18 Juni 2015

AIDS di Indonesia Akan Terus Menyebar Selama Masih Ada Laki-laki Yang Beli Seks



Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

“John menambahkan, penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual tersebut dilakukan di lokasi-lokasi berisiko, atau disebut lokasi-lokasi kunci, yang tempatnya cenderung menyebar.” Pernyataan Kepala Bidang Monitoring dan Evaluasi KPAP DKI Jakarta, John Alubwaman, ini ada dalam berita “Hubungan Seksual, Penyebab Terbesar Penyebaran AIDS” (kompas.com, 17/6-2015).

Pernyataan itu yang membuat banyak orang menganggap bahwa HIV/AIDS itu tumbuh dan berkembang di tempat-tempat yang terjadi hubungan seksual di luar nikah, seperti lokasi atau lokalisasi pelacuran, panti pijat, dll.

Seperti yang dialami oleh penulis ketika jadi pemateri di sebuah pertemuan tentang HIV/AIDS di Kota Pekanbaru, Riau (2012), ketika penulis katakan bahwa HIV/AIDS di tempat-tempat berisiko itu dibawa oleh laki-laki seorang wartawan (waktu itu dia mengaku Kompas TV) menyanggah, “Apakah sudah ada penelitiannya?”

Fenomena Gunung Es

Secara empiris hal itu adalah fakta karena sebagai virus HIV tidak bisa tumbuh dan berkembang sendiri dari material alam. HIV dalam jumlah yang bisa ditularkan hanya ada di dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani dan semen (laki-laki), cairan vagina (perempuan) dan air susu ibu/ASI (perempuan). Nah, HIV dibawa oleh laki-laki lalu ditularkan ke pekerja seks langsung di lokasi pelacurann, dan dibawa oleh laki-laki lalu ditularkan ke pekerja seks tidak langsung di panti pijat, cafe, pub, dll.

Maka, pernyataan di atas akan lebih bermakna kalau dideskripsikan secara jelas yaitu penyebaran HIV/AIDS dilakukan oleh laki-laki yang perilaku seksnya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS yaitu laki-laki yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah. Laki-laki yang mengidap HIV/AIDS menularkan HIV ke pekerja seks langsung dan tidak langsung, selanjutnya ada pula laki-laki lain yang tertular HIV dari pekerja seks langsung dan pekerja seks tidak langsung yang mengidap HIV/AIDS karena ditulari oleh laki-laki (Lihat Gambar).

Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS yang mencapai 32.782 tentulah penyebaran HIV/AIDS di Jakarta sudah “lampu kuning” karena jumlah yang yang terdeteksi ini hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Soalnya, penyebaran HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah yang terdereksi (32.782) digambarkan sebagai puncak gunung es yang mencuat ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es yang ada di bawah permukan air laut.

Terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta dan daerah lain di Indonesia persoalan besar adalah tidak bisa dilakukan intervensi berupa penerapan seks aman (laki-laki selalu memakai kondom ketika ngeseks dengan pekerja seks) karena praktik hubungan seksual yang melibatkan pekerja seks langsung dan pekerja seks tidak langsung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Seperti dikatakan John, tempat-tempatnya cenderung menyebar karena Jakarta tidak memiliki (area) lokalisasi khusus.

Kalau pekerja seks dilokalisir, maka intervensi bisa dilakukan terhadap laki-laki yang ngeseks dengan pekerja seks melalui regulasi yang ketat seperti yang dijalankan di Thailand dengan skala nasional. Germo atau mucikari di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir diberikan izin sebagai ikatan hukum. Secara rutin pekerja seks menjalani tes IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nika dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti raja singa/sifilis, kencing nanah/GO, klamidia, virus hepatitis B, dll.). Jika ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS, maka germo diberikan sanksi mulai dari teguran, peringatan tertulis sampai pembatalan izin usaha.

