30 Oktober 2014

Menyoal Penanggulangan HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Utara

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut) mengharapkan seluruh kabupaten/kota di provinsi itu mendirikan lembaga Komisi Perlindungan AIDS (KPA) agar penanggulangan penyakit itu dapat berjalan lebih maksimal. "Kita harapkan tahun ini juga seluruh kabupaten sudah membentuk KPA," kata Asisten III Bidang Kesra Pemprov Sumut, Zulkarnain  (Pemprov Sumut Harap Seluruh Kabupaten Dirikan Komisi Perlindungan AIDS, beritasatu.com, 30/10-2014).

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Sumut seperti dilaporkan Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI, sampai tanggal 30 Juni 2014 adalah 10.367 yang terdiri atas 8,794 HIV dan 1,573 AIDS. Jumlah ini menempatkan Sumut pada peringkat ke-10 secara nasional. Jika kasus HIV sampai pada masa AIDS itu artinya jumlah kasus AIDS di Sumut akan melonjak yang pada gilirannya menambah anggaran untuk membeli obat ARV.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah di daerah, kabupaten dan kota, yang sudah ada KPA otomatis penanggulangan HIV/AIDS berjalan lancar?

Tentu saja tidak. Buktinya di banyak daerah di Indonesia umumnya dan Sumut khususnya ada KPA mulai dari provinsi, kabupaten dan kota ada KPA tapi tidak ada program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret.

Bahkan, di beberapa daerah tsb. ada KPA dan ada pula peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS, tapi  tetap saja tidak ada program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret dan sistematis.

Lihat saja di Kab Serdang Bedagai, Kota Tanjungbali, dan Kota Medan (urutan berdasarkan pengesahan Perda AIDS) selain ada KPA juga ada Perda AIDS. Apakah di daerah-daerah ini ada program penanggulangan HIV/AIDS yang sistematis?

Tidak ada!

Lihat saja di Kab Serdang Bedagai yang sudah mempunyai Perda AIDS sejak tahun 2006, tapi apa yang terjadi di sana? Sama sekali tidak ada satu pasal pun dalam perda itu yang menyebutkan langkah-langkah konkret dan sistematis untuk menanggulangi (penyebaran) HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Kab Serdang Bedagai, Sumut).

Hal yang sama juga terjadi di Perda AIDS Kota Tanjungbalai (2009) yang juga tidak menyebutkan langkah-langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS di kota itu (Lihat: Perda AIDS Kota Tanjungbalai, Sumut).

Begitu pula dengan Perda AIDS Kota Medan (2012) yang hanya berisi mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Maka, perda ini pun tidak memberikan cara-cara yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Kota Medan).

Disebutkan bahwa pembentukan KPA berdasarkan UU No 36/2009 tentang Kesehatan, yang menyebutkan bahwa setiap kegiatan memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tinggi, dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan.

Kalau KPA hanya sebatas institusi tanpa program yang konkret dan sistematis untuk menanggulangi HIV/AIDS, tentu saja tidak terkait dengan UU tsb.

Dalam berita disebutkan lagi: “Kemudian meningkatnya jumlah penduduk usia 15 tahun atau lebih yang menerima konseling dan tes HIV dari 300 ribu orang menjadi 700.000 orang."

Konseling dan tes HIV adalah langkah di hilir. Artinya, Pemprov Sumut menunggu dulu ada penduduk yang tertular HIV baru dikonseling dan dites. Sebelum mereka menjalani konseling dan tes HIV yang mengidap HIV/AID sudah menularkan HIV ke orang lain. Semua terjadi tanpa mereka sadari.

Yang diperlukan adalah langkah di hulu yaitu:

(1) Menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), dan

(2) Mencegah penularan HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Dua hal di atas sama sekali tidak ada di dalam tiga Perda AIDS yang sudah ada di Sumut.

Itu artinya Perda AIDS tsb. tidak ada gunanya karena tidak menukik ke akar persoalan terkait dengan epidemi HIV.

Menurut Sekretaris KPA Sumatera Utara, Rachmatsyah, di Sumut sudah ada 14 kabupaten/kota yang sudah membentuk KPA, namun dari jumlah itu hanya empat yang aktif.

Apakah di empat daerah yang ada KPA ada program penanggulangan yang konkret dan sistematis?
Kalau tidak ada untuk apa membentuk KPA? Pembentukan KPA menguras dana APBD saja.

