Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia
“Tiga
penderita HIV/AIDS yang masih menjalani perawatan instensif di RSU M Yunus
Bengkulu dan RSU Jamil Padang, Sumbar tersebut, keberadaanya terus dipantau
pertugas Dinkes setempat. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi jangan sampai
mereka menularkan penyakit tersebut kepada orang lain. Jika ini terjadi maka
penderita penyakit mematikan tersebut, akan bertambah di Mukomuko (Prov
Bengkulu-pen.).”
Pernyataan
di atas ada dalam berita “6
Penderita AIDS Di Mukomuko Meninggal” di sp.beritasatu.com (7/1-2015).
Jika pernyataan tsb.
disimak maka hal itu menunjukkan instansi yang terkait langsung dengan HIV/AIDS
di Bengkulu dan wartawan saja tidak memahami epidemi HIV/AIDS dengan baik.
Selanjutnya sudah bisa dipastikan penanggulangan pun hanya sebatas orasi moral.
HIV/AIDS Tidak Mematikan
Pertama,
dalam berita tidak disebutkan penyakit yang menyebabkan enam pengidap HIV/AIDS
meninggal sehingga ada kesan keenam orang itu mati karena HIV/AIDS. Ini salah
besar karena HIV/AIDS tidak mematikan penderitanya.
Kedua,
mengapa tiga pengidap HIV/AIDS tsb. dirawat? Apa penyakit yang menyebabkan
mereka harus dirawat? Tentu saja bukan karena HIV/AIDS.
Ketiga,
jika tes HIV dilakukan sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang
baku, maka tidak ada lagi kekhawatiran pengidap HIV/AIDS yang sudah terdeteksi
akan menyebarkan HIV. Ketika mereka mendapatkan konseling sebelum dan sesudah
tes HIV mereka sudah berjanji pada diri sendiri bahwa “saya akan menghentikan
penyebaran HIV mulai dari diri saya”.
Keempat,
sebelum tiga pengidap HIV/AIDS itu terdeteksi dan dirawat mereka sudah
menularkan HIV ke orang lain, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah. Kalau di antara tiga pengidap HIV/AIDS ada pekerja
seks komersial (PSK), maka sudah ratusan bahkan ribuan laki-laki yang berisiko
tertular HIV yaitu laki-laki yang ngeseks
tanpa kondom dengan PSK tsb.
Kelima,
disebutkan HIV/AIDS sebagai penyakit yang mematikan. Ini salah karena belum ada
kasus kematian pengidap HIV/AIDS karena HIV atau karena AIDS. Kematian pada
pengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit yang muncul pada masa AIDS (secara
statistik antara 5-15 tahun setelah terular HIV) yang disebut infeksi
oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Keenam,
biar pun tiga orang pengidap HIV/AIDS yang sedang dirawat itu dirantai atau
dikarantina penyebaran HIV/AIDS di Mukomuko tetap terus terjadi karena secara
epidemiologis banyak orang yang sudah tertular HIV atau mengidap HIV/AIDS tidak
menyadarinya sehingga tanpa sadar juga mereka menularkan ke orang lain,
terutama melalui hubungan seksual tanpa kondon di dalam dan di luar nikah.
Penyebaran HIV/AIDS di
Mukomuko akan terus terjadi jika:
(a) Ada laki-laki
dewasa penduduk Mukomuko yang ngeseks tanpa kondom dengan perempuan yang
berganti-ganti di dalam dan di luar nikah di Mukomuko atau di luar Mukomuko,
dan
(b) Ada laki-laki
dewasa penduduk Mukomuko yang ngeseks tanpa kondom dengan PSK di Muko-moko atau
di luar Mukomuko.
Pemkab Mukomuko mungkin
membusungkan dada: “Di Mukomuko tidak ada PSK.” Ya, itu benar kalau yang
dimaksud PSK yang kasat mata yaitu yang ‘praktek’ di lokalisasi pelacuran
karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang dibentuk dengan regulasi resmi.
Tapi, praktek pelacuran
yang melibatkan PSK yang tidak kasat mata tetap ada di Mukomuko, misalnya
menyamar melalui cewek panggilan ke hotel, cewek pemijat di panti pijat
plus-plus, serta melalui hubungan seksual dalam nikah dengan praktek
ganti-ganti pasangan, se;perti kawin kontrak, nikah mut’ah, dll.
