23 Desember 2015

PSK Tiap Bulan Cek Kesehatan, Apakah PSK Bisa Dipastikan ‘Bebas AIDS’?



Tanya Jawab AIDS No 2/Desember 2015

Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap di AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke: SW Harahap, Markas BaraJP, Jl. Bhinneka Raya No 3, Cawang Baru, Jakarta 13340, (2) Telepon (021) 8566755, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Beberapa hari yang lalu saya melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Pada mulanya saya pakai kondom, tapi belakangan kondom dilepas oleh PSK. Saya khawatir kena AIDS, tapi kata PSK itu saya tidak perlu takut.

Saya tanya: “Apakah aman tidak pakai kondom?”

PSK: “Aman. Tiap tiga bulan saya cek darah.”

Waktu itu si PSK bilang baru saja cek darah. Pertanyaan saya: Apakah saya berisiko tertular HIV?

Via SMS (20/12-2015)

Jawab: Yang perlu dipahami adalah hasil tes HIV bukan vaksin. Artinya, kalau seseorang, apalagi PSK yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena sering ganti-ganti pasangan, menjalani tes HIV dengan hasil nonreaktif (negatif) hasil itu hanya berlaku sampai saat darah diambil.

Setelah itu tidak bisa dijamin seseorang, terutama PSK, hasil tes HIV-nya akan tetap negatif. Bisa saja setelah darah diambil ybs. melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV, seperti melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, kawin kontrak, dll., atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK, sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.

Maka, pernyataan PSK itu tidak bisa jadi pegangan karena setelah tes HIV PSK itu sudah melayani beberapa laki-laki sehingga ada risiko tertular HIV jika di antara laki-laki yang dilayaninya mengidap HIV/AIDS.

Itu artinya tes HIV dengan hasil negatif, apalagi hanya cek kesehatan, tidak jaminan seseorang akan selamanya HIV-negatif.

Maka, ada risiko tertular HIV jika PSK yang melayani Anda mengidap HIV/AIDS. Memang, probabilitas tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pengidap HIV/AIDS adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali risiko terjadi penularan.

Persoalannya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksula yang ke berapa terjadi penularna HIV. Bisa yang pertama, kedua, kelima, kelima belas, ketujuh puluh, dst. Maka, setiap hubungan seksual yang berisiko ada risiko penularan HIV. Untuk itu silakan tes HIV di klinik VCT yang direkomendasi pemerintah, seperti di Puskesmas dan rumah sakit. ***

20 Desember 2015

Penanggulangan AIDS di Papua dengan “Kondom Alam”



Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

“Menyambut Hari AIDS Sedunia pemerintah dikiritik lantaran tidak serius memerangi AIDS di Papua.” Ini pernyataan dalam berita “Papua Kewalahan Perangi Infeksi AIDS” (dw.com, 1/12-2015).

Laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI (12/5-2015) disebutkan sampai 31 Maret 2015 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Papua adalah 29.988 yang terdiri atas 18.147 HIV dn 11.841 AIDS. Jumlah kasus ini menempatkan Papua pada peringkat ketiga secara nasional setelah Jakarta dan Jawa Timur.

Dalam berita ini tidak jelas apa yang dimaksud dengan tidak serius. Lagi pula risiko tertular HIV sangat tergantung pada perilaku orang per orang. Informasi tentang cara-cara mencegah HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual sudah gencar dilakukan. Bahkan, di beberapa lokasi pelacuran ada penjangkuan LSM dan disediakan pula “ATM Kondom”.

Sunat vs Sirkumsisi

Celakanya, masyarakat menolak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokasi pelacuran. Kondisinya kian rumit karena ada bupati dan pendeta di Papua yang melarang pemakaian kondom. Mereka membuat semboyan “Seks Yes, Kondom No”.

Karena pemakaian kondom dikait-kaitkan dengan populasi, maka ada pilihan agar tidak mengganggu populasi penduduk asli dan tidak menyebarkan HIV, yaitu: selalu memakai kondom jika melakukan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV. Hubungan seksual yang berisiko tertular HIV adalah:

- Hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, perselingkuhan, kawin-kontrak, dll.

- Hubungan seksual tanpa kondom dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung (PSK yang kasat mata yang ada di lokasi pelacuran dan di jalanan) dan PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat, cewek kafe, cewek bar, ABG, ayam kampus, cewek bispak, cewek bisyar, cewek artis online, dll.).

