21 November 2014

Siapa yang Bawa HIV/AIDS ke Aceh?

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS WatchIndonesia

Itu judul berita di medanbisnisdaily (20/11-2014). Disebutkan pula: Walikota Banda Aceh, Hj Illiza Sa’adudin Djamal, SE, mengakui tiap tahun jumlah penderita HIV/AIDS di Banda Aceh meningkat.

Judul berita itu menyiratkan ada “kambing hitam”. Padahal, HIV sebagai virus ada dalam darah manusia yang sudah tertular HIV atau mengidap HIV/AIDS. Orang yang mengidap HIV/AIDS tidak terkait dengan suku, bangsa, ras, agama dan pekerjaan karena seseorang bisa tertular HIV/AIDS berdasarkan perilakunya (kecuali ibu-ibu rumah tangga yang tertular dari suami).

Satu hal yang menjadi persoalan besar di Aceh adalah anggapan bahwa HIV/AIDS ada setelah tsunami (Desember 2004) yang dibawa oleh orang-orang luar Aceh yang datang dengan berbagai alasan, seperti kemanusiaan, dll. (Lihat: Ironis, Tidak Ada Program Konkret PenanggulanganHIV/AIDS di Aceh).

Sebelum Tsunami

Memang, data HIV/AIDS di Aceh sebelum Desember 2004 kecil. Tapi, ini tidak membuktikan tidak ada kasus HIV/AIDS di Aceh sebelum Desemer 2004 karena:

(1) Sebelum Desember 2004 tidak ada kegiatan terkait dengan HIV/AIDS, seperti survailans tes HIV hanya dilakukan satu kali.

(2) Sebelum Desember 2004 tidak ada fasilitas, seperti sarana, untuk tes HIV di semua daerah di Aceh.

(3) Sebelum Desember 2004 tidak ada kegiatan penyuluhan HIV/AIDS sampai ke masyarakat baik oleh pemerintah maupun LSM.

Sebaliknya, setelah Desember 2004 banyak kegiatan terkait dengan HIV/AIDS. Ada penyuluhan, advokasi, pelatihan wartawan dan LSM, penyediaan sarana tes HIV di beberapa daerah, dll.

Maka, amatlah wajar dan masuk akal kalau kemudian kasus HIV/AIDS di Aceh satu demi satu terdeteksi. Bahkan, ada penduduk Aceh yang melakukan tes HIV di Medan, dan banyak pula pengidap HIV/AIDS penduduk Aceh yang terdaftar di Medan karena pada mulanya layanan HIV/AIDS, seperti tes HIV, tes CD4, obat antiretroviral (ARV), dll. hanya ada di Medan. Data terakhir menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh tercatat 200.

Tapi, perlu dingat bahwa angka itu tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es, yaitu angka yang terdeteksi (200) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut dan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan es yang ada di bawah permukaan air laut.

Rupanya, jumlah kasus yang dilaporkan (200) menimbulkan reaksi keras di berbagai kalangan di Aceh. Padahal, kalau survailans tes HIV terhadap berbagai kalangan, tes HIV terhadap perempuan hamil, tes HIV terhadap pasien “penyakit kelamin” (kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, dll.) dijalankan angka kasus HIV/AIDS akan lebih menggemparkan lagi.

Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa kasus yang sedikit justru berdampak buruk karena orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kodom di dalam dan di luar nikah. Itu terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak mengetahi kalau dirinya sudah tertular HIV/AIDS.

Ini beberapa tanggapan terhadap kasus HIV/AIDS seperti dilaporkan medanbisnisdaily.

Praja Cls menilai hal ini sungguh sangat memalukan. Sebab kota Banda Aceh terkenal dengan kota Islam di Indonesia. Seharusnya kejadian ini tidak terjadi di kota ini. HIV / AIDS disebabkan karena hubungan intim yang berpindah - pindah (gonta-ganti pasangan -red), atau karena penggunaan narkoba.

Kondis Hubungan Seksual

Praja rupanya tidak mengetahui fakta bahwa di Arab Saudi yang memakai Alquran sebagai UUD suda melaporkan lebih dari 16.000 kasus AIDS. Ini belum termasuk kasus HIV yaitu orang-orang yang tertular HIV tapi belum masuk masa AIDS (secara statistik masa AIDS terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).

