Oleh Syaiful W. Harahap - AIDS Watch Indonesia
* Pertanyaan lebih pas ke Menkes karena ada regulasi yang membatasi anak-anak menjangkau fasilitas kesehatan ....
* Pertanyaan lebih pas ke Menkes karena ada regulasi yang membatasi anak-anak menjangkau fasilitas kesehatan ....
Menteri Pendidikan Dasar & Menengah dan Kebudayaan, Anies
Baswedan, dikabarkan kaget mendengar ada 2 siswa SMP di Cirebon yang tertular penyakit
kelamin dengan raut muka kaget dengan adanya kabar tersebut (Menteri Anies belum tahu siswa
SMP di Cirebon kena penyakit kelamin, merdeka.com, 26/2-2015).
Tampaknya, itu ulah wartawan. Ini
memang fenomena moralitas. Wartawan sebagai orang dewasa menguak masalah yang
jauh dari mereka karena mereka memakai moralitas sendiri melihat persoalan.
Dari aspek epidemiologi dan
kesehatan masyrakat, kasus penyakit kelamin dan HIV/AIDS pada anak-anak dan
remaja ada pada ‘terminal terakhir’. Artinya, penyakit itu berhenti pada mereka
karena mereka tidak mempunyai pasangan tetap yaitu istri.
Bandingkan dengan laki-laki
dewasa, terutama suami, mereka justru jadi mata rantai penyebaran penyakit
kelamin dan HIV/AIDS jika mereka tertular. Maka, tidaklah mengherankan kalau
banyak ibu-ibu rumah tangga yang mengidap penyakikt kelamin, seperti kencing
nanah (GO), kanker serviks, sifilis, bahkan HIV/AIDS karena tertular dari
suaminya.
Kabarnya informasi tentang siswa
SMP yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu berasal dari Komisi Penanggulangan
AIDS (KPA) Kota Cirebon.
Nah, pertanyaan untuk KPA Kota
Cirebon: Apa program Anda yang konkret dan sistematis dalam menanggulangi
penyebaran HIV/AIDS di Kota Cirebon?
Ya,
tentu saja tidak ada. Lihat saja pedoman mereka yaitu Perda AIDS Kota Cirebon
yang hanya ada di awang-awang karena hanya mengedepan moral (Lihat: PerdaAIDS Kota Cirebon, Jawa Barat).
Padahal, ada persoalan di wilayah Cirebon (kota dan kabupaten) yaitu wartawan dilarang menulis berita dengan kata-kata yang terkait dengan pelacuran di warung-warung sepanjang Pantura. Biar pun praktek pelacuran itu terbuka dan kasat mata tapi tokoh-tokoh masyarakat dan agama serta pejabat meralang wartawan menyebut tempat itu sebagai tempat pelacuran atau prostitusi. Yang boleh adalah menyebutnya dengan sebutan ‘esek-esek’ (Lihat: Praktek ‘Esek-esek’ di Kab Cirebon, Jabar).
Disebutkan dalam berita: Data
dari Komisi Penanggulangan AIDS Kota Cirebon menyebut, 1.102 warga di kota
tersebut mengidap infeksi penyakit kelamin. Dua di antaranya diidap siswa pria
kelas I dan II di salah satu SMP di Cirebon.
Lho,
koq KPA ngurusi penyakit kelamin?
Penyakit kelamin yang lebih pas disebut infeksi menular
seksual (IMS) yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual
tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti kencing nanah (GO), raja singa
(sifilis), virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, dll. Disebut IMS karena tidak semua
penyakit tsb. infeksinya terjadi di alat kelamin.
Yang jadi masalah adalah anak-anak dan remaja tidak bisa
berobat sendiri kalau tertular IMS karena berbagai alasan, al. mereka malu dan
takut dan sarana kesehatan pun meminta mereka bersama orang tua karena masih di
bawah umur. Tentu saja ini mustahil. Sebaliknya, pemuda dan laki-laki dewasa,
terutama suami, akan dengan mudah berobat dan mencari obat.
Lagi pula, anak-anak yang tertular penyakit kelamin dan
HIV/AIDS ada di “terminal terakhir” karena mereka tidak akan menularkan
penyakit itu sebab mereka tidak mempunyai pasangan tetap.
Bandingkan dengan seorang suami yang tertular penyakit
kelamin atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus. Mereka ini akan menularkan ke
istri. Kalau istri tertular akan menularkan ke bayi yang dikandungnya kelak.
Kalau suami punya istri lebih dari satu maka perempuan yang berisiko tertular
penyakit kelaimin dan HIV/AIDS pun kian banyak.
Masalah anak-anak terdeteksi mengidap penyakit kelamin atau
HIV/AIDS lebih pas ditanya ke menteri kesehatan karena ada regulasi yang
menghalangi anak-anak di bawah umum untuk datang sendirian berobat. Nah, adalah
hal yang mustahil anak-anak yang tertular penyakit kelamin memberitahu orang
tuanya.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian banyak di antara
mereka yang membeli obat sendiri di tukang obat di pinggir jalan atau di kaki
lima. Karena tidak sesuai dengan jenis penyakit kelamain yang mereka idap, maka
obat-obatan itu bisa berdampak buruk. Misalnya, rambut rontok, dll.
Yang paling bermoral adalah pejabat, tokoh agama, tokoh
masyarakat dan wartawan berbagi dengan anak-anak dan remaja: beritahu mereka
apa dan bagaimana cara Anda menjaga diri sehingga tidak pernah berzina sejak
anak-anak sampai sekarang!
Ini jauh lebih ampuh daripada menyuarakan pesan-pesan moral
sebagai orasi politis di panggung ceramah atau dalam berita yang hanya
kamuflase kemunafikan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.