10 Januari 2015

Menunggu Langkah Konkret Presiden Jokowi Menanggulangi HIV/AIDS di Indonesia

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS WatchIndonesia


Sejak pemerintah mengakui kasus HIV/AIDS ada di Indonesia berdasarkan kasus kematian wisatawan Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali (1987) tidak ada program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret.

Dengan jumlah kasus kumulatif  HIV/AIDS 206.084 yang terdiri atas 150.285 HIV dan 55.799 AIDS dengan 9.796 kematian per 30 September 2014 seperti yang dilaporkan oleh Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, tanggal 17 Oktober 2014 menunjukkan penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara horizontal, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah terus terjadi.

Bukti bahwa insiden infeksi HIV terus terjadi dapat dilihat dari kasus penemuan ibu-ibu rumah tangga dan bayi yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Ibu-ibu rumah tangga tsb. tertular dari suaminya yang al. tertular melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah di Indonesia dan di luar negeri.

Yang lebih celaka lagi adalah kasus yang dilapoirkan Kemenkes RI tsb. (), tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat.

Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang dilaporkan atau terdeteksi, dalam hal ini 206.084, digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut dan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es yang tersembunyi di bawah permukaan air laut.

Itu artinya ada penduduk dewasa dewasa, laki-laki dan perempuan, di masyarakat yang sudah tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Ini terjadi karena mereka tidak menyadari sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas HIV/AIDS pada fisik mereka. Bahkan, tidak ada pula keluhan penyakit yang khas terkait dengan HIV/AIDS.

Akibatnya, orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak menyadarinya sehingga mereka pun menularkan HIV/AIDS kepada orang lain, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari. Merekalah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.

Banyak “pintu masuk” HIV/AIDS, tertutama melalui hubungan seksual, ke masyarakat Indonesia, tapi hanya beberapa yang bisa ditanggulangi secara konkret.

“Pintu masuk” tsb. rancu karena informasi HIV/AIDS selama ini selalu dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga mengaburkan fakta HIV/AIDS. Akibatnya, yang muncul hanya mitos (anggapan) yang salah terhadap HIV/AIDS.

Dengan menetapkan turis bule seorang gay yang mati di RS Sanglah, Denpasar, Bali, sebagai kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia (1987) saja pemerintah sudah menyuburkan mitos, yaitu:

(a) HIV/AIDS adalah penyakit gay,

(b) HIV/AIDS adalah penyakit bule, dan

(c) HIV/AIDS ada di luar negeri.

Tiga hal itu berkembang terus sampai sekarang sehingga tetap jadi pegangan di banyak orang. Kondisinya kian runyam karena muncul pula pernyataan pejabat, bahkan dari lingkungan departemen kesehatan, bahwa:

(d) HIV/AIDS menular karena zina,

(e) HIV/AIDS menular di lokalisasi pelacuran,

(f) HIV/AIDS meneluar melalui perselingkuhan,

(g) HIV/AIDS menular melalui hubungan seksual di luar nikah,

(h) HIV/AIDS menular melalui hubungan seksual dengan yang bukan pasangan resmi,

 (i) HIV/AIDS menuilar melalui homoseksual,

(j) HIV/AIDS menlar melalui hubungan seksual pranikah, dst.

Mitos-mitos tsb. mencelakai banyak orang, misalnya, seorang laki-laki merasa tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena dia melakukan hubungan seksual bukan di lokalisasi pelacuran, bukan dengan PSK, dll.

Yang paling merusak akal sehat dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah penggunaan jargon “seks bebas” sebagai penyebab HIV/AIDS. Sampai hari ini dalam berbagai kesempatan dan pemberitaan jargon “seks bebas” tetap dijadikan “ikon” penyebab HIV/AIDS.

Tidak jelas apa yang dimaksud dengan “seks bebas”, tapi jika diamati yang disebut “seks bebas” adalah berizina dengan PSK di lokalisasi pelacuran. Nah, ini juga mencelakakan karena banyak orang yang merasa tidak melakukan “seks bebas” karena mereka tidak berzina dengan pelacur (PSK).

Sejak awal epidemi tanggapan pemerintah hanya sebatas reaktif dengan pernyataan moralistis dengan (hanya) mengajak masyarakat menjauhi “seks bebas”.

