* Besok (19/4-2015) pembukaan acara
Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika, tapi kasus HIV/AIDS di Asia dan
Afrika diabaikan ....
Oleh
Syaiful W. Harahap – AIDS WatchIndonesia
Tentu saja tidak ada satu pun peserta
Konferensi Asia Afrika (KAA) yang berlangsung di Kota Bandung 60 tahun yang
lalu membayangkan kawasan Asia Afrika kelak akan jadi ‘neraka’ karena
penyebaran penyakit. Soalnya, kasus (terkait) AIDS pertama dipublikasikan di
Amerika Serikat pada tahun 1981, sedangkan HIV sebagai virus yang menyebabkan
AIDS baru diakui Badan Kesehatan Sedunia (WHO) pada tahun 1986.
Tapi,
setelah 60 tahun konferensi itu sejarah mencacat bahwa kasus HIV/AIDS paling
banyak terdeteksi di kawasan Asia Afrika.
Tanggal
19-24 April 2015 berlangsung peringatan 60 tahun KAA yang diselenggarakan di
Jakarta dan Bandung. Celakanya, agenda KAA hanya penuh dengan nuansa politik.
Pergolakan, perang saudara, perebutan kekuasaan, pemberontakan, pertikaian
paham agama, perkosaan, pembunuhan, dll. justru terjadi di kawasan Asia dan
Afrika.
Abaikan AIDS
Dengan
jumlah kasus HIV/AIDS di Asia dan Afrikayang mencapai 29.500.000 atau 84.29 persen
dari kasus global serta estimasi infeksi baru yang mencapai 1.500.000 atau
71.43 persen dari estimasi global, pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah
pembicaraan politik lebih penting daripada membahas upaya-upaya penanggulangan
HIV/AIDS?
Dampak
epidemi HIV/AIDS pun akan berimbas ke sektor ekonomi, politik dan keamanan,
tapi hal ini diabaikan dengan memakai ‘baju moral’ yang mengesankan perilaku di
kawasan AA tidak seperti di Eropa Barat dan Amerika. Padahal, tidak semua
perilaku berisiko tertular HIV/AIDS ada kaitannya secara langsung dengan moral.
Tampaknya,
para pemimpin di kawasan Asia dan Afrika akan tetap memilih pembicaraan politik
karena hanya beberapa negara di kawasan ini yang sudah menerima HIV/AIDS
sebagai fakta medis. Selebihnya, mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan norma, moral
dan agama sehingga negara-negara tsb. tidak menjalankan program pencegahan yang
realistis.
Epidemi
HIV/AIDS sendiri menggerogoti perekonomian karena banyak hal yang terpapar,
misalnya, tenaga kerja di berbagai sektor berkurang karena banyak penduduk usia
produktif yang meninggal karena penyakit terkait AIDS. Penghasilan keluarga
yang berkurang bahkan bisa tidak ada ketika suami mengidap HIV/AIDS karena dia
tidak bisa lagi bekerja secara efektif. Bahkan, pada suatu saat akan berhenti
atau diberhentikan.
Kebutuhan
uang pada keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang mengidap HIV/AIDS pun
bertambah al. untuk biaya pengobatan, bisa tes darah, ongkos ke rumah sakit,
beli obat-obatan, dll. Bagi keluarga yang tidak didukung oleh asuransi tentulah
kondisi ini akan memberatkan.
Di
salah satu negara di Asia, misalnya, ada sebuah wilayah yang terkenal dengan
cewek-ceweknya yang cantik-cantik yang banyak menjadi pekerja seks komersial
(PSK) di kota. Ketika mereka bekerja sebagai PSK mereka mengirim uang ke
kampung. Keluarga di kampung memakai uang untuk membeli tanah dan binatang
ternak. Tapi, ketika ada di antara mereka yang mengidap HIV/AIDS dan tidak bisa
lagi bekerja sebagai PSK, maka semua yang dibeli habis untuk biaya hidup dan
pengobatan.