Belakangan Pemprov Papua ‘mengganti’ kondom dengan sunat atau sirkumsisi. Ada pendapat yang mengatakan sunat bisa menurunkan risiko, sekali lagi menurunkan risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Namun, di Papua pernyataannya justru menyesatkan yaitu sunat mencegah penularan HIV/AIDS.

Maka, kondom pun digantikan dengan sunat sebagai cara mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. Bisa saja terjadi laki-laki yang disunat tidak lagi memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual, al. dengan PSK, karena merasa penisnya sudah ‘memakai’ kondom (Sunat Vs Kondom: Sunat Juga (Bisa) Mendorong Zina dan Pelacuran).

Kalau sunat bisa mencegah penularan HIV tentulah orang-orang yang disunat, al. pemeluk agama Islam, tidak akan (banyak) yang tertular HIV. Tapi, fakta menunjukkan kasus HIV/AIDS juga banyak terdeteksi di negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam.

Upaya penanggulangan, khususnya melalui hubungan seksual dengan PSK, pun tidak bisa lagi efektif karena lokasi pelacuran, seperti Tanjung ‘Turki’ Elmo di tepi Danau Sentani, Kab Jayapura, ditutup oleh pemerintah setempat. Akibatnya, praktek pelacuran yang melibatka PSK bertembaran tanpa bisa dijangkau oleh LSM yang selama ini melakukan advokasi untuk pemakaian kondom.

Yang lebih parah terjadi di Provinsi Papua Barat. Pelacur asal P Jawa dipaksa praktek di lokasi “Maruni 55”, sekitar 3 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Manokwari, sedangkan pelacur asal Manado boleh praktek di penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang di Manokwari. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS di Manokwarai banyak terdeteksi pada pegawai, karyawan dan aparat karena mereka punya untuk membeli seks dengan bayaran kamar yang mahal (‘Praktek’Pekerja Seks Komersial (PSK) di Manokwari, Papua Barat, ‘Dikapling’).

Disebutkan lagi: Selain itu fasilitas kesehatan yang kecil dan dibiayai dari kantong pribadi seperti Hostel Waena tidak akan mampu meredam wabah yang sedang mendekap Papua.

Menyelamatkan Bayi

HIV/AIDS bukan wabah karena tidak menular secara mudah melalui udara, air dan pergaulan sosial. Odha (Orang dengan HIV/AIDS) baru memerlukan perawatan jika sudah kena penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti malaria, TBC, dll. Lagi pula sarana kesehatan pemerintah pun tersedia secara luas.

Selain itu apakah ada jaminan laki-laki dewasa Papua tidak ada yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK di luar Papua?

Tentu saja tidak ada jaminan. Maka, bisa saja laki-laki dewasa Papua tertular HIV di luar Papua dan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Papua, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Di bagian lain disebutkan: "Pendekatan untuk memerangi penyebaran HIV sudah ketinggalan zaman," kata Aditya Wardhana, aktivis Koalisi Indonesia AIDS. Menurutnya upaya pemerintah selama ini terkonsentrasi pada pekerja seks komersil. Padahal AIDS telah menyebar ke hampir semua lapisan masyarakat di Papua.

Sampai kapan pun PSK tetap jadi bagian dari penanggulangan HIV/AIDS karena:

(a) Laki-laki pengidap HIV/AIDS akan menularkan HIV ke PSK di lokasi atau di luar lokasi pelacuran, dan


(b) Laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK yang mengidap HIV/AIDS berisiko tertular HIV jika tidak memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual.

Karena pelacuran tidak dilokalisir, maka yang bisa dilakukan sekarang hanya menyelamatkan bayi agar tidak tertular dari ibu yang mengandungnya. Tentu saja ini memerluka regulasi agar mempunyai kekuatan hukum, yaitu:

1.   Mewajibkan konseling HIV/AIDS pasangan ketika istri hamil.

2.  Mewajibkan suami tes HIV jika hasil konseling menunjukkan perilaku seks suami
     berisiko tertular HIV/AIDS.’

3.  Mewajibkan istri yang hamil tes HIV jika hasil tes suami positif.

Regulasi bisa dalam bentuk peraturan bupati atau walikota atau peraturan daerah (perda). Dengan langkah ini bayi-bayi yang akan lahir bisa diselematkan dari risiko tertular HIV. Selain itu suami-suami yang terdeteksi HIV pun bisa diajak menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya.

