13 November 2014

Pejabat dan PNS di Sumatera Selatan Tertular HIV/AIDS karena Termakan Mitos AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap - AIDS Watch Indonesia

Pejabat dan PNS di Sumsel Tertular HIV.” Ini judul berita di tribunsumsel.com (12/11-2014).

Apa gerangan yang terjadi di Sumatera Selatan?

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Sumsel sampai bulan Mei 2014 mencapai 1.705 yang tersebar di semua kota dan kabupaten, al. di Kota Palembang 512, Ogan Komering Ilir 32, Ogan Komering Ulu 32, Muara Enim 25, Prabumulih 22, Banyuasin 14, dan Musi Banyuasin 11 (merdeka.com, 2/5-2014).

Rupanya, banyak orang di sana khususnya dan di Indonesia umumnya yang sudah termakan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia banyak informasi tentang HIV/AIDS, baik yang disebarkan oleh pemerintah, LSM, aktivis, bahkan sebagian pakar justru tidak akurat. Hal ini terjadi karena informasi dibalut dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos.

Misalnya, antara lain selalu disebutkan bahwa HIV/AIDS menular pada praktek pelacuran yang melibatkan pekerja seks komersial (PSK) di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Inilah yang mendorong pemerintahan di daerah menutup lokasi pelacuran.

Padahal, risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual tidak hanya terjadi dengan PSK di lokasi pelacuran. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi pada hubungan seksual di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau kedua-dua pasangan yang melakukan hubungan seksual tsb. mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai konodom selama terjadi hubungan seksual.

Terkait dengan PSK dan lokasi pelacuran ada dua hal atau informasi yang sengaja digelapkan, yaitu:

(1) Yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran adalah laki-laki dewasa yang mengidap HIV/AIDS. Laki-laki ini bisa saja sebagai suami, lajang, perjakan, remaja atau duda. Laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

(2) Yang menyebarkan HIV/AIDS di masyarakat selain yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK adalah laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari PSK di lokalisasi pelacuran yaitu yang ngeseks dengan PSK tanpa kondom. Laki-laki ini bisa saja sebagai suami, lajang, perjakan, remaja atau duda. Laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dua fakta di atas selalu diabaikan dan tidak pernah disampaikan secara faktual kepada masyarakat sehingga ada mitos bahwa lokasi pelacuran biang HIV/AIDS. Padahal, HIV/AIDS di lokasi pelacuan dibawa oleh laki-laki.

Dikabarkan seorang dokter di Kota Palembang mengatakan bahwa pejabat dan PNS tertular HIV/AIDS melalui pemijat di massage theraphy dan spa yang berujung dengan hubungan seksual di hotel berbintang.

Nah, benar ‘kan. Pejabat dan PNS itu sudah termakan mitos. Pertama, mereka tidak ngeseks dengan PSK tapi dengan cewek cantik pemijat. Kedua, mereka ngeseks tidak di lokalisasi atau lokasi pelacuran tapi di hotel berbintang.

Selain pejabat dan PNS dikabarkan pula penularan HIV/AIDS terjadi juga terhadap polisi, tentara, pegawai swasta, dan dokter.

Inilah dampak buruk dari mitos yang sudah lama berkembang di masyarakat. Celakanya, pemerintah tidak pernah mendobrak mitos ini bahkan menguatkan mitos dengan menutup lokasi pelacuran di berbagai kota dan daerah.

Padahal, pengalaman Thailand menunjukkan pelacuran yang dilokalisir menjadi kunci keberhasilan negeri itu untuk menurukan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK. Artinya, kalau pelacuran dilokalisir maka bisa dilakukan penanggulangan melalui intervensi program yang dikenal sebagai ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang ngeseks dengan PSK.

Ketika banyak daerah di Indonesia menutup lokasi pelacuran itu artinya penyebaran HIV/AIDS kian tidak terkontrol karena praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dengan sembarang waktu dan dalam berbagai bentuk seperti di massage therapy dan spa.

