Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch
Indonesia
“John
menambahkan, penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual tersebut dilakukan di
lokasi-lokasi berisiko, atau disebut lokasi-lokasi kunci, yang tempatnya
cenderung menyebar.” Pernyataan Kepala Bidang Monitoring dan Evaluasi KPAP DKI
Jakarta, John Alubwaman, ini ada dalam berita “Hubungan Seksual, Penyebab Terbesar Penyebaran AIDS” (kompas.com, 17/6-2015).
Pernyataan
itu yang membuat banyak orang menganggap bahwa HIV/AIDS itu tumbuh dan
berkembang di tempat-tempat yang terjadi hubungan seksual di luar nikah,
seperti lokasi atau lokalisasi pelacuran, panti pijat, dll.
Seperti yang
dialami oleh penulis ketika jadi pemateri di sebuah pertemuan tentang HIV/AIDS
di Kota Pekanbaru, Riau (2012), ketika penulis katakan bahwa HIV/AIDS di
tempat-tempat berisiko itu dibawa oleh laki-laki seorang wartawan (waktu itu
dia mengaku Kompas TV) menyanggah, “Apakah
sudah ada penelitiannya?”
Fenomena Gunung Es
Secara
empiris hal itu adalah fakta karena sebagai virus HIV tidak bisa tumbuh dan
berkembang sendiri dari material alam. HIV dalam jumlah yang bisa ditularkan
hanya ada di dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani dan semen
(laki-laki), cairan vagina (perempuan) dan air susu ibu/ASI (perempuan). Nah,
HIV dibawa oleh laki-laki lalu ditularkan ke pekerja seks langsung di lokasi
pelacurann, dan dibawa oleh laki-laki lalu ditularkan ke pekerja seks tidak
langsung di panti pijat, cafe, pub, dll.
Maka, pernyataan di atas akan lebih bermakna kalau
dideskripsikan secara jelas yaitu penyebaran HIV/AIDS dilakukan oleh laki-laki
yang perilaku seksnya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS yaitu laki-laki yang
sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang
berganti-ganti di dalam dan di luar nikah. Laki-laki yang mengidap HIV/AIDS
menularkan HIV ke pekerja seks langsung dan tidak langsung, selanjutnya ada
pula laki-laki lain yang tertular HIV dari pekerja seks langsung dan pekerja
seks tidak langsung yang mengidap HIV/AIDS karena ditulari oleh laki-laki
(Lihat Gambar).
Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS yang mencapai 32.782
tentulah penyebaran HIV/AIDS di Jakarta sudah “lampu kuning” karena jumlah yang
yang terdeteksi ini hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Soalnya,
penyebaran HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah yang terdereksi
(32.782) digambarkan sebagai puncak gunung es yang mencuat ke permukaan air
laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan
gunung es yang ada di bawah permukan air laut.
Terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta dan
daerah lain di Indonesia persoalan besar adalah tidak bisa dilakukan intervensi
berupa penerapan seks aman (laki-laki selalu memakai kondom ketika ngeseks dengan pekerja seks) karena
praktik hubungan seksual yang melibatkan pekerja seks langsung dan pekerja seks
tidak langsung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Seperti
dikatakan John, tempat-tempatnya cenderung menyebar karena Jakarta tidak
memiliki (area) lokalisasi khusus.
Kalau pekerja seks dilokalisir, maka intervensi bisa
dilakukan terhadap laki-laki yang ngeseks
dengan pekerja seks melalui regulasi yang ketat seperti yang dijalankan di
Thailand dengan skala nasional. Germo atau mucikari di lokalisasi pelacuran dan
rumah bordir diberikan izin sebagai ikatan hukum. Secara rutin pekerja seks
menjalani tes IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang
ditularkan melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nika dengan kondisi
laki-laki tidak memakai kondom, seperti raja singa/sifilis, kencing nanah/GO,
klamidia, virus hepatitis B, dll.). Jika ada pekerja seks yang terdeteksi
mengidap IMS, maka germo diberikan sanksi mulai dari teguran, peringatan
tertulis sampai pembatalan izin usaha.