Maka, amatlah wajar kalau kemudian insiden infeksi HIV/AIDS baru terus terjadi yang mendorong penyebaran HIV/AIDS di Indonesia karena banyak laki-laki yang merasa tidak melakukan “seks bebas”.

Selama “pintu masuk” HIV/AIDS tidak ditangani, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS di Indonesia akan terus terjadi karena setiap saat terjadi insiden infeksi HIV baru, al. pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual yang bukan “seks bebas” yaitu dengan cewek panggilan, ayam kampus, ABG, cewek kafe, cewek pub, cewek gratifikasi seks, dll. di hotel berbintang atau apartemen mewah.

Jika pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla “pintu masuk” HIV/AIDS tidak diintervensi dengan program yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Indonesia kelak bermuara pada “ledakan AIDS”. ***

07 Januari 2015

Menyikapi Penyebaran HIV/AIDS di Kab Mukomuko, Provinsi Bengkulu



Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

“Tiga penderita HIV/AIDS yang masih menjalani perawatan instensif di RSU M Yunus Bengkulu dan RSU Jamil Padang, Sumbar tersebut, keberadaanya terus dipantau pertugas Dinkes setempat. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi jangan sampai mereka menularkan penyakit tersebut kepada orang lain. Jika ini terjadi maka penderita penyakit mematikan tersebut, akan bertambah di Mukomuko (Prov Bengkulu-pen.).”

Pernyataan di atas ada dalam berita “6 Penderita AIDS Di Mukomuko Meninggal” di  sp.beritasatu.com (7/1-2015).

Jika pernyataan tsb. disimak maka hal itu menunjukkan instansi yang terkait langsung dengan HIV/AIDS di Bengkulu dan wartawan saja tidak memahami epidemi HIV/AIDS dengan baik. Selanjutnya sudah bisa dipastikan penanggulangan pun hanya sebatas orasi moral.

HIV/AIDS Tidak Mematikan

Pertama, dalam berita tidak disebutkan penyakit yang menyebabkan enam pengidap HIV/AIDS meninggal sehingga ada kesan keenam orang itu mati karena HIV/AIDS. Ini salah besar karena HIV/AIDS tidak mematikan penderitanya.

Kedua, mengapa tiga pengidap HIV/AIDS tsb. dirawat? Apa penyakit yang menyebabkan mereka harus dirawat? Tentu saja bukan karena HIV/AIDS.

Ketiga, jika tes HIV dilakukan sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku, maka tidak ada lagi kekhawatiran pengidap HIV/AIDS yang sudah terdeteksi akan menyebarkan HIV. Ketika mereka mendapatkan konseling sebelum dan sesudah tes HIV mereka sudah berjanji pada diri sendiri bahwa “saya akan menghentikan penyebaran HIV mulai dari diri saya”.

Keempat, sebelum tiga pengidap HIV/AIDS itu terdeteksi dan dirawat mereka sudah menularkan HIV ke orang lain, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Kalau di antara tiga pengidap HIV/AIDS ada pekerja seks komersial (PSK), maka sudah ratusan bahkan ribuan laki-laki yang berisiko tertular HIV yaitu laki-laki yang ngeseks tanpa kondom dengan PSK tsb.

Kelima, disebutkan HIV/AIDS sebagai penyakit yang mematikan. Ini salah karena belum ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS karena HIV atau karena AIDS. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit yang muncul pada masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah terular HIV) yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.

Keenam, biar pun tiga orang pengidap HIV/AIDS yang sedang dirawat itu dirantai atau dikarantina penyebaran HIV/AIDS di Mukomuko tetap terus terjadi karena secara epidemiologis banyak orang yang sudah tertular HIV atau mengidap HIV/AIDS tidak menyadarinya sehingga tanpa sadar juga mereka menularkan ke orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondon di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran HIV/AIDS di Mukomuko akan terus terjadi jika:

(a) Ada laki-laki dewasa penduduk Mukomuko yang ngeseks tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah di Mukomuko atau di luar Mukomuko, dan

(b) Ada laki-laki dewasa penduduk Mukomuko yang ngeseks tanpa kondom dengan PSK di Muko-moko atau di luar Mukomuko.

