Oleh Syaiful W.
Harahap – AIDS Watch Indonesia
"Cirebon
sebagai kota transit tentu rentan terjadi penyebaran berbagai penyakit,
termasuk HIV/AIDS." Ini pernyataan Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Cicip
Awaludin, dalam berita “Dewan Setuju Raperda HIV/AIDS Kota Cirebon, Asal . . .” (jabar.tribunnews.com,
2/3-2015). Ini terkait dengan rencana DPRD Kota Cirebon menerbitkan peraturan
daerah (Perda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
Terkait dengan HIV/AIDS pernyataan anggota dewan ini
menjungkirbalikkan akal sehat. Sebagai virus HIV tidak bisa disebar-sebarkan
karena dalam jumlah yang bisa ditularkan virus ini hanya ada di dalam darah,
air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI).
Lalu, bagaimana Cicip menyatakan penyebaran HIV/AIDS di Kota
Cirebon terjadi karena kota itu sebagai kota transit?
Kota transit atau bukan kota transit penyebaran HIV/AIDS di
masyarakat terjadi paling tidak melalui 17 pintu masuk. Dari 17 pintu masuk
tsb. ada tiga yang sangat potensial, yaitu:
(1). Melalui laki-laki dewasa
penduduk Kota Cirebon yang tertular HIV/AIDS di wilayah Kota Cirebon dan di
luar Kota Cirebon dari hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam dan di
luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang sudah pernah melakukan
hubungan seksual.
(2). Melalui laki-laki dewasa
penduduk Kota Cirebon yang tertular HIV/AIDS di wilayah Kota Cirebon dan di
luar Kota Cirebon dari hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam dan di luar
nikah, dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti:
a.
pekerja seks komerisal (PSK)
langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang ada di tempat-tempat atau
lokasi dan lokalisasi pelacuran, di jalanan,
b.
PSK tidak langsung (PSK yang tidak
kasat mata) seperti cewek panggilan, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, pemandu
lagu, cewek pemijat, ABG, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek gratifikasi seks, dll.
(3). Melalui perempuan dewasa
penduduk Kota Cirebon yang tertular HIV/AIDS di wilayah Kota Cirebon dan di
luar Kota Cirebon dari hubungan seksual dengan kondisi alat kelamin laki-laki
bersentuhan langsung dengan alat kelamin perempuan di dalam nikah dengan
laki-laki yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai
Kalau DPRD Kota Cirebon dan Pemkot Cirebon akan menerbitkan
peraturan daerah (Perda) pencegahan dan penanggulanga HIV/AIDS, maka yang perlu
ada di Perda tsb., adalah penanggulangan di hulu, yaitu mencegah agar tidak
terjadi penularan HIV/AIDS pada kegitan nomor 1, 2 dan 3.
Tentu saja untuk nomor 1, 2 b, 3 adalah hal yang mustahil
melakukan intervensi karena kegitan tsb. tidak bisa dipantau secara langsung
karena terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Sedangkan pada kegiatan nomor 2 a juga tidak bisa dipantau
lagi karena pelacuran di Kota Cirebon tidak dilokalisir. Maka, intervensi tidak
bisa dijalankan.
Memang, adalah hal yang mustahil menghentikan penyebaran
HIV/AIDS karena insiden penularan baru terus terjadi tanpa bisa diintervensi.
Yang bisa dilakukan, seperti yang sudah dibuktikan oleh
Thailand, adalah menurunkan insiden infeksi atau penularan HIV baru pada
laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK)
yaitu pada kegitan 2 a.
Thailand berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki dewasa dengan indikator jumlah calon taruna militer dan polisi yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS turun dari tahun ke tahun sejak negeri itu
menjalankan program “wajib kondom 100 persen” bagi laki-laki yang melakukan
hubungan seksual dengan PSK.
Program ini hanya efektif jika pelacuran dilokalisir.
Celakanya, di Kota Cirebon tidak ada lokalisasi pelacuran. Tapi, perlu diingat
itu tidak berarti di Kota Udang ini tidak ada praktek pelacuran karena
pelacuran yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu.
Yang dikhawatirkan DPRD Kota Cirebon dan Pemkot Cirebon akan
menepuk dada dengan mengatakan: Di Kota Cirebon tidak ada pelacuran!
Ya, itu memang benar. Tapi, apakah itu berarti di Kota
Cirebon tidak ada praktek perzinaan dalam berbagai bentuk yang terkait dengan
pelacuran?