Itu artinya mata rantai penyebaran HIV diputus melalui suami-suami yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Jika tidak ada langkah yang konkret, maka Papua tidak menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***

18 Desember 2015

AIDS pada Remaja Ada di Posisi Terminal Terakhir



* AIDS pada Laki-laki Dewasa (Akan) Tersebar Luas ....


Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

"Terhitung sampai Maret 32,2% merupakan persentase usia 20-29, dan 3,1% usia 15-19 yang terkena AIDS." Ini disampaikan oleh Kepala Pusat Promosi Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Edi Gustina, dalam berita “Hari AIDS Sedunia, Menkes Gandeng Remaja Indonesia” (detiknews, 19/12-2015).

Angka-angka ini dipakai untuk menjadikan remaja sebagai objek. Padahal, ada fakta yang ‘digelapkan’ terkait dengan data tsb, yaitu:

(1) Kasus HIV/AIDS pada usia 20-29 (32,2 persen) dan usia 15-19 (3,1 persen) sebagian besar terdeteksi pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya).

(2) Kasus HIV/AIDS pada usia 20-29 dan usia 15-19 banyak terdeteksi karena mereka wajib menjalani tes HIV ketika hendak masuk pusat atau panti rehabilitasi.

Dua fakta di atas selalu digelapkan agar remaja jadi ‘sasaran tembak’ sementara kalangan dewasa yang melakukan hubungan seksual berisiko, di dalam dan di luar nikah, tidak terdeteksi karena tidak ada mekanisme untuk memaksa mereka menjalani tes HIV. Dampaknya justru terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga ketika mereka memeriksakan kehamilan atau ketika hendak persalinan.

Lagi pula, maaf, jika remaja tertular HIV itu sudah ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai pasangan tetap. Bandingkan dengan laki-laki dewasa yang mempunyai istri, pasangan tetap, selingkuhan, kawin-kontrak, dll. jika tertular HIV akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Di lead berita disebutkan: Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menghadiri Hari AIDS sedunia. Ia mengajak remaja berpartisipasi dalam kampanye pencegahan HIV/AIDS. 

Celakanya, dalam berita tidak ada keterangan dari Menkes Nila tentang cara remaja berpartisipasi dalam pencegahan HIV/AIDS.

Satu hal yang perlu diingat adalah dorongan biologis terkait dengan hasrat seks sangat kuat di masa remaja. Penyaluran dorongan biologis tidak bisa diganti dengan kegiatan lain di luar hubungan seksual atau kegiatan yang terkait dengan (organ-organ) seks.

Adalah hal yang naif ketika hasrat seks seorang remaja memuncak dianjurkan untuk olahraga. Bayangkan, apakah layak di tengah malam buta mereka harus lari-lari kecil di halaman atau jogging di jalan raya hanya untuk meredam gejolak hasrat seks.

Memang, penyaluran dorongan seksual melalui hubungan seksual akan berhadapan dengan masalah, yaitu:

(a) Kalau dengan pacar ada risiko kehamilan sehingga terjadi kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) yang berimbas pada masalah sosial di masyarakat.

(b) Kalau dorongan seksual disalurkan dengan pekerja seks komersial (PSK) ada risiko tertular IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamdia, jengger ayam, dll.) atau HIV/AIDS. Bisa juga kedua-duanya sekaligus.

Namun, risiko tertular IMS atau HIV/AIDS dapat dicegah dengan cara-cara yang realistis yaitu menghindarkan pergesekan penis dengan vagina (seks vaginal) atau dengan anus (seks anal).

Jika penyaluran hasrat dorongan seksual remaja dikaitkan dengan moral, maka pilihannya adalah memberikan pemahaman kepada remaja tentang cara penyaluran dorongan hasrat seksual tanpa harus melakukan hubungan seksual, al. onani dan masturbasi.

Tapi, karena kita membalut lidah dengan moral cara-cara penyaluran  dorongan hasrat seksual yang tidak berisiko tidak pernah kita sampaikan secara terbuka.

Atau langkah yang lebih konkret adalah laki-laki dan perempuan dewasa berbagai pengalaman cara menyalurkan dorongan hasrat seksual sebelum menikah dan selama ikatan pernikahan selain dengan istri.

Berbagi pengalaman, tentu saja fakta empiris bukan opini dengan balutan moral, dengan remaja menjadi bagian dari upaya melindingi remaja dari kegiatan terkait seks yang tidak bermoral. ***

Di Aceh (Ada) Suami Yang Menularkan HIV ke Istrinya



Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

“Penyakit ini tak mengenal bangsa dan jenis kelamin. Semunya berisiko. Dia dirujuk dari daerah,” kata seorang perawat. Ini pernyataan yang dimuat di dalam berita “Lipsus. Duh, Para Istri Tertular HIV” (Harian “Serambi Indonesia”, Banda Aceh, 17/12-2015).