Lagi pula penularan HIV/AIDS tidak terkait langsung dengan perbuatan yang dilarang agama, seperti transfusi darah dan penggunaan jarum suntik pada penyalahguna narkoba secara bergantian. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual pun terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama) bukan karena sifat hubungan seksual (di dalam atau di luar nikah).

Disebutkan pula oleh Praja Cls: "Apakah masyarakat Aceh sekarang buta dengan ajaran agamanya? Peraturan harus lebih ketat diterapkan dan (aparat harus rajin -red) memberantas tempat - tempat prostitusi."

Nah, di Arab Saudi tidak ada tempat hiburan, tidak ada panti pijat, dan tidak ada pelacuran, tapi kasus AIDS banyak dilaporkan. Itu terjadi karena bisa saja laki-laki Arab tertular di luar Arab Saudi. Hal yang sama terjadi di Aceh. Bisa saja ada laki-laki Aceh yang tertular HIV/AIDS di luar Aceh dan menularkan HIV di Aceh kepada istrinya.

Ada pula Intan Aminah yang mengatakan: "Apalagi yang digodanya itu punya keimanan yang lemah dan tidak bisa membentengi dirinya dari godaan yang menjerumuskan dirinya.”

Astaga, tanpa dia sadari ternyata Intan ini sudah menghina kaumnya yaitu perempuan karena banyak perempuan, dalam hal ini istri, yang beriman tapi tertular HIV. Mereka tertular HIV dari suaminya dalam hubungan seksual yang hal yaitu antara suami dan istri.

Selain itu ada juga Adhi Aslam Bahar, yang mengatakan melihat dibanding dengan provinsi lain di Indonesia, provinsi Aceh masih yang terkecil kasus HIV/AIDS-nya. Pertama, ini salah karena laporan Ditjen PP & PL, Kemenkes, tanggal 15 Agustus 2014 menyebutkan kasus HIV/AIDS di Aceh sampai 30 Juni 2014 adalah 344 yang terdiri atas 151 HIV dan 193  AIDS. Angka ini menempatkan Aceh pada peringkat ke-27 dari 33 provinsi secara nasional.

Yang perlu dingat oleh Adhi adalah penyebaran HIV/AIDS adalah fenomena gunung es, sehingga kasus yang sebenarnya bisa saja jauh lebih besar. Selian itu Adhi juga harus paham bahwa kegiatan survailans tes HIV dan penyuluhan di Aceh sangat kecil sehingga penemuan kasus baru pun sangat kecil pula.

Video di Rumah

Dengan kasus kecil justru akan membawa bencana karena penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi karena banyang orang yang mengidap HIV/AIDS tidak terdeteksi sehingga mereka terus menyebarkan HIV/AIDS.

Adhi juga menyebutkan di Banda Aceh tidak ada bioskop remang-remang. Tapi, Adhi lupa kalau video dan home teather di rumah bisa saja memuat film porno. Bahkan, loos dari pengawasan polisi syariah.

Sedangkan Ulong Alex mengatakan bahwa dia yakin peningkatan penderita HIV/AIDS di Banda Aceh dan Propinsi Aceh umumnya disebabkan karena perilaku seks bebas, suka gonta-ganti pasangan, dan tidak setia pada satu pasangan.

Kalau seks bebas yang dimaksud Ulong adalah zina, maka semua orang yang pernah berzina sudah mengidap HIV/AIDS. Kalua ini yang dipakai sebagai patokan tentu saja jumlah HIV/AIDS di Aceh dan di dunia akan sangat besar karena tidak sedikit orang yang pernah berzina.

Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara zina dan penularan HIV/AIDS karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah kalau salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom setiap kali sanggama. Ini fakta.

Disebutkan pula oleh Ulong: Selain itu, AIDS di Banda Aceh disebarkan para ekspatriat (pekerja asing -red), di mana pergaulannya berbeda dengan masyarakat Aceh biasanya. Ada lagi M Joharis Lubis yang juga mengatakan bahwa  setelah terkena bencana gempa dan tsunami, semua mengalami pergeseran di Aceh, baik itu ekonomi, politik, moral, sosial, dan budaya. Semua hal masuk ke Aceh dengan dalih kemanusiaan.

