Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS WatchIndonesia
"Saat
ibu yang hamil didiagnosis HIV harus langsung minum Antiretroviral (ARV),
jangan ditunda-tunda lagi. Semakin dini usia kandungan saat terdiagnosis,
semakin baik” Ini dikatakan oleh aktivis HIV/AIDS di Yayasan
Spiritia, Chris Green dalam berita “Cegah Janin Tertular HIV, Butuh Intervensi
Pengobatan Sesegera Mungkin” (beritasatu.com, 12/1-2015).
Babe, panggilan akrab Chris Green, benar. Tapi, yang diharapkan adalah
jangan sampai ada lagi, paling tidak berkurang, perempuan, bisa istri atau
pasasangan, yang tertular HIV/AIDS dari suami.
Pemberian obat ARV kepada perempuan hamil adalah langkah di hilir. Itu
artinya pemerintah membiarkan banyak perempuan tertular HIV dari suaminya.
Laki-laki, al. suami, yang menularkan HIV/AIDS kepada istrinya terutama
tertular dari pekerja seks komersial (PSK) ketika mereka melakukan hubungan
seksual dengan kondisi PSK mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tsb. tidak memakai
kondom.
Intervensi pemerintah untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki dewasa, al. suami, bisa dilakukan secara konkret yaitu memaksa
laki-laki yang ngeseks dengan PSK memakai kondom. Tapi, ini hanya bisa dilakukan
jika pelacuran dilokalisir dengan regulasi. Itu artinya intervensi bisa
dilakukan terhadap laki-laki yang ngeseks dengan PSK langsung (PSK yang kasat
mata, seperti di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dll.) dengan
syarat pelacuran dilokalisir.
Adalah hal yang mustahul melokalisir pelacuran di negeri ini karena sejak
awal reformasi terjadi gerakan masif menutup tempat-tempat pelacuran.
Akibatnya, praktek pelacuran terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu yang tidak terjangkau untuk melakukan
sosialisasi seks aman yaitu selalu memakai kondom jika ngeseks dengan PSK.
Celakanya, laki-laki juga banyak yang ngeseks dengan PSK tidak langsung
yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek panggilan, ABG, ayam kampus,
cewek kafe, cewek pub, cewek pemijat, cewek gratifikasi seks, dll. Intervensi
tidak bisa dilakukan terhadap laki-laki yang ngeseks dengan PSK tidak langsung
karena praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu.
Anjuran Babe itu pun tidak menyeluruh karena pemerintah tidak mempunyai
regulasi yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Yang
ada hanya anjuran dan itu pun terhadap perempuan hamil yang memeriksakan
kehamilan atau berobat ke sarana kesehatan pemerintah, seperti Posyandu, bidan
desa, puskesmas dan rumah sakit.
Sedangkan perempuan hamil yang tidak memeriksakan diri ke sarana kesehatan
pemerintah lolos dari pendeteksian HIV/AIDS.
Yang lebih celaka lagi adalah pemerintah pun tidak mempunyai regulasi yang
sistematis untuk memaksa laki-laki atau suami perempuan yang terdeteksi
mengidap HIV/AIDS untuk menjalani tes HIV. Bahkan, pada banyak kasus suami dari
istri yang terdeteksi HIV/AIDS menolak untuk menjalani tes HIV.
Maka, laki-laki atau suami yang menularkan HIV kepada perempuan hamil
menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, al.
melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Sudah saatnya pemerintah membuat regulasi yang konkret dan sistematis
untuk:
(1) Mewajibkan laki-laki memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK dan
(2) Mewajibkan perempuan hamil dan pasangannya menjalani konseling HIV/AIDS
yang selanjutnya menjalani tes HIV/AIDS.
Tanpa regulasi untuk menjalankan dua program di atas, maka insiden infeksi
HIV pada ibu rumah tangga yang selanjut pada bayi yang mereka lahirkan akan
terus terjadi. Ini akan mendorong “ledakan AIDS”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.