Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia
“Ini
mungkin sebuah peringatan bagi yang suka 'jajan' sembarangan.” Ini pernyataan
di lead berita “75 Persen
PSK di Bali Idap HIV/AIDS. Masih Mau Jajan?” di
tribunkaltim.co (4/2-2015). Itu
artinya dari 100 PSK ada 75 yang mengidap HIV/AIDS.
Dengan estmasi jumlah pekerja seks komersial (PSK) yang “beroperasi” di
Bali 6.000, maka 75 persen berarti ada 4.500 PSK yang mengidap HIV/AIDS. Mereka
ini adalah PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata yang ada di tempat-tempat
pelacurna, lokasi dan lokalisasi pelacuran.
Yang jadi persoalan besar bukan yang akan “jajan”, tapi mereka yaitu:
(1) 4.500 laki-laki dewasa, bisa penduduk Bali bisa juga wisatawan asing
atau wisatawan nusantara, yang menularkan HIV/AIDS kepada 4.500 PSK. Dalam
kehidupan sehari-hari mereka ini bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, dll.
Itu artinya ada 4.500 orang yang berisiko tertular HIV/AIDS. Jika ada di antara
4.500 laki-laki ini yang mempunyai istri atau pasangan seks lebih dari satu,
maka jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS pun kian banyak.
PSK Tidak
Langsung
(2) Ribuan bahkan jutaan laki-laki dewasa, bisa penduduk Bali bisa juga
wisatawan asing atau wisatawan nusantara, yang melakukan hubungan seksual tanpa
kondom dengan 4.500 PSK yang mengidap HIV/AIDS. Jumlahnya adalah 1.012.500 [4.500 PSK x 3 laki-laki/malam x 25
hari/bulan x 3 bulan (waktu minimal sejak tertular sampai tes HIV)].
Jika 4.500 PSK itu terdeteksi HIV/AIDS pada masa AIDS (sudah tertular
antara 5.-15 tahun), maka jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS pun
kian besar pula.
Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari PSK
bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, dll. Maka, ratusan ribu sampai jutaan
perempuan berisiko tertular HIV/AIDS dari suami atau pasangan mereka yang
“jajan” dengan PSK pengidap HIV/AIDS.
Persoalan besar adalah tidak bisa dilihat dengan mata telanjang
berdasarkan kondisi fisik PSK apakah PSK tsb. mengidap HIV/AIDS atau tidak.
Bahkan, banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang memakai moralitas dirinya menilai
PSK yaitu jika PSK bersih mereka anggap tidak mengidap HIV/AIDS. Padahal,
infeksi HIV/AIDS ada di darah dan tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau
ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik PSK yang sudah mengidap HIV/AIDS.
Dengan prevalensi (perbandingan PSK yang idap HIV/AIDS dan PSK yang tidak
mengidap HIV/AIDS) sebesar 75 persen itu artinya sekali ngeseks saja dengan PSK langsung di Bali sudah ada kemungkinan
dilakukan dengan PSK pengidap HIV/AIDS.
Ternyata bukan hanya PSK langsung yang banyak mengidap HIV/AIDS.
Disebutkan pula bahwa “ .... sebagian besar PSK di berbagai kafe juga mengidap
HIV/AIDS. Jumlahnya sekitar 20 persen. ....” (sindonews.com, 3/2-2015).
“PSK” yang tidak kasat mata yaitu yang tidak ‘praktek’ di lokasi
pelacuran disebut PSK tidak langsung, seperti cewek panggilan, cewek kafe,
cewek pub, cewek pemijat, ABG, ‘ayam kampus’, cewek SPG, cewek disko, dll.
Dilaporkan ada 20 PSK tidak langsung yang mengidap HIV/AIDS.
Pelanggan PSK tidak langsung ini umumnya kalangan menengah ke atas
sehingga risiko tertular HIV/AIDS pada laki-laki yang melakukan hubungan
seksual tanpa kondom dengan PSK tidak langsung juga berisiko tinggi tertular
HIV/AIDS. Dengan prevalensi 20 persen di kalangan PSK tidak langsung, maka itu
artinya dari 100 PSK tidak langsung ada 20 yang mengidap HIV/AIDS atau 1:5. Ini
membuat probabilitas (kemungkinan) hubungan seksual dengan PSK tidak langsung
sangat besar.
Celakanya, tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas
AIDS ketika seseorang tertular HIV/AIDS sampai belasan tahun. Secara statistitular
k masa AIDS baru muncul antara 5-15 tahun setelah tertular HIV. Itu artinya
pada rentang waktu tsb. seseorang yang sudah tertular HIV/AIDS tidak menyadari
dirinya sudah mengidap HIV/AIDS. Akibatnya, mereka menjadi mata rantai
penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, al. melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Lalu,
apa yang dijalakan Pemprov Bali secara konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS?