Astaga, ini benar karena, (a) Pekerja asing banyak yang peduli terhadap HIV/AIDS, (b) sebelum tsunami kegiatan penanggulangan AIDS di Aceh sangat rendah, (c) Fasilitas tes HIV di Aceh sebelum tsunami tidak ada, dll. Maka, setelah tsunami penanggulangan digalakkan dan sarana tes HIV pun dibangun sehingga banyak kasus baru yang terdeteksi. Ketika tidak ada penanggulangan dan sarana tes HIV, pasien-pasien di rumah sakit yang mengidap penyakit yang bisa terkait dengan HIV/AIDS tidak dilakukan tes HIV sehingga tidak terdeteksi penyebab kematian mereka.

Infeksi HIV di Darah

Pernyataan Ulong ini membantah pendapat dia, Praja, Adhi dan Intan: "Selain itu, kebiasaan masyarakat Aceh yang pergi ke Kota Medan dan bergaulan dengan sembarangan orang, turut juga berperan meningkatkan resiko terkena HIV/AIDS di kalangan warga Aceh. ...."

Bukan bergaul sembarangan, tapi melakukan hubungan seksual dengan perempuan pekerja seks komersial (PSK). Ada kabar di Kota Medan ada hotel yang memberikan potongan harga (discount) besar kepada laki-laki pemegang KTP Aceh. Kabarnya, di hotel itu tersedia cewek yang bisa diajak melakukan hubungan seksual dengan imbalan uang.

Laki-laki dewasa penduduk Aceh yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di Kota Medan adalah perilaku berisiko tinggi tertulat HIV/AIDS jika mereka tidak memakai kondom. Maka, laki-laki yang tertular HIV/AIDS di Kota Medan akan menyebarn HIV/AIDS di Aceh kepada istrinya atau pasangan lain. Kalau istrinya lebih dari satu, maka perempuan Aceh yang berisiko tertula HIV pun kian besar.

Pemahaman yang sangat rendah terhadap HIV/AIDS menjadi salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV/AIDS karena banyak orang yang tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.

Lihat saja pernyataan Rini R Sari ini. Rini mengatakan bahwa selama ini sering dikenal sebagai penyakit yang bersarang di kelamin, akhirnya memunculkan komentar sinis.

HIV/AIDS yang menular al. melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah justru infeksinya tidak terjadi di alat kelamin, tapi di darah. Ini sama dengan virus hepatitis B yang penularannya persis sama dengan HIV/AIDS infeksinya juga terjadi di darah.

Rini juga mengatakan bahwa dengan jumlah angka (penderita HIV/AIDS -red) yang terus meningkat, tentu kita patut bertanya-tanya, apa saja kerja Dinas Kesehatan dan pihak terkait dalam upaya mengatasinya?

Jumlah kasus yang terdeteksi menunjukkan ada kegiatan penanggulangan. Persoalannya asdalah kalau hanya mencari kasus itu artinya penanggulangan di hilir. Dinas Kesehatan menunggu ada dulu penduduk yang tertular HIV baru dideteksi.

Yang diperlukan adalah penanggulangandi hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Celakanya, di Aceh tidak bisa dideteksi praktek pelacuran, sedangkan laki-laki Aceh yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di Medan juga tidak bisa diintervensi.

Menurut Rini pencegahan dimulai dari yang sederhana, sampai yang ekstrim, dan tak lupa menutup tempat tempat yang berpotensi HIV/AIDS.

Tidak ada tempat yang berpotensi HIV/AIDS karena HIV ada di dalam darah orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS. Merekalah yang menyebarkan HIV/AIDS tanpa mereka sadari karena tidak ada gejala, tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS. ***

20 November 2014

Setelah Ngeseks dengan PSK Kena GO dan Herpes, Ketakutan Pula Kena AIDS

Tanya Jawab AIDS No 2/November 2014

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS WatchIndonesia

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Saya pernah ngeseks tanpa memakai kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) sekali saja. Seminggu kemudian saya kena kencing nanah/GO. Saya berobar ke dokter umum dan dokter spesialis penyakit kelamin biar sembuh. Lalu saya kena kayap/herpes zoster tidak lama, tidak sampai dua minggu sembuh. Kata dokter dua minggu sembuh. Selang beberapa ari saya tifus. Waktu tifus itu lidah putih bangat seperti bulu-bulu. (1) Apakah saya terkena HIV? Saya ngeseks pertama kali itu tanggal 15 Agustus 2014. Setelah 2 bulan 14 hari yaitu tanggal 27 Oktober 2014 saya tes HIV. Hasilnya nonreaktif. Tapi, saya masih ketakutan. Tanggal 6 November 2014 saya tes HIV lagi. Hasilnya juga nonreaktif. (2) Apakah hasil tes itu sudah benar? (3) Kapan waktu yang tepat untuk tes HIV? Dua tes itu di laboratorium swasta.

