15 Januari 2015

105 Bayi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Mengidap HIV/AIDS



Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

”Penularan HIV/AIDS meluas di NTT. Namun, pemerintah setempat, terutama tingkat kabupaten, belum memberi perhatian serius dalam upaya penanggulangan virus itu,” kata Ketua Komisi Penanggulangan AIDS NTT, Husen Pancratius, dalam berita “Epidemi HIV. Penularan di NTT hingga Populasi Umum” (KOMPAS, 15/1-2015).

Husen benar. Bukan hanya di NTT, tapi di seluruh daerah di Nusantara terjadi hal yang sama. Tidak ada program yang sistematis dan konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di NTT sampai akhir tahun 2014 dilaporkan 3.014. Dari jumlah ini 105 bayi.

Penanggulangan yang realistis hanya menurunkan jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran. PSK di sini disebut sebagai PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata dan ‘praktek’ di lokalisasi pelacuran.

Intervensi yang dijalankan adalah program yang memajibkan atau memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK (Lihat gambar). Maka, pelacuran harus dilokalisir dengan regulasi sehingga germo atau mucikari membuka usaha dengan izin. Inilah yang bisa menjerat germo dengan sanksi hukum  jika terjadi pelanggaran terhadap regulasi.

Perilaku Berisiko

Regulasi yang dijalankan adalah germo mencacat nama-nama PSK yang praktek di “warung”-nya, PSK hanya boleh melayani laki-laki yang memakai kondom.

Secara berkala dilakukan tes IMS (infeksi menula seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, dll.) terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu artinya PSK tsb. melayani laki-laki yang tidak memakai kondom.

Germo diberikan sanksi sesuai dengan regulasi, misalnya, teguran, denda sampai kurungan.

Hanya dengan cara ini jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki bisa diturunkan yang kelak berdampak pada jumlah ibu rumah tangga yang tertular HIV kian berkurang.

Celakanya, tidak ada lpelacuran di NTT dan daerah lain yang dilokalisir dengna regulasi. Maka, program penanggulangan pun tidak akan efektif jika pelacuran tidak dilokalisir.

Selain melalui pelacuran dengan PSK langsung, insiden infeksi HIV baru pun akan terjadi pada laki-laki yang melakukan hubungn seksual dengan PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek panggilan, ABG, ayam kampus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek pemijat, cewek spa, cewek gratifikasi seks, dll.) dan waria.

Hubungan seksual antara laki-laki dewasa dengan PSK tidak langsung dan waria terjadi sembarang waktu dan sembarang tempat sehingga tidak bisa diintervensi. Itu artinya insiden infeksi HIV baru terus terjadi.

Dalam berita disebutkan “ .... jumlah orang dengan HIV lebih banyak dari yang teridentifikasi. Itu karena masyarakat enggan menjalani tes HIV.” Tidak semua orang harus tes HIV karena tidak semua orang berperilaku yang berisiko tertular HIV.

Yang dianjurkan tes HIV adalah orang-orang dengan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu:

(1) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai (dalam nikah), suka sama suka, perselingkuhan, dll. (di luar nikah) di wilayah NTT atau di luar wilayah NTT,

(2) Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti kawin-cerai (dalam nikah), suka sama suka, perselingkuhan, dll. (di luar nikah) di wilayah NTT atau di luar wilayah NTT,

(3 Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan PSK tidak langsung serta waria di wilayah NTT atau di luar wilayah NTT.

Yang jadi persoalan besar banyak orang yang sudah termakan mitos (anggapan yang salah) karena sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia (1987) pemerintah, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta banyak kalangan lain selalu mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan zina, pelacuran, homoseksual, penyimpangan seksual, dll.

Akibatnya, banyak orang yang merasa tidak melakukan hal di atas karena mereka tidak melacur dan tidak pula homoseksual. Mereka melakukan hubungan seksual suka sama suka, dalam bentuk perselingkuhan, bukan dengan PSK, tidak pula di tempat pelacuran sehingga mereka menganggap tidak akan tertular HIV/AIDS.

Mitos itulah yang harus dihapurkan dari pikiran masyarakat dan mereka diarahkan kepada tiga hal di atas yang merupakan “pintu masuk” HIV/AIDS.