Tentu saja ada. Praktek pelacuran terjadi di penginapan,
losmen, hotel melati, hotel berbintang dan tempat-tempat lain yang disamarkan
dengan berbabagi bentuk kegiatan dan usaha.
Nah, kalau Perda AIDS tsb. kelak tidak mempunyai pasal yang
konkret untuk menurunkan insiden penularan HIV baru pada kegiatan nomor 2 a,
maka perda itu sama saja dengan 70-an perda sejenis yang sudah ada di
Indonesia: tidak berguna!
"Kami
prihatin kasus HIV/AIDS di Kota Cirebon. Bayangkan saja, sampai akhir 2014
sudah 715 kasus di mana 54 orang meninggal dunia. ....” Ini dikatakan oleh Ketua
Fraksi Partai Demokrat, Handarudjati.
Yang
diprihatinkan bukan jumlah kasus, tapi perilaku sebagian orang yang mengidap
HIV/AIDS tsb. yaitu mereka yang tertular melalui hubungan seksual dengan PSK
langsung dan PSK tidak langsung.
Yang
lebih memprihatinkan adalah ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari
suaminya. Pada gilirannya istri-istri yang tertular HIV dari suaminya berisiko
pula menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya kelak.
Untuk itulah dalam Perda AIDS juga perlu ada pasal yang
mengatur konseling pasangan bagi perempuan hamil yang dilanjutkan dengan tes
HIV jika suami mempunyai riwayat perilaku seks yang berisiko tertular HIV yaitu
pernah atau sering melakukan kegitan nomor 1 dan 2.
Di bagian lain Handarudjati
mengatakan, .... membangun kesadaran masyarakat agar tak mudah tertular
penyakit tersebut.
Tentu saja tidak
bisa ditentukan waktu yang dibutuhkan agar masyarakat sadar sehingga tidak
mudah tertular HIV. Pada rentang waktu dari pengajuan rancangan perda sampai
masyarakat sadar sudah terjadi ratusan bahkan puluhan ribu insiden penularan
HIV baru. Orang-orang yang tertular HIV pada rentang waktu ini menjadi mata
rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah tanpa mereka sadari.
Masih pernyataan Handarudjati:
“ .... Lebih prihatin lagi sekarang kasus ini menimpa usia remaja 15-25 tahun."
Jika ditilik dari
epidemi HIV/AIDS orang-orang pada usia 15-25 tahun yang tertular HIV/AIDS ada
di terminal terakhir karena mereka kebanyakan tidak mempunyai pasangan tetap
sehingga tidak menularkan ke orang lain.
Yang jadi
persoalan besar adalah infeksi HIV yang terjadi pada suami, mereka berisiko
menularkan HIV ke istri atau pasangan lain. Kalau istri lebih dari satu itu
artinya kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS dan anak-anak
yang lahir dengan HIV/AIDS pun kelak akan banyak pula.
Sekretaris Fraksi
Partai Golkar, Anna Susanti, mengatakan, HIV/AIDS jadi perhatian pemerintah
karena tiap tahun kasusnya terus meningkat.
Pelaporan HIV/AIDS
di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif yaitu kasus lama ditambah kasus
baru. Begitu seterusnya sehingga angka laporan HIV/AIDS akan terus meningkat.
Maka, biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang mati angka tidak akan pernah
turun.
Dikatakan pula
oleh Anna: Semula, kata dia, HIV/AIDS ditularkan lewat jarum suntik dari
pengguna narkoba, kemudian berubah menjadi melalui hubungan seksual.
Cara-cara
penularan HIV/AIDS tidak berubah sejak diidentifikasi tahun 1981 yaitu: (a)
melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pengidap HIV/AIDS di dalam dan di
luar nikah, (b) melalui transfusi darah yang mengandung HIV/AIDS, (c) melalui
jarum suntik penyalahguna narkoba secara bersama-sama dengan bergantian, (d)
melalui alat-alat kesehatna yang bisa menyimpan darah yang mengandung HIV/AIDS,
dan (e) melalui air susu ibu/ASI yang mengandung HIV/AIDS.
Tanpa pasal-pasal
yang konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV baru di hulu, maka perda itu
pun kelak sama nasibnya dengan perda-perda yang sudah ada: menumpuk di lemari
arsip. Di sisi lain penyebaran HIV/AIDS terus terjadi yang kelak bermuara pada “ledakan
AIDS”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.