Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS WatchIndonesia
“ .... ketika
akses terhadap kondom dibatasi, warga, utamanya anak muda yang belum menikah,
akan berhenti melakukan seks di luar nikah.” Ini pendapat anggota DPRD Bengkulu
Septi Yuslinah dalam berita “Cegah HIV
dengan Pembatasan Kondom, DPRD Bengkulu Dikritik” (kompas.com, 20/6-2015).
Ada hal yang
mengganjal dari pendapat anggota dewa yth. ini, yakni: Apa yang dimaksud dengan
‘remaja akan berhenti melakukan seks di luar nikah’ itu dengan siapa?
Fakta Medis
Fakta
menunjukkan bahwa remaja yang ngeseks
dengan pekerja seks komersial (PSK) justru tidak mau memakai kondom. Ada atau
tidak ada kondom tetap saja ada remaja laki-laki yang menyalurkan dorongan
hasrat seksual dengan PSK. Kondisi inilah yang membuat mereka berisiko tertular
HIV/AIDS atau IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja
siga/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, dll.) atau dua-duanya
sekaligus.
Jika yang
dimaksud Septi adalah hubungan seks dengan pacar, maka fenomena yang terjadi
sekarang adalah pasangan muda-mudi melakukan hubungan seksual dalam bentuk seks
oral (penis masuk ke dalam mulut dan lidah menjilati vagina) dan seks anal
(penis masuk ke dalam anus).
Tentu saja
seks anal dan seks oral tidak membutuhkan kondom karena kedua bentuk variasi
penyaluran dorongan seks itu tidak akan menyebabkan kehamilan.
Yang jadi
persoalan besar adalah kalau laki-laki atau remaja putra yang dioral oleh cewek
mengidap IMS, terutama kencing nanah dan raja singa, maka di penis ada luka dan
nanah. Memang, dalam air mani dan sperma ada protein. Tapi, kalau kemudian air
mani mengandung HIV/AIDS dan ;penis bernanah, tentu selain protein ada pula
bakteri dan virus yang tertelan.
Jika
dikaitkan dengan penularan HIV/AIDS, maka pernyataan Septi tentang ‘seks di
luar nikah’ pun amat naif karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual
bisa terjadi karena kondisi (saat
terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua pasangan yang
melakukan hubungan seksual mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom
selama hubungan seksual, bukan karena sifat
hubungan seksual (di luar nikah, zina, melacur, selingkuh, seks anal, seks
oral, dll.).
Jika
pasangan yang melakukan hubungan seksual di luar nikah dua-duanya tidak
mengidap HIV/AIDS (HIV-negatif), maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun
laki-laki tidak memakai kondom selama hubungan seksual.
Septi pun
melanjutkan: "Hal ini (akses terhadap kondom dibatasi-pen.) dilakukan
semata-mata untuk mencegah penularan HIV/AIDS di Bengkulu yang semakin meningkat."
Diberitakan
bahwa di Prov Bengkulu sudah terdeteksi 600 kasus HIV/AIDS.
HIV/AIDS adalah
fakta medis yaitu bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran,
sehingga pembahasan tentang HIV/AIDS pun berpijak pada fakta medis.
HIV adalah
virus yang tergolong retrovirus yaitu virus yang mereplikasi diri (menggandakan
diri) di sel-sel darah putih manusia karena kehidupan harus ada unsur RNA dan
DNA. HIV mempunyai RNA sehingga ketika HIV hendak menggandakan diri dibutuhkan
DNA. Ini ada di sel darah putih sehingga sel darah putih manusi dijadikan HIV
sebagai ‘pabrik’ untuk menggandakan diri. Setiap hari HIV berkembang biak di
dalam tubuh manusia yang mengidap HIV antara 10 miliar – 1 triliun.
Mata Rantai
HIV
ditularkan dari orang yang mengidap HIV/AIDS ke orang lain antara lain melalui
hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak
memakai kondom.
Untuk
mencegah agar tidak terjadi penularan HIV dari pengidap HIV/AIDS ke orang lain
melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah adalah dengan menghindarkan
pergesekan penis dengan vagina. Salah satu caranya adalah dengan memakai
kondom.
Maka,
penyebaran HIV/AIDS di Prov Bengkulu terjadi bukan karena akses terhadap kondom
tidak dibatasi, tapi karena laki-laki yang melakukan hubungan seksual berisiko
yaitu dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti PSK, tidak memakai kondom. Ini fakta.
