Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch
Indonesia
”Penularan
HIV/AIDS meluas di NTT. Namun, pemerintah setempat, terutama tingkat kabupaten,
belum memberi perhatian serius dalam upaya penanggulangan virus itu,” kata
Ketua Komisi Penanggulangan AIDS NTT, Husen Pancratius, dalam berita “Epidemi HIV. Penularan di NTT hingga Populasi
Umum”
(KOMPAS, 15/1-2015).
Husen benar. Bukan hanya di NTT, tapi di seluruh
daerah di Nusantara terjadi hal yang sama. Tidak ada program yang sistematis
dan konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Jumlah kasus
kumulatif HIV/AIDS di NTT sampai akhir tahun 2014 dilaporkan 3.014. Dari jumlah
ini 105 bayi.
Penanggulangan yang realistis hanya menurunkan
jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan
pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran. PSK di sini disebut
sebagai PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata dan ‘praktek’ di lokalisasi
pelacuran.
Intervensi yang dijalankan adalah program yang
memajibkan atau memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan
seksual dengan PSK (Lihat gambar). Maka, pelacuran harus dilokalisir dengan
regulasi sehingga germo atau mucikari membuka usaha dengan izin. Inilah yang
bisa menjerat germo dengan sanksi hukum jika
terjadi pelanggaran terhadap regulasi.
Perilaku Berisiko
Regulasi yang dijalankan adalah germo mencacat
nama-nama PSK yang praktek di “warung”-nya, PSK hanya boleh melayani laki-laki
yang memakai kondom.
Secara berkala dilakukan tes IMS (infeksi menula
seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B,
klamidia, dll.) terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu
artinya PSK tsb. melayani laki-laki yang tidak memakai kondom.
Germo diberikan sanksi sesuai dengan regulasi,
misalnya, teguran, denda sampai kurungan.
Hanya dengan cara ini jumlah insiden infeksi HIV
baru pada laki-laki bisa diturunkan yang kelak berdampak pada jumlah ibu rumah
tangga yang tertular HIV kian berkurang.
Celakanya, tidak ada lpelacuran di NTT dan daerah
lain yang dilokalisir dengna regulasi. Maka, program penanggulangan pun tidak
akan efektif jika pelacuran tidak dilokalisir.
Selain melalui pelacuran dengan PSK langsung,
insiden infeksi HIV baru pun akan terjadi pada laki-laki yang melakukan hubungn
seksual dengan PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek
panggilan, ABG, ayam kampus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek pemijat,
cewek spa, cewek gratifikasi seks, dll.) dan waria.
Hubungan seksual antara laki-laki dewasa dengan
PSK tidak langsung dan waria terjadi sembarang waktu dan sembarang tempat
sehingga tidak bisa diintervensi. Itu artinya insiden infeksi HIV baru terus
terjadi.
Dalam berita disebutkan “ .... jumlah orang dengan HIV lebih banyak
dari yang teridentifikasi. Itu karena masyarakat enggan menjalani tes HIV.”
Tidak semua orang harus tes HIV karena tidak semua orang berperilaku yang
berisiko tertular HIV.
Yang
dianjurkan tes HIV adalah orang-orang dengan perilaku berisiko tertular
HIV/AIDS, yaitu:
(1)
Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa
kondom dengan perempuan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai (dalam nikah),
suka sama suka, perselingkuhan, dll. (di luar nikah) di wilayah NTT atau di
luar wilayah NTT,
(2) Perempuan
dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang
berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti
kawin-cerai (dalam nikah), suka sama suka, perselingkuhan, dll. (di luar nikah)
di wilayah NTT atau di luar wilayah NTT,
(3 Laki-laki
dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan
perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan PSK tidak
langsung serta waria di wilayah NTT atau di luar wilayah NTT.
Yang jadi
persoalan besar banyak orang yang sudah termakan mitos (anggapan yang salah)
karena sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia (1987) pemerintah, tokoh agama
dan tokoh masyarakat serta banyak kalangan lain selalu mengait-ngaitkan
penularan HIV/AIDS dengan zina, pelacuran, homoseksual, penyimpangan seksual,
dll.
