Oleh
Syaiful W. Harahap – AIDS WatchIndonesia
“Media Sosial Jadi Lahan Baru Bisnis
Esek-esek.” Ini judul berita di inet.detik.com
(13/4-2015). Memang, di Facebook dan Twitter tinggal klik ‘bispak’ (cewek bisa
pakai), ‘bisyar’ (cewek habis pakai bayar), ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, dll.
sudah muncul gambar-gambar cewek dengan berbagai pos dan berbagai gaya mulai
dari yang hanya memakai Bra dan CD sampai yang bugil.
Penutupan lokasi dan lokalisasi pelacuran, di era Orba disebut resos yaitu
rehabilitasi dan resosialisasi pekerja seks komersial (PSK) melalui regulasi,
di era reformasi meninabobokkan masyarakat karena dikesankan hal itu menghapus
atau memupus praktek perzinaan, dalam hal ini pelacuran. Maka, gubernur, bupati
dan walikota pun menepuk dada: Di daerah saya tidak ada pelacuran.
Jenis Layanan
Ya, secara de jure itu benar.
Tapi, secara de facto praktek
pelacuran justru merajelala dalam berbagai bentuk dan dengan modus yang beragam
pula.
Lihat saja kasus pembunuhan Deudeuh Alfisahrin, 26 tahun, alias
Tata alias Mpie di salah satu rumah kos di Tebet, Jakarta Selatan, membuktikan
praktek pelacuran melalui jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter,
Ponsel, dll. Korban disebut-sebut
sebagai ‘cewek bispak’ melalui jaringan media sosial. Sebelumnya juga pelacuran
online ramai setelah seorang mahasiswi pergurutan tinggi agama di Bandung, Jawa
Barat, terbongkar kedoknya sebagai ‘ayam kampus’.
Mulai Jumat
sore sampai hari Minggu losmen dan hotel-hotel melati selalu penuh. “Tidak bisa
pesan, Pak. Mau nginap langsung saja
datang,” kata seorang karyawan hotel melati di bilangan Jatinegara, Jakarta
Timur. Rupanya, kalau di-booking itu
artinya kamar jadi hak selama 24 jam. Padahal, banyak tamu yang hanya “nginap” dua atau tiga jam. Jadi, kalau
di-booking mereka rugi karena dalam
24 jam sudah bisa 5-7 pemesan yang ngamar.
Yang
tidak masuk akal adalah tidak sedikit tamu yang datang ke hotel melati itu
dengan membawa cewek yang memakai pakaian berpenutup kepala. Kalau mereka
suami-istri tentulah hal yang naif harus ngamar di hotel melati karena di kamar
kos juga tidak masalah kalau sudah ada surat nikah.
Tentu
saja kalau seorang laki-laki membawa cewek ke losmen, hotel melati atau hotel
berbintang serta apartemen itu bisa jadi indikator bahwa bisa jadi dia pernah
atau sering ganti-ganti pasangan. Begitu juga dengan cewek yang mau dibawa ke ngamar bisa jadi juga pernah atau sering
ganti-ganti pasangan.
Itu
artinya perilaku mereka berisiko tertular dan menularkan IMS atau HIV/AIDS atau
dua-duanya sekaligus.
Celakanya,
di hotel itu sama sekali tidak ada penjangkauan untuk memberikan informasi
tentang risiko tertular IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyait
yang ditularkan melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dari
pengidap IMS ke pasangan seksnya jika laki-laki atau suami tidak memakai
kondom, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, dll.)
atau HIV/AIDS. Bisa juga dua-duanya sekaligus jika pasangan seks mengidap IMS
dan HIV/AIDS.
Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia kian runyam karena praktek pelacuran
terjadi melalui media sosial yaitu cewek ‘dipesan’ melalui jaringan media
sosial.
Ada juga yang menawarkan diri dengan berbagai persyaratan,tarif, waktu,
kondisi dan layanan yang disediakan: bayar DP
(uang muka) ke rekening, ada pula yang cash
di tempat tidur sebelum ‘bertempur’. Layanan yang diberikan selain seks vaginal
ada juga servis BJ (blow job yaitu
seks oral), CIF (cum in face atau
crot di wajah), CIM (cum in mouth
atau crot di dalam rongga mulut), dan servis lain seperti tertera di status
media sosial. Juga dijelaskan langkah-langkah yang harus dilalui ‘pemesan’ agar
bisa sampai ke peraduan.