Yang menjadi persoalan besar adalah pelacuran yang tidak dilokalisir sehingga praktek pelacuan terjadi di sembarang tempat dan sembarang wakt di Sumut. Itu artinya insiden infeksi HIV baru terus terjadi. Maka, laki-laki dewasa yang mengidap HIV/AIDS pun terus bertambah yang akhirnya menambah jumlah perempuan, dalam hal ini ibu rumah tangga, yang tetular HIV. Pada gilirannya akan banyak pula anak-anak yang lahir dengan HIV/AIDS.

Jika Pemprov Sumut tidak menjalankan program pencegahan pada laki-laki yang ngeseks dengan PSK dan program pencegahan dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya, maka Pemrov Sumut tinggal menunggu waktu saja untuk “panen AIDS”. ***

Di NTT Mayoritas Pengidap HIV/AIDS adalah Ibu Rumah Tangga: Adakah Karena Poligami?

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

Berdasarkan data dari Komisi penanggulangan AIDS Provinsi NTT dan juga hasil rilis oleh Dinas Kesehatan Provinsi NTT, mayoritas penderita HIV/AIDS di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) diidap oleh ibu rumah tangga. Jumlah kumulatif kasus AIDS hingga akhir Bulan Agustus 2014 terdapat 780 ibu rumah tangga yang menderita AIDS.” (Ibu Rumah Tangga, Mayoritas Penderita HIV/AIDS di NTT, kompas.com, 29/10-2014).

Kasus kumulatif HIV/AIDS di NTT sampai bulan Agustus 2014 di 22 kabupaten dan kota adalah 3.041, yang terdiri atas ibu rumah tangga 780, wiraswasta 610, petani 410, pekerja seks komersial (PSK) 155, tidak diketahui 137, dan sopir 132. Mereka itu adalah belum kerja 123, PNS 111, ojek 107, tenaga kerja Indonesia 103, buruh 78, mahasiswa 73, guru 44, pelajar 33, satpam 20, polisi 19, tukang 18, pembantu rumah tangga 17, pelaut 12, nelayan 12, perawat 10, narapidana 9, TNI 8, aparat desa 6, anak buah kapal 5 dan pensiunan 3. Sedangkan berdasarkan umur yang paling banyak yakni 20-29 tahun yakni sebanyak 1.204 kasus. Berdasarkan jenis kelamin paling banyak perempuan yaitu 1.791 kasus (58,90 persen).

Pernyataan dalam bentuk kesimpulan ini bias gender karena HIV/AIDS yang ada pada ibu-ibu rumah tangga tidak datang sendiri karena perilaku mereka, tapi karena ditularkan oleh sumai mereka. Itu artinya yang lebih banyak mengidap HIV/AIDS adalah laki-laki.

Tapi, jika KPA NTT tetap mengatakan bahwa yang paling banyak mengidap HIV/AIDS di NTT adalah ibu rumah tangga dibanding laki-laki dewasa, maka itu artinya banyak laki-laki yang beristri lebih dari satu. Artinya, laki-laki di NTT poligami.

Disebutkan oleh Pengelola Program KPA NTT, Gusti Brewon: .... para ibu rumah tangga tersebut terinfeksi dari pasangannya. Mereka memiliki pasangan yang punya perilaku berisiko dan dalam ketidaktahuan itu mereka akhirnya terinfeksi HIV. 

Kalau di NTT monogami, maka jumlah laki-laki (baca: suami) yang mengidap HIV/AIDS minimal sama dengan perempuan (ibu rumah tangga) karena disebut ibu rumah tangga itu tertular dari suami. Karena yang paling banyak mengidap HIV/AIDS adalah ibu rumah tangga bisa jadi seorang laki-laki atau suami beristri lebih dari satu.

Yang jadi pertanyaan adalah kalau perilaku berisiko suami-suami itu adalah karena ngeseks dengan pekerja seks komersial, mengapa tidak ada intervensi berupa program yang bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki?

Bisa jadi Pemprov NTT mengatakan tidak wilayahnya tidak ada pelacuran yang melibatkan PSK karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang dibentuk dengan regulasi. Artinya, secara de jure tidak ada pelacuran di NTT.

Tapi, secara de facto praktek pelacuran yang melibatkan PSK terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Karena pelacuran tidak dilokalisir, maka tidak bisa dijalankan program berupa intervensi yang konkret untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika ngeseks sengan PSK.  Itu artinya, insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang pada tahap selanjutnya ditularkan ke perempuan.

