Oleh
Syaiful W. Harahap – AIDS Watch
Indonesia
"Kita periksa untuk memastikan mereka bebas dari virus
HIV. Hasilnya kami laporkan ke pemerintah daerah setempat." Ini pernyataan
Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Pemprov Jatim, Hizbul Wathon, tentang 69
pekerja seks komersial (PSK) yang terakhir ‘bekerja’ di lokalisasi pelacuran
Tanjung ‘Turki’ Elmo, di tepi Danau Sentani, Kab Jayapura, Papua, yang
dipulangkan ke daerah asal, al. ke Jawa Timur (“Pejabat
Jatim Sambut 69 PSK yang Dipulangkan dari Jayapura” di kompas.com, 26/8-2015).
Langkah
Pemprov Jatim itu benar, tapi ada yang luput yaitu masa jendela pada 69 PSK
yang dipulangkan tsb. Jika ada di antara 69 PSK itu tertular di bawah tiga
bulan ketika tiba di Kota Surabaya tanggal 26/8/2015, itu artinya
hasil HIV terhadap mereka bisa positif palsu (HIV tidak ada di daerah tapi
hasil tes reaktif) atau negatif palsu (HIV ada di darah tapi tidak terdeteksi
oleh reagen sehingga hasil tes HIV reaktif).
Karena
prevalensi HIV/AIDS di Papua sangat tinggi, maka risiko 69 PSK tsb. tertular
HIV sangat besar sehingga hasil tes HIV sangat penting karena terkait dengan
kegiatan PSK tsb. di daerah asalnya.
Maka, PSK
dengan hasil tes negatif palsu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di
daerah asalnya atau daerah lain jika kelak ybs. kembali ke ‘habitat’-nya
sebagai PSK. Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Jatim didorong oleh PSK dengan
hasil tes negatif palsu.
Dilaporkan PSK yang dipulangkan dari Papua berasal dari
sejumlah daerah di Jatim, seperti Surabaya, Gresik, Malang, Jombang, Madiun,
dan Ponorogo.
PSK yang dipulangkan dilaporkan menerima modal usaha
masing-masing lebih dari Rp 5 juta dari Pemkab Jayapura dan Kemensos.
Persoalannya adalah: Apakah dengan uang Rp 5 juta mereka bisa menjalani
kehidupan?
Soalnya, di era Orba ada program resosialisasi dan
rehabilitas PSK dengan memberikan keterampilan dan modal kerja. Tapi, apa yang
terjadi? Sebagian besar tetap memilih jadi PSK daripada membuka usaha
jahit-menjahit atau salon kecantikan. Ini terjadi karena, menurut Prof Dr
Hotman M Siahaan, sosiolog di Unair, Surabaya, program tsb. merupakan program top-down sehingga tidak menyentuh akar persoalan
[Lihat: Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi danRehabilitasi Pelacur(an)].
Di sini lain
apa yang akan dilakukan Pemprov Jatim jika ada di antara PSK tsb. yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Sayang, dalam berita tidak disebutkan
langkah-langkah Pemprov Jatim menghadapi situasi ini.
Biar pun
Pemprov Jatim sudah menutup semua lokaliasi pelacuran, itu tidak jaminan di Jatim
tidak ada lagi praktek pelacuran. Maka, penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan
seksual berisiko yaitu hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tetap mejadi
ancaman terbesar epidemi HIV/AIDS bagi Jatim yang sampai akhir tahun lalu sudah
melaporkan 28.225 kasus HIV/AIDS. ***
Foto: PSK asal Jatim
yang dipulangkan dari Jayapura (Repro: KOMPAS.com/Achmad Faizal)
Tidak sesederhana penutupan "lokasi" maupun pemulangan WPS. Pulang ketempat asalnya bukan jaminan dia akan berhenti dari profesinya. Sangat besar kemungkinan mereka akan membuat "kantung-kantung lokasi baru" maupun pindah ke lokasi yang masih "buka" sebagai contoh penutupan "lokasi" dan pemulangan WPS di kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan (Lokasi Kapis dan Satui Sungai Danau) dengan pembiayaan dari APBD setempat. Sebelum mereka dipulangkan di awal Ramadhan yang lalu, sebagian besar dari mereka sudah mengontrak rumah di "lokasi" Pembatuan Dalam Banjarbaru. Mungkin menurut pihak Pemkab Tanah Bumbu dengan program tsb sudah selesai masalahnya tapi Pemkab Tanah Bumbu tidak memikirkan masalah baru buat kota Banjarbaru.
BalasHapus