* Soialisasi KPA
Kab Lamandau, Kalteng, menyesatkan karena mengabaikan laki-laki sebagai
penyebar HIV/AIDS
Oleh Syaiful W.
Harahap – AIDS Watch Indonesia
"Dari
data tahun 2014, di kabupaten Lamandau, ditemukan 7 penderita HIV/AIDS, dan
kaum ibu-ibu adalah salah satu pihak yang sangat rentan tertular penyakit
tersebut," Ini ada dalam berita “Ibu-Ibu Rentan Tertular HIV/AIDS” di kaltengpos.web.id (30/1-2015). Ini terjadi di
Kabupaten Lamandau, Kalimantan Temgah.
Pernyataan
itu disampaikan oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten
Lamandau, Multatuli.
Informasi
yang tidak lengkap itu menempatkan ibu-ibu, dalam hal ini ibu rumah tangga atau
istri, sebagai orang dengan perilaku berisiko tinggi tertular HIV, al.
melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti, di dalam dan di
luar nikah, dengan kondisi laki-laki tidak memaka kondom.
Sosialisasi
yang tidak baik itulah yang justru mendorong stigma (cap buruk) dan
diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang diketahui
mengidap HIV/AIDS. Masyarakat melihat ibu-ibu rumah tangga itulah yang
bersalah.
Cara
Multatuli itu pun bias gender karena mengabaikan laki-laki, dalam hal ini
suami, yang menularkan HIV/AIDS kepada ibu-ibu rumah tangga atau istri.
Kesan buruk
terhadap ibu-ibu rumah tangga diperkuat dengan pernyataan ini: “ .... sebagai
langkah untuk mencegah penyebarluasan HIV/AIDS, KPA kabupaten lamandau gencar
menggelar sosialisasi tentang bahaya dan pencegahan HIV/AIDS, khususnya pada
kaum ibu, baik itu ibu rumah tangga maupun ibu-ibu PKK.”
Pertama, ibu-ibu rumah tangga tertular dari suaminya sehingga
yang menjadi penyebar HIV/AIDS adalah laki-laki dalam hal ini suami mereka.
Kedua, posisi tawar istri sangat lemah sehingga mustahil
mereka berani bertanya kepada suami tentang perilaku seks suami di luar rumah.
Ketiga, kalau pun istri mengetahui perilaku seks suami di
luar rumah mereka tidak akan bisa meminta apalagi memaksa suaminya memakai
kondom setiap kali senggama.
Maka, yang
perlu ‘ditembak’ adalah laki-laki, dalam hal ini suami. Lagi pula yang perlu ke
pelacuran ‘kan laki-laki bukan ibu-ibu.
“Ibu-ibu”
(baca: pekerja seks komersial/PSK) yang ada di tempat pelauran juga tertular
HIV/AIDS dari laki-laki, bisa saja mereka sebagai suami. Lalu, ada pula
laki-laki, bisa juga suami, yang tertular HIV/AIDS dari PSK. Ini semua terjadi
karena laki-laki tidak memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK.
Dalam berita
disebutkan: “Penyebaran penyakit HIV/AIDS ternyata bukan hanya terjadi di
kota-kota besar saja. Tetapi, penyakit yang hingga kini belum ada obatnya ini,
ternyata telah merambah hingga daerah-daerah, ....”
DFisebutkan
pernyaaan di atas adalah penjelasan dari narasumber pada acara sosialisasi
bahaya dan pencegahan HIV/AIDS, di aula kantor kecamatan Nanga Bulik, Kab
Lamandau, Kaltim (30/1-2015).
Penyebaran
HIV/AIDS tidak ada kaitannya dengan daerah, wilayah, kota, kabupaten, provinsi
dan negara karena HIV/AIDS disebarkan oleh laki-laki yang mengidap HIV/AIDS.
Celakanya,
di Indonesia tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi HIV/Aidi masyarakat
sehingga orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi menjadi
mata rantai penyebaran HIV/AIDS, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah.
Disebutkan
pula: "Dari data tahun 2014, di kabupaten Lamandau, ditemukan 7 penderita
HIV/AIDS, dan kaum ibu-ibu adalah salah satu pihak yang sangat rentan tertular
penyakit tersebut."
Pertanyaan
untuk KPA Lamandau: Apakah suami ibu-ibu rumah tangga pengidap HIV/AIDS tsb,
sudah menjalani tes HIV?
Kalau
jawabannya belum, maka itu artinya bencana bagi Pemkab Lamandau karena
laki-laki atau suami-suami itu menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat
secara horizonal, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di
luar nikah.
Jika ada di
antara suami-suami itu yang mempunyai istri lebih dari satu dan menjadi
pelanggan PSK itu artinya jumlah penduduk Lamandau yang berisiko tertular HIV/AIDS
sangat besar.
Lalu, untuk
apa sosialisasi HIV/AIDS kepada ibu-ibu?
Disebutkan
bahwa kegiatan sosialisasi bahaya dan pencegahan HIV/AIDS itu sengaja diberikan
kepada ibu-ibu PKK dengan tujuan agar mereka memahami dan mempunyai wawasan
serta pengetahuan terhadap bahaya HIV/AIDS.
Pertanyaan:
Kalau ibu-ibu PKK sudah mengetahui cara-cara mencegah HIV/AIDS agar tidak
tertular dari suami, apakah ibu-ibu PKK itu bisa atau berani untuk bertanya
kepada suami mereka tentang perilaku seks suami di luar rumah?
Tentu saja
tidak bisa dan tidak berani.
Maka,
sosialiasi itu pun sia-sia. Mengantang asap karena sumber ‘malapetaka’ tidak
disentuh yaitu laki-laki sebagai penyebar HIV/AIDS.
Dikatakan pula:
"Sosialisasi ini juga kita berikan kepada para remaja ataupun pelajar ,
agar mereka mengetahui bahaya dan cara pencegahan HIV/ AIDS ini sejak dini."
Yang
menyebarkan HIV/AIDS adalah laki-laki dewasa, maka sasaran sosialiasi yang pas
adalah laki-laki dewasa bukan remaja atau pelajar karena kalau remaja atau
pelajar tertular HIV/AIDS mereka sudah ada di “terminal terakhir” yaitu tidak
menyebarkan HIV/AIDS karena mereka tidak mempunyai pasangan.
Langkah KPA
Lamandau ini tidak tepat sasaran karena yang menjadi penyebar HIV/AIDS,
laki-laki dewasa, luput dari sosialisasi. Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di
Kab Lamandau akan terus terjadi yang kelak bermuara pada “ledakan AIDS”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.