengidap HIV/AIDS.

Tapi, mereka lupa beberapa fakta yang justru akan memicu malapetaka di Kab Merauke, yaitu:

(1) Jika PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu tertular dari laki-laki dewasa penduduk Merauke, maka ada laki-laki dewasa penduduk Merauke yang mengidap IMS. Laki-laki ini bisa jadi seorang suami, maka dia menularan IMS ke istrinya.

(2) Jika laki-laki pada nomor (1) juga mengidap HIV/AIDS, maka ada pula kemungkinan dia juga menularkan HIV/AIDS ke PSK tsb. Itu artinya ada laki-laki Merauke yang mengidap HIV/AIDS. Laki-laki ini bisa jadi seorang suami, maka dia menularkan HIV/AIDS ke istrinya.  Jika istrinya tertular, maka kelak ada pula risiko penularan HIV/AIDS ke janin yang dikandungnya.

(3) PSK yang tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus dari penduduk Merauke akan menularkan IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus kepada laki-laki Merauke yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tsb. dengan kondisi tidak memakai kondom. Kalau setiap malam rata-rata seorang PSK melayani 3 laki-laki, maka jumlah laki-laki Merauke yang berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS pun sangat banyak jika banyak PSK yang mengidap HIV/AIDS.

(4) PSK yang datang ke Papua sudah mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus. Maka, laki-laki Papua yang ngeseks dengan PSK pengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus jika laki-laki Papua tidak memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK.

Dalam Perda-perda AIDS yang diterbitkan di tingkat provinsi, kabupaten dan kota di Papua ada pasal tentang kewajiban memakai kondom, tapi intervensinya tidak konkret sehingga tidak efektif. Yang diperlukan adalah mekanisme yang konkret bukan sekedar catatan moral di atas kertas.

Disebutkan pula oleh Dani, bedanya kasus HIV/AIDS di Papua dengan daerah lain adalah kesadaran tes HIV begitu tinggi. Sedangkan di kota lain, masih seperti gunung es.

Pernyataan Dani ini tidak objektif karena tidak dilengkapi dengan data yaitu perbandingan antara ‘kesadaran tes HIV tinggi’ dan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi ketika penduduk Papua berobata ke sarana kesehatan. Jika ada angka atau persentase dari perbandingan ini baru Dani bisa mengatakan di Papua ‘kesadaran tes HIV tinggi’.

Yang jelas persoalan bukan pada PSK asal luar daerah Papua, tapi masalah besar ada pada sebagian laki-laki Papua yang  tidak memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK. Ini fakta.

Kondisinya kian runyam karena ada pendeta dan bupati di Papua yang menolak kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual dengan slogan “Seks Yes, Kondom No”. Bahkan, Pemprov Papua memilih sunat sebagai “penangkal” AIDS.

Risiko laki-laki dewasa Papua tertular HIV/AIDS kian tinggi karena mereka tidak akan mau lagi memakai kondom karena mereka beranggapan sunat sebagai ‘kondom alam’.

Maka, bencana berupa “ledakan AIDS” pun akan terjadi di Papua karena sunat bukan untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, tapi hanya sebatas menurunkan risiko penularan HIV/AIDS. ***

27 Januari 2015

Cewek Ini Takut Sudah Kena AIDS Karena Pernah Seks Oral dengan Mantan Pacar yang Idap AIDS

Tanya Jawab AIDS No 3/Januari 2015

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap di AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146 dan (021) 8566755, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Mantan pacar saya mengatakan bahwa dia sudah tes HIV dan hasilnya positif. Kami hanya pernah sekali tanpa sengaja melakukan seks oral. Kata dia tidak ada risiko karena dia tertular dari narkoba. Dia orang baik-baik dan tidak pernah begituan. (1) Apakah saya harus tes HIV?

Nn “Z”, Kota “S”, Jawa Tengah, via telepon (28/1-2015)

Jawab: (1) Seks oral terutama fellatio (penis masuk ke dalam mulut) termasuk perilaku berisiko tertular HIV karena jika terjai ejakulasi atau orgasme di dalam rongga mulut, maka air mani pun tumpuh di rongga mulut. Dalam air mani ada HIV dengan jumlah yang bisa ditularkan. Jika ada infeksi di rongga mulut maka itu jalan masuk bagi HIV. Infeksi tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Contohnya ketika berkumur-kumur selesai sikat gigi kalau di gusi atau rongga mulut ada terasa perih itu artinya ada infeksi.

Seks oral sengaja atau tidak sengaja merupakan salah satu pintu masuk HIV. Terutama bagi perempuan karena air mani yang tumpah di rongga mulut. Dalam kasus Anda laki-laki yang Anda oral mengidap HIV/AIDS. Itu artinya air mani yang keluar di rongga mulut Anda mengandung HIV. Tapi, itu risiko soal pasti tertular atau tidak itu urusan YMK.

Tidak bisa dipastikan apakah seorang penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bergantian tertular melalui jarum suntik ketika menyalahgunakan narkoba atau melalui hubungan seksual yang tidak memakai kondom di dalam dan di luar nikah. Bisa saja seorang penyalahguan narkoba sudah pernah ngeseks sebelum memaka narkoba, selama memakai narkoba dan setelah memakai narkoba.