Via SMS (11/11-2014), dari Kota “B” di Kalimantan Selatan

Jawab: (1) Risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, al. terjadi jika laki-laki melakukan hubungan seksual dengan tidak memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-gani pasanan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan di jalanan) serta PSK tidak langsung (‘ayam kampus’, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek pemijat plus-plus, ABG, anak sekolah, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.).

Bertolak dari hal di atas, maka Anda berisiko tertular HIV kalau PSK yang melayani Anda ngeseks mengidap HIV/AIDS.

Memang, risiko tertular HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pengidapHIV/AIDS dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali risiko penularan HIV. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual keberapa terjadi penularan HIV. Bisa saja pada hubungan seksual yang pertama, kedua, ketujun, kelima puluh, kedelapan puluh, dst. Artinya, setiap hubungan seksual pada kondisi di atas ada riko tertular HIV.

Tidak aga gejala HIV/AIDS yang khas pada pengidap HIV/AIDS sebelum masa AIDS (secara statistik setelah tertular HIV antara 5-15 tahun).

Anda tertular GO setelah ngeseks dengan PSK tsb. Nah, jika PSK itu juga mengidap HIV/AIDS maka bisa saja terjadi juga penularan HIV karena penularan GO dan HIV melalui hubungan seksual persis sama.

(2) dan (3) Dua tes HIV yang Anda jalani tidak memenuhi syarat jika reagent tes HIV yang dipakai adalah ELISA. Karena reagent ini mendeteksi antibody HIV bukan virus HIV. Antibody HIV baru bisa terdeteksi ELISA jika HIV sudah ada di dalam tubuh lebih dari 3 bulan.

Tidak jelas apakah laboratorium swasta tempat Anda tes HIV menjalankan standar prosedur operasi tes HIV yang baku yaitu hasil tes pertama dikonfirmasi dengan tes lain. Misalnya, tes pertama dengan ELISA, maka darah yang sama dites lagi dengan Wester blot. Bisa juga melakukan langkah yang dianjurkan WHO (Badan Kesehatan Sedua PBB) yaitu hasil pertama dengan ELISA dikonfirmasi dengan tes ELISA tiga kali tapi dengan reagent dan teknik yang berbeda.

Yang perlu diingat adalah hasil tes nonraktif atau negatif bukan vaksin sehingga Anda tetap bisa tertular HIV jika melakukan hal yang sama.

Sebaiknya Anda konsulasi dengan konselor atau ke Klinik VCT di rumah sakit umum atau puskesmas di tampat Anda. Saya sudah mengirimkan nama dan nomor ponsel konselor di kota Anda. Semoga bisa membantu. ***

17 November 2014

Pria ini Takut Kena AIDS Setelah Ngeseks dengan Cewek Pemijat di Maluku Utara

Tanya Jawab AIDS No 1/November 2014

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Tanggal 1 November 2014 saya melakukan hubungan seksual pertama kali dengan seorang cewek pemijat di panti pijat tradisional. Itu seks pertama saya. Setelah ngeseks saya ketakutan kena HIV/AIDS karena saya tidak pakai kondom. Cewek pemijat itu sinis dan marah kepada saya karena saya katakan saya takut kena AIDS kalau ngeseks tanpa kondom. Dia bilang tidak usah takut karena dia bersih. Tapi, saya tetap ketakutan karena saya tahu persis cewek itu sering ngeseks dengan laki-laki yang berganti-ganti. Sampai sekarang ketakutan itu menghantui saya. Bagaimana ini? Apa yang harus saya lakukan?

Via SMS (3/11-2014) dari Maluku Utara

Jawab: Cewek pemijat itu adalah orang dengan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV/AIDS karena dia sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti. Jika salah satu dari laki-laki yang pernah dilayaninya melakukan hubungan seksual mengidap HIV/AIDS, maka cewek itu pun berisiko tertular HIV/AIDS. Kalau cewek pemijat itu mengidap HIV/AIDS, maka Anda pun berisiko pula tertular HIV/AIDS karena Anda tidak memakai kondom ketika ngeseks dengan cewek pemijat itu.