Disebutkan pula oleh Gusti, ibu rumah tangga yang sudah terjangkit HIV dapat menularkan virus tersebut kepada bayi saat melahirkan atau menyusui, karena terlambat tahu status HIV-nya. 

Pertanyaan untuk Gusti, apakah ada program yang konkre dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil?

Kalau tidak ada, maka amatlah masuk akal kalau kelak du NTT kian banyak bayi yang lahir dengan HIV/AIDS.

Persoalan baru akan muncul karena kalau anak-anak itu jadi yatim-piatu tidak jelas instansi mana yang akan menangani mereka. Kemensos tidak bisa karena mereka bukan penyandang masalah sosial, sedangkan Kemenkes pun tidak bisa karena anak-anak itu tidak dalam kondisi sakit. Kondisinya kian runyam kalau keluarga bayi-bayi AIDS itu tidak mau mengurus mereka.

Jika Pemprov NTT tidak mempunyai program konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil, maka selama itu pula bayi yang lahir dengan HIV/AIDS akan terus bertambah.

Ini masih pernyataan Gusti: “Ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS trennya setiap tahun meningkat. Hal ini karena upaya pemeriksaan HIV sudah bergerak lebih baik. Layanan terus difasilitasi untuk lebih dekat, termasuk kampanye untuk peningkatan kesadaran lebih gencar. Tidak heran penemuan kasus akan terus ada, karena makin banyak orang mulai menyadari pentingnya tes HIV.”

Pernyataan di atas tidak pas. Yang dimaksud Gusti sebenarnya adalah jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV/AIDS tiap tahun bertambah. Ini karena kian banyak layanan.

Tapi, kalau disebut “Ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS trennya setiap tahun meningkat” itu bukan karena layanan, tapi karena kian banyak laki-laki yang tertular HIV/AIDS yang pada gilirannya mereka menularkannya kepada pasangannya, seperti istri, pacar atau selingkuhan. Inilah yang membuat kian banyak ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Menurut Gusti, langkah pertama yang dilakukan oleh pihaknya yakni mendorong lebih banyak IRT dan pasangannya untuk mengakses layanan pemeriksaan HIV karena merupakan hal yang sangat penting. 

Langkah itu jelas pasif karena hanya menunggu ibu rumah tangga yang mau menjalani tes HIV. Bahkan, banyak ibu rumah tangga yang menjalani tes HIV karena mereka memeriksakan kehamilan atau karena ada indikasi perilaku suami yang perilakunya berisiko tertular HIV/AIDS.

Yang diperlukan adalah langkah yang aktif berupa intervensi yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada pasangan suami istri. Ada kemungkinan juga KPA NTT dan Dinkes NTT tidak melakukan konseling pasangan. Ketika seorang ibu rumah tangga terdeteksi mengidap HIV/AIDS, suaminya tidak dikonseling sehingga tidak menjalani tes HIV.

Jika Pemprov NTT tidak melokalisir pelacuran, maka internvisi tidak bisa dijalankan secara efektif  sehingga memicu insiden infeksi HIV baru pada laki-laki, yang pada gilirannya menambah jumlah perempuan, dalam hal ini istri atau ibu rumah tangga, yang tertular HIV. Pada terminal terakhir infeksi HIV terjadi pada anak-anak yang lahir dari ibu pengidap HIV/AIDS.***

27 Oktober 2014

KPA Sumut Pakai Rumus “Telanjang” Menghitung Kasus AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap  - AIDS Watch Indonesia

"Karena berdasarkan data WHO, setiap ditemukan 1 kasus HIV/AIDS, estimasi keadaan di lingkungan sekitarnya sekitar 100 kasus." Ini disebutkan oleh Sekretaris KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Sumut Rahmatsyah (medanbisnis.com, 24/10-2014).

Penulis mewawancarai Prof Dr Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM, yang dikenal sebagai dokter yang menangani HIV/AIDS sejak awal epidemi tentang 'rumus' WHO itu. Hasil wawancara dengan Prof Beri, panggilan akrabnya, adalah:

Pertama, 'rumus' tsb. bukan untuk menentukan jumlah kasus ril HIV/AIDS di masyarakat.

Kedua, 'rumus' tsb. dipakai untuk keperluan epidemilogis, misalnya untuk merancang program penanggulangan, penyediaan obat, rumah sakit, dll.

Ketiga, 'rumus' tsb bisa dijadikan acuan untuk poin kedua jika: tingkat pelacuran tinggi, pemakaian kondom rendah, tingkat kesehatan masyarakat rendah, dll.