Penyakit yang dimaksud perawat tadi adalah HIV/AIDS. Perawat ini rupanya memakai moralitas dirinya dalam menjelaskan epidemi HIV/AIDS sebagai fakta medis. Tidak semua orang berisiko tertular HIV/AIDS karena penularan HIV hanya melalui cara-cara yang sangat spesifik, al. melalui hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS, melalui darah yang terkontaminasi HIV/AIDS melalui jarum suntik dan transfusi darah, dan air susu ibu (ASI) yang mengandung HIV.

Nah, orang-orang yang berisiko tertular HIV/AIDS adalah: (a) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, kawin kontrak, dll., (b) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di lokasi pelacuran dan di jalanan) dan PSK tidak langsung (cewek kafe, cewek pub, cewek pemijat, ABG, ayam kampus, dll.), (c) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (d) memakai jarum suntik secara bergiliran dan bergantian, dan (e) menyusu kepada perempuan pengidap HIV/AIDS.

Fasilitas Tes HIV

Pernyataan perawat itulah yang menjadi kontra produktif dalam penanggulangan HIV/AIDS. Masyarakat akhirnya tidak menangkap fakta, tapi menerima mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Disebutkan bahwa sampai November 2015 kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh mencapai 388 dengan 117 kematian. Tingkat kematian yang mencapai 30,2 persen termasuk tinggi sehingga perlu langkah-langkah yang konkret agar kematian Odha (Orang dengan HIV/AIDS) bisa ditekan.

Benarkah pengetahuan masyarakat akan bahaya AIDS masih minim? Lalu apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah Aceh?

Disebutkan oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Aceh, dr Ormaia Nja’ Oemar, MKes, Aceh masih termasuk golongan C karena Aceh berada pada peringkat dengan kasus yang terbilang sedikit penderita HIV/AIDS dibanding sejumlah kota besar seperti Jakarta dan Papua.

Kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi karena banyak orang dari daerah yang menjalani tes HIV di Jakarta. Selain itu banyak pula pengidap HIV/AIDS yang ‘pindah’ ke Jakarta karena di daerah tidak ada sanggar dan pendampingan terhadap Odha.

Sedangkan di Papua banyak kasus terdeteksi karena karena banyak LSM yang melakukan penjangkauan sempai ke pelosok sehingga banyak kasus yang terdeteksi.

Dalam epidemi HIV/AIDS tidak ada penggolongan daerah berdasarkan jumlah kasus karena ada beberapa hal yang tersembunyi di balik angka yang kecil yang ada di Aceh, yaitu:

Pertama, apakah di semua kota dan kabupaten di Provinsi Aceh ada fasilitas tes HIV? Jika tidak ada maka ada kemungkinan orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS di kota dan kabupaten di Aceh tidak terdeteksi.

Kedua, apakah ada LSM yang melakukan penjangkauan terhadap kalangan berisiko di kota dan kabupaten di seluruh Aceh? Kalau tidak ada maka jumlah temuan kasus sangat rendah karena sifatnya pasif yaitu rumah sakit hanya menunggu orang sakit berobat dengan gejala-gejala AIDS.

Ketiga, apakah persediaan obat antiretroviral (ARV) ada sampai ke puskesmas? Kalau tidak ada, maka Odha akan memilih berobat ke Medan atau Jakarta.

Keempat, dalam epidemi HIV/AIDS dikenal fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi (388) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Disebutkan dalam berita: “Penyebaran HIV-AIDS sungguh mencemaskan, seorang ODHA berpotensi menularkannya kepada 20 orang lain. Bahkan di kota besar, sesorang berpotensi menulari seratus orang lainnya.”

Pernyataan di atas sama sekali tidak benar karena HIV tidak bisa ditularkan melalui udara, air dan pergaulan sosial. Kalau ‘rumus’ itu benar, maka kasus di Aceh sudah mencapai 38.800. Kalau ini yang terjadi tentulah ruma sakit sudah penuh.

Ketika kasus HIV/AIDS pertama ditemukan di Bireuen tahun 2004, itu artinya pengidap HIV/AIDS tsb. tertular antara tahun 1989 dan tahun 1999 karena secara statistik masa AIDS terjadi pada orang yang tertular HIV antara 5-15 tahun sejak tertular HIV (Lihat Gambar 1).