Perda AIDS NTT

Lagi pula tes HIV adalah upaya penanggulangan di hilir. Artinya, ditunggu dulu ada penduduk yang tertular HIV baru kemudian dilakukan tes HIV.  Segencar apapun tes HIV dilakukan kalau di hulu tidak ada program yang konkret untuk menurunkan jumlah insiden infeksi HIV baru, maka kasus-kasus baru HIV/AIDS akan terus terjadi, terutama pada laki-laki dewasa yang perilakunya berisiko yang melakukan salah satu atau lebih dari tiga perilaku di atas.

Intervensi lain yang bisa dilakukan Pemprov NTT adalah intervensi terhadap perempuan hamil yaitu dengan regulasi, bisa dalam bentuk peraturan daerah (Perda), yang mewajibkan perempuan hamil dan pasangannya menjalani konseling HIV/AIDS dan selanjutnya tes HIV. Sayangnya, dalam Perda AIDS Prov NTT sama sekali tidak ada program penanggulangan yang konkret dan sistematis. Hal yang sama juga berlaku pada perda-perda AIDS yang diterbitkan di: Kab Timor Tengah Selatan (TTS) dan KabBelu.

Disebutkan bahwa pemerhati masalah HIV/AIDS NTT, Yos G Lema, mengingatkan, upaya penanggulangan HIV/AIDS di NTT butuh perhatian serius pemerintah setempat.

Celakanya, Yos tidak menyebutkan perhatian macam apa yang diperlukan agar penanggulangan HIV/AIDS berjalan dengan efektif.

Disebutkan lagi bahwa Yos juga mengakui penyebaran HIV/AIDS di NTT masuk kategori membahayakan. Alasannya, HIV/AIDS telah menjangkiti ibu rumah tangga, anak-anak, petani dan kaum muda yang belum menikah.

Kondisi di atas terjadi karena tidak ada intervensi terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung. Laki-laki yang beristri akan menularkan HIV secara horizontal ke istri atau pasangannya, selanjutnya jika istri tertular maka ada pula risiko penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandung secara vertikal.

Yos pun megatakan: ”Penyebaran virus HIV merata mengikuti industri hiburan dan seks yang sampai pelosok, seperti praktik pijat tradisional plus dan warung remang-remang.”

Persoalan bukan pada industri hiburan dan seks, tapi pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja di industri hiburan seks. Selama kegiatan pelacuran tidak dilokalisir, maka selama itu pula praktek pelacuran menyebar di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Ada pula pernyataan: “Instansi terkait diharapkan giat melaksanakan sosialisasi penggunaan kondom kepada populasi berisiko tertular HIV dan memberi informasi bahaya HIV di sekolah.”

Yang jadi persoalan besar dalam penyebaran HIV/AIDS adalah mata rantai penyebar. Mereka bukan anak-anak sekolah, tapi laki-laki dewasa. Maka, yang diperlukan bukan pemberian informasi tapi langkah-langkah yang konkret, al. intertenvsi berupa program kondom pada pelacuran.

Jika Pemprov NTT dan pemerintah kabupaten dan kota di NTT tidak menjalankan program penanggulanganyang konkret dan sistematis, maka penyebaran HIV/AIDS di NTT akan terus terjadi yang kelak bermuara pada “ledakan AIDS”. ***

14 Januari 2015

Di Kota Bandung, Jawa Barat, Suami “Dibiarkan” Menularkan HIV/AIDS ke Istrinya



Oleh Syaiful W. HarahapAIDSWatch Indonesia

“Partisipasi yang telah dijalankan oleh Frisian Flag Indonesia bekerja sama dengan KPA Kota Bandung sejak 2009 adalah berupaya menurunkan tingkat risiko penularan HIV dan AIDS dari ibu ke anak, yaitu dengan terlibat secara langsung dalam penyediaan akses pelayanan pencegahan HIV dan AIDS atau yang lebih dikenal dengan Prevention Mother to Child Transmission (PMTCT).” Ini ada dalam berita “Seriusnya Pemkot Bandung Tangani HIV dan AIDS” di liputan6.com (13/1-2015).

Mencegah penularan HIV/AIDS dari-ibu-ke-anak adalah program di hilir. Artinya, Pemkot Bandung dan Pemprov Jawa Barat membiarkan ibu-ibu rumah tangga tertular HIV/AIDS dari suami mereka. Selanjutnya setelah ibu-ibu yang tertular HIV/AIDS itu hamil barulah progam PMTCT dijalankan.

PSK Langsung

Janin yang mereka kandung terhindar dari HIV/AIDS, tapi ibu mereka justru sebagai pengidap HIV/AIDS.

