* Pemerintah daerah ‘pemasok’ PSK
dianjurkan kerja sama dengan pemerintah daerah tempat PSK beroperasi ....
Oleh
Syaiful W. Harahap - AIDS WatchIndonesia
Realitas
sosial menunjukkan pekerja seks komersial (PSK), baik PSK langsung (PSK yang
kasat mata, al. di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan di jalanan) dan PSK
tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat, cewek kafe,
cewek pub, anak sekolah, ayam kampus, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks,
dll.) akan ‘bekerja’ di luar daerah asalnya.
Ketika
ada hari libur panjang, seperti Lebaran dan Natalan, PSK langsung dan PSK tidak
langsung serta laki-laki ‘hibung belang’ pun ramai-ramai pula pulang kampung. Beberapa
daerah yang menjadi ‘tujuan praktek pelacuran’ secara massal al. Sumut, Riau,
Kepulauan Riau, Kalbara, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Bali, NTB, NTT, Sulsel,
Sultara, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Daerah ‘Tujuan Praktek Pelacuran’
Laporan
Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, tanggal 12 Februari 2015 menyebutkan jumlah
kasus kumulatif HIV/AIDS mulai dari tahun 1987 sampai 31 Desember 2014 adalah
225.928 yang terdiri atas 160.138 HIV dan 65.790 AIDS dengan 11.801 kematian.
Angka yang dilaporkan ini tidak menggarkan realitas kasus di masyarakat karena
penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang
dilaporkan (225.928) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas
permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat
digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut.
Jika
di antara mereka yang mudik itu ada yang mengidap HIV/AIDS, maka ada beberapa ‘pintu
masuk’ penyebaran HIV/AIDS di kampung halaman mereka, al.
(1)
PSK langsung dan PSK tidak langsung yang bersuami akan menularkan HIV/AIDS ke
suaminya. Selanjutnya, ketika PSK tsb. kembali ke tempat kerjanya atau ke
tempat kerja baru, maka ada di antara suami-suami itu yang menularkan HIV ke pasangan
selingkuh atau istri lain serta ke PSK di kampung itu.
(2)
PSK langsung dan PSK tidak langsung yang tidak bersuami tapi punya pasangan,
seperti pacar, akan menularkan HIV/AIDS ke pasangan atau pacarnya. Selanjutnya,
ketika PSK tsb. kembali ke tempat kerjanya atau ke tempat kerja baru, maka ada
di antara pacar itu yang menularkan HIV ke pasangan perempuan lain atau ke PSK
di kampung itu.
(3)
PSK langsung dan PSK tidak langsung ada yang buka ‘praktek’ di kampung
halamannya sehingga laki-laki yang ngeseks dengan mereka tanpa memakai kondom
berisiko tertular HIV/AIDS jika di antara PSK yang ‘praktek’ itu ada yang mengidap
HIV/AIDS.
(4)
Laki-laki ‘hidung belang’ yang mengidap HIV/AIDS karena sering ngeseks tanpa
memakai kondom dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung di seluruh Nusantara
dan di luar negeri akan menularkan HIV ke istrinya atau ke perempuan lain juga
ke PSK di kampung halamannya.
Dari
empat ‘pintu masuk’ di atas hanya sedikit yang bisa dilakukan upaya penanganan
yaitu menurunkan risiko penyebaran HIV/AIDS di kampung halaman PSK dan
laki-laki ‘hidung belang’ yaitu intervensi terhadap PSK langsung. Ini pun hanya
bisa dilakukan jika ada kerja sama antara daerah-daerah asal PSK langsung
dengan pemerintah di daerah-daerah ‘tujuan praktek pelacuran’.
Pendampingan Daerah Asal
Namun,
hal itu juga sangat kecil kemungkinannya karena di banyak daerah ‘tujuan
praktek pelacuran’ PSK langsung tidak dilokalisir dengan regulasi. Artinya, di
beberapa tempat di daerah ‘tujuan praktek pelacuran’ hanya ada tempat atau
lokasi pelacuran yang dibiarkan dengan pengawasan setengah hati dan bermuka
munafik dengan balutan moral.
Kalau
pemerintah di daerah ‘tujuan praktek pelacuran’ melokalisir pelacuran dengan
regulasi, maka pemerintah daerah ‘pemasok’ PSK langsung menjalankan kerja sama
melakukan survailans tes IMS secara rutin (infeksi menular seksual yaitu
penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, dengan kondisi
laki-laki tidak pakai kondom, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis,
virus hepatitis B, klamidia, herpes genitalis, jengger ayam, dll.). Selanjutnya
jika ada kasus IMS terdeteksi, maka dilanjutkan dengan survailans tes HIV.
Kalau
dalam survailans tes HIV ada contoh darah yang reaktif, maka dilanjutkan dengan
tes HIV melalui konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Inilah yang menjadi
ranah kerja sama yiatu PSK langsung yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS
didampingi oleh konselor bisa dari daerah asal PSK atau konselor di daerah ‘tujuan
praktek pelacuran’.
Pendampingan
ini dimaksudkan sebagai salah satu langkah intervensi untuk memastikan PSK
langsung tsb. tidak akan menjadi mata rantai penyebaran jika kelak ybs. pulang
kampung dengan berbagai alasan.
Jika
pemerintah daerah yang menjadi ‘pemasok’ PSK langsung tidak menjalan kerja sama
dengan pemeintah di daerah-daerah ‘tujuan praktek pelacuran’, maka PSK langsung
yang berasal daerai daerah ‘pemasok’ akan menjadi mata rantai penyebaran IMS
atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus.
Maka,
selesai mudik PSK langsung kembali ke ‘tujuan praktek pelacuran’ semula atau
yang baru dengan meninggalkan HIV/AIDS pada suami atau laki-laki lain di
kampung halamannya dan suami atau laki-laki lain di kampung halamannya yang
tertular HIV pun menjadi mata rantai baru penyebaran IMS atau HIV/AIDS atau
dua-duanya sekaligus.
Maka, kasus HIV/AIDS pun terus bertambah ibarat ‘deret
ukur’ yang al. bisa dilihat dari kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada
ibu-ibu rumah tangga. Ini kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.