Dokter yang melayani penderita HIV/AIDS di Kota Palembang itu mengatakan bahwa kalangan menengah ke atas, al. pejabat, PNS, aparat dan karyawan tergiur ngeseks dengan pemijat di massage teraphy dan spa karena mereka mengantongi uang yang banyak, misalnya uang perjalanan dinas atau gratifikasi. Mereka datang dari berbagai kabupaten dan kota di Sumsel dan dari luar Sumsel.

Layanan seks di hotel berbintang itu hanya bisa dijangkau kalangan menengah ke atas karena tarif kamar saja antara Rp 350.000 – Rp 500.000 untuk short time. Jumlah ini belum termasuk imbalan bagi pemijat setelah memberikan layanan seks.

Nah, pejabat, PNS, aparat dan karyawan yang tertular HIV/AIDS dari pemijat di massage teraphy dan spa di Kota Palembang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di tempat tinggalnya dan di sepanjang perjalanan, terutama bagi yang sering “mampir”. Penyebaran terutama terhadap istri mereka. Bayangkan, kalau seorang laki-laki yang mengidap HIV/AIDS memiliki istri lebih dari satu, maka kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual dalam ikatan pernikahan yang sah.

Polisi dan Satpol PP hanya berani merazia penginapan, losmen dan hotel melati. Maka, praktek pelacuran di hotel berbintang yang dikemas dengan berbagai cara, seperti massage theraphy (pengobatan tradisional dengan pijatan) dan spa (pengobatan tradisional dengan media air) akan terus terjadi karena bukan sasaran razia.

Di sisi lain pelacuran yang tidak dilokalisir pun menjadi biang keladi penyebaran HIV/AIDS karena tidak bisa diintervensi untuk menjalankan program penanggulangan yang efektif.

Itu artinya pemerintah kabupaten dan kota serta pemerintah provinsi di Sumatera Selatan tinggal menungg waktu saja untuk “panen AIDS”. ***

10 November 2014

Awal Penyebaran HIV/AIDS di Kota Pekalongan, Jawa Tengah

Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

“ .... kasus HIV/AIDS di Kota Pekalongan ditemukan pertama kali pada tahun 2004.” Ini pernyataan Kepala Dinkes Kota Pekalongan, Dwi Heri Wibawa, dalam berita “10 Tahun, 68 Penderita HIV/AIDS Meninggal” di Harian “Radar Pekalongan” (7/11-2014).

Dari pernyataan dan judul berita di atas ada beberapa hal yang luput dari perhatian (wartawan), yaitu:

(1) Tidak dijelaskan kasus pertama tahun 2004 itu terdeteksi sebagai kasus HIV-positif atau sudah pada masa AIDS. Soalnya, kalau kasus pertama itu terdeteksi pada orang yang sudah masa AIDS itu artinya dia tertular antara 5-15 tahun sebelum terdeteksi yaitu antara tahun 1989 dan 1999. Maka, penyebaran HIV/AIDS sudah terjadi di Kota Pekalongan sejak tahun 1989.

(2) Penderita HIV/AIDS yang meninggal yaitu 68 orang merupakan persoalan besar karena sebelum mereka meninggal mereka sudah menularkan HIV/AIDS kepada orang lain, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Seorang pengidap HIV/AIDS meninggal itu terjadi di masa AIDS. Artinya, dia sudah tertular HIV antara 5-15 tahun sebelum meninggal.

(3) Jika di antara pengidap HIV/AIDS yang meninggal itu ada pekerja seks komersial (PSK), maka itu artinya sudah banyak laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS yaitu laki-laki yang ngeseks dengan PSK tsb. tanpa memakai kondom. Satu orang PSK saja ada 3.600 – 10.800 laki-laki yang berisiko tertular HIV sebelum dia meninggal [1 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x (5 tahun atau 15 tahun)]

Yang menjadi persoalan besar adalah orang-orang yang tertular HIV/AIDS dari 68 pengidap HIV/AIDS yang meninggal para rentang waktu 2004-2014. Paling tidak jika yang meninggal suami tentulah istri dan anak-anaknya berisiko tertular HIV/AIDS.

