Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch
Indonesia
* Laki-laki
di sekitar lokalisasi yang tertular HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran
HIV/AIDS
“Mensos lepas pemulangan 191 mantan PSK di Jayapura.” Ini judul berita di
merdeka.com (21/8-2015). Pekerja seks komersal (PSK) itu selama ini ‘praktek’
di lokalisasi pelacuran Tanjung ‘Turki’ Elmo, Distrik Sentani Timur, Kab
Jayapura, Papua.
Dengan langkah yang diambil Menteri Sosial,
Khofifah Indar Parawansa, ini dikesankan begitu mudahnya menghapus praktek
pelacuran. Cukup dengan menutup lokalisasidan memulangkan PSK yang ‘praktek’ di
lokalisasi tsb. semua bentuk praktek pelacuran akan sirna dengan sendirinya.
Tapi, itu hanya utopia karena tidak satu pun negara di muka
bumi ini yang bisa menghapus praktek pelacuran secara de facto (faktual). Secara de
jure (hukum formal) bisa dilakukan dengan peraturan. Itulah sebabnya banyak
negara yang meregulasi pelacuran, al. dengan melokalisir praktek pelacuran,
sebagai bagian dari pemenuhan hak biologis warga negaranya.
Terkait dengan penutupan lokalisasi pelacuran Tanjung ‘Turki’
Elmo (turki adalah sebutan turnan kiri yaitu lokalisasi pelacuran tsb. ada di
sebelah kiri jalan ke arah luar kota, dalam hal ini Jayapura-Sentani, dan turun
ke bibir Danau Sentani), ada beberapa pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu:
Pertama,
dengan menutup ‘Turki’, apakah ada jaminan tidak
akan ada lagi praktek pelacuran di Kab Jayapura dan Kota Jayapura?
Tentu saja tidak ada jaminan karena praktek
pelacuran bisa saja terjadi di rumah, tempat kos, penginapan, losmen, hotel
melati dan hotel berbintang.
Kedua, sebelum 191 PSK
tsb. dipulangkan ke daerah asalnya sudah ada ratusan bahkan ribuan laki-laki
dewasa penduduk Kab Jayapura dan Kota Jayapura yang pernah atau sering
melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK di ‘Turki’ (Gambar II). Itu
artinya ratusan sampai ribuan penduduk lokal yang berisiko tertular IMS
(infeksi menular seksual, seperti raja singa/sifilis, kencing nanah/GO, virus
hepatitis B, klamidia, dll.) atau HIV/AIDS ata dua-duanya sekaligus. Ini bisa
terjadi karena ada kemungkinan ada di antara laki-laki yang melakukan hubungan
seksual dengan PSK mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus
sehingga ada PSK yang tertular IMS atau HIV/AIDS.
Laki-laki yang tertular IMS atau HIV/AIDS di ‘Turki’
akan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara horizontal,
al. kepada istri, pacar dan pasangan seks lain. Pada gilirannya kalau istri
tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV secara vertikal dari
ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Jika ada ibu hamil yang terdeteksi mengidap
HIV/AIDS setelah ‘Turki’ ditutup, itu artinya suami mereka tertular HIV/AIDS,
al. di ‘Turki’.
Program pencegahan HIV/AIDS melalui hubungan
seksual di Papua mengutamakan sunat, maka kemungkinan besar ada laki-laki yang
tidak memakai kondom karena mengangga sunat sudah merupakan ‘kondom alam’. Ini
yang membuat celaka karena sunat bukan mencegah penularan HIV/AIDS melalui
hubungan seksual berisiko, tapi menurunkan risiko karena ada bagian penis yang ‘kebal’
yaitu kepala penis. Tapi, luas permukaan batang penis yang tidak ‘kebal’ justru
lebih besar sehingga risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual berisiko
yang mengandalkan sunat sangat tinggi.
Bisa juga terjadi Pemkab Jayapura, Pemkot Jayapura dan Pemprov Papua
menepuk dada merasa aman karena PSK sudah dipulangkan. Tapi, mereka lupa kalau
ada ratusan bahkan ribuan laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan
seksual dengan PSK tsb.
Ketiga,
jika PSK yang dipulangkan itu ada yang mengidap IMS
atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus, maka mereka akan menyebarkan IMS dan
HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus kepada pasangan mereka di daerah asal,
seperti suami dan pacar (Gambar I).
Kalau PSK
yang dipulangkan itu ada yang kembali ke ‘habitat’-nya sebagai PSK di daerah
asal atau di luar daerah asal, maka itu artinya penyebaran HIV/AIDS pun bisa menjangkau
skala nasional.
Jika PSK
yang dipulangkan tsb. diketahui status IMS dan HIV/AIDS, maka mereka bisa
didampingi kelompok dukungan sebaya (KDS) di daerah asalnya sehingga mata
rantai penyebaran HIV/AIDS bisa diputus.
Keempat, apakah Pemkab Jayapura, Pemkot Jayapura dan
Pemprov Papua sudah melakukan antisipasi terkait dengan penyebaran IMS atau
HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus melalui laki-laki yang pernah melakukan
hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK yang dipulangkan itu?
Jika tidak ada antisipasi itu artinya laki-laki yang tertular
HIV/AIDS di ‘Turki’ akan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara
horizontal, al. melalui hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam dan di
luar nikah di masyarakat.
Maka, persoalan penyebaran HIV/AIDS tidaklah semudah menutup
lokalisasi. Justru dengan menutup lokalisasi pelacuran intervensi untuk memutus
mata rantai penyebaran IMS dan HIV/AIDS dari masyarakat (laki-laki ‘hidung
belang’) ke PSK dan sebaliknya tidak bisa dijalankan secara efektif. Soalnya, praktek
pelacuran terjadi di sembarang dan sembarang waktu tempat sehingga tidak bisa
dijangkau.
Lagi pula selama ada permintaan akan PSK, maka selama itu
pula akan ada PSK yang akan menggantikan PSK yang dipulangkan tsb. Maka, itu
artinya lebih baik Kemensor membalik paradigma berpikir: mengajak laki-laki
agar tidak ada lagi yang melacur dengan membeli seks. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.