Pengalaman
Thailand menghadapi epidemi HIV/AIDS bisa jadi pelajaran bersama. Di awal tahun
1990-an kalangan ahli mengingatkan bahwa Thailand harus menjalankan program
penanggulangan yang komprehensif, tapi negara itu anggap remeh karena meraka
merasa sebagai bangsa yang berbudaya dan bergama. Kondisi ini sekarang terjadi
di banyak negara, seperti Indonesia yang selama ini juga selalu mengedepankan
norma, moral dan agama dalam menanggulangi HIV/AIDS. Maka, tidaklah
mengherankan kalau sampai 31 Desember 2014 sudah terdeteksi 225.928 kasus
HIV/AIDS yang terdiri atas 160.138 HIV dan 65.790 AIDS dengan 11.801 kematian.
Tapi,
apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian di Thailand?
Sampai
awal tahun 2000-an dana yang dikeluarkan negara untuk penanggulangan HIV/AIDS
secara langsung dan tidak langsung mencapai 8,7 miliar dolar AS. Di tahun 2000
saja diperlukan dana 2,2 miliar dolar AS. Devisa yang diperoleh negara itu dari
pariwisata hanya cukup dua pertiga dari dana yang dibutuhkan. Nah, kondisi ini
akan terjadi di negara lain. Indonesia, misalnya, dana penanggulangan HIV/AIDS
akan menggerogoti APBN dan APBD.
Debat Kondom
Pasien-pasien
dengan penyakit terkait AIDS tidak tertampung di tempat tidur rumah sakit.
Thailand beruntung karena vihara menampung pasien-pasien AIDS tadi.
Pertanyaannya: Apakah gereja dan masjid kelak mau menampung pengidap HIV/AIDS
yang tidak tertampung di rumah sakit?
Dengan
kasus yang mendekati 1.000.000 pemerintah Thailand pun menjalankan lima program
dengan skala nasional secara simultan. Salah satu adalah program “wajib kondom
100 persen” bagi laki-laki yang ngeseks dengan pekerja seks komersial (PSK) di
lokalisasi pelacuran. Program ini menurunkan insiden infeksi HIV baru dengan
indikator kasus HIV pada calon taruna angkatan bersenjata.
Isu lain yang menjadi masalah besar adalah harga obat karena ada hak paten obat-obatan terkait dengan HIV/AIDS. Bagi pengidap HIV/AIDS obat antiretroviral (ARV) adalah ‘penyambung nyawa’ karena mereka meminum obat ARV sepanjang hidupnya tanpa ada kemungkinan sembuh.
Isu lain yang menjadi masalah besar adalah harga obat karena ada hak paten obat-obatan terkait dengan HIV/AIDS. Bagi pengidap HIV/AIDS obat antiretroviral (ARV) adalah ‘penyambung nyawa’ karena mereka meminum obat ARV sepanjang hidupnya tanpa ada kemungkinan sembuh.
Begitu
pula dengan reagent untuk tes HIV yang juga tidak murah. Di Indonesia,
misalnya, tes HIV berkisar Rp 290.000. Kalau saja negara-negara AA menjadikan
HIV/AIDS sebagai salah satu tema atau isu yang dibahas tentulah sangat
bermanfaat bagi kelangsungan hidup puluhan juta penduduk AA yang terpapar
HIV/AIDS. Misalnya, menggalang kerja sama untuk membangun pabrik obat ARV dan reagent untuk tes HIV sehingga tidak
lagi tergantung kepada negara produsen obat dan reagent.
Masalah
lain yang tidak kalah peliknya yang menjadi salah satu faktor penghambat dalam
penanggulangan epidemi HIV/AIDS adalah: (a) Stigmatitasi (pemberian cap buruk
atau negatif) terhadap orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS dan
identitasnya diketahui masyarakat dengan kaca mata norma, moral, agama dan
hukum. Padahal, tidak semua orang yang tertular HIV/AIDS terkait dengan norma,
moral, agama dan hukum, seperti istri yang tertular dari sumai, anak yang
tertular dari ibu di kandungan, orang-orang yang tertular melalui transfusi darah,
dll., dan (b) Diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang sudah
terdeteksi mengidap HIV/AIDS dan identitasnya diketahui masyarakat. Padahal,
tidak ada risiko penularan HIV/AIDS melalui pergaulan sosial sehari-hari.
