Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch
Indonesia
“Pemda Buleleng panik 20 balita positif HIV.”
Ini judul berita di merdeka.com (9/3-2015).
Balita
adalah bayi di bawah usia lima tahun. Itu artinya adalah hal yang mustahil mereka
tertular HIV
karena ulah balita-balita itu melalui perilaku berisiko.
Lalu, dari mengapa
dan bagaimana balita-balita itu terdeteksi mengidap HIV?
Secara medis
20 balita itu tertular HIV dari orang lain bukan melalui perilaku berisiko,
tapi tertular dari ibu yang mengandung mereka. Penularan bisa saat di
kandungan, ketika persalinan atau waktu menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Lho, ibu-ibu
mereka koq bisa mengidap HIV/AIDS?
Apakah ibu-ibu
balita itu perilaku seksnya berisiko tertular HIV/AIDS?
Ada dua
kemungkinan. Pertama, ibu-ibu tertular dari suami. Kedua, ibu-ibu itu tertular
melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan
berbahaya), atau melalui transfusi darah yang tidak diskining HIV.
Yang paling
memungkinkan adalah kemungkinan pertama yaitu ibu-ibu balita itu tertular HIV
dari suami mereka. Karena ibu-ibu yang tertular HIV itu tidak menjalani program
pencegahan penuaran HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya, maka bayi yang
mereka lahirkan akhirnya terinfeksi HIV.
Dengan
kondisi di atas, tentulah langkah Pemkab Buleleng adalah melakukan sosialisasi
kepada laki-laki beristri agar tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV.
Bagi yang sudah pernah atau sering melakukan perilaku berisiko dianjurkan tes
HIV. Jika istri mereka hamil, maka dianjurkan tes pasangan.
Celakanya,
yang dijalankan oleh Pemkab Buleleng justru tidak masuk akal (sehat) yaitu: "Kita
mulai sasar sekolah-sekolah mulai SMP, SMA hingga perguruan tinggi untuk gelar
penyuluhan tentang ancaman penularan HIV/AIDS. Termasuk juga ke lingkungan
banjar-banjar," ujar Wakil Bupati Buleleng, Nyoman Sutjindra.
Walaupun
langkah itu tidak tepat sasaran, tapi seorang yang bekerja di sebuah rumah
sakit di Kota Bandung, Jawa Barat, mengatakan (diskusi di Facebook): “..selain
laki2 dewasa yg mulai dewasa juga sangt perlu disasar utk pencegahan lbh
dini..betul juga.”
Pencegahan
yang dimaksud pekerja ini tentulah agar siswa SMP dan SMA itu kelak tidak
melahirkan anak dengan HIV.
Tapi, tunggu
dulu. Untuk sampai pada melahirkan anak siswa-siswi SMP dan SMA itu masih memerlukan
waktu yang panjang. Katakanlah siswa-siswi SMA rata-rata akan menikah lima
tahun lagi dari sekarang. Itu artinya baru ada kemungkinan melahirkan bayi
tahun 2020, sedangkan siswa-siswi SMP baru pada tahun 2025.
Pada saat
yang sama puluhan bahkan ratusan suami melakukan perilaku berisiko tertular
HIV. Suami-suami yang tertular HIV akan menularkan HIV kepada istrinya.
Selanjutnya istri-istri yang tertular HIV pun berisiko pula menularkan HIV ke
bayi yang dikandungnya, sehingga akan ada lagi temuan balita HIV positif.
Lebih lanjut pegawai rumah sakit tadi mengatakan
(lagi): “..mslh HIV bukan cuma msalh laki2 dws tapi semua org walau porsi
berbeda2 juga peran.”
Lho, dalam konteks ‘20 balita idap HIV’ itu ‘kan
persoalan ada pada laki-laki dewasa yaitu suami. Maka, yang perlu disasar
Pemkab Buleleng adalah laki-laki dewasa agar tidak ada lagi yang melakukan
perilaku berisiko tertular HIV sehingga mata rantai penularan ke bayi bisa
diputus pada suami-suami itu.
Tidak semua orang berperan dalam penanggulangan
HIV/AIDS. Ada skala prioritas yaitu orang-orang dengan perilaku berisiko dan
potensial sebagai mata rantai penyebaran HIV. Ini langkah di hulu.
Tapi, di Indonesia program yang dijalankan hanya ada
di hilir yaitu: tes HIV, pengobatan HIV, dll.
Itu artinya terjadi pembiaran terhadap rakyat sehingga insiden infeksi
HIV baru terus terjadi.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kelak akan terjadi ‘ledakan
AIDS’ di negeri ini. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.