Disebutkan pula oleh dr Ormaia, kasus di Aceh dialami ODHA dari berbagai kalangan dan profesi, tak terkecuali ibu rumah tangga yang justru tak pernah berbuat serong dan tak pernah tahu tentang narkoba.

Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, serong, menyeleweng, melacur, selingkuh, seks oral, seks anal, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu mengidap dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom).


Penanggulangan di Hulu

Disebutkan lagi: “ .... Kemungkinan sang suami punya mobilitas tinggi ke luar daerah. Trennya memang kebanyakan ODHA di Aceh berkaitan dengan orang atau pasangan yang pernah tinggal di luar atau tingkat mobilitasnya tinggi.”

Terkait dengan pernyataan di atas, perlu diperhatikan fakta di bawah ini:

(1) Apakah di wilayah Provinsi Aceh tidak ada praktek pelacuran?

(2) Apakah di wilayah Provinsi Aceh tidak ada penduduk yang melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah?

Jawaban dari dua pertanyaan di atas akan memberikan gambaran apakah HIV/AIDS hanya terkait dengan orang-orang yang pernah atau sering ke luar Aceh.

Di lead berita disebutkan “Benarkah pengetahuan masyarakat akan bahaya AIDS masih minim? Lalu apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah Aceh?”

Celakanya, dalam berita sama sekali tidak ada langkah-langkah yang harus dilakukan Pemerintah Aceh dalam menanggulangi HIV/AIDS.

Begitu juga dengan judul berita yang disebut ‘lipsus’ (liputan khusus) tapi sama sekali tidak memberikan informasi yang komprehensif sehingga tidak ada penjelasan tentang: (1) Mengapa banyak ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS?, (2) Bagaimana ibu-ibu rumah tangga itu tertular HIV/AIDS, dan (3) Bagaimana cara mengatasi agar tidak ada lagi ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV?

Yang perlu dilakukan Pemerintah Aceh adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden penularan HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual melalui intervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Seperti di Gambar 2 bisa dilihat bahwa intervensi tidak bisa dilakukan terhadap laki-laki dewasa, bisa saja sebagai suami, yang melakukan hubungan seksual dengan waria, PSK langsung yang tidak dilokalisir, PSK tidak langsung, dan cewek gratifikasi seks.

Intervensi hanya bisa dilakukan terhadap PSK langsung jika dilokalisir. Tapi, hal ini mustahil dilakukan di Aceh. Maka, insiden penularan HIV kepada ibu rumah tangga akan terus terjadi keculai Pemerintah Aceh bisa menjami tidak ada laki-laki dewasa pendudu Aceh yang melakukan hubungan seksual dengan waria, PSK langsung, PSK tidak langsung dan cewek gratifikasi seks di wilayah Aceh atau di luar wilayah Aceh.

Maka, satu-satunya yang bisa dilakukan Pemerintah Aceh hanya menyelamatkan bayi-bayi yang akan lahir agar tidak tertular HIV/AIDS dari ibunya, yaitu melalui peraturan atau qanun:

- Mewajibkan suami dan istri menjalani konseling tes HIV ketika si istri hamil.

- Jika hasil konseling menunjukkan perilaku suami berisiko tertular HIV, maka suami wajib tes HIV.

- Jika hasil tes suami positif, maka istri wajib tes HIV.

Jika ibu rumah tangga yang hamil terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka dijalankan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Dengan langkah ini risiko bayi tertular HIV bisa ditekan sampai nol persen.

Atau bisa juga mencontoh Singapura. Laki-laki beristri yang bekerja di wilayah Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau lebih dari beberapa hari wajib tes HIV ketika tiba kembali di Singapura.

Karena di Aceh disebutkan HIV/AIDS dibawa oleh penduduk Aceh yang pernah ke luar daerah, maka laki-laki dewasa yang sering bepergian ke Medan, Jakarta, Batam, dll. wajib menjalani tes HIV.

Tanpa program di hulu, maka Pemerintah Aceh tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***

15 Desember 2015

Takut Kena AIDS Karena Punya Pasangan Seks di Luar Nikah

Tanya Jawab AIDS No 1/Desember 2015

Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap di AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke: SW Harahap, Markas BaraJP, Jl. Bhinneka Raya No 3, Cawang Baru, Jakarta Timur 13340, (2) Telepon (021) 8566755, (3) e-mail: aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Saya disuruh teman kasih solusi.  Apakah seorang perempuan yang pernah melakukan hubungan seksual di luar nikah hanya dengan seorang laki-laki dapat menyebabkan tertular HIV/AIDS?