Langkah Thailand itu berhasil dengan indikator jumlah
kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada calon taruna militer turun dari tahun ke
tahun. Sayangnya, di Kab Merauke, Papua, yang dijalankan terbalik. Yang dihukum
malah pekerja seks. Ini ‘kan naif karena: (1) Ada laki-laki yang mengidap IMS
yaitu laki-laki yang menularkan HIV ke PSK yang terdeteksi mengidap IMS, bisa
jadi laki-laki tsb. juga mengidap HIV/AIDS, dan (2) Ada banyak laki-laki yang
berisiko tertular IMS, kalau pekerja seksnya juga mengidap HIV/AIDS, maka
sekaligus terjadi penularan IMS dan HIV/AIDS.
Tes HIV Pasangan
Kalau pekerja seksnya yang diberikan sanksi, al.
pidana kurungan, maka 1 pekerja seks dibui akan ada puluhan pekerja seks lain.
Lagi pula laki-laki akan memakai tangan germo untuk memaksa pekerja seks
melayani tanpa mewajibkan laki-laki memakai kondom.
Maka, maaf, biar pun pekerja seks yang terdeteksi
mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus “dihabisi” IMS dan
HIV/AIDS sudah menyebar melalui laki-laki yang menularkan ke pekerja seks dan
puluhan bahkan ratusan laki-laki yang berisiko tertular IMS dan HIV/AIDS dari
pekerja seks.
Karena melokalisir pekerja seks mustahil, maka langkah
yang bisa dijalan Pemprov DKI Jakarta untuk menurunkan (yang bisa dilakukan
hanyalah menurunkan) insiden penularan HIV baru hanya terhadap bayi. Caranya
adalah dengan membuat peraturan daerah (Perda) atau peraturan gubernur (Pergub)
yang mewajibkan setiap perempuan hamil menjalani konseling HIV pasangan dengan
suaminya. Jika hasil konseling menjukkan salah satu dari mereka perilaku
seksnya berisiko, maka suami dan istri wajib menjalani tes HIV.
Agar program itu tidak melanggar hak asasi manusia
(HAM), maka yang wajib konseling pasangan adalah yang berobat di sarana kesehatan
pemerintah. Di Amerika Serikat sebagai negara demokrasi terbesar pun semua
pasien yang berobat ke rumah sakit pemerintah wajib tes HIV. Tentu tidak
melanggar HAM karena yang tidak mau konseling dan tes HIV silakan berobat ke
rumah sakit swasta. Artinya, ada pilihan.
Disebutkan dalam berita untuk menekan penyebaran HIV
tersebut, KPAP DKI Jakarta memiliki kelompok kerja di lokasi berisiko untuk
memberikan informasi tentang pencegahan penyebaran HIV kepada para pekerja
seks, seperti memberitahukan bagaimana memasang kondom yang benar.
Kalau hanya dengan cara-cara di atas maka tidak ada
jaminan laki-laki ‘hidung belang’ akan dengan sukarela memakai kondom. Banyak
alasan laki-laki tidak mau memakai kondom, al. merasa rugi karena sudah bayar
ratusan ribu rupiah tapi koq penis dibungkus.
Disebutkan pula oleh John: "Selain itu, kami juga
bekerja sama dengan dinas kesehatan untuk menyediakan jasa dokter keliling yang
bertugas melakukan pemeriksaan di lokasi-lokasi berisiko tersebut." Ini
adalah langka di hilir. Artinya, Pemprov DKI Jakarta membiarkan penduduk
tertular atau menularkan HIV baru ditangani.
Maka, hanya dengan melokalisir pelacuran
penanggulangan HIV/AIDS bisa dijalankan dengan efektif. Jika ini ditolak banyak
kalangan, maka mereka harus memberikan jalan keluar yaitu mengajak laki-laki
agar tidak ada lagi yang membeli seks atau melacur dengan perempuan yang
berganti-ganti di dalam dan di luar nikah.
Tentu saja melarang semua laki-laki agar tidak ada
lagi membeli seks atau berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar nikah
adalah hal yang mustahil.
Maka, sekarang pilihan hanya dua, yaitu: (1) Menurunkan
insiden infeksi HIV melalui intervensi untuk memaksa laki-laki memakai kondom dengan
melokalisir pelacuran, atau (2) Membiarkan penyebaran HIV/AIDS terus terjadi
yang kelak bermuara pada ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak yang mereka
lahirkan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.