Pemkab Mukomuko mungkin membusungkan dada: “Di Mukomuko tidak ada PSK.” Ya, itu benar kalau yang dimaksud PSK yang kasat mata yaitu yang ‘praktek’ di lokalisasi pelacuran karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang dibentuk dengan regulasi resmi.

Tapi, praktek pelacuran yang melibatkan PSK yang tidak kasat mata tetap ada di Mukomuko, misalnya menyamar melalui cewek panggilan ke hotel, cewek pemijat di panti pijat plus-plus, serta melalui hubungan seksual dalam nikah dengan praktek ganti-ganti pasangan, se;perti kawin kontrak, nikah mut’ah, dll.

Tentu saja Pemkab Mukomuko tidak bisa mengawai perilaku semua laki-laki dewasa penduduk Mukomuko, maka akan ada laki-laki penduduk Mukomuko yang tertular HIV melalui dua kegiatan di atas. Yang tertular akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Mukomuko, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga membuktikan ada laki-laki dewasa, suami, peduduk Mukomuko yang melalukan dua kegiatan di atas. Pada gilirannya akan banyak pula bayi yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS yaitu yang ditularkan ibu mereka yang mengiap HIV/AIDS karena tertular  dari suami.

Mitos AIDS

Untuk itu Pemkab Mukomuko perlu menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang mengatur agar perempuan hamil menjalani konseling HIV/AIDS bersama suami atau pasangannya dan selanjutnya menjalani tes HIV. Ini diperlukan untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil agar bisa dijalankan program pencegahan dari-ibu-ke-anak.

Yang bisa diawasi yaitu melalui intervensi adalah pada kegiatan “laki-laki dewasa penduduk Mukomuko yang ngeseks tanpa kondom dengan PSK di Mukomuko”, tapi dengan syarat PSK dilokalisir di lokalisasi pelacuran. Intervensi yang dilakukan adalah memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK.

Namun, adalah hal yang mustahil pelacuran di Kab Mukomuko dilokalisir. Maka, praktek pelacuran yang melibatkan PSK pun terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang mendorong insiden infeksi HIV baru.

Ini pernyataan Kabid Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan Kabupaten Mukomuko, Melia Fajriani SKM kepada SP "Jadi, tiga penderita HIV/AIDS ini keberadaanya terus kita pantau disamping kesehatannya. Ini semua kita lakukan guna mengantisipasi jangan sampai penderita HIV/AIDS di daerah ini bertambah lagi ke depan."

Melia ini rupanya percaya diri bahwa di Mukomuko hanya tiga pengidap HIV/AIDS yang sedang dirawat itu saja penduduk yang mengidap HIV/AIDS. Tentu saja pandangan Melia ini utopia karena Melia tidak bisa mengawasi semua laki-laki agar mereka tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS. Selain itu semua penduduk Mukomuko belem dites HIV sehingga tidak ada jaminan bahwa tidak ada penduduk Mukomuko yang mengidap HIV/AIDS selain yang tiga orang tsb.

Pernyataan Melia ini lagi-lagi menyuburkan mitos (anggapan yang salah), yaitu: Untuk itu, dia mengimbau masyarakat Mukomuko agar tidak hubungan seks dengan bukan pasangan resmi serta menjuahi penggunaan narkoba. Sebab, kedua hal ini dapat menyebabkan orang terjangkit penyakit HIV/AIDS.

Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom bukan karena sifat hubungan seksual (bukan pasangan resmi). Isteri yang tertular dari suaminya tejadi melalui hubungan seksual dengan pasangan yang sah dan resmi.

Penanggulangan HIV/AIDS di Mukomuko hanya mengandalkan sosialisasi bahaya HIV/AIDS. Ini sudah dilakukan tiga dekade, tapi hasilnya nol besar karena materi yang disampaikan pada sosialisasi tidak akurat. Materi hanya mitos sehingga banyak orang yang tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan.

Disebutkan pula: Selain itu, Dinkes Mukomuko juga rutin melakukan pemeriksaan kesehatan kepada masyarakat yang beresiko tinggi terjangkit HIV/AIDS, seperti pekerja seks komersial (PSK), pekerja panti pijat dan karyawan tempat hiburan lainnya.