Via SMS (6/12-2015)

Jawab: Pertama, penularan HIV/AIDS tidak ada kaitannya dengan sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, selingkuh, melacur, dll.) karena risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual, yaitu salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.

Kedua, biar pun perempuan teman Saudara tsb. hanya ngeseks dengan satu laki-laki, persoalannya adalah apakah teman Saudara bisa membuktikan bahwa laki-laki itu tidak mengidap HIV/AIDS?

Ketiga, jika tidak punya bukti, maka pertanyaannya kemudian adalah: Apakah teman Saudara itu bisa menjamin bahwa laki-laki yang ngeseks dengan dia tidak pernah ngeseks dengan perempuan atau laki-laki lain sebelum kenal dan selama jadi pasangan seks?

Yang menjadi kunci adalah poin ketiga. Jika laki-laki pasangan seks teman Saudara juga ngeseks dengan perempuan lain,  ini disebut perilaku berisiko yaitu ngeseks dengan pasangan yang berganti-ganti, maka teman Saudara berada pada posisi berisiko tertular HIV/AIDS dari laki-laki pasangan seksnya.

Maka, kesetiaan yang dimaksud bukan hanya pada saat jadi pasangan tapi juga perlu diperhatikan apakah ybs. juga pernah setia dengan pasangan lain sebelum dengan teman Saudara itu.

Jika teman Saudara itu tidak bisa menjamin perilaku laki-laki teman kencannya, yaitu tidak pernah ngeseks dengan perempuan lain atau laki-laki, maka itu artinya perilaku  teman Saudara itu berisiko tertular HIV/AIDS.

Akan lebih baik kalau Saudara tawarkan solusi kepada temanmu yaitu: (a) berhenti melakukan hubungan seksual sebelum ada hasil tes HIV, dan (b) menjalani tes HIV di Klinik VCT di rumah sakit umum di daerah Saudara. Hasil tes HIV akan menjadi pedoman perilaku teman Saudara ke depan. Ini akan diberikan oleh konselor pada konseling setelah tes HIV. ***

30 November 2015

Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2015: Insiden Penularan HIV Baru Terus-menerus Terjadi



Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

Laporan Ditjen PP & PL, Kemenkes RI (2015) menyebutkan estimasi (perkiraan) kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 668.489, sedangkan yang sudah terdeteksi sampai Juni 2015 adalah 233.724 yang terdiri atas 167.339 HIV dan 66.385 AIDS. Itu artinya yang ditemukan baru 35 persen. Ada 434.765 lagi penduduk Indonesia yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi sehingga mereka berpotensi sebagai mata rantai penyebar HIV di masyarakat tanpa mereka sadari.

Jika dikaitkan dengan epidemiologi HIV yang erat kaitannya dengan fenomena gunung es, maka kasus HIV/AIDS yang terdeteksi atau yang dilaporkan (233.724) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi (434.765) digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Pemicu Insiden HIV

Kasus yang tidak terdeteksi (akan) terus bertambah karena infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa melalui perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS terus terjadi, yaitu: (a) hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang bergati-ganti (seperti perselingkuhan, kawin kontrak dan kawin cerai), dan (b) hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) yakni PSK langsung dan PSK tidak langsung.

Persoalan besar terkait dengan kondisi (b) adalah:

Pertama, terkait dengan PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang ada di lokasi atau tempat pelacuran dan jalanan mereka ‘praktek’ di sembarang tempat dan sembarang waktu karena tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan intervensi berupa kewajiban bagi laki-laki untuk memakai kondom setiap hubungan seksual.

Kedua, terkait dengan PSK tidak langsung yaitu perempuan-perempuan yang melayani laki-laki melakukan hubungan seksual dengan imbalan uang tidak bisa terdeteksi karena mereka tidak menunjukkan ciri-ciri khas atau mangkal di tempat pelacuran. Mereka itu al. cewek kafe, cewek pub, cewek diskotek, cewek pemijat plus-plus, ABG, anak sekolah, ayam kampus, cewek bispak, cewek bisyar, prostitusi artis online, cewek gratifikasi seks, dll. Karena mereka tidak dilokalisir dan kesepakatan terjadi melalui perantara atau germo yang memakai SMS, e-mail, dan media sosial sehingga tidak bisa dilakukan intervensi berupa kewajiban bagi laki-laki untuk memakai kondom setiap hubungan seksual.