Lebih lanjut Prof Beri mengatakan bahwa 'rumus' itu bisa dipakai di Afrika karena memenuhi kondisi kedua yaitu pelacuran tinggi, pemaian kondom rendah dan tingkat kesehatan masyarakat pun ssangat rendah

Kalau KPA Sumut memakai rumus itu, maka pelacuran dan AIDS di Sumut sama kondisinya dengan di Afrika. Celakanya, Pemprov Sumut tidak mempunyai program yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS.

Dalam berita Rahmat mengatakan: “ .... estimasi penemuan kasus HIV/AIDS di Sumut merupakan peringkat 10 besar di Indonesia. Karenanya, dalam menurunkan rantai penularan HIV/AIDS, penyeragaman informasi harus dilakukan, termasuk dalam pendataan.”

Tidak ada kaitan langsung antara mata rantai penyebaran HIV/AIDS dengan penyeragaman informasi. Memutus atau menurunkan mata rantai penyebaran HIV/AIDS bisa dilakukan melalui program konkret berupa intervensi terhadap laki-laki yang ngeseks dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu intervensi melalui regulasi berupa program ‘wajib kondom 100 persen’.

Namun, program ‘wajib kondom 100 persen’ hanya bisa dijalankan secara efektif kalau pelacuran dilokalisir dengan regulasi sehingga kegiatan di lokalisasi pelacuran terikat dengan hukum. Regulasi diperlukan karena germo atau mucikari akan diberikan izin usaha sebagai bagian dari ikatan hukum. Germo wajib memaksa laki-laki yang ngeseks pakai kondom.

Secara rutin PSK menjalani survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, virus hepatitis B, dll.). Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu artinya ada laki-laki yang ngeseks dengan PSK tanpa kondom. Germo diberikan sanksi hukum mulai dari peringatan, pencabutan izin usaha, sampai denda dan kurungan.

Yang dikhawatirkan KPA Sumut menepuk dada dan mengatakan: Di Sumut tidak ada pelacuran!

Secara de jure itu benar karena semua lokalisasi yang di era Orba disebut sebagai pusat rehabilitasi dan resosialisasi PSK dengan membekali mereka dengan keterampilan sudah ditutup.

Tapi, secara de facto di Sumut dan semua daerah di Indoensia praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Karena pelacuran ini tidak dilokalisir dengan regulasi, maka program penanggulangan pun tidak bisa dilakukan.

Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Pada gilirannya laki-laki yang tertular HIV akan menularkan HIV ke pasangannya, seperti istri, pacar, selingkuhan dan PSK lain.

Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga membuktikan suami mereka melakukan hubungan seksual berisiko, al. dengan PSK.

Jika Pemprov Sumut tidak mempunyai program penanggulann yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermura pada “ledakan AIDS”. ***

26 Oktober 2014

Pasangan Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama di Kab Semarang Mengidap HIV/AIDS

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

Dua Pasang Tokoh Agama di Semarang Positif HIV/AIDS.” Ini judul berita di kompas.com (24/10-2014). Dalam berita disebutkan “Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kabupaten Semarang menyebutkan, ada 20 orang yang ditemukan positif HIV/AIDS selama bulan Oktober. Empat orang di antaranya adalah sepasang suami istri tokoh masyarakat dan pasangan tokoh agama.”

Judul berita di atas bisa jadi sensasional jika dikaitkan dengan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS, al. HIV/AIDS menular melalui ‘seks bebas’. Mitos AIDS pun memberikan gambaran buruk terhadap tokoh agama dan tokoh masyarakat yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Kab Semarang, Jawa Tengah itu.

Untuk mendapatkan gambaran yang ril tentang penularan HIV pada tokoh agama, kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada guru agama di Kota Medan, Sumut, ini bisa memberikan jawaban terhadap tokoh masyarakat dan tokoh agama di Kab Semarang tsb. Soalnya, dalam berita tidak dijelaskan faktor risiko (cara penularan) HIV/AIDS terhadap tokoh masyarakat dan tokoh agama tsb. sehingga bisa menimbulkan penafsiran yang buruk.

Guru agama dan istrinya serta anak kedua dari istri pertamanya di Kota Medan tsb. terdeteksi mengidap HIV/AIDS (kasus ini di awal tahun 2000-an) berawal dari anaknya dari istri kedua terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Keluarga guru agama ini tes HIV dan hasilnya adalah suami