Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia
“Menyambut Hari AIDS Sedunia pemerintah dikiritik
lantaran tidak serius memerangi AIDS di Papua.” Ini pernyataan dalam berita “Papua
Kewalahan Perangi Infeksi AIDS”
(dw.com, 1/12-2015).
Laporan Ditjen PP & PL
Kemenkes RI (12/5-2015) disebutkan sampai 31 Maret 2015 jumlah kasus kumulatif
HIV/AIDS di Papua adalah 29.988 yang terdiri atas 18.147 HIV dn 11.841 AIDS.
Jumlah kasus ini menempatkan Papua pada peringkat ketiga secara nasional
setelah Jakarta dan Jawa Timur.
Dalam berita ini tidak jelas
apa yang dimaksud dengan tidak serius. Lagi pula risiko tertular HIV sangat
tergantung pada perilaku orang per orang. Informasi tentang cara-cara mencegah
HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual sudah gencar dilakukan. Bahkan, di
beberapa lokasi pelacuran ada penjangkuan LSM dan disediakan pula “ATM Kondom”.
Sunat vs Sirkumsisi
Celakanya, masyarakat menolak
memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial
(PSK) di lokasi pelacuran. Kondisinya kian rumit karena ada bupati dan pendeta
di Papua yang melarang pemakaian kondom. Mereka membuat semboyan “Seks Yes,
Kondom No”.
Karena pemakaian kondom
dikait-kaitkan dengan populasi, maka ada pilihan agar tidak mengganggu populasi
penduduk asli dan tidak menyebarkan HIV, yaitu: selalu memakai kondom jika
melakukan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV. Hubungan seksual yang
berisiko tertular HIV adalah:
- Hubungan seksual tanpa kondom,
di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, seperti
kawin-cerai, perselingkuhan, kawin-kontrak, dll.
- Hubungan seksual tanpa kondom
dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung (PSK
yang kasat mata yang ada di lokasi pelacuran dan di jalanan) dan PSK tidak
langsung (PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat, cewek kafe, cewek
bar, ABG, ayam kampus, cewek bispak, cewek bisyar, cewek artis online, dll.).
Belakangan Pemprov Papua ‘mengganti’ kondom dengan
sunat atau sirkumsisi. Ada pendapat yang mengatakan sunat bisa menurunkan
risiko, sekali lagi menurunkan risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan
seksual. Namun, di Papua pernyataannya justru menyesatkan yaitu sunat mencegah
penularan HIV/AIDS.
Maka, kondom pun digantikan dengan sunat sebagai cara
mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. Bisa saja terjadi laki-laki
yang disunat tidak lagi memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual, al.
dengan PSK, karena merasa penisnya sudah ‘memakai’ kondom (Sunat Vs Kondom: Sunat Juga (Bisa) Mendorong Zina dan Pelacuran).
Kalau sunat bisa mencegah penularan HIV tentulah
orang-orang yang disunat, al. pemeluk agama Islam, tidak akan (banyak) yang
tertular HIV. Tapi, fakta menunjukkan kasus HIV/AIDS juga banyak terdeteksi di
negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam.
Upaya penanggulangan, khususnya melalui hubungan seksual
dengan PSK, pun tidak bisa lagi efektif karena lokasi pelacuran, seperti
Tanjung ‘Turki’ Elmo di tepi Danau Sentani, Kab Jayapura, ditutup oleh
pemerintah setempat. Akibatnya, praktek pelacuran yang melibatka PSK
bertembaran tanpa bisa dijangkau oleh LSM yang selama ini melakukan advokasi
untuk pemakaian kondom.
Yang lebih parah terjadi di Provinsi Papua Barat.
Pelacur asal P Jawa dipaksa praktek di lokasi “Maruni 55”, sekitar 3 jam
perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Manokwari, sedangkan pelacur asal
Manado boleh praktek di penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang
di Manokwari. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS di
Manokwarai banyak terdeteksi pada pegawai, karyawan dan aparat karena mereka
punya untuk membeli seks dengan bayaran kamar yang mahal (‘Praktek’Pekerja Seks Komersial (PSK) di Manokwari, Papua Barat, ‘Dikapling’).
Disebutkan lagi: Selain itu fasilitas kesehatan yang
kecil dan dibiayai dari kantong pribadi seperti Hostel Waena tidak akan mampu
meredam wabah yang sedang mendekap Papua.
Menyelamatkan
Bayi
HIV/AIDS bukan wabah karena tidak menular secara mudah
melalui udara, air dan pergaulan sosial. Odha (Orang dengan HIV/AIDS) baru
memerlukan perawatan jika sudah kena penyakit-penyakit yang disebut infeksi
oportunistik, seperti malaria, TBC, dll. Lagi pula sarana kesehatan pemerintah pun
tersedia secara luas.
Selain itu apakah ada jaminan laki-laki dewasa Papua
tidak ada yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK di luar
Papua?
Tentu saja tidak ada jaminan. Maka, bisa saja
laki-laki dewasa Papua tertular HIV di luar Papua dan menjadi mata rantai
penyebaran HIV di Papua, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah.
Di bagian lain disebutkan: "Pendekatan untuk memerangi penyebaran HIV
sudah ketinggalan zaman," kata Aditya Wardhana, aktivis Koalisi Indonesia
AIDS. Menurutnya upaya pemerintah selama ini terkonsentrasi pada pekerja seks
komersil. Padahal AIDS telah menyebar ke hampir semua lapisan masyarakat di
Papua.
Sampai kapan pun PSK tetap jadi bagian dari
penanggulangan HIV/AIDS karena:
(a) Laki-laki pengidap HIV/AIDS akan menularkan HIV ke PSK di lokasi atau di
luar lokasi pelacuran, dan
(b) Laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK yang mengidap HIV/AIDS
berisiko tertular HIV jika tidak memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual.
Karena pelacuran tidak dilokalisir, maka yang bisa
dilakukan sekarang hanya menyelamatkan bayi agar tidak tertular dari ibu yang
mengandungnya. Tentu saja ini memerluka regulasi agar mempunyai kekuatan hukum,
yaitu:
1. Mewajibkan konseling HIV/AIDS pasangan ketika istri
hamil.
2. Mewajibkan suami tes HIV jika hasil konseling
menunjukkan perilaku seks suami
berisiko
tertular HIV/AIDS.’
3. Mewajibkan istri yang hamil tes HIV jika hasil tes
suami positif.
Regulasi bisa dalam bentuk peraturan bupati atau
walikota atau peraturan daerah (perda). Dengan langkah ini bayi-bayi yang akan
lahir bisa diselematkan dari risiko tertular HIV. Selain itu suami-suami yang
terdeteksi HIV pun bisa diajak menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya.
Itu artinya mata rantai penyebaran HIV diputus melalui
suami-suami yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Jika tidak ada langkah yang konkret, maka Papua tidak
menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.