Di bagian
lain Septi mengatakan: "Kita perlu mengatur penjualan alat kontrasepsi di
masyarakat."
Penggunaan
alat-alat kontrasepsi (alat untuk mencegah kehamilan), kecuali kondom, sudah
diatur karena alat-alat tsb. pil KB, suntikan, spiral, dan implant serta bedah vasektomi
serta tubektomi hanya untuk pasangan suami-istri. Alat-alat kontrapsi ini bukan
alat mencegah penularan HIV/AIDS.
Mengapa
kondom tidak diregulasi? Analoginya adalah kondom bisa menegah penyebaran IMS
dan HIV/AIDS sehingga harus mudah diperoleh.
Tampaknya,
sasaran Raperda AIDS itu adalah remaja. Ini naif karena:
Pertama, mata rantai penyebaran HIV/AIDS di
masyarakat adalah laki-laki dewasa. Laki-laki dewasa yang tertular HIV akan
menularkan HIV ke pasangannya, ke istri bagi yg berkeluarga (bahkan ada yang
beristri lebih dari satu), ke pacar, ke selingkuhan dan ke PSK. Kasus HIV/AIDS
banyak terdeteksi pada ibu rumah tangga karena mereka ditulari suaminya.
Kedua, remaja yang tertular HIV/AIDS
menjadi terminal terkahir. HIV/AIDS hanya pada dirinya karena mereka tidak
mempunyai istri. Remaja bukan mata rantai penyebaran HIV/AIDS.
Dalam berita
ada pula ditampilkan Melanie Tedja, seorang pengguna media sosial, bahkan
membuat petisi online di
change.org yang menentang rencana
tersebut.
‘Seks Bebas’ Menyesatkan
Disebutkan oleh Melanie bahwa logika DPR Bengkulu tersebut adalah:
(1) Dengan membatasi penjualan kondom, anak muda akan lebih takut
melakukan seks bebas
(2) Jika lebih sedikit orang yang
melakukan seks bebas maka penyebaran HIV akan menurun
Menurut saya pribadi, ini logika yang cemerlang.
Pendapat Melanie
Tedja ini menggambarkan pandangan banyak orang di Indonesia terkait dengan
HIV/AIDS yang justru menyesatkan.
‘Seks Bebas’
adalah istilah yang rancu bin ngaco karena tidak jelas maknanya. ‘Seks bebas’
adalah terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak ada dalam kamus-kamus
Bahasa Inggris.
Kalau
Melanie mengartikan ‘seks bebas’ sebagai zina atau hubungan seksual di luar
nikah, maka lagi-lagi Melanie ngawur jika mengaitkan ‘seks bebas’ dengan
HIV/AIDS karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat
hubungan seksual (di luar nikah, seks bebas, zina, dll.), tapi karena kondisi
(saat terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua-duanya mengidap
HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom selama terjadi hubungan seksual.
Untuk
menurunkan insiden infeksi penularan HIV baru, terutama di kalangan dewasa,
pilihan ada di tangan kita, yaitu tidak melakukan hubungan seksual yang
berisiko:
(a)
Laki-laki dewasa tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di
luar nikah, perempuan yang berganti-ganti;
(b) Laki-laki
dewasa tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar
nikah, perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung (PSK
yang kasat mata yaitu PSK di lokalisasi pelacuran, di rumah bordir, dan di
jalanan) dan PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek
panggilan, ‘artis’ prostitusi online, cewek pub, cewek kafe, cewek pemijar,
ABG, cewek bispak, cewek bisyar, ayam kampus, cewek gratifikasi seks, dll.);
(c)
Perempuan dewasa tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di
luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti.
Masalahnya
adalah: Apakah ada yang bisa mengawasi perilaku-perilaku di atas?
Tentu saja
tidak bisa. Maka, pilihan lain adalah memberikan alat yang bisa menegah
penulran HIV/AIDS bagi orang-orang yang lepas kontrol sehingga tidak bisa
mengendalikan dorongan syahwatnya.
Tanpa
langkah-langkah yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Prov Bengkulu
khususnya dan di Indonesia umumnya akan tibalah saatnya kelak pada “ledakan
AIDS”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.