Oleh
Syaiful W. Harahap – AIDS WatchIndonesia
Itu judul berita di medanbisnisdaily
(20/11-2014).
Disebutkan pula: Walikota
Banda Aceh, Hj Illiza Sa’adudin Djamal, SE, mengakui tiap tahun jumlah
penderita HIV/AIDS di Banda Aceh meningkat.
Judul
berita itu menyiratkan ada “kambing hitam”. Padahal, HIV sebagai virus ada
dalam darah manusia yang sudah tertular HIV atau mengidap HIV/AIDS. Orang yang
mengidap HIV/AIDS tidak terkait dengan suku, bangsa, ras, agama dan pekerjaan
karena seseorang bisa tertular HIV/AIDS berdasarkan perilakunya (kecuali
ibu-ibu rumah tangga yang tertular dari suami).
Satu
hal yang menjadi persoalan besar di Aceh adalah anggapan bahwa HIV/AIDS ada
setelah tsunami (Desember 2004) yang dibawa oleh orang-orang luar Aceh yang
datang dengan berbagai alasan, seperti kemanusiaan, dll. (Lihat: Ironis, Tidak Ada Program Konkret PenanggulanganHIV/AIDS di Aceh).
Sebelum Tsunami
Memang,
data HIV/AIDS di Aceh sebelum Desember 2004 kecil. Tapi, ini tidak membuktikan
tidak ada kasus HIV/AIDS di Aceh sebelum Desemer 2004 karena:
(1)
Sebelum Desember 2004 tidak ada kegiatan terkait dengan HIV/AIDS, seperti
survailans tes HIV hanya dilakukan satu kali.
(2)
Sebelum Desember 2004 tidak ada fasilitas, seperti sarana, untuk tes HIV di
semua daerah di Aceh.
(3)
Sebelum Desember 2004 tidak ada kegiatan penyuluhan HIV/AIDS sampai ke
masyarakat baik oleh pemerintah maupun LSM.
Sebaliknya,
setelah Desember 2004 banyak kegiatan terkait dengan HIV/AIDS. Ada penyuluhan,
advokasi, pelatihan wartawan dan LSM, penyediaan sarana tes HIV di beberapa
daerah, dll.
Maka,
amatlah wajar dan masuk akal kalau kemudian kasus HIV/AIDS di Aceh satu demi
satu terdeteksi. Bahkan, ada penduduk Aceh yang melakukan tes HIV di Medan, dan
banyak pula pengidap HIV/AIDS penduduk Aceh yang terdaftar di Medan karena pada
mulanya layanan HIV/AIDS, seperti tes HIV, tes CD4, obat antiretroviral (ARV), dll.
hanya ada di Medan. Data terakhir menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh
tercatat 200.
Tapi,
perlu dingat bahwa angka itu tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya karena
penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es, yaitu angka yang
terdeteksi (200) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas
permukaan air laut dan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai
bongkahan es yang ada di bawah permukaan air laut.
Rupanya,
jumlah kasus yang dilaporkan (200) menimbulkan reaksi keras di berbagai
kalangan di Aceh. Padahal, kalau survailans tes HIV terhadap berbagai kalangan,
tes HIV terhadap perempuan hamil, tes HIV terhadap pasien “penyakit kelamin”
(kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, dll.) dijalankan
angka kasus HIV/AIDS akan lebih menggemparkan lagi.
Hal
lain yang perlu diingat adalah bahwa kasus yang sedikit justru berdampak buruk
karena orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi akan
menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan
seksual tanpa kodom di dalam dan di luar nikah. Itu terjadi tanpa disadari
karena orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak mengetahi kalau dirinya sudah
tertular HIV/AIDS.
Ini
beberapa tanggapan terhadap kasus HIV/AIDS seperti dilaporkan medanbisnisdaily.
Praja Cls menilai
hal ini sungguh sangat memalukan. Sebab kota Banda Aceh terkenal dengan
kota Islam di Indonesia. Seharusnya kejadian ini tidak terjadi di kota ini. HIV
/ AIDS disebabkan karena hubungan intim yang berpindah - pindah (gonta-ganti
pasangan -red), atau karena penggunaan narkoba.