Cewek pemijat itu boleh saja mengakut bersih, tapi perlu diingat bahwa seseorang yang mengidap HIV/AIDS tidak menunjukkan gejala yang khas pada fisiknya. Maka, Anda tidak bisa menilai dari fisik cewek pemijat itu apakah dia mengidap HIV/AIDS atau tidak berdasarkan kebersihan badan atau tubuhnya. Soalnya, HIV ada di dalam darah dan tidak menimbulkan gejala atau ciri yang khas pada fisik yang mengidapnya.

Soal Anda ketakutan adalah hal yang lumrah karena itulah yang selalu terjadi pada orang-orang yang melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS. Setelah ngeseks baru bingung. Takut kena AIDS.

Biar pun Anda katakan itu hubungan seksual pertama, jika dilihat dari probabilitas penularan HIV melalui hubungan seksual bisa saja penularan terjadi pada hubungan seksual yang pertama.

Secara teoritis risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual (seks vaginal) dengan yang mengidap HIV/AIDS adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual tanpa kondom dengan pengidap HIV/AIDS ada 1 kali kemungkinan terjadi penularan.

Persoalannya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual yang keberapa terjadi penularan HIV. Bisa yag pertama, kedua, kelima, ketujuh belas, kelima puluh, dst. Sampai yang keseratus

Maka, yang perlu Anda lakukan adalah jangan ngeseks dulu selama tiga bulan. Setelah itu tes HIV di klinik VCT yang ditetapkan pemerintah, seperti di rumah sakit umum daerah dan puskesmas.

Bisa juga Anda konsultasi denga konselor. Namun, saya sudah kontak petugas kesehatan di kota Anda, tapi mereka menolak memberikan nomor ponsel sehingga saya tidak bisa mengirimkan nomor konselor ke Anda. Nah, silakan ke rumah sakit atau puskesmas tanya apakah di sana ada fasilitas tes HIV dengan konseling, misalnya Klini VCT. Jika tetap ada kesulitan, silakan kontak lagi saya. ***

16 November 2014

17 PNS di Kab Jembrana, Bali, Tertular HIV/AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

17 Pegawai negeri di Jembrana positif HIV/AIDS.” Ini judul berita di merdeka.com (16/11-2014).

Secara empiris kasus HIV/AIDS pada pegawai negeri (PNS), pejabat, aparat dan karyawan merupakan hal yang lumrah karena merekalah yang bisa membeli seks ketika lokasi atau lokalisasi pelacuran ditutup.

Soalnya, ‘harga seks’ sekarang sangat mahal karena hubungan seksual harus dilakukan di penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang. Itu artinya selain uang untuk membayar cewek seorang laki-laki ‘hidung belang’ harus membayar sewa kamar. Kalau di lokasi atau lokalisasi pelacuran yang dibayar hanya ceweknya, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK).

Bahkan, setelah lokasi atau lokalisasi pelacuran ditutup ‘harga’ cewek dan PSK kian melangit sehingga biaya untuk short time (hubungan seksual singkat sampai laki-laki orgasme) sangat besar yaitu: minuman dan makanan, rokok, kamar, dan cewek atau PSK. Berbeda dengan di lokasi atau lokalisasi pelacuran yang dibayar hanya cewek karena bayaran tsb. sudah termasuk sewa kamar.

Nah, tentu saja hanya orang-orang dengan penghasilan besar atau tetap yang bisa ‘membeli seks’. Selain dapat gaji tetap, PNS juga mendapatkan uang jalan atau perjalanan dina, bahkan ada pula gratifikasi seks yaitu hadiah atau imbalan jasa berupa cewek.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kabupaten Jembrana, Bali, sampai 31 Oktober 2014 mencapai 545 yang terdiri atas 153 HIV dan 392 AIDS 392 dengan 241 kematian. Mereka itu adalah 345 pekerja swasta, 22 PSK, 128 ibu rumah tangga, 17 PNS, dan lain-lain  33.