Langkah Pemkot Bandung tsb. merupakan program yang tidak objektif karena hanya memikirkan upaya pencegahan tehadap anak-anak yang akan dilahirkan, sementar ibu-ibu rumah tangga dibiarkan ditulari suami mereka dengan HIV/AIDS.

Sampai 1 Desember 2014 kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Bandung mencapai 3.267 yang terdiri atas 1.626 HIV dan 1.641 AIDS (jabar.tribunnews.com, 1/12-2014). Ini merupakan bagian dari jumlah kasus kumulatif di Jawa Barat sampai 30 September 2014 sebanyak 17.698 yang terdiri atas 13.507 HIV dan 4.191 AIDS (Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 17 Oktober 2014). Jumlah ini menempatkan Jawa Barat pada peringkat ke-empat secara nasional.

Yang menjadi persoalan besar adalah Pemkot Bandung tidak mempunyai program yang konkret dan sistematis untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa. Risiko laki-laki dewasa tertular HIV/AIDS al. melalui hubungan seksual yang tidak memakai kondom, yaitu:

(1) Yang dilakukan dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah di Kota Bandung atau di luar Kota Bandung,

(2) Yang dilakukan dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu PSK yang kasat mata di tempat, lokasi atau lokalisasi pelacuran dan yang ada di jalanan di Kota Bandung atau di luar Kota Bandung,

(3) Yang dilakukan dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek panggilan, ABG, ayam kampus, cewek kafe, cewek pub, cewek diskotek, cewek pemijat, cewek spa, cewek gratifikasi seks, dll. di Kota Bandung atau di luar Kota Bandung,

(4) Yang dilakukan dengan waria. Dalam prakteknya laki-laki beristri umumnya jadi “perempuan” (yang ditempong atau yang dianal) ketika melakukan seks anal dengan waria. Waria menjadi “laki-laki” (yang menempong atau yang menganal). Kondisi ini meningkatkan risiko tertular HIV/AIDS bagi laki-laki beristri yang ditempong oleh waria di Kota Bandung atau di luar Kota Bandung.

Untuk nomor (1), (3) dan (4) tidak bisa dilakukan intervensi karena hubungan seksual yang mereka lakukan terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Yang bisa diintervensi hanya nomor (2), tapi dengan syarat pelacuran dilokalisir yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Celakanya, Pemkot Bandung justru menutup lokalisasi pelacuran “Saritem”.

Dalam pandangan pemerintah, dalam hal ini Pemkot Bandung, dengan menutup “Saritem” pelacuran pun tidak ada lagi. Tentu saja ini hanya utopia atau mimpi di siang bolong karena praktek pelacuran akan terus terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Suami Tidak Tes HIV

Pemkot Bandung, pemuka agama dan pemuka masyarakat di Kota Bandung boleh-boleh saja menepuk dada: Di Kota Bandung tidak ada pelacuran!

Itu benar adanya, tapi yang dimaksud adalah tidak ada lokalisasi pelacuran yang diregulasi. Sedangkan praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung terjadi di berbagai tempat mulai dari penginapan, losmen, hotel melati sampai hotel berbintang serta apartemen mewah sepanjang hari dan malam hari.

Jika Pemkot Bandung tidak melakukan intervensi terhadap laki-laki yang ngeseks dengan PSK yaitu program yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK, maka insiden infeksi HIV/AIDS pada laki-laki dewasa akan terus terjadi.

Akibatnya, ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari suami pun akan terus bertambah yang pada gilirannya akan bermuara pada jumlah bayi yang lahir dengan HIV/AIDS.

Kalau Pemkot Bandung tidak menjalankan program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga yang hamil, maka kelak akan banyak anak-anak yang lahir dengan HIV/AIDS. Ini terjadi karena tidak semua ibu hamil terjaring. Yang terjaring juta sangat kecil jumlahnya yaitu yang berobat ke sarana kesehatan pemerintah, seperti Posyandu, Puskesmas dan rumah sakit umum.

Selain itu banyak pula ibu-ibu hamil yang tedeteksi di ujung kehamilan sehingga program pencegahan dari-ibu-ke-bayi tidak efektif lagi.

Disebutkan dalam berita bahwa “Tidak banyak yang tahu kalau kota Bandung masuk kategori pemerintah yang memberikan anggaran cukup besar untuk penanggulangan masalah HIV AIDS, .... “

Yang diperlukan bukan biaya yang besar, tapi program yang konkret dan sistematis serta terukur hasilnya.