Dua kondisi di ataslah (Lihat: Gambar 1) yang menjadi pemicu insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa yang selanjutnya laki-laki dewasa yang tertular HIV akan menularkan HIV pula kepada istrinya atau perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya (horizontal). Hal ini terjadi karena laki-laki yang tertular HIV/AIDS tidak menunjukkan gejala dan keluhan kesehatan yang khas AIDS.

Istri-istri atau perempuan-perempuan yang jadi pasangan seks laki-laki pengidap HIV/AIDS akan menjadi ‘koban’ yaitu tertular HIV. Mata rantai penyebaran HIV belum berakhir karena istri-istri atau perempuan-perempuan yang tertular HIV kelak akan menularkan HIV kepada bayi yang mereka kandung (vertikal).

Celakanya, program penanggulangan HIV/AIDS secara nasional dan regional di provinsi, kabupaten dan kota tidak dilakukan di hulu, tapi dilakukan di hilir yaitu tes HIV terhadap warga, pasien dengan indikasi penyakit terkait AIDS, dan ibu hamil.

Langkah di atas menunjukkan pemerintah membiarkan laki-laki dewasa tertular HIV melalui hubungan seksual berisiko karena tidak ada program pencegahan yang konkret di hulu. Selanjutnya pembiaran pun terjadi terhadap perempuan, dalam hal ini ibu-ibu rumah tangga atau istri, karena tidak ada program nyata pecegahan HIV dari suami-ke-istri.

Yang dijalankan pemerintah di tingkat kabupaten dan kota adalah anjuran tes HIV terhadap ibu hamil. Ini langkah di hilir dan hanya menyelamatkan bayi dari kemungkinan tertular HIV dari ibu yang mengandungnya. Sedangkan si ibu dibiarkan tertular HIV dari suami atau pasangannya (Lihat Gambar 2).

Langkah Sistematis

Dengan kondisi seperti sekarang ini yaitu insiden infeksi HIV baru terjadi terus pada laki-laki dewasa (hulu), maka langkah konkret yang bisa dijalankan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS melalui laki-laki dewasa, adala melokalisir pelacuran sehingga bisa dilakukan intervensi yang konkret berupa regulasi yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK .

Langkah ini memutus penyebaran IMS (infeksi menular seksual, penyakit-penyakit yang  ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, dll.) dan HIV/AIDS dari laki-laki dewasa ke PSK dan dari PSK ke laki-laki dewasa (Lihat Gambar 3).

Terkait dengan epidemi HIV/AIDS yang bisa dilakukan secara ril hanyalah menurunkan insiden penularan (infeksi) HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung yang dilokalisir. Adalah hal yang mustahil menghentikan penyebaran HIV karena banyak orang yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi dan mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Langkah di atas, melokalisir pelacuran, mustahil dilakukan karena sejak reformasi lokasi dan lokalisasi pelacuran dititutup di banyak daerah. Akibatnya, praktek pelacuran yang  melibatkan PSK langsung menjadi terselubuh dan mereka pun menjadi ‘PSK tidak langsung’. Itu artinya intervensi program penanggulangan tidak bisa dijalankan.

Maka langkah konkret yang bisa dilakukan paling tidak memutus mata rantai penyebaran HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya dan dari laki-laki dewasa ke pasangannya adalah membuat regulasi dalam bentuk UU, Keppres, Kepmen, Perda, dst. Dengan pasal-pasal yang eksplisit, yaitu:

(1)      Ada pasal yang mewajibkan suami atau pasangan dari perempuan hamil menjalani konseling HIV/AIDS.

(2)     Ada pasal yang mewajibkan suami atau pasangan perempuan hamil menjalani tes HIV jika hasil konseling terhadap suami atau pasangan ibu hamil mengarah ke perilaku berisiko tertular HIV

Lagi-lagi langkah ini juga hanya di hilir karena tidak ada program yang konkret untuk mencegah penularan HIV kepada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK di hulu.

Dengan langkah-langkah parsial yang dilakukan di beberapa daerah, al. tes HIV terhadap ibu hamil, pasangan ibu hamil, calon pengantin, pasien dengan penyakit terkait AIDS, penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) merupakah langka di hilir dan tidak bisa menjaring pengidap HIV/AIDS yang ada di masyarakat.

Maka, diperlukan langkah-langkah yang strategis dan sistematis untuk menjaring pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat. Tanpa langkah strategis dan sistematis, maka epidemi HIV/AIDS di Indonesia tinggal menunggu ‘ledakan AIDS’. ***

15 November 2015

Di Buleleng, Bali, 20 Balita Terdeteksi Idap HIV yang Disasar Malah Pelajar SMP dan SMA



Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

Pemda Buleleng panik 20 balita positif HIV.” Ini judul berita di merdeka.com (9/3-2015).