Akibatnya,
banyak orang yang merasa tidak melakukan hal di atas karena mereka tidak
melacur dan tidak pula homoseksual. Mereka melakukan hubungan seksual suka sama
suka, dalam bentuk perselingkuhan, bukan dengan PSK, tidak pula di tempat
pelacuran sehingga mereka menganggap tidak akan tertular HIV/AIDS.
Mitos itulah
yang harus dihapurkan dari pikiran masyarakat dan mereka diarahkan kepada tiga
hal di atas yang merupakan “pintu masuk” HIV/AIDS.
Perda AIDS NTT
Lagi pula tes HIV adalah upaya penanggulangan di
hilir. Artinya, ditunggu dulu ada penduduk yang tertular HIV baru kemudian
dilakukan tes HIV. Segencar apapun tes
HIV dilakukan kalau di hulu tidak ada program yang konkret untuk menurunkan
jumlah insiden infeksi HIV baru, maka kasus-kasus baru HIV/AIDS akan terus terjadi,
terutama pada laki-laki dewasa yang perilakunya berisiko yang melakukan salah
satu atau lebih dari tiga perilaku di atas.
Intervensi
lain yang bisa dilakukan Pemprov NTT adalah intervensi terhadap perempuan hamil
yaitu dengan regulasi, bisa dalam bentuk peraturan daerah (Perda), yang
mewajibkan perempuan hamil dan pasangannya menjalani konseling HIV/AIDS dan
selanjutnya tes HIV. Sayangnya, dalam Perda AIDS Prov NTT sama sekali tidak ada
program penanggulangan yang konkret dan sistematis. Hal yang sama juga berlaku
pada perda-perda AIDS yang diterbitkan di: Kab Timor Tengah Selatan (TTS) dan KabBelu.
Disebutkan
bahwa pemerhati masalah HIV/AIDS NTT, Yos G Lema, mengingatkan, upaya
penanggulangan HIV/AIDS di NTT butuh perhatian serius pemerintah setempat.
Celakanya, Yos
tidak menyebutkan perhatian macam apa yang diperlukan agar penanggulangan
HIV/AIDS berjalan dengan efektif.
Disebutkan
lagi bahwa Yos juga mengakui penyebaran HIV/AIDS di NTT masuk kategori
membahayakan. Alasannya, HIV/AIDS telah menjangkiti ibu rumah tangga,
anak-anak, petani dan kaum muda yang belum menikah.
Kondisi di
atas terjadi karena tidak ada intervensi terhadap laki-laki yang melakukan
hubungan seksual dengan PSK langsung. Laki-laki yang beristri akan menularkan
HIV secara horizontal ke istri atau pasangannya, selanjutnya jika istri
tertular maka ada pula risiko penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandung
secara vertikal.
Yos pun
megatakan: ”Penyebaran virus HIV merata mengikuti industri hiburan dan seks
yang sampai pelosok, seperti praktik pijat tradisional plus dan warung
remang-remang.”
Persoalan
bukan pada industri hiburan dan seks, tapi pada laki-laki yang melakukan
hubungan seksual dengan pekerja di industri hiburan seks. Selama kegiatan
pelacuran tidak dilokalisir, maka selama itu pula praktek pelacuran menyebar di
sembarang tempat dan sembarang waktu.
Ada pula
pernyataan: “Instansi terkait diharapkan giat melaksanakan sosialisasi
penggunaan kondom kepada populasi berisiko tertular HIV dan memberi informasi
bahaya HIV di sekolah.”
Yang jadi
persoalan besar dalam penyebaran HIV/AIDS adalah mata rantai penyebar. Mereka
bukan anak-anak sekolah, tapi laki-laki dewasa. Maka, yang diperlukan bukan
pemberian informasi tapi langkah-langkah yang konkret, al. intertenvsi berupa
program kondom pada pelacuran.
Jika Pemprov
NTT dan pemerintah kabupaten dan kota di NTT tidak menjalankan program
penanggulanganyang konkret dan sistematis, maka penyebaran HIV/AIDS di NTT akan
terus terjadi yang kelak bermuara pada “ledakan AIDS”. ***