Jika Pemkot Bandung bersama tokoh masyarakat dan tokoh agama bisa menjamin tidak akan ada lagi laki-laki dewasa penduduk Kota Bandung yang melakukan perilaku nomor (1), (2), (3) dan (4) di atas, maka penyebaran HIV/AIDS di Kota Bandung bisa dikendalikan.

Tapi, ada persoalan lain lagi yaitu orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS, tapi tidak terdeteksi menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Persoalan lain yang dihadapi Pemkot Bandung adalah suami ibu-ibu yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tidak menjalani tes HIV karena mereka menolak untuk dites. Akibatnya, suami ibu-ibu yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu pun jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Pada saatnya akumulasi dari penyebaran HIV/AIDS akan membuat Pemkot Bandang “panen AIDS”. ***

13 Januari 2015

Pemberian Obat ARV pada Ibu Hamil adalah Penanggulangan HIV/AIDS di Hilir


Oleh Syaiful W. HarahapAIDS WatchIndonesia

"Saat ibu yang hamil didiagnosis HIV harus langsung minum Antiretroviral (ARV), jangan ditunda-tunda lagi. Semakin dini usia kandungan saat terdiagnosis, semakin baik” Ini dikatakan oleh aktivis HIV/AIDS di Yayasan Spiritia, Chris Green dalam berita “Cegah Janin Tertular HIV, Butuh Intervensi Pengobatan Sesegera Mungkin” (beritasatu.com, 12/1-2015).

Babe, panggilan akrab Chris Green, benar. Tapi, yang diharapkan adalah jangan sampai ada lagi, paling tidak berkurang, perempuan, bisa istri atau pasasangan, yang tertular HIV/AIDS dari suami.

Pemberian obat ARV kepada perempuan hamil adalah langkah di hilir. Itu artinya pemerintah membiarkan banyak perempuan tertular HIV dari suaminya.

Laki-laki, al. suami, yang menularkan HIV/AIDS kepada istrinya terutama tertular dari pekerja seks komersial (PSK) ketika mereka melakukan hubungan seksual dengan kondisi PSK mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tsb. tidak memakai kondom.

Intervensi pemerintah untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa, al. suami, bisa dilakukan secara konkret yaitu memaksa laki-laki yang ngeseks dengan PSK memakai kondom. Tapi, ini hanya bisa dilakukan jika pelacuran dilokalisir dengan regulasi. Itu artinya intervensi bisa dilakukan terhadap laki-laki yang ngeseks dengan PSK langsung (PSK yang kasat mata, seperti di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dll.) dengan syarat pelacuran dilokalisir.

Adalah hal yang mustahul melokalisir pelacuran di negeri ini karena sejak awal reformasi terjadi gerakan masif menutup tempat-tempat pelacuran. Akibatnya,  praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang tidak terjangkau untuk melakukan sosialisasi seks aman yaitu selalu memakai kondom jika ngeseks dengan PSK.

Celakanya, laki-laki juga banyak yang ngeseks dengan PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek panggilan, ABG, ayam kampus, cewek kafe, cewek pub, cewek pemijat, cewek gratifikasi seks, dll. Intervensi tidak bisa dilakukan terhadap laki-laki yang ngeseks dengan PSK tidak langsung karena praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Anjuran Babe itu pun tidak menyeluruh karena pemerintah tidak mempunyai regulasi yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Yang ada hanya anjuran dan itu pun terhadap perempuan hamil yang memeriksakan kehamilan atau berobat ke sarana kesehatan pemerintah, seperti Posyandu, bidan desa, puskesmas dan rumah sakit.

Sedangkan perempuan hamil yang tidak memeriksakan diri ke sarana kesehatan pemerintah lolos dari pendeteksian HIV/AIDS.

Yang lebih celaka lagi adalah pemerintah pun tidak mempunyai regulasi yang sistematis untuk memaksa laki-laki atau suami perempuan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS untuk menjalani tes HIV. Bahkan, pada banyak kasus suami dari istri yang terdeteksi HIV/AIDS menolak untuk menjalani tes HIV.

Maka, laki-laki atau suami yang menularkan HIV kepada perempuan hamil menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Sudah saatnya pemerintah membuat regulasi yang konkret dan sistematis untuk:

(1) Mewajibkan laki-laki memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK dan

(2) Mewajibkan perempuan hamil dan pasangannya menjalani konseling HIV/AIDS yang selanjutnya menjalani tes HIV/AIDS.