Tentu saja Pemkab
Mukomuko tidak bisa mengawai perilaku semua laki-laki dewasa penduduk Mukomuko,
maka akan ada laki-laki penduduk Mukomuko yang tertular HIV melalui dua
kegiatan di atas. Yang tertular akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di
Mukomuko, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
Kasus HIV/AIDS yang
terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga membuktikan ada laki-laki dewasa, suami,
peduduk Mukomuko yang melalukan dua kegiatan di atas. Pada gilirannya akan
banyak pula bayi yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS yaitu yang ditularkan ibu
mereka yang mengiap HIV/AIDS karena tertular
dari suami.
Mitos AIDS
Untuk itu Pemkab
Mukomuko perlu menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang mengatur agar
perempuan hamil menjalani konseling HIV/AIDS bersama suami atau pasangannya dan
selanjutnya menjalani tes HIV. Ini diperlukan untuk mendeteksi HIV/AIDS pada
perempuan hamil agar bisa dijalankan program pencegahan dari-ibu-ke-anak.
Yang bisa diawasi yaitu
melalui intervensi adalah pada kegiatan “laki-laki dewasa penduduk Mukomuko
yang ngeseks tanpa kondom dengan PSK
di Mukomuko”, tapi dengan syarat PSK dilokalisir di lokalisasi pelacuran.
Intervensi yang dilakukan adalah memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK.
Namun, adalah hal yang
mustahil pelacuran di Kab Mukomuko dilokalisir. Maka, praktek pelacuran yang
melibatkan PSK pun terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang
mendorong insiden infeksi HIV baru.
Ini pernyataan Kabid Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan Kabupaten Mukomuko, Melia Fajriani SKM kepada SP "Jadi, tiga penderita HIV/AIDS ini keberadaanya terus kita pantau disamping kesehatannya. Ini semua kita lakukan guna mengantisipasi jangan sampai penderita HIV/AIDS di daerah ini bertambah lagi ke depan."
Melia
ini rupanya percaya diri bahwa di Mukomuko hanya tiga pengidap HIV/AIDS yang
sedang dirawat itu saja penduduk yang mengidap HIV/AIDS. Tentu saja pandangan
Melia ini utopia karena Melia tidak bisa mengawasi semua laki-laki agar mereka
tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS. Selain itu semua penduduk
Mukomuko belem dites HIV sehingga tidak ada jaminan bahwa tidak ada penduduk
Mukomuko yang mengidap HIV/AIDS selain yang tiga orang tsb.
Pernyataan
Melia ini lagi-lagi menyuburkan mitos (anggapan yang salah), yaitu: Untuk itu,
dia mengimbau masyarakat Mukomuko agar tidak hubungan seks dengan bukan
pasangan resmi serta menjuahi penggunaan narkoba. Sebab, kedua hal ini dapat
menyebabkan orang terjangkit penyakit HIV/AIDS.
Penularan
HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi karena kondisi pada saat terjadi
hubungan seksual yaitu salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan
laki-laki atau suami tidak memakai kondom bukan karena sifat hubungan seksual
(bukan pasangan resmi). Isteri yang tertular dari suaminya tejadi melalui
hubungan seksual dengan pasangan yang sah dan resmi.
Penanggulangan
HIV/AIDS di Mukomuko hanya mengandalkan sosialisasi bahaya HIV/AIDS. Ini sudah
dilakukan tiga dekade, tapi hasilnya nol besar karena materi yang disampaikan
pada sosialisasi tidak akurat. Materi hanya mitos sehingga banyak orang yang
tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan.
Disebutkan pula: Selain itu, Dinkes Mukomuko juga rutin melakukan pemeriksaan kesehatan kepada masyarakat yang beresiko tinggi terjangkit HIV/AIDS, seperti pekerja seks komersial (PSK), pekerja panti pijat dan karyawan tempat hiburan lainnya.
Yang menjadi persoalan adalah laki-laki dewasa yang ngeseks dengan PSK dan pemijat tidak bisa dikenali sehingga mereka tidak tercakup tes HIV.
Lagi
pula kalau ada PSK atau pemijat yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, persoalan
bukan pada PSK dan pemijat tapi pada laki-laki yang menularkan HIV/AIDS kepada
PSK dan pemijat serta laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari PSK dan pemijat.
Laki-laki
dewasa yang menularkan HIV/AIDS ke PSK dan pemijat serta laki-laki yang
tertular HIV/AIDS dari PSK dan pemijat menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS
secara horizongal di masyarakt Mukomuko, al. melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah.
Tanpa
program yang konkret dan sistematis untuk menanggjlangi HIV/AIDS, penyebaran
HIV/AIDS akan terus terjadi di Mukomuko yang kelak bermuara pada “ledakan AIDS”.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.