Langkah Thailand itu berhasil dengan indikator jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada calon taruna militer turun dari tahun ke tahun. Sayangnya, di Kab Merauke, Papua, yang dijalankan terbalik. Yang dihukum malah pekerja seks. Ini ‘kan naif karena: (1) Ada laki-laki yang mengidap IMS yaitu laki-laki yang menularkan HIV ke PSK yang terdeteksi mengidap IMS, bisa jadi laki-laki tsb. juga mengidap HIV/AIDS, dan (2) Ada banyak laki-laki yang berisiko tertular IMS, kalau pekerja seksnya juga mengidap HIV/AIDS, maka sekaligus terjadi penularan IMS dan HIV/AIDS.

Tes HIV Pasangan

Kalau pekerja seksnya yang diberikan sanksi, al. pidana kurungan, maka 1 pekerja seks dibui akan ada puluhan pekerja seks lain. Lagi pula laki-laki akan memakai tangan germo untuk memaksa pekerja seks melayani tanpa mewajibkan laki-laki memakai kondom.

Maka, maaf, biar pun pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus “dihabisi” IMS dan HIV/AIDS sudah menyebar melalui laki-laki yang menularkan ke pekerja seks dan puluhan bahkan ratusan laki-laki yang berisiko tertular IMS dan HIV/AIDS dari pekerja seks.

Karena melokalisir pekerja seks mustahil, maka langkah yang bisa dijalan Pemprov DKI Jakarta untuk menurunkan (yang bisa dilakukan hanyalah menurunkan) insiden penularan HIV baru hanya terhadap bayi. Caranya adalah dengan membuat peraturan daerah (Perda) atau peraturan gubernur (Pergub) yang mewajibkan setiap perempuan hamil menjalani konseling HIV pasangan dengan suaminya. Jika hasil konseling menjukkan salah satu dari mereka perilaku seksnya berisiko, maka suami dan istri wajib menjalani tes HIV.

Agar program itu tidak melanggar hak asasi manusia (HAM), maka yang wajib konseling pasangan adalah yang berobat di sarana kesehatan pemerintah. Di Amerika Serikat sebagai negara demokrasi terbesar pun semua pasien yang berobat ke rumah sakit pemerintah wajib tes HIV. Tentu tidak melanggar HAM karena yang tidak mau konseling dan tes HIV silakan berobat ke rumah sakit swasta. Artinya, ada pilihan.

Disebutkan dalam berita untuk menekan penyebaran HIV tersebut, KPAP DKI Jakarta memiliki kelompok kerja di lokasi berisiko untuk memberikan informasi tentang pencegahan penyebaran HIV kepada para pekerja seks, seperti memberitahukan bagaimana memasang kondom yang benar.

Kalau hanya dengan cara-cara di atas maka tidak ada jaminan laki-laki ‘hidung belang’ akan dengan sukarela memakai kondom. Banyak alasan laki-laki tidak mau memakai kondom, al. merasa rugi karena sudah bayar ratusan ribu rupiah tapi koq penis dibungkus.

Disebutkan pula oleh John: "Selain itu, kami juga bekerja sama dengan dinas kesehatan untuk menyediakan jasa dokter keliling yang bertugas melakukan pemeriksaan di lokasi-lokasi berisiko tersebut." Ini adalah langka di hilir. Artinya, Pemprov DKI Jakarta membiarkan penduduk tertular atau menularkan HIV baru ditangani.

Maka, hanya dengan melokalisir pelacuran penanggulangan HIV/AIDS bisa dijalankan dengan efektif. Jika ini ditolak banyak kalangan, maka mereka harus memberikan jalan keluar yaitu mengajak laki-laki agar tidak ada lagi yang membeli seks atau melacur dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah.

Tentu saja melarang semua laki-laki agar tidak ada lagi membeli seks atau berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar nikah adalah hal yang mustahil.

Maka, sekarang pilihan hanya dua, yaitu: (1) Menurunkan insiden infeksi HIV melalui intervensi untuk memaksa laki-laki memakai kondom dengan melokalisir pelacuran, atau (2) Membiarkan penyebaran HIV/AIDS terus terjadi yang kelak bermuara pada ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak yang mereka lahirkan. *** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.