Ternyata
tidak ada karena yang bisa dilakukan secara terukur adalah menurunkan insiden
infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung
dan PSK tidak langsung.
Yang dilakukan di Bali ini dia: Untuk menekan angka atau
mengurangi penyakit HIV/AIDS, Dinas Kesehatan Provinsi Bali dan Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA) Bali melakukan sejumlah langkah, antara lain dengan
cara deteksi dini (sindonews.com,
3/2-2015).
Pernyataan ini
menjungkirbalikkan akal sehat. Deteksi dini itu dilakukan di hilir. Artinya,
seseorang sudah tertular HIV. Maka, ini sama saja artinya Dinas Kesehatan Provinsi Bali
dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali membiarkan
penduduk Bali tertular HIV dahulu baru dideteksi.
‘Seks Bebas’
Ada pula cara
lain yaitu: Setiap ibu hamil diminta melakukan pemeriksaan ke layanan
Voluntary Counseling Testing (VCT). Selain itu, para PSK setiap bulan harus
melakukan cek kesehatan (sindonews.com,
3/2-2015).
Pertanyaan Dinas Kesehatan Provinsi Bali dan Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA) Bali: Apakah suami atau pasangan ibu hamil menjalani
tes HIV?
Kalau jawabannya TIDAK, maka itu artinya Dinas Kesehatan
Provinsi Bali dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali membiarkan suami atau
pasangan ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menjadi mata rantai
penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah.
Disebutkan lagi: Sementara, masyarakat atau PSK yang sudah terjangkit HIV/AIDS
diterapi dengan meminum obat antiretroviral (ARV) (sindonews.com, 3/2-2015).
“Masyarakat” yang sudah terjangkit HIV/AIDS tidak otomatis
menimum obat ARV. Fakta yang luput adalah: sebelum mereka terdeteksi mereka
sudah menyebaran HIV/AIDS ke orang lain tanpa mereka sadari. Yang beristri
menularkan HIV/AIDS ke istrinya dan pasangan seks lain.
Sedangan PSK yang sudah terjangkit HIV/AIDS sudah menularkan HIV/AIDS ke ratusan bahkan ribuan laki-laki sebelum mereka terdeteksi.
Sedangan PSK yang sudah terjangkit HIV/AIDS sudah menularkan HIV/AIDS ke ratusan bahkan ribuan laki-laki sebelum mereka terdeteksi.
Dikatakan pula bahwa setiap PSK juga dibekali dengan pengetahuan bahaya
berhubungan intim, dengan pelanggan bila tidak menggunakan pengaman (sindonews.com, 3/2-2015).
Seberapa hebat pun pengetahuan PSK posisi tawarnya sangat
lemah ketika berhadapan dengan laki-laki ‘hidung belang’ untuk meminta
laki-laki memamai kondom bukan pengaman karena pengaman adalah konotasi
sehingga tidak jelas maksudnya.
Selain itu, pihaknya juga menyosialisasikan kepada masyarakat
tentang bahaya seks bebas. (sindonews.com,
3/2-2015).
‘Hari gini’ koq masih pakai bahasa normatif yang satat moral. Apa, sih, yang dimaksud dengan ‘seks bebas’?
‘Hari gini’ koq masih pakai bahasa normatif yang satat moral. Apa, sih, yang dimaksud dengan ‘seks bebas’?
Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai melakukan hubungan
seksual dengan PSK, maka lagi-lagi pernyataan di atas adalah mitos (anggapan
yang salah) karena ngeseks dengan PSK
tidak otomatis tertular HIV/AIDS.
Kalau memang ‘seks bebas’ yang menyebabkan seseorang tertular
HIV/AIDS, maka analoginya adalah “semua orang yang pernah melalukan ‘seks bebas’
pasti sudah mengidap HIV/AIDS.” Itu artinya jumlah kasus HIV/AIDS di negeri itu
bisa mencapai jutaan jika ada mekanisme yang sistematis untuk melakukan tes HIV
terhadap semua penduduk. Soalnya, banyak di antara penduduk, terutama laki-laki
dewasa, yang pernah atau sering melakukan ‘seks bebas’.
Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS 13.898 yang terdiri atas 9.637 HIV dan 4.261
AIDS (peringat ke-4 nasional-Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 17/10-2014),
Pemprov Bali sudah wajib melakukan penangulagan yang ril yaitu menurunkan
insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasas melalui hubungan seksual dengan
PSK melalui intervensi berupa ‘memaksa’ laki-laki memakai kondom dengan
regulasi dengan sanksi hukum yang tegas. Yang perlu diingat adalah yang jadi
sasaran bukan PSK, tapi germo atau mucikari.
Tanpa intervensi dengan regulasi berupa program yang memaksa
laki-laki memakai kondom setiap kali ngeseks
dengan PSK, maka Pemprov Bali siap-siap menghadapi “tsunami AIDS”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.