Kondis Hubungan Seksual
Praja
rupanya tidak mengetahui fakta bahwa di Arab Saudi yang memakai Alquran sebagai
UUD suda melaporkan lebih dari 16.000 kasus AIDS. Ini belum termasuk kasus HIV
yaitu orang-orang yang tertular HIV tapi belum masuk masa AIDS (secara
statistik masa AIDS terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Lagi pula
penularan HIV/AIDS tidak terkait langsung dengan perbuatan yang dilarang agama,
seperti transfusi darah dan penggunaan jarum suntik pada penyalahguna narkoba
secara bergantian. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual pun terjadi
karena kondisi hubungan seksual (salah satu dari pasangan tsb. mengidap
HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama) bukan karena sifat
hubungan seksual (di dalam atau di luar nikah).
Disebutkan
pula oleh Praja Cls: "Apakah
masyarakat Aceh sekarang buta dengan ajaran agamanya? Peraturan harus lebih
ketat diterapkan dan (aparat harus rajin -red) memberantas tempat - tempat
prostitusi."
Nah, di Arab
Saudi tidak ada tempat hiburan, tidak ada panti pijat, dan tidak ada pelacuran,
tapi kasus AIDS banyak dilaporkan. Itu terjadi karena bisa saja laki-laki Arab
tertular di luar Arab Saudi. Hal yang sama terjadi di Aceh. Bisa saja ada laki-laki
Aceh yang tertular HIV/AIDS di luar Aceh dan menularkan HIV di Aceh kepada
istrinya.
Ada pula Intan Aminah yang mengatakan: "Apalagi
yang digodanya itu punya keimanan yang lemah dan tidak bisa membentengi dirinya
dari godaan yang menjerumuskan dirinya.”
Astaga,
tanpa dia sadari ternyata Intan ini sudah menghina kaumnya yaitu perempuan
karena banyak perempuan, dalam hal ini istri, yang beriman tapi tertular HIV.
Mereka tertular HIV dari suaminya dalam hubungan seksual yang hal yaitu antara
suami dan istri.
Selain itu ada juga Adhi Aslam Bahar, yang mengatakan melihat dibanding dengan
provinsi lain di Indonesia, provinsi Aceh masih yang terkecil kasus
HIV/AIDS-nya. Pertama, ini salah karena laporan Ditjen PP & PL, Kemenkes,
tanggal 15 Agustus 2014 menyebutkan kasus HIV/AIDS di Aceh sampai 30 Juni 2014
adalah 344 yang terdiri atas 151 HIV dan 193 AIDS. Angka ini menempatkan Aceh pada
peringkat ke-27 dari 33 provinsi secara nasional.
Yang perlu
dingat oleh Adhi adalah penyebaran HIV/AIDS adalah fenomena gunung es, sehingga
kasus yang sebenarnya bisa saja jauh lebih besar. Selian itu Adhi juga harus
paham bahwa kegiatan survailans tes HIV dan penyuluhan di Aceh sangat kecil
sehingga penemuan kasus baru pun sangat kecil pula.
Video di Rumah
Dengan kasus
kecil justru akan membawa bencana karena penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi
karena banyang orang yang mengidap HIV/AIDS tidak terdeteksi sehingga mereka
terus menyebarkan HIV/AIDS.
Adhi juga
menyebutkan di Banda Aceh tidak ada bioskop remang-remang. Tapi, Adhi lupa
kalau video dan home teather di rumah bisa saja memuat film porno. Bahkan, loos
dari pengawasan polisi syariah.
Sedangkan Ulong Alex mengatakan bahwa dia yakin peningkatan penderita HIV/AIDS di Banda Aceh dan Propinsi Aceh umumnya disebabkan karena perilaku seks bebas, suka gonta-ganti pasangan, dan tidak setia pada satu pasangan.
Kalau seks
bebas yang dimaksud Ulong adalah zina, maka semua orang yang pernah berzina
sudah mengidap HIV/AIDS. Kalua ini yang dipakai sebagai patokan tentu saja
jumlah HIV/AIDS di Aceh dan di dunia akan sangat besar karena tidak sedikit
orang yang pernah berzina.
Lagi pula
tidak ada kaitan langsung antara zina dan penularan HIV/AIDS karena penularan
HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah kalau
salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai
kondom setiap kali sanggama. Ini fakta.