Balita adalah bayi di bawah usia lima tahun. Itu artinya adalah hal yang mustahil mereka
tertular HIV karena ulah balita-balita itu melalui perilaku berisiko.

Lalu, dari mengapa dan bagaimana balita-balita itu terdeteksi mengidap HIV?

Secara medis 20 balita itu tertular HIV dari orang lain bukan melalui perilaku berisiko, tapi tertular dari ibu yang mengandung mereka. Penularan bisa saat di kandungan, ketika persalinan atau waktu menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Lho, ibu-ibu mereka koq bisa mengidap HIV/AIDS?

Apakah ibu-ibu balita itu perilaku seksnya berisiko tertular HIV/AIDS?

Ada dua kemungkinan. Pertama, ibu-ibu tertular dari suami. Kedua, ibu-ibu itu tertular melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya), atau melalui transfusi darah yang tidak diskining HIV.

Yang paling memungkinkan adalah kemungkinan pertama yaitu ibu-ibu balita itu tertular HIV dari suami mereka. Karena ibu-ibu yang tertular HIV itu tidak menjalani program pencegahan penuaran HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya, maka bayi yang mereka lahirkan akhirnya terinfeksi HIV.

Dengan kondisi di atas, tentulah langkah Pemkab Buleleng adalah melakukan sosialisasi kepada laki-laki beristri agar tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV. Bagi yang sudah pernah atau sering melakukan perilaku berisiko dianjurkan tes HIV. Jika istri mereka hamil, maka dianjurkan tes pasangan.

Celakanya, yang dijalankan oleh Pemkab Buleleng justru tidak masuk akal (sehat) yaitu: "Kita mulai sasar sekolah-sekolah mulai SMP, SMA hingga perguruan tinggi untuk gelar penyuluhan tentang ancaman penularan HIV/AIDS. Termasuk juga ke lingkungan banjar-banjar," ujar Wakil Bupati Buleleng, Nyoman Sutjindra.

Walaupun langkah itu tidak tepat sasaran, tapi seorang yang bekerja di sebuah rumah sakit di Kota Bandung, Jawa Barat, mengatakan (diskusi di Facebook): “..selain laki2 dewasa yg mulai dewasa juga sangt perlu disasar utk pencegahan lbh dini..betul juga.”

Pencegahan yang dimaksud pekerja ini tentulah agar siswa SMP dan SMA itu kelak tidak melahirkan anak dengan HIV.

Tapi, tunggu dulu. Untuk sampai pada melahirkan anak siswa-siswi SMP dan SMA itu masih memerlukan waktu yang panjang. Katakanlah siswa-siswi SMA rata-rata akan menikah lima tahun lagi dari sekarang. Itu artinya baru ada kemungkinan melahirkan bayi tahun 2020, sedangkan siswa-siswi SMP baru pada tahun 2025.

Pada saat yang sama puluhan bahkan ratusan suami melakukan perilaku berisiko tertular HIV. Suami-suami yang tertular HIV akan menularkan HIV kepada istrinya. Selanjutnya istri-istri yang tertular HIV pun berisiko pula menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya, sehingga akan ada lagi temuan balita HIV positif.

Lebih lanjut pegawai rumah sakit tadi mengatakan (lagi): “..mslh HIV bukan cuma msalh laki2 dws tapi semua org walau porsi berbeda2 juga peran.”

Lho, dalam konteks ‘20 balita idap HIV’ itu ‘kan persoalan ada pada laki-laki dewasa yaitu suami. Maka, yang perlu disasar Pemkab Buleleng adalah laki-laki dewasa agar tidak ada lagi yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV sehingga mata rantai penularan ke bayi bisa diputus pada suami-suami itu.

Tidak semua orang berperan dalam penanggulangan HIV/AIDS. Ada skala prioritas yaitu orang-orang dengan perilaku berisiko dan potensial sebagai mata rantai penyebaran HIV. Ini langkah di hulu.

Tapi, di Indonesia program yang dijalankan hanya ada di hilir yaitu: tes HIV, pengobatan HIV, dll.  Itu artinya terjadi pembiaran terhadap rakyat sehingga insiden infeksi HIV baru terus terjadi.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kelak akan terjadi ‘ledakan AIDS’ di negeri ini. ***