Dari 22 PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS empat di antaranya merupakan cewek kafe. Di sepanjang jalur Gilimanuk-Denpasar yang melintas di wilayah Kab Jembrana dikenal ada ‘warung kopi esek-esek’ atau kafe yang menyediakan pelayan ‘cewek plus-plus’ (‘Esek-esek’ di Warung Kopi pada LintasDenpasar-Gilimanuk). Nah, ada kemungkinan empat pengidap HIV/AIDS itu adalah ‘cewek plus-plus’ di kafe atau warung kopi.

Yang bisa mampir ngopi sambil esek-esek di sana tentulah orang yang berduit karena harga kopi dan tarif cewek tidaklah murah. Bisa saja PNS yang menerima uang perjalanan dinas mampir di sana. Itu artinya laki-laki yang ngeseks tanpa kondom di warung plus-plus dan kafe di jalur Jembrana-Bali berisiko tertular HIV/AIDS (Di Jembrana, Bali: Laki-laki yang Ngeseks dengan Perempuan PenghiburBerisiko Tertular HIV/AIDS).

Menurut Kadis Kesehatan Kabupaten Jembrana, Putu Suasta, berdasarkan data di KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Kab Jembrana, penyebaran HIV/AIDS semakin meningkat:  "Ini sudah masuk dalam data zona merah."

Yang zona merah bukan jumlah kasus HIV/AIDS, tapi perilaku sebagian laki-laki di Jembrana yang ngeseks dengan cewek kafe tanpa memakai kondom.

Sebelum terdeteksi mengidap HIV/AIDS empat cewek kafe itu minimal sudah tertular HIV/AIDS tiga bulan. Maka, selama tiga sudah ada 720 laki-laki yang berisiko tertular HIV dari empat cewek kafe itu (4 cewek kafe x 3 laki-laki/hari x 20 hari/bulan x 3 bulan).

Menurut Koordinator KPA Jembrana, I Putu Agus Maryana Putra, melonjaknya kasus HIV/AIDS akibat kurang beraninya masyarakat melakukan konseling. Padahal di setiap klinik, puskesmas dan Lapas juga disediakan pelayanan tersebut. 

Pernyataan koordinator di atas menyesatkan karena yang datang konseling adalah orang-orang yang sudah melakukan perilaku berisiko, al. ngeseks tanpa kondom dengan PSK, cewek kafe, dll. Itu artinya konseling ada di hilir yaitu ketika seseorang sudah tertular HIV/AIDS.

Yang diperlukan adalah langkah konkret di hulu berupa intervensi terhadap laki-laki yang ngeseks dengan PSK, cewek kafe, dll. yang memaksa mereka memakai kondom ketika ngeseks.

Tanpa program tsb., maka penyebaran HIV/AIDS di Kab Jembrana akan terus terjadi yang kelak bermuara pada “ledakan AIDS”. ***

Vidi Aldiano Bertindak di Hilir Dalam Penanggulangan HIV/AIDS

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

Perangi HIV/AIDS, Vidi Aldiano Harap Pemerintah Lebih Optimal.” Ini judul berita di kapanlagi.com (15/11-2014).

Judul berita ini mengabaikan peranan orang per orang dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Pemerintah sendiri kalang-kabut karena penolakan yang sangat keras dari beberapa kalangan terkait dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS melalui hubungan seksual berisiko dengan pemakaian kondom.

Selain itu pelacuran yang tidak dilokalisir pun menjadi persoalan besar dalam penanggulangan HIV/AIDS karena pemerintah tidak bisa melakukan intervensi kepada laki-laki yang melacur dengan pekerja seks komersial (PSK) karena pelacuran terjadi terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Maka, langkah yang perlu digalakkan sekarang bukan lagi “menyerang” pemerintah, tapi megajak setiap orang, khususnya terkait seks, agar tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu:

(1) Laki-laki dewasa tidak melakjukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti,

(2) Perempuan dewasa tidak melakjukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3) Laki-laki dewasa tidak melakjukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langung (PSK yang kasat mata seperti PSK di lokalisasi atau lokasi pelacuran dan di jalanan) serta PSK tidak langsung (PSK berupa cewek panggilan, cewek pub, cewek disko, cewek kafe, cewek pemijat, ‘ayam kampus’, ABG, ibu-ibu, dll.),

Bagaimana seorang Vidi Aldiano bisa mengharapkan pemerintah melakukan penanggulangan pada tiga hal di atas?