Disebutkan
pula oleh Ulong: Selain itu, AIDS di Banda Aceh disebarkan para ekspatriat
(pekerja asing -red), di mana pergaulannya berbeda dengan masyarakat Aceh
biasanya. Ada lagi M Joharis Lubis yang
juga mengatakan bahwa setelah terkena bencana gempa dan tsunami,
semua mengalami pergeseran di Aceh, baik itu ekonomi, politik, moral, sosial,
dan budaya. Semua hal masuk ke Aceh dengan dalih kemanusiaan.
Astaga, ini benar
karena, (a) Pekerja asing banyak yang peduli terhadap HIV/AIDS, (b) sebelum
tsunami kegiatan penanggulangan AIDS di Aceh sangat rendah, (c) Fasilitas tes
HIV di Aceh sebelum tsunami tidak ada, dll. Maka, setelah tsunami
penanggulangan digalakkan dan sarana tes HIV pun dibangun sehingga banyak kasus
baru yang terdeteksi. Ketika tidak ada penanggulangan dan sarana tes HIV,
pasien-pasien di rumah sakit yang mengidap penyakit yang bisa terkait dengan
HIV/AIDS tidak dilakukan tes HIV sehingga tidak terdeteksi penyebab kematian
mereka.
Infeksi HIV di Darah
Pernyataan
Ulong ini membantah pendapat dia, Praja, Adhi dan Intan: "Selain itu,
kebiasaan masyarakat Aceh yang pergi ke Kota Medan dan bergaulan dengan
sembarangan orang, turut juga berperan meningkatkan resiko terkena HIV/AIDS di
kalangan warga Aceh. ...."
Bukan
bergaul sembarangan, tapi melakukan hubungan seksual dengan perempuan pekerja
seks komersial (PSK). Ada kabar di Kota Medan ada hotel yang memberikan
potongan harga (discount) besar kepada laki-laki pemegang KTP Aceh. Kabarnya,
di hotel itu tersedia cewek yang bisa diajak melakukan hubungan seksual dengan
imbalan uang.
Laki-laki
dewasa penduduk Aceh yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di Kota Medan
adalah perilaku berisiko tinggi tertulat HIV/AIDS jika mereka tidak memakai
kondom. Maka, laki-laki yang tertular HIV/AIDS di Kota Medan akan menyebarn
HIV/AIDS di Aceh kepada istrinya atau pasangan lain. Kalau istrinya lebih dari
satu, maka perempuan Aceh yang berisiko tertula HIV pun kian besar.
Pemahaman
yang sangat rendah terhadap HIV/AIDS menjadi salah satu faktor yang mendorong
penyebaran HIV/AIDS karena banyak orang yang tidak mengetahui cara-cara
penularan dan pencegahan HIV/AIDS.
Lihat saja
pernyataan Rini R Sari ini.
Rini mengatakan bahwa selama ini sering dikenal sebagai penyakit yang bersarang
di kelamin, akhirnya memunculkan komentar sinis.
HIV/AIDS
yang menular al. melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah justru
infeksinya tidak terjadi di alat kelamin, tapi di darah. Ini sama dengan virus
hepatitis B yang penularannya persis sama dengan HIV/AIDS infeksinya juga
terjadi di darah.
Rini juga
mengatakan bahwa dengan jumlah angka (penderita HIV/AIDS -red) yang terus
meningkat, tentu kita patut bertanya-tanya, apa saja kerja Dinas Kesehatan dan
pihak terkait dalam upaya mengatasinya?
Jumlah kasus
yang terdeteksi menunjukkan ada kegiatan penanggulangan. Persoalannya asdalah
kalau hanya mencari kasus itu artinya penanggulangan di hilir. Dinas Kesehatan
menunggu ada dulu penduduk yang tertular HIV baru dideteksi.
Yang diperlukan
adalah penanggulangandi hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Celakanya, di Aceh tidak
bisa dideteksi praktek pelacuran, sedangkan laki-laki Aceh yang melakukan
hubungan seksual dengan PSK di Medan juga tidak bisa diintervensi.
Menurut Rini
pencegahan dimulai dari yang sederhana, sampai yang ekstrim, dan tak lupa
menutup tempat tempat yang berpotensi HIV/AIDS.
Tidak ada
tempat yang berpotensi HIV/AIDS karena HIV ada di dalam darah orang-orang yang
sudah mengidap HIV/AIDS. Merekalah yang menyebarkan HIV/AIDS tanpa mereka
sadari karena tidak ada gejala, tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada
orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS. ***