Selain
itu mobilitas penduduk AA pun mendorong penyebaran HIV/AIDS pula. Banyak negara
di kawasan Asia dan Afrika yang tidak memberikan izin untuk hiburan malam dan
industri terkait seks. Tapi, kasus HIV/AIDS di negara-negara itu ternyat juga
banyak. Hal itu terjadi karena ada laki-laki dari negara-negara itu yang
mencari seks ke negara lain, baik di AA maupun di luar AA.
Di
beberapa negara kemiskinan mendorong pelacuran dan perdagangan manusia. Selain
untuk ‘perbudakan’ perdagangan manusia juga terkait dengan pelacuran. Kondisi ini
menjadi salah satu aspek yang menjadi pemicu penyebaran HIV/AIDS. Pola utama
penularan HIV/AIDS di kawasan AA adalah melalui hubungan seksual dalam industri
seks sehingga diperlukan langkah bersama yang konkret untuk menurunkan insiden
infeksi HIV baru di kalangan laki-laki pembeli seks.
Kasus
di atas tentulah layak jadi topik pembicaraan di KAA karena menyangkut nasib
perempuan dan anak-anak. Singapura, misalnya, meminta laki-laki beristri
menjalani tes HIV sukarela jika kembali dari daerah Riau da Kepulauan Riau. Tentu
saja hal ini masuk akal karena di dua daerah itu PSK datang dari berbagai
daerah bahkan dari negara lain. Kondisinya kian runyam karena pelacuran di Riau
dan Kepulauan Riau tidak diregulasi sehingga tidak ada intervensi yang
mengharuskan laki-laki pakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK.
Sebuah
laporan menunjukkan sejak awal tahun 1990-an penemuan kasus baru di beberapa
wilayah sudah mulai menunjukkan grafik yang mendatar, seperti di Amerika,
Oseania, Eropa Barat dan Afrika. Sebaliknya di kawasan Asia Pasifik kasus baru
HIV/AIDS justru meroket.
Kalau
di Amerika, Eropa Barat dan Oseania kasus baru mulai mendatar karena di
negara-negara di kawasan itu sudah dijalankan cara-cara pencegahan HIV/AIDS
yang konkret, terutama melalui hubungan seksual, terutama pada laki-laki dewasa
yaitu memakai kondom pada hubungan seksual yang berisiko: (1) Hubungan seksual
di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti, dan (2)
Hubungan seksual dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, al. PSK.
Celakanya,
di kawasan Asia Pasifik perdebatan soal kondom sudah masuk ke ramah ‘debat
kusir’ yang tidak berkesudahan. Kondom dikait-kaitkan dengan moral yaitu
dikatakan sebagai legalisasi perzinaan. Padahal, pezina-pezina yang ngeseks
dengan PSK tidak akan pernah mau memakai kondom dengan 1001 macam alasan.
Itulah
sebabnya banyak kasus HIV/AIDS pada perempuan, khususnya ibu rumah tangga, yang
sama sekali tidak melakukan perilaku beisiko tertular HIV/AIDS.
Sedangkan
di Afrika penemuan kasus baru mendatar karena penularan lebih banyak terjadi
pada bayi. Ini terjadi karena orang-orang dewasa banyak yang mengidap HIV/AIDS
sehingga kasus baru pada kalangan dewasa tidak sebanyak di awal-awal epidemi.
Kerja
sama dalam sektor penanggulangan HIV/AIDS, memproduksi obat dan reagent serta
saling dukung menjadi kerangka kerja sama yang jauh lebih penting bagi
negara-negara di Asia dan Afrika daripada hanya sekedar ‘mengaum’ di
hingar-bingar globalisasi yang akan tetap dimenangkan oleh negara-negara Barat.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.