Oleh
Syaiful W. Harahap – AIDS WatchIndonesia
Sejak
pemerintah mengakui kasus HIV/AIDS ada di Indonesia berdasarkan kasus kematian
wisatawan Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali (1987) tidak ada program
penanggulangan HIV/AIDS yang konkret.
Dengan
jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS 206.084
yang terdiri atas 150.285 HIV dan 55.799 AIDS dengan 9.796 kematian per 30
September 2014 seperti yang dilaporkan oleh Ditjen PP & PL, Kemenkes RI,
tanggal 17 Oktober 2014 menunjukkan penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara
horizontal, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah terus terjadi.
Bukti
bahwa insiden infeksi HIV terus terjadi dapat dilihat dari kasus penemuan
ibu-ibu rumah tangga dan bayi yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Ibu-ibu rumah
tangga tsb. tertular dari suaminya yang al. tertular melalui hubungan seksual
tanpa kondom di dalam dan di luar nikah di Indonesia dan di luar negeri.
Yang
lebih celaka lagi adalah kasus yang dilapoirkan Kemenkes RI tsb. (), tidak
menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat.
Epidemi
HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang dilaporkan
atau terdeteksi, dalam hal ini 206.084, digambarkan sebagai puncak gunung es
yang muncul ke atas permukaan air laut dan kasus yang tidak terdeteksi
digambarkan sebagai bongkahan gunung es yang tersembunyi di bawah permukaan air
laut.
Itu
artinya ada penduduk dewasa dewasa, laki-laki dan perempuan, di masyarakat yang
sudah tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Ini terjadi karena mereka tidak
menyadari sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala
atau ciri-ciri yang khas HIV/AIDS pada fisik mereka. Bahkan, tidak ada pula
keluhan penyakit yang khas terkait dengan HIV/AIDS.
Akibatnya,
orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak menyadarinya sehingga mereka pun
menularkan HIV/AIDS kepada orang lain, al. melalui hubungan seksual tanpa
kondom, di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari. Merekalah yang menjadi
mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.
Banyak
“pintu masuk” HIV/AIDS, tertutama melalui hubungan seksual, ke masyarakat
Indonesia, tapi hanya beberapa yang bisa ditanggulangi secara konkret.
“Pintu
masuk” tsb. rancu karena informasi HIV/AIDS selama ini selalu dibumbui dengan
norma, moral dan agama sehingga mengaburkan fakta HIV/AIDS. Akibatnya, yang
muncul hanya mitos (anggapan) yang salah terhadap HIV/AIDS.
Dengan
menetapkan turis bule seorang gay yang mati di RS Sanglah, Denpasar, Bali,
sebagai kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia (1987) saja pemerintah sudah
menyuburkan mitos, yaitu:
(a)
HIV/AIDS adalah penyakit gay,
(b)
HIV/AIDS adalah penyakit bule, dan
(c)
HIV/AIDS ada di luar negeri.
Tiga
hal itu berkembang terus sampai sekarang sehingga tetap jadi pegangan di banyak
orang. Kondisinya kian runyam karena muncul pula pernyataan pejabat, bahkan
dari lingkungan departemen kesehatan, bahwa:
(d)
HIV/AIDS menular karena zina,
(e)
HIV/AIDS menular di lokalisasi pelacuran,
(f)
HIV/AIDS meneluar melalui perselingkuhan,
(g)
HIV/AIDS menular melalui hubungan seksual di luar nikah,
(h)
HIV/AIDS menular melalui hubungan seksual dengan yang bukan pasangan resmi,
(i) HIV/AIDS menuilar melalui homoseksual,
(j)
HIV/AIDS menlar melalui hubungan seksual pranikah, dst.
Mitos-mitos
tsb. mencelakai banyak orang, misalnya, seorang laki-laki merasa tidak berisiko
tertular HIV/AIDS karena dia melakukan hubungan seksual bukan di lokalisasi
pelacuran, bukan dengan PSK, dll.
Yang
paling merusak akal sehat dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah penggunaan
jargon “seks bebas” sebagai penyebab HIV/AIDS. Sampai hari ini dalam berbagai
kesempatan dan pemberitaan jargon “seks bebas” tetap dijadikan “ikon” penyebab
HIV/AIDS.
Tidak
jelas apa yang dimaksud dengan “seks bebas”, tapi jika diamati yang disebut “seks
bebas” adalah berizina dengan PSK di lokalisasi pelacuran. Nah, ini juga
mencelakakan karena banyak orang yang merasa tidak melakukan “seks bebas”
karena mereka tidak berzina dengan pelacur (PSK).
Sejak
awal epidemi tanggapan pemerintah hanya sebatas reaktif dengan pernyataan
moralistis dengan (hanya) mengajak masyarakat menjauhi “seks bebas”.
Maka,
amatlah wajar kalau kemudian insiden infeksi HIV/AIDS baru terus terjadi yang
mendorong penyebaran HIV/AIDS di Indonesia karena banyak laki-laki yang merasa
tidak melakukan “seks bebas”.
Selama
“pintu masuk” HIV/AIDS tidak ditangani, maka selama itu pula penyebaran
HIV/AIDS di Indonesia akan terus terjadi karena setiap saat terjadi insiden
infeksi HIV baru, al. pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual
yang bukan “seks bebas” yaitu dengan cewek panggilan, ayam kampus, ABG, cewek
kafe, cewek pub, cewek gratifikasi seks, dll. di hotel berbintang atau
apartemen mewah.
Jika
pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla “pintu masuk”
HIV/AIDS tidak diintervensi dengan program yang konkret, maka penyebaran
HIV/AIDS di Indonesia kelak bermuara pada “ledakan AIDS”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.