Oleh
Syaiful W. Harahap – AIDS Watch
Indonesia
Mitos
adalah anggapan yang salah. Itu pulalah yang mencelakai banyak orang, terutama
dari kalangan berduit, terkait dengan risiko tertular HIV/AIDS.
Sejak
awal epidemi HIV/AIDS secara global dan nasional penanggulangan HIV/AIDS di
negeri ini mengedepankan norma, moral dan agama. Akibatnya, yang muncul hanya
mitos.
Misalnya,
penularan HIV/AIDS dikaitkan dengan hubungan seskual di luar nikah. Celakanya,
di luar nikah dipersempit sebagai hubungan seksual dengan pelacur (pekerja seks
komersial/PSK) di lokasi atau lokalisasi pelacuran.
Nah,
itulah yang merusak pola pikir setengah orang, terutama laki-laki, yang gemar “jajan”.
Mereka memilih perempuan di luar lokasi atau lokalsasi pelacuran, seperti cewek
panggilan, cewek yang mangkal di hotel, ‘ayam kampus’ (julukan bagi mahasiswi
yang melacur), dll.
Dalam
benak mereka melakukan hubungan seksual dengan cewek panggilan dan ‘ayam kampus’
tidak ada risiko tertular HIV/AIDS karena cewek-cewek itu bukan PSK.
Bisa juga disebut pelacuran yang melibatkan cewek panggilan, 'ayam kampus', dll. sebagai pelacuran kelas atas tapi tetap tidak bebas dari risiko tertular HIV/AIDS.
Tapi,
mereka lupa karena perilaku seks cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ sama saja
dengan PSK yaitu sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang
berganti-ganti. Kondisinya kian runyam karena biasanya cewek panggilan dan ‘ayam
kampus’ punya pacar atau pasangan tetap (di kalangan PSK di Jawa Timur disebut ‘kiwir-kiwir’).
Pacar mereka itu juga sering melakukan hubungan seksual dengan PSK. Ini membuat
pacar mereka itu menjadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari PSK ke cewek
panggilan atau ‘ayam kampus’.
Maka,
risiko cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ tertular HIV/AIDS sangat tinggi,
karena:
(a)
Mereka melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan
kondsi laki-laki tidak memakai kondom, dan
(b)
Mereka melakukan hubungan seksual dengan pacar mereka dengan kondisi pacar
mereka tidak memakai kondom.
Cewek
panggilan dan ‘ayam kampus’ tidak bisa dijangkau oleh kalangan aktivis HIV/AIDS
sehingga mereka tidak mempunyai pandangan yang luas tentang upaya melindungi
diri mereka agar tidak tertular HIV/AIDS dari laki-laki yang mengencani mereka.
Mitos
tentang cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ yang bukan PSK kian menjadi pegangan
bagi laki-laki ‘hidung belang’. Apalagi ada isu bahwa cewek panggilan mempunyai
dokter pribadi.
Yang
perlu diketahui adalah pemeriksaan kesehatan rutin tidak otomatis bisa
mendeteksi HIV/AIDS jika tidak dilakukan tes HIV. Yang bisa dilakukan dokter
pribadi cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ hanyalah sebatas memeriksa IMS
(infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui
hubungan seksual, seperti GO, sifilis, klamdia, jengger ayam, virus hepatitis
B, dll.).
Lagi
pula pemeriksaan kesehatan atau tes HIV bukan vaksin karena setelah pemeriksaan
kesehatan dan tes HIV dengan hasil negatif pun hanya bertahan sampai saat
ketika tes HIV dilakukan. Soalnya, setelah tes HIV bisa saja mereka tertular
HIV/AIDS ketika mereka melayani laki-laki yang mengidap HIV/AIDS.
Di
Manokwari, Papu Barat, misalnya, ada dikotomi PSK dengan cara membedakan tempat
‘praktek’. PSK asal Pulau Jawa dan daerah lain dipaksa praktek di lokasi
pelacuran “Maruni 55” sekitar 2 jam dengan kendaraan bermotor dari Manokwari. Sedangkan ‘cewek manado’
diizinkan buka praktek di hotel di kota. “Pak, tolong beritakan ini tidak adil.
Mosok kami dipaksa di sini (Maruni 55-pen) sedangkan cewek manado boleh di
hotel.” Ini permintaan seorang PSK di Maruni 55 dalam satu kunjungan pelatihan
wartawan di kota itu (Lihat: ‘Praktek’ Pekerja SeksKomersial (PSK) di Manokwari, Papua Barat, ‘Dikapling’).
Cewek
panggilan dan ‘ayam kampus’ memasang tarif yang sangat tinggi untuk ‘short time’
(1 sampai 2 jam). RA, mahasiswi UIN Bandung, misalnya dikabarkan pasang tarif
Rp 25 juta per dua jam. Jumlah ini belum termasuk sewa kamar hotel, minuman dan
makanan, serta rokok.
Maka,
tidak heran kalau yang banyak mem-booking (memesan) RA adalah pejabat. Ini logis karena
hanya merekalah yang dengan mudah menghambur-hamburkan uang karena mudah
mendapatkanya, al. melalui koruspsi atau tanda tangan.
Kota
kecil seperti Kota Kendari di Sulawesi Tengara dan Kota Parepare di Sulawesi
Selatan mempunyai armada taksi. Kotanya
kecil, tapi taksi banyak. Ini taksi resmi memakai argometer.
“Ya,
untuk atar jemput ceweklah, Pak,” kata seorang sopir taksi di Kota Kendari.
Cewek?
Ya,
cewek panggilan. Tetangga cewek panggilan itu kan tidak curiga karena diantar
jemput taksi.
Apakah
sopir taks tsb. bisa mendapat uang sejumlah setoran yang ditentukan perusahaan?
“Bisa,
Pak,” ujar sopir taksi tadi sambil menjelaskan bahwa seorang sopir taksi punya
dua atau tiga cewek langganan. Jika dijemput tarifnya sekitar Rp 100.000 Ini
belum termasik tips kalau si cewek dapat ‘mangsa’ yang royal. Nah, kalau semua
minta dijemput tentulah setoran taksi sudah lunas karena setoran sekitar Rp
300.000 per hari (Lihat: “Selangit”,Tarif PSK di Kota Kendari, Sultra).
Di
Kota Kendari tarif cewek panggilan minimal Rp 500.000 untuk short time dan
umumnya dilakukan di sebuah hotel berbintang di dekat pantai. “Yang pesan
banyak pejabat, Pak,” kata seorang sopir taksi yang mengaku punya tiga cewek
panggilan sebagai langganan tetap. Di hotel berbintang itu memang tidak
sembarang orang bisa masuk sehingga sangat tertutup.
Di
beberapa daerah belakangan ini kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada kalangan
berduit, mereka itu adalah pejabat, aparat, PNS, karyawan dan pengusaha karena
hanya mereka yang mampu membayar cewek panggilan atau ‘ayam kampus’.
Sudah
saatnya pemerintah memupus mitos ‘risiko tertular HIV/AIDS hanya dengan PSK’
karena cewek panggilan, ‘ayam kampus’, cewek kafe, cewek pub, cewek pemijat,
dll. dalam prakteknya sama persis dengan PSK yaitu melakukan hubungan seksual
tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti.
Tampaknya,
pemerintah tetap akan memakai pijakan norma, moral dan agama dalam
menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. Itu artinya mitos akan tetap dikedepankan
dan pada akhirnya menggelembungkan kasus HIV/AIDS sehingga kelak sampai pada ‘ledakan
AIDS’. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.