Memang, ada juga yang memberikan syrat harus pakai kondom, tapi tidak ada
jaminan karena bisa saja laki-laki menolak memakai kondom atau transaksi
dibatalkan. Tentu saja cewek ‘bispak’, ‘bisyar’ atau ‘ayam kampus’ tidak punya
pilihan lain selain melayani laki-laki yang tidak memakai kondom.
PSK Tidak Langsung
Itu artinya risiko penyebaran HIV/AIDS terbuka luas. Laporan Dijen PP &
PL, Kemenkes RI per tanggal 12 Februari 2015 menunjukkan jumlah kumulatif kasus
HIV/AIDS mencapai 225.928 yang terdiri atas 160.138 HIV dan 65.790 AIDS dengan
11.801 kematian. Kasus ini tersebar dari Aceh sampai Papua. Artinya tidak ada
daerah yang bebas HIV/AIDS.
Kondisi penyebaran HIV/AIDS kian runyam karena sama sekali tidak ada tanda-tanda,
gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas HIV/AIDS pada orang-orang yang tertular
HIV. Itu artinya banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular
HIV/AIDS sehingga mereka pun tidak menerapkan seks (yang) aman, al. laki-laki
memakai kondom, ketika melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Persoalan lain yang muncul dari cewek ‘bispak’, ‘bisyar’, ‘ayam kampus’,
dll. adalah ketika mereka mengalami kejanggalan di vagina, misalnya, ada cairan
yang berbau atau tidak berbau mereka minum jamu atau membeli obat di pedagang
obat atau membeli obat antibiotik. Kondisi itu menunjukkan mereka tertular IMS.
Celakanya, pada perempuan IMS nyaris tanpa gejala seperti pada laki-laki yang
akan terasa sakit ketika buang air kecil. Ini yang menjadi masalah besar karena
setiap penyakit IMS berbeda obatnya. Pengobatan oleh dokter dilakukan melalui
diagnosis setelah ada hasil laboratorium cairan vagina.
Praktek pelacuran yang melibatkan cewek-cewek melalui media sosial menjadi
jembatan penyebaran IMS dan HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus yaitu dari
laki-laki ke cewek-cewek itu dan dari cewek-cewek itu ke laki-laki yang ngeseks
dengan mereka. Kalau laki-laki yang menularkan IMS atau HIV/AIDS ke cewek-cewek
itu atau yang tertular IMS dan HIV/AIDS dari cewek-cewek itu mempunyai istri,
maka ada risiko penularan IMS dan HIV/AIDS ke istri mereka. Pada akhirnya kalau
istri mereka tertular IMS dan HIV/AIDS ada pula risiko penularan kepada bayi
yang dikandung istri (vertikal).
Ada laporan yang menyebutkan jumlah laki-laki yang menjadi pelanggan PSK
langsung yaitu PSK yang kasat mata seperti di lokasi pelacuran atau yang di
jalanan jumlahnya 6,7 juta. Dari jumlah ini 2,2 juta beristri.
Nah, dengan terbukanya media sosial sebagai saluran pelacuran maka jumlah
laki-laki yang berisiko kian banyak karena pelacur yang dipesan melalui media
sosial ini adalah PSK tidak langsung.
Jumlah PSK tidak langsung tidak bisa dimonitor karena tidak terpusat di
satu tempat. Mereka pun bekerja sendiri-sendiri, sebagian ada yang dikendalikan
germo, sehingga PSK tidak langsung tidak bisa diintervensi untuk sosialisasi
risiko tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus.
Itu artinya penyebaran IMS dan HIV/AIDS melalui PSK tidak langsung menjadi
penyumbang terbesar dalam epidemi HIV/AIDS yang pada gilirannya akan menjadi
pemicu “ledakan AIDS” di Tanah Air. ***
Ilustrasi (Repro: merdeka.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.