Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia
“Komitmen YHI Papua Terhadap Program KIA
yang Terintegrasi HIV-AIDS. Setiap Ibu yang Periksa Kehamilannya Wajib Test VCT”
Ini judul berita di Harian “Cenderawasih
Pos”, Jayapura, Papua (9/4-2015).
Ada
beberapa hal yang bisa ditanggapi dari judul berita tsb, yaitu:
Pertama, “Test VCT”.
Ini rancu bin ngaco karena VCT (voluntary counseling and test) adalah sistem
atau cara dalam tes HIV yakni tes HIV sukarela dengan konseling sebelum dan
sesudah tes HIV. Yang benar adalah tes HIV melalui VCT.
Kedua, di judul disebut “wajib test
VCT”. Lho, ini bagaimana? Koq bisa? Sistemnya sukarela tapi tesnya wajib.
Ketiga, langkah tes HIV terhadap ibu
hamil menunjukkan patriarki yang bias gender karena ibu hamil itu jika
terdeteksi mengidap HIV/AIDS adalah korban (dari suaminya).
Keempat, tes HIV
terhadap ibu hamil adalah langkah di hilir. Artinya, YHI Papua membiarkan
ibu-ibu di Papua tertular HIV dahulu, lalu kalau sudah hamil baru menjalani tes
HIV. Ini merupakan pembiaran yang merupakan perbuatan melawan hukum dan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
Di
bagian lain dalam berita tsb. disebutkan “ .... yayasan ini mendorong ibu hamil
(bumil) untuk memahami secara dini serta melakukan pemeriksaan Voluntary Counseling
Test ....”
Dalam
program pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya langkah
pertama adalah tes HIV terhadap ibu-ibu hamil. Yang perlu dijelaskan ke
perempuan, dalam hal ini ibu rumah tangga atau istri, adalah program tsb. yaitu
program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Nah, program itu
dilakukan dengan tes HIV kepada ibu hamil. Jika ibu hamil positif mengidap
HIV/AIDS, maka program pencegahan pun dijalankan.
Dalam
berita soal ibu hamil yang ‘wajib test VCT’ sama sekali tidak dikaitkan dengan
suami. Padahal, jika seorang ibu rumah tangga terdeteksi mengidap HIV/AIDS
melalui tes waktu hamil itu membuktikan suaminya mengidap HIV/AIDS.
Lalu,
apa langkah YHI untuk meminta suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi mengidap
HIV/AIDS mau menjalani tes HIV?
Pengalaman
di beberapa daerah menunjukkan suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi mengidap
HIV/AIDS menolak untuk menjalani tes HIV.
Maka,
kalau hal itu yang terjadi suami yang mengidap HIV/AIDS itu menjadi mata rantai
penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah. Bisa kepada istrinya yang lain kalau istrinya lebih
dari satu, bisa juga ke selingkuhannya, pacarnya atau PSK. Bahkan bisa jadi ke
waria atau sesama lelaki. Itu artinya penyebaran HIV/AIDS terus terjadi.
Dalam
kaitan itulah diperlukan konseling pasangan. Ibu atau perempuan yang hamil
diwajibkan membawa suami atau pasangannya untuk menjalani konseling. Jika suami
atau pasangan ternyata perilaku seksnya berisiko tertular HIV/AIDS, maka
pasangan itu harus menjalani tes HIV.
Tentu
akan ada suara-suara sumbang, “Itu melanggar HAM.”
Nah,
kita pakai kiat Amerisa Serikat (AS). Dalam satu wawancara dengan Prof Dr Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM (K), pakar hematologi dan pejuang AIDS, Prof
Beri mengatakan bahwa di AS semua orang yang berobat, semua penyakit, ke
rumah sakit pemerintah wajib tes HIV.
Mengapa
hal itu tidak diprotes warga AS yang dikenal sebagai negara demokrasi?
Ya,
HAM dilanggar jika tidak ada pilihan. Nah, kalau tidak mau tes HIV jangan
berobat ke rumah sakit pemerintah.
Maka,
wajib konseling pasangan itu pun diperuntukkan bagi yang periksa kehamilan ke
sarana kesehatan pemerintah. Kalau tidak mau konseling pasangan, silakan
periksan kehamilan ke sarana kesehatan nonpemerintah.
Hanya
dengan mewajibkan konseling pasangan yang dilanjutkan dengan tes HIV pasangan
salah satu mata rantai penyebaran HIV bisa diputus. Kalau hanya istrinya yang
menjalani tes HIV, maka penyebaran HIV/AIDS terus terjadi melalui suami ibu
yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Dalam
kerangka yang lebih komprehensif diperlukan intervensi melalui regulasi yang
memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan
pekerja seks komersial (PSK). Regulasi ini hanya efektif jika pelacuran
dilokalisir dengan regulasi sehingga ada celah menerapkan sanksi hukum.
Tanpa
intervensi terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK, maka
insiden penularan HIV baru akan terus terjadi. Pada gilirannya ibu-ibu rumah
tangga pun kian banyak pula yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Jika tidak
ditangani anak-anak yang mereka lahirkan pun akan tertular HIV/AIDS. Kalau ini
yang terjadi tinggal menunggu waktu saja untuk sebuah “ledakan AIDS”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.