Belakangan muncul anggapan bahwa tertular HIV melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba tidak terkait dengan perilaku yang melawan norma, moral dan agama. Ini hanya pembenaran tapi secara medis sama sama apakah tertular melalui hubungan seksual, jarum suntik narkoba, dll.

Dari mana Anda bisa membuktikan bahwa mantan pacar Anda tidak pernah ngeseks dengan perempuan, waria atau laki-laki?

Tentu saja tidak bisa dibuktikan dengan kasat mata. Mungkin bisa saja denga alat lie detector tapi ditangani oleh ahli.

Yang jelas mantan pacar Anda positif mengidap HIV/AIDS. Tidak juga bisa dipastikan kapan dia tertular. Yang bisa dipastikan adalah minimal dia sudah tertular HIV tiga bulan sebelum dia tes HIV.

Kalau Anda sepakat dengan mantan pacar Anda bahwa tidak mungkin ada penularan HIV terhadap Anda, ya silakan saja. Yakinkan diri bahwa Anda benar-benar tidak tertular karena seks oral tsb.

Tapi, perlu diingat bahwa banyak kasus seperti Anda yang akhirnya membawa kondisi tidak tenang, kebigungan, panik, stres, bahkan ada yang mau bunuh diri. Maka, akan lebih baik Anda menjalani tes HIV agar ada kepastian.

Apa pun hasil tes ada dampaknya terhadap Anda. Jika hasil tes negatif itu artinya Anda harus menghindari perilaku berisiko. Kalau hasil tes positif, maka ada langkah-langkah yang harus Anda lakukan untuk keselamatan diri Anda dan orang lain.

Untuk itulah sebaiknya tes HIV di tempat tes yang sudah ditentukan oleh pemerintah yang dikenal dengan nama Klinik VCT. Klinik ini ada di rumah sakit umum atau di puskesmas. Silakan ke rumah sakit umum di kota Anda. Jika ada kesulitan, jangan ragu-ragu kontak kami. ***



25 Januari 2015

Pemerintah Akan Memberikan “Vaksin” AIDS Kepada Kalangan Homoseksual dan PSK

* Program tsb. bisa mendorong banyak orang untuk ngeseks secara bebas ....

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS WatchIndonesia

“Pemerintah Indonesia akan segera menerapkan metode Pre-exposure prophylaxis (PrEP) dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Dalam metode ini, seseorang yang masih HIV-negatif namun memiliki perilaku berisiko tertular, akan diberikan obat antiretroviral (ARV) secara rutin agar tidak tertular dari pasangannya.” Ini ada dalam berita “Cegah Penularan HIV/AIDS, Metode PrEP Sasar Kelompok Homoseksual” di beritasatu.com (22/1-2015).

Langkah pemerintah ini tentu saja merupakan pembiaran bagi kalangan homoseksual untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti karena mereka sudah merasa aman.

Selain itu apakah meminum obat ARV bisa menjadi vaksin agar tidak tertular HIV?

Berapa banyak dan berapa lama minum obat ARV agar bisa jadi vaksin AIDS?

Di tahun 1970-an, bahkan sampai sekarang, di kalangan laki-laki ‘hidung belang’ dikenal obat antibiotik Supertetra yang digembar-gemborkan bisa mencegah penularan sifilis dan GO. “Minum sejam sebelum main, Om.” Inilah nasehat penjual obat tsb. di pinggir jalan atau dekat lokalisasi pelacuran.

PrEP merupakan promosi yang kontraproduktif dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS melalui perubahan perilaku berisiko karena banyak orang akan memakai obat ARV sebagai vaksin AIDS.

“Ah, minum obat ARV, ah. Biar aman ngeseks!”

Inikah yang kita harapkan dari program itu? Memang bukan, tapi arah ke sana terbuka lebar dan sangat mungkin dilakukan banyak orang.

Langkah tsb. bukan sekedar isu, tapi sudah merupakan metode yang ada dalam "Strategi Rencana Aksi Nasional 2015-2019 Penanggulangan HIV dan AIDS". Kabarnya tinggal menunggu peraturan yang akan diterbitkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Wenita Indrasari, peneliti di Clinton Health Access Initiative (CHAI),  yang ikut terlibat dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional tsb. mengatakan, “PrEP memang diberikan pada orang-orang yang masih HIV-negatif. Namun implementasinya nanti akan difokuskan pada orang-orang yang memiliki perilaku berisiko.”

Yang menjadi persoalan besar adalah bisa saja terjadi orang-orang yang perilakunya tidak berisiko akan memanfaatkan program tsb. untuk melakukan perilaku berisko. Itu artinya upaya penanggulangan HIV/AIDS melalui kampanye untuk tidak melakukan perilaku berisiko  akan terganjal.

Disebutkan pula bahwa selain gay dan LSL, kelompok waria dan pekerja seks komesial (PSK) juga akan menjadi target utama.

Ya, terbukti sudah. Obat ARV akan dijadikan banyak orang dengan perilaku berisiko sebagai ‘vaksin’ AIDS. Ini justru mendorong perilaku ngeseks dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering ganti-ganti pasangan.

Wenita mengatakan: “ .... Tetapi penggunaan kondom juga akan tetap digenjot.”

Genjotan Wenita itu jelas ngawur dan omong kosong karena untuk apa lagi pakai kondom kalau minum obat ARV sudah bisa mencegah penularan HIV/AIDS. ***