Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch
Indonesia
“Dinkes DKI: Semua Puskesmas
Kecamatan di DKI Menyediakan Kondom Gratis.” Ini judul berita di detikNews (20/3-2015).
Untuk apa
kondom di sedikaan gratis? Ini alasan Dinkes DKI Jakarta: “ .... kondom
gratis untuk program penanggulangan HIV/AIDS.”
Penanggulangan seperti apa?
Tidak ada penjelasan dalam berita. Bahkan
program kondom gratis kian tidak terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS karena:
"Kondom diberikan untuk penanggulangan HIV. Setiap orang
yang hendak mengambil (kondom gratis) itu harusnya diketahui petugas kesehatan,
kondom gratis harus diberikan ke orang yang membutuhkan dan memang ada akses
menularkan.” Ini pernyataan Koordinator Program HIV/AIDS Dinas DKI Jakarta, Dr
Inda Mutiara.
Ini tentu sangat naif karena hanya untuk menghindarkan
pembelian kondom seharga Rp 2.500 seseorang yang hendak ngeseks dengan PSK mencacatatkan namanya di Puskesmas agar dapat
kondom gratis.
Agaknya, pemerintah sudah “bak kebakaran jenggot” menghadapi
kasus baru yang terus-menerus terdeteksi di berbagai kalangan, terutama ibu-ibu
hamil. Ketika epidemi HIV mulai terdeteksi di Indonesia banyak kalangan, mulai
dari pejabat, pakar, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta sebagian besar aktivis
AIDS malah menampik AIDS akan merebak di Indonesia. Alasan mereka: masyarakat
Indonesia adalah masyarakat berbudaya yang agamis!
Tapi, apa yang terjadi dua dekade kemudian?
Laporan Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, tanggal 17 Oktober 2014 menyebutkan sampai tanggal 30 September 2014 kasus HIV/AIDS
di Indonesia sudah terdeteksi 206.084 yang terdiri atas 150.285 HIV
dan 55.799 AIDS dengan 9.796 kematian.
Sedangkan jumlah kasus HIV/AIDS di DKI Jakarta dilaporkan 40.259 yang
terdiri atas 32.782 HIV dan 7.477 AIDS.
Nah, lagi-lagi pertanyaannya adalah: Siapa saja yang boleh
mengambil kondom gratis di puskesmas?
Berdasarkan pernyataan dr Inda tadi juga tidak jelas.
Lalu, apakah petugas yang menjaga kondom di puskesmas siaga
24 jam?
Adalah hal yang mustahil seorang laki-laki mengurungkan
niatnya untuk ngeseks dengan PSK hanya karena puskesmas tutup dan menunggu esok
hari.
Lagi pula kalau laki-laki sudah menyadari ada risiko
penularan HIV ketika dia ngeseks, maka laki-laki itu akan menyiapkan kondom.
Persoalannya adalah lagi-lagi karena informasi yang
disebarluaskan selama ini tidak akurat, al. disebut HIV/AIDS menular melalui
hubungan seksual dengan PSK di lokasi pelacuran. Nah, laki-laki pun merasa
tidak berisiko karena: (a) mereka tidak ngeseks
dengan PSK, dan (b) mereka ngeseks
tidak di lokasi pelacuran.
Yang diperlukan adalah regulasi yang memaksa
laki-laki memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK. Tapi, ini hanya bisa
dijalankan dengan efektif jika pelacuran dilokalisir. Celakanya, tidak ada lagi
lokalisasi pelacuran di Jakarta karena Lokres (Lokalisasi dan resosialisasi) “Kramat
Tunggak” di Jakarta Utara yang diregulasi oleh Bang Ali di tahun 1970-an sudah
ditutup.
Pertanyaan untuk Pemprov DKI Jakarta: Setelah
“Kramat Tunggak” ditutup apakah praktek pelacuran tidak ada lagi di Jakarta?
Tentu saja ada. Praktek pelacuran terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu.
Disebutkan oleh dr Inda: “Kondom saat ini satu-satunya alat
yang bisa mencegah penyakit menular dari HIV/AIDS,"
Pernyataan ini tidak komprehensif. Kondom mencegah penularan
HIV/AIDS melalui hubungan seksual yang berisiko, al. (1) Hubungan seksual yang dilakukan
dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, serta (2)
Hubungan seksual yang dilakukan dengan seseorang yang sering berganti-ganti
pasangan, seperti PSK.
Jika dikaitkan dengan pernyataan dr Inda bahwa kondom hanya
diberikan kepada “ .... orang yang membutuhkan dan memang ada akses menularkan”,
maka kondom itu hanya untuk pasangan suami-istri.
Apakah ada seorang suami pergi ke puskesmas meminta kondom
dengan mengatakan: “Pak atau Bu, saya seorang suami mau ngeseks, nih, dengan PSK,
minta kondomnya, dong.”
Jangan harus mengambil ke puskesmas, disediakan di kamar
hotel pun tidak dipakai oleh laki-laki “hidung belang” dengan berbagai alasan,
seperti repot, rugi (harap maklum sudah bayar ratusan ribu bahkan jutaan rupiah
mosok penis dibungkus), dll.
Penyediaan kondom di Puskesmas DKI ini pun kian ngawur karena
pernyataan ini: Agar terhindar dari penyalahgunaan kondom gratis tersebut, Inda
menuturkan di setiap puskesmas dilakukan pengawasan. Yakni tidak semua orang
dapat mengambil kondom tersebut.
Apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan? Tidak jelas bin ngaco.
Selama Pemprov DKI Jakarta tidak menjalankan regulasi berupa
program di hulu yaitu menurunkan insiden penularan baru pada laki-laki melalui
hubungan seksual dengan PSK, maka selama itu pula kasus baru akan terus terjadi
yang pada gilirannya pengidap HIV/AIDS baru tsb. menjadi mata rantai penyebaran
HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan
di luar nikah.
Itu artinya Pemprov DKI Jakarta tinggal menunggu waktu saja
untuk “panen AIDS”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.