Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS WatchIndonesia
“Sebagian
besar penderita baru ini sudah menderita Aids. Harusnya terdeteksi HIV terlebih
dahulu, tapi ini malah langsung terdeteksi Aids.” Ini pernyataan Petugas
Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) RSUD Wonosari, Aris Suryanto, dalam
berita “Pengidap HIV/AIDS di Gunungkidul Alami Peningkatan” di tribunjogja.com (23/2-2015).
Pernyataan Aris ini menggambarkan pemahaman yang tidak komprehensif
tentang HIV/AIDS sebagai fakta medis di ranah realitas sosial, karena:
(1) AIDS bukan penyakit sehingga tidak (akan) pernah ada orang yang
menderita AIDS atau HIV/AIDS. Adapun penyebutan penyakit untuk HIV/AIDS hanya
sebatas terminologi yang menunjukkan ada aspek medis yang lebih dari 70 gejala terkait
dengan infeksi HIV (AIDS And The Third World, Panos, London, 1987). Itu artinya
menyebutkan penyakit HIV/AIDS hanya sebatas terminologi bukan diagnosis
penyakit.
(2) Karena AIDS bukan virus atau penyakit tapi kondisi tubuh dan
kesehatan orang-orang yang sudah tertular HIV disebut masa AIDS, maka AIDS
bukan dideteksi. Langkah pertama adalah mendeteksi apakah HIV ada di dalam
darah. Dengan memakai reagent ELISA untuk tes HIV yang dicari di darah bukan
virus (HIV), tapi antibody HIV. Secara alamiah tubuh akan memproduksi antibody
untuk melawan setiap penyakit yang masuk ke dalam tubuh, baik bakteri, kuman
dan virus.
(3) Yang tepat adalah HIV pada banyak orang terdeteksi sudah di masa AIDS
bukan ‘langsung terdeteksi AIDS’ karena masa AIDS yang secara statistik terjadi
pada rentang waktu 5-15 tahun dikenali dengan gejala-gejala yang ada. Tapi,
gejala-gejala tsb. bisa dikaitkan dengan AIDS jika hasil tes HIV reaktif
(positif).
Di lead berita disebutkan: Kasus HIV/ Aids
di Gunungkidul semakin memprihatinkan. Dalam waktu dua bulan terakhir, tercatat
ada sembilan penderita baru yang teridentifikasi saat melaksanakan Voluntary
Counseling Test (VCT) di RSUD Wonosari.
Yang
memprihatinkan adalah Pemkab Gunung Kidul, DI Yogyakarta, tidak menjalankan
program yang konkret dan sistematis untuk menanggulangi insiden penularan HIV
baru (hulu). Perda AIDS DI Yogyakarta pun hanya mengumbar moral untuk
menanggulangi penyebarang HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta).
Selain
itu perlu dijelaskan bahwa VCT bukan tempat tes, tapi sistem atau cara yaitu
tes HIV secara sukarela dengan konseling. Jadi, bukan terdeteksi saat
melaksanakan VCT tapi terdeteksi ketika tes HIV dengan cara VCT.
Disebutkan lagi
dalam berita: ..... selama Januari dan
Februari, klinik VCT yang ada di rumah sakit melaksanakan pemeriksaan terhadap
28 pasien. Dari jumlah tersebut, sembilan orang atau 30 persennya positif
terjangkit HIV/Aids.
Isitilah yang
lebih pas dan arif adalah tertular atau terinfeksi HIV, bukan positif
terjangkit HIV/Aids.
Aris pun disebutkan
mengatakan: “Ini sudah warning, 30 persen dari 28 orang yang
memeriksakan ke klinik VCT RSUD Wonosari positif HIV/ Aids.”
Kalau sudah warning, apa yang Anda kerjakan agar
tidak warning lagi?
Dengan cara-cara
yang sekarang dilakukan di banyak daerah yaitu mendeteksi orang-orang yang
sudah tertular HIV/AIDS tidak akan menurunkan warning karena langkah ini di hilir. Artinya, Anda menunggu dulu
ada penduduk Gunung Kidul yang tertular HIV/AIDS baru dites di Klinik VCT.
Yang diperlukan
adalah langkah di hulu yaitu menurunkan insiden penularan HIV baru, terutama
pada laki-laki yang tertular melalui hubungan seksual tanpa memakai kondom
dengan pekerja seks komersial (PSK).
Program yang
dijalankan, seperti yang sudah berhasil di Thailand, adalah intervensi berupa
regulasi yang mewajibkan laki-laki selalu memakai kondom setiap melakukan
hubungan seksual dengan PSK. Program ini bisa berjalan efektif jika pelacuran
dilokalisir. Celakanya, di Gunung Kidul, seperti juga daerah lain di Indonesia,
pelacuran tidak dilokalisir sehingga terjadi di sembarang tempat dan sembarang
waktu.
Selama Pemkab Gunung
Kidul tidak menjalankan program penanggulangan yang konkret di hulu, maka akan
terus warning karena insiden
penularan HIV baru terus terjadi. Laki-laki yang tertular HIV tsb. menjadi mata
rantai penyebaran HIV di masyarakat Gunung Kidul, al. melalui hubungan seksual
tanpa memakai kondom di dalam dan di luar nikah. Penyebaran HIV ini akan
bermuara pada “ledakan AIDS”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.