Disebutkan pula bahwa kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Pekalongan adalah 102. Yang perlu diingat angka ini adalah jumlah kasus yang terdeteksi. Karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es, yaitu kasus yang terdeteksi (102) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut.


Maka, kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dalam berita disebutkan Kepala Dinkes Kota Pekalongan, Dwi Heri Wibawa, membuka ‘Seminar Update Status Perilaku Remaja Indonesia Masa Kini’ di Kota Pekalongan.

Objek seminar itu merupakan bias yang disengaja untuk menutupi perilaku orang-orang dewasa, terutama laki-laki. Yang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat adalah laki-laki dewasa yang bisa dilihat pada kasus ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Yang mendesak ditangani adalah laki-laki yang ngeseks dengan PSK tanpa kondom. Tapi, bisa saja Kadis Kesehatan “buang badan” dengan mengatakan di Kota Pekalongan tidak ada PSK. Ya, ini bensar secara de jure karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang dibentuk berdasarkan regulasi peraturan.

Tapi, secara de facto praktek pelacuran terjadi di Kota Pekalongan di sembarang tempat dan sembarang waktu yang melibatkan cewek-cewek panggilan dalam berbagai bentuk, seperti pemijat plus-plus, ABG, ‘mahasisw’, dll.

Disebutkan pula bahwa “Setiap tahun ditemukan penderita baru HIV/ AIDS.”

Tentu saja akan terus terdeteksi kasus baru karena orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi akan menularkan HIV/AIDS ke orang lain tanpa mereka sadari karena tidak ada ciri-ciri khas AIDS pada fisik mereka.

Kasus-kasus infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa pun akan terus terjadi selama praktek pelacuran tidak dilokalisir.  Soalnya, kalau pelacuran tidak dilokalisir maka tidak bisa dilakukan intervensi berupa program ‘wajib kondom 100 persen’ kepada laki-laki yang ngeseks dengan PSK. Kalau praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu intervensi tidak bisa dilakukan.

Dikatakan lagi bahwa “Dari jumlah tersebut, enam di antaranya bayi dan balita.” Itu artinya ada 6 perempuan yaitu ibu bayi dan balita itu serta 6 laki-laki dewasa yaitu suami dari 6 perempuan tsb. yang mengidap HIV/AIDS.

Pertanyaan untuk Kadinkes Kota Pekalongan: Apakah suami 6 ibu rumah tangga tsb. sudah menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya TIDAK, maka 6 laki-laki itu menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Kota Pekalongan, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan lain, seperti istri lain, pacar, selingkuhan dan PSK.

Ada lagi pernyataan: “Mereka terkena HIV/AIDS akibat perilaku orang tua yang menyimpang.”

Pernyataan ini meupakan mitos (anggapan yang salah) yang justru menyesatkan karena tidak ada kaitan langsung antara perilaku menyimpang dengan penularan HIV/AIDS. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi karena kondisi ketika terjadi hubungan seskual yaitu salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual).

Lagi pula ibu bayi dan balita itu sama sekali tidak melakukan perilaku yang menyimpang karena dia hanya melakukan hubungan seksual dengan suaminya.

Psikolog Nur Agustin, mengatakan bahwa remaja memang paling berisiko terkena HIV/AIDS, al. seks bebas dan memakai narkoba suntik.

Kalau ‘seks bebas’ yang dimaksud adalah zina, seperti ngeseks dengan pacar atau PSK maka hal itu tidak otomatis terjadi penularn HIV/AIDS. Begitu pula dengan narkoba risiko tertular HIV/AIDS hanya terjadi kalau narkoba disuntikkan secara bergiliran. Kalau narkoba dipakai sendiri tidak akan pernah terjadi penularan HIV melalui pemakaian narkoba.

Karena sasaran seminar ini adalah remaja pelajar SMP dan SMA amatlah disayangkan karena informasi yang diberikan tidak faktual. Informasi HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan moral sehingga yang ditangkap remaja-remaja itu hanya mitos bukan fakta tentang cara-cara yang akurat untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV/AIDS. ***