Tanpa regulasi untuk menjalankan dua program di atas, maka insiden infeksi HIV pada ibu rumah tangga yang selanjut pada bayi yang mereka lahirkan akan terus terjadi. Ini akan mendorong “ledakan AIDS”. ***

11 Januari 2015

Di Sulawesi Utara 70 Suami Menularkan HIV/AIDS ke Istrinya



Oleh Syaiful W. HarahapAIDS WatchIndonesia

70 Balita Idap HIV/AIDS.” Ini judul berita di news.okezone.com (10/1-2015) tentang kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada balita di Prov Sulawesi Utara sampiai Oktober 2014. Jumlah kasus pada balita ini merupakan bagian dari jumlah kasus kumulati HIV/AIDS di Sulut sampai Oktober 2014 yang mencapai 1.651

Judul berita ini menunjukkan ada 70 suami (laki-laki dewasa) yang mengidap HIV/AIDS, jika suami-suami itu beristri satu, selanjutnya 70 suami itu menularkan HIV/AIDS kepada 70 perempuan (istri mereka).

Kemungkinan besar 70 suami itu tertular melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang kasat mata di lokasi pelacuran dan di jalanan), atau PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata yaitu cewek panggilan, ABG, ayam kampus, cewek kafe, cewek pub, cewek pemijat, cewek gratifikasi seks, dll.). Bisa juga ada di antara 70 suami itu yang tertular HIV/AIDS melalui seks anal dengan waria.

Sayang, dalam berita tsb. sama sekali tidak digambarkan penyebaran HIV/AIDS berdasarkan fakta 70 balita. Bahkan, berita tsb. terkesan menyalahkan perempuan (ibu balita yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS).

Disebutkan: “Penularannya bisa melalui air susu ibu yang diberikan kepada bayinya," kata Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Sulut dr M Tangel-Kairupan di Manado.

Dalam kaitan air susu ibu (ASI) ibu balita-balita itu tidak menyadari mereka sudah tertular HIV/AIDS dari suaminya.

Disebutkan lagi bahwa penularan dari ibu yang positif HIV ke anak memerlukan penanganan khusus pada masa kehamilan hingga melahirkan.

Persoalannya adalah: Apakah Pemprov Sulut mempunyai program yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu hamil?

Tidak ada!

Bahkan, dalam Perda AIDS Sulawesi Utara sama sekali tidak ada program pencegahan HIV/AIDS dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya secara konkret. Perda ini pun sudah dilengkapi dengan peraturan gubernur, tapi tetap saja tidak ada program penanggulangan yang realistis.

Maka, kasus HIV/AIDS pada bayi dan balita akan terus terdeteksi di Sulut karena tidak ada program yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Kalau hanya dengan anjuran dan itu pun hanya terhadap perempuan hamil yang berobat atau memeriksakan kandungan ke fasilitas kesehatan pemerintah tentulah tidak akan bisa mendeteksi banyak kasus.

Untuk itulah diperlukan intervensi berupa program dengan regulasi agar kasus insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa bisa diturunkan. Langkah ini hanya bisa dilakukan jika pelacuran dilokalisir dengan regulasi yaitu memaksa setiap laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Celakanya, di Sulut, sama halnya dengan semua daerah di Nusantara, praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak bisa dilakukan intervensi. Begitu juga dengan PSK tidak langsung dan waria tidak bisa dilakukan intervensi sehingga risiko laki-laki dewasa tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tidak langsung dan waria akan terus terjadi.

Kalau saja wartawan yang menulis berita ini lebih arif menjalankan jurnalistik, maka pertanyaan yang diajukan ke pihak terakait adalah: Apakah ibu dan ayah 70 balita itu sudah menjalani tes HIV?

Jika jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar di Sulut terkait dengan penyebaran HIV/AIDS yaitu 70 suami itu menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Jumlah kasus yang dilaporkan (1.651) tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan (1.651) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Itu artinya kasus HIV/AIDS di Sulut bisa saja jauh lebih besar dari 1.651. Ini terjadi al. karena tidak ada program pendeteksian kasus HIV/AIDS yang sistematis. Kasus HIV/AIDS umumnya terdeteksi di rumah sakait ketika pengidap HIV/AIDS menderita penyakit. Sebagian lagi melalui tes sukarela yang didorong oleh penjangkauan dari berbagai kalangan, seperti LSM.

Tanpa program penangulangan yang konkret dan sistematis penyebaran HIV/AIDS di Sulut tidak akan terbendung yang kelak akan bermuara pada “ledakan AIDS”. ***