Oleh Syaiful W. Harahap - AIDS Watch Indonesia
“Pejabat dan PNS di Sumsel Tertular HIV.”
Ini judul berita di tribunsumsel.com
(12/11-2014).
Apa gerangan yang terjadi di Sumatera Selatan?
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Sumsel sampai bulan
Mei 2014 mencapai 1.705 yang tersebar di semua kota dan kabupaten, al. di Kota
Palembang 512, Ogan Komering Ilir 32, Ogan Komering Ulu 32, Muara Enim 25,
Prabumulih 22, Banyuasin 14, dan Musi Banyuasin 11 (merdeka.com, 2/5-2014).
Rupanya, banyak orang di sana khususnya dan di
Indonesia umumnya yang sudah termakan mitos (anggapan yang salah) tentang
HIV/AIDS. Sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia banyak informasi tentang
HIV/AIDS, baik yang disebarkan oleh pemerintah, LSM, aktivis, bahkan sebagian
pakar justru tidak akurat. Hal ini terjadi karena informasi dibalut dengan
moral sehingga yang muncul hanya mitos.
Misalnya, antara lain selalu disebutkan bahwa
HIV/AIDS menular pada praktek pelacuran yang melibatkan pekerja seks komersial
(PSK) di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Inilah yang mendorong pemerintahan
di daerah menutup lokasi pelacuran.
Padahal, risiko tertular HIV/AIDS melalui
hubungan seksual tidak hanya terjadi dengan PSK di lokasi pelacuran. Penularan
HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi pada hubungan seksual di dalam dan di
luar nikah jika salah satu atau kedua-dua pasangan yang melakukan hubungan
seksual tsb. mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai konodom
selama terjadi hubungan seksual.
Terkait dengan PSK dan lokasi pelacuran ada dua
hal atau informasi yang sengaja digelapkan, yaitu:
(1) Yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK di lokasi
atau lokalisasi pelacuran adalah laki-laki dewasa yang mengidap HIV/AIDS.
Laki-laki ini bisa saja sebagai suami, lajang, perjakan, remaja atau duda.
Laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al.
melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
(2) Yang menyebarkan HIV/AIDS di masyarakat
selain yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK adalah laki-laki yang tertular
HIV/AIDS dari PSK di lokalisasi pelacuran yaitu yang ngeseks dengan PSK tanpa kondom. Laki-laki ini bisa saja sebagai
suami, lajang, perjakan, remaja atau duda. Laki-laki ini menjadi mata rantai
penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah.
Dua fakta di atas selalu diabaikan dan tidak
pernah disampaikan secara faktual kepada masyarakat sehingga ada mitos bahwa
lokasi pelacuran biang HIV/AIDS. Padahal, HIV/AIDS di lokasi pelacuan dibawa
oleh laki-laki.
Dikabarkan seorang dokter di Kota Palembang
mengatakan bahwa pejabat dan PNS tertular HIV/AIDS melalui pemijat
di massage theraphy dan spa yang berujung dengan hubungan
seksual di hotel berbintang.
Nah,
benar ‘kan. Pejabat dan PNS itu sudah termakan mitos. Pertama, mereka tidak ngeseks dengan PSK tapi dengan cewek
cantik pemijat. Kedua, mereka ngeseks
tidak di lokalisasi atau lokasi pelacuran tapi di hotel berbintang.
Selain pejabat dan
PNS dikabarkan pula penularan HIV/AIDS terjadi juga terhadap polisi, tentara,
pegawai swasta, dan dokter.
Inilah dampak buruk dari mitos yang sudah lama berkembang
di masyarakat. Celakanya, pemerintah tidak pernah mendobrak mitos ini bahkan
menguatkan mitos dengan menutup lokasi pelacuran di berbagai kota dan daerah.
Padahal, pengalaman Thailand menunjukkan
pelacuran yang dilokalisir menjadi kunci keberhasilan negeri itu untuk menurukan
insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.
Artinya, kalau pelacuran dilokalisir maka bisa dilakukan penanggulangan melalui
intervensi program yang dikenal sebagai ‘wajib kondom 100 persen’ bagi
laki-laki yang ngeseks dengan PSK.
Ketika banyak daerah di Indonesia menutup lokasi
pelacuran itu artinya penyebaran HIV/AIDS kian tidak terkontrol karena praktek
pelacuran terjadi di sembarang tempat dengan sembarang waktu dan dalam berbagai
bentuk seperti di massage therapy dan
spa.
Dokter yang melayani penderita HIV/AIDS di Kota
Palembang itu mengatakan bahwa kalangan menengah ke atas, al. pejabat, PNS,
aparat dan karyawan tergiur ngeseks
dengan pemijat di massage teraphy dan
spa karena mereka mengantongi uang
yang banyak, misalnya uang perjalanan dinas atau gratifikasi. Mereka datang
dari berbagai kabupaten dan kota di Sumsel dan dari luar Sumsel.
Layanan seks di hotel berbintang itu hanya bisa
dijangkau kalangan menengah ke atas karena tarif kamar saja antara Rp 350.000 –
Rp 500.000 untuk short time. Jumlah
ini belum termasuk imbalan bagi pemijat setelah memberikan layanan seks.
Nah, pejabat, PNS, aparat dan karyawan yang
tertular HIV/AIDS dari pemijat di massage
teraphy dan spa di Kota Palembang
menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di tempat tinggalnya dan di sepanjang
perjalanan, terutama bagi yang sering “mampir”. Penyebaran terutama terhadap
istri mereka. Bayangkan, kalau seorang laki-laki yang mengidap HIV/AIDS
memiliki istri lebih dari satu, maka kian banyak perempuan yang berisiko
tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual dalam ikatan pernikahan yang sah.
Polisi dan Satpol PP hanya berani merazia
penginapan, losmen dan hotel melati. Maka, praktek pelacuran di hotel
berbintang yang dikemas dengan berbagai cara, seperti massage theraphy (pengobatan tradisional dengan pijatan) dan spa (pengobatan tradisional dengan media
air) akan terus terjadi karena bukan sasaran razia.
Di sisi lain pelacuran yang tidak dilokalisir pun
menjadi biang keladi penyebaran HIV/AIDS karena tidak bisa diintervensi untuk
menjalankan program penanggulangan yang efektif.
Itu artinya pemerintah kabupaten dan kota serta
pemerintah provinsi di Sumatera Selatan tinggal menungg waktu saja untuk “panen
AIDS”. ***