Tentu saja tidak bisa karena: (1) dan (2) tidak bisa diawasi, sedangkan (3) juga tidak bisa diawasi karena pelacuran tidak dilokalisir.

Ada pernyataan “Kasus penanganan HIV AIDS adalah salah satu masalah serius yang sampai saat ini menghantui para generasi muda di Indonesia dan seluruh dunia.”

Tidak jelas apakah pernyataan itu dari Vidi Aldiano atau kesimpulan wartawan. Tapi, yang jelas pernyataan tsb. tidak akurat karena yang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat sekarang adalah suami yaitu laki-laki dewasa yang bisa dibuktikan pada istri yang kian banyak terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Remaja banyak terdeteksi mengidap HIV/AIDS terjadi karena remaja penyalahgguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarun suntik secara bersama-sama dengan bergantian wajib tes HIV ketika hendak rehabilitasi.

Sedangkan laki-laki dewasa yang sering melakukan hubungan seksual berisiko, seperti pada kasus nomor (1) dan (3) di atas, tidak diwajibkan tes HIV. Bahkan, ketika istri mereka terdeteksi mengidap HIV/AIDS ada di antara suami-suami itu yang justru menuduh istrinya selingkuh. Mereka pun menolak tes HIV. Inilah al. sebabnya kasus HIV/AIDS pada laki-laki dewasa lebih sedikit jika dibandingkan dengan remaja, khususnya penyalahguna narkoba.

Disebutkan pula “Oleh sebab itu, pemerintah kita terus mengupayakan berbagai macam cara guna menekan jumlah penyebaran penyakit ini.”

Adalah mustahil pemerintah bisa menekan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual, karena pelacuran tidak dilokalisir.

Persoalan HIV/AIDS kian runyam karena gaung penangulangan hanya bergema pada Hari AIDS Sedunia tiap tanggal 1 Desember dan pada Malam Renungan AIDS di bulan Maret.

Disebutkan “Kali ini Vidi Aldiano juga ikut mengkampanyekan pentingnya untuk saling peduli dan berbagi kepada para ODHA. Hal ini diupayakan, agar mereka dapat terus survive dalam menghadapi virus HIV/AIDS ini.”

Itu artinya Vidi Aldiano melakukan langkah di hilir yaitu dengan membiarkan orang tertular HIV/AIDS dahulu baru ada kegiatan peduli terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Saat ditanya oleh KapanLagi.com® tentang bagaimana peran pemerintah saat ini, Vidi Aldiano menyatakan programnya sudah berjalan, tapi masih kurang optimal: "Ini merupakan penyakit yang amat sangat serius. Dan ternyata, informasinya pun belum bisa begitu tersebar dengan baik.”

Vidi Aldiano sendiri menyampaikan informasi yang tidak akurat yaitu “penyakit yang amat sangat serius”. HIV adalah virus sedangkan AIDS bukan penyakit tapi kondisi seseorang yang sudah tertular HIV yang secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.

Yang serius bukan HIV atau AIDS, tapi perilaku banyak orang yang tidak menerapkan seks aman [selalu memakai kondom pada hubungan seksual yang berisiko yaitu pada nomor (1), (2) dan (3) di atas].

Di bagian lain Vidi Aldiano mengatakan akses pelayanan bagi para ODHA juga masih sulit untuk dijangkau: "Orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS, untuk mendapatkan obatnya segala macem aksesnya juga masih susah."

Astaga, ini orang koq asal ngomong. Akses pelayanan dan obat (obat antiretroviral/ARV) sudah tersebar secara luas mulai dari puskesmas sampai rumah sakit.

Yang menjadi persoalan besar adalah banyak orang yang tidak menyadari perilaku seksualnya berisiko tertular HIV/AIDS karena termakan mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, dalam informasi HIV/AIDS selalu disebutkan bahwa penularan HIV/AIDS terjadi melalui PSK di lokasi pelacuran. Maka, banyak orang yang melakukan hubungan seksual berisiko yaitu dilakukan di luar lokalisasi, seperti di hotel berbintang, spa, dll. dengan perempuan yang bukan PSK langsung.

Nah, kalau Vidi Aldiano ingin berbuat banyak, ajak dan doronglah setiap orang agar tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS. ***