Yang menjadi persoalan adalah laki-laki dewasa yang ngeseks dengan PSK dan pemijat tidak bisa dikenali sehingga mereka tidak tercakup tes HIV.

Lagi pula kalau ada PSK atau pemijat yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, persoalan bukan pada PSK dan pemijat tapi pada laki-laki yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK dan pemijat serta laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari PSK dan pemijat.

Laki-laki dewasa yang menularkan HIV/AIDS ke PSK dan pemijat serta laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari PSK dan pemijat menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizongal di masyarakt Mukomuko, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Tanpa program yang konkret dan sistematis untuk menanggjlangi HIV/AIDS, penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Mukomuko yang kelak bermuara pada “ledakan AIDS”. ***

Di Kab Berau, Kaltim, 25 PSK Mengidap HIV/AIDS


Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

* Laki-laki pelanggan PSK di Kab Berau berisiko tinggi tertular HIV/AIDS ....

2014, 25 PSK Positif HIV/AIDS. Sudah Periksa 1.181 Pekerja”. Ini judul berita di kaltimpost.com,7/1- 2015.

Kalau wartawan dan narasumber berita ini, Kepala Diskes Kabupaten Berau Totoh Hermanto, melalui Kepala Seksi Pemberantasan Penyakit Ramadan, memahami epidemi HIV/AIDS dengan baik, maka judul berita itu sudah berbicara banyak. Sayang, dalam berita tidak ada penggambaran realitas sosial terkait dengan fakta yaitu “25 PSK positif HIV/AIDS”.

Sata Dinas Kesehatan (Diskes) Berau, Kaltim, menunjukkan sampai tahun 2014 terdeteksi 25 kasus HIV/AIDS.

Pertama, ada kemungkinan 25 PSK tsb. tertular HIV/AIDS di Kab Berau. Itu artinya ada 25 laki-laki dewasa, dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, lajang, selingkunan, duda, dll. yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, buruh, nelayan, rampok, dll. yang mengidap HIV/AIDS. Mereka inilah yang menularkan HIV/AIDS kepada 25 PSK. Di kehidupan ril di masyarakt 25 laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Bagi yang beristri akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya, yang tidak beristri menularkan HIV ke pasangannya.

Laki-laki Pelanggan PSK

Kedua, ada kemungkinan 25 PSK itu terular HIV di luar Kab Berau. Jika ini yang terjadi maka laki-laki, jumlahnya bisa ratusa sampai ribuan, yang melakukan hubungan seksual dengan 25 PSK yang mengidap HIV/AIDS itu berisiko tertular HIV/AIDS. Laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK itu dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, lajang, selingkuhan, duda, dll. yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, buruh, nelayan, rampok, dll. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari 25 PSK itu pun menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Bagi yang beristri akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya, yang tidak beristri menularkan HIV ke pasangannya.

Seseorang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS minimal sudah tertular HIV tiga bulan sebelum tes. Jika di antara PSK itu ada yang terdeteksi HIV/AIDS di masa AIDS itu artinya mereka tertular HIV antara 5-15 tahun sebelum tes HIV.

Ini dia jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS setiap bulan: 25 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan = 4.500.

Jika ada PSK yang terdeteksi HIV/AIDS pada masa AIDS, maka jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS akan lebih banyak karena bisa saja mereka tertular 5 atau 15 tahun sebelum tes.

Disebutkan “ .... sebanyak 25 orang positif menderita penyakit berbahaya tersebut.” Pernyataan ini menunjukkan penilaian yang tidak objektif terhadap HIV/AIDS. Semua penyakit berbahaya, bahkan demam berdarah tidak ada obatnya sehingga banyak penderitanya yang meninggal.

Kepala Diskes Kabupaten Berau Totoh Hermanto, melalui Kepala Seksi Pemberantasan Penyakit Ramadan. Mengatakan bahwa penderita penyakit HIV/AIDS pada 2013 hanya 17 orang, 2012 tercatat sebanyak 15 orang saja.

Angka kasus yang dilaporkan atau yang terdeteksi pada tahun 2012 dan 2013 tidak menunjukkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena: (1) Pemkab Berau tidak mempunyai program yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat, dan (2) Bisa saja penduduk Kab Berau tes di luar daerah.

Yang jelas kasus yang ditemukan tahun 2012 dan 2013 menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat sehingga tanpa mereka sadari. Maka, kasus HIV/AIDS di masyarakat yang konkret bisa lebih banyak dari kasus yang terdeteksi.

Disebutkan pula: “ .... 25 penderita tersebut didominasi pekerja di tempat-tempat hiburan dan salon yang ada di Kabupaten Berau, setelah melakukan tes darah kepada seluruh pegawai di tempat hiburan di sepanjang tahun 2014.”

Pernyataan ini lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang sangat rendah terhadap epidemi HIV/AIDS karena yang jadi masalah bukan jumlah pekerja tempat hiburan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, tapi (a) Laki-laki yang menularkan HIV/AIDS kepada 25 pekerja hiburan tsb, dan (b) Laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS dari 25 pekerja hiburan tsb. (Lihat gambar).

Insiden Infeksi HIV Baru

Hal yang sama terjadi pada dialog dalam karikatur, yaitu:

Laki-laki berpakaian hitam: “Astaga ..!! PSK Penderita HIV/AIDS Makin Bertambah Bro .. Waduh .. Bagaimana Ini Ya ..”

Laki-laki berpakain kotak-kotak: “Ini Peringatan Buat Kita Sebagai Lelaki Hidung Belang Agar Waspada, Bro ..”


Dialog ini menunjukkan mereka adalah pelanggan PSK dan mereka tidak menyadari bahwa bisa saja mereka yang menularkan HIV/AIDS ke PSK dan mereka pun bisa pula sudah tertular dari PSK tsb. jika mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK itu.

Kalau saja yang membut karikatur itu memahami epidemi HIV/AIDS dengan baik, maka dialognya adalah:

Laki-laki berpakaian hitam: “Astaga, Kita Kan Pernah Ngeseks dengan PSK. Gak Pakai Kondom Lagi. Wah, Jangan-jangan Kita Sudah Tertular HIV/AIDS. Bagaimana dengan Istri dan Anak-anak Kita?”

Laki-laki berpakain kotak-kotak: “Ya, Benar Juga. Sebaiknya Kita ke Rumah Sakit Ya, Tes HIV Agar Ketahuan Apakah Kita Sudah Tertular HIV!”

Dialog seperti ini ‘kan menggugah dan mencerahkan sehingga masyarakat, khususnya laki-laki yang pernah ngeseks dengan PSK tanpa kondom terdorong untuk tes HIV. Jika seseorang, terutama laki-laki yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, bisa diputus mata rantai penyebaran HIV. Paling tidak ke istrinya.

Ada lagi pernyataan: “ .... tempat hiburan diperiksa setiap tiga bulan sekali.” Ya, selama tiga bulan sebelum PSK itu diperiksa sudah puluhan bahkan ratusan laki-laki yang ngeseks tanpa kondom sehingga ratusan laki-laki tsb. berisiko tertular HIV/AIDS.

Disebutkan bahwa Diskes telah memberikan perawatan khusus di rumah sakit. “Ada yang selesai mengikuti pengobatan, berkeliaran lagi seperti sebelumnya. Jadi dilema juga kalau seperti itu. Sebab kami tidak bisa memantau lagi setelah pengobatan itu,” jelasnya.

Orang-orang yang terdeteksi HIV/AIDS tidak otomatis mendapat perawatan di rumah sakit. Lagi pula kalau tes HIV dilakukan sesuai dengan standar prosedur operasi yang baku, maka orang-orang yang menjalani tes sudah berjanji “menghentikan penyebaran HIV/AIDS mulai dari dirinya.”

Ini menunjukkan Diskes Berau pun tidak memahami epidemi HIV/AIDS secara baik. Yang jadi persoalan besar adalah penduduk, terutama laki-laki, penduduk Berau yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menyebarkan HIV/AIDS di masyarakat, tertutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Selain itu insiden infeksi HIV baru di Kab Berau akan terus terjadi karena tidak ada program yang konkret berupa “wajib kondom” bagi laki-laki yang ngeseks dengan PSK.

Kasus HIV/AIDS yang ditemukan pada ibu-ibu rumah tangga membuktikan ada laki-laki penduduk Kab Berau yang ngeseks dengan PSK tidak memakai kondom. Pada gilirannya istri yang tertular HIV dari suami akan menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian banyak bayi yang baru lahir terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Dalam gambar ada Intervensi yang bisa dilakukan Pemkab Berau yaitu memaksa laki-laki memakai kondom ketika ngeseks dengan PKS (dengan catatan pelacuran dilokalisir dengan regulasi) dan mewajibkan perempuan hamil tes HIV agar bisa dicegah penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Tentu saja program intervensi tidak akan bisa dilakukan karena dalam Perda AIDS Prov Kaltim pun tidak ada dua program itu. Lagi pula Pemkab Berau tidak akan mungkin melokalisir pelacuran.

Maka, Pemkab Berau tinggal menunggu waktu saja untuk “panen AIDS”. ***

05 Januari 2015

Pemuda Ini Khawatir Masa Depannya Setelah Seks Oral Cunilingus dengan PSK

Tanya Jawab AIDS No 1/Januari 2015

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap di AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146 dan (021) 8566755, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Saya seorang pria berumur 24 tahun. Bulan lalu saya melakukan hubunga seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Saya ngeseks memakai kondom dengan dua PSK yang berbeda. Tapi, saya tidak memakai kondom ketika dioral oleh PSK. Saya juga melakukan seks oral kepada PSK tsb. Setelah melakukan hal itu saya merasa sangat bersalah dan berdosa serta sangat cemas tertular HIV. Akibatnya, saya tidak bisa tidur dan sering melamun memikirkan masa depan saya. Saya sangat khawatir akan masa depan saya. Saya takut. Mohon bantuan: (1) Apa yang harus saya lakukan? (2) Sebesar apa kemungkinan saya terinfeksi HIV?

Mr “X” di Jakarta Selatan via SMS (5/1-2015)

Jawab: (1) Kalau Anda jujur artinya Anda memakai kondom sejak awal sampai akhir ketika melakukan hubungan seksual dengan dua PSK itu, maka risiko Anda tertular HIV sagat kecil. Soalnya, bisa saja kondisi kondom rusak, cairan vagina PSK itu membasahi bagian pangkal penis, dll.

(2) Terkait dengan seks oral yang dilakukan PSK terhadap Anda (fellatio) risiko tertular HIV dari PSK sangat kecil karena tergantung dari status HIV dua PSK tsb., dan jika mereka mengidap HIV/AIDS apakah ketika mengoral Anda mereka mengalami sariawan. Kalau sariawan ada darah di rongga mulut dan bersentuhan dengan penis Anda.

Sedangkan seks oral yang Anda lakukan terhadap PSK yaitu memakai mulut dan lidah ke vagina (cunilingus yaitu seks oral dengan memakai mulut dan lidah terutama ke klitoris untuk mendorong rangsangan seks agar perempuan mencapai orgasme) ada risiko jika PSK tsb. mengidap HIV/AIDS. Tapi, belum ada laporan penularan HIV melalui cunilingus.

Tidak ada hitung-hitungan yang pasti secara matematis tentang seberapa besar kemungkinan tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual, fellatio, dan cunilingus.

Risiko tertular melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang mengidap HIV/AIDS adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali kemungkinan terjadi penularan HIV. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual yang keberapa terjadi penularan. Bisa yang pertama, kedua, ketujuh, ketigapuluh lima, kesemilan puluh sembilan, bahkan yang keseratus.

Maka, setiap hubungan seksual yang berisiko, yaitu dilakukan dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom dengan: (a) yang mengidap HIV/AIDS di dalam dan di luar nikah, (b) dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, seperti kawin-cerita, dan (c) dengan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK, selalu ada risiko tertular HIV.

Tertular HIV/AIDS tidak berarti masa depan hilang karena HIV/AIDS tidak mematikan hanya menurunkan sistem kekebalan tubuh. Sekarang sudah ada obat antiretroviral (ARV) yang berguna menekan pertambahan virus di dalam darah sehingga kondisi tubuh tetap terjaga.

Jika Anda tetap khwatir dan merasa was-was, sebaiknya Anda tes HIV tapi setelah tiga bulan dari tanggal terkahir Anda ngeseks dengan tanpa kondom, al. dengan PSK. Silakan ke Klinik VCT di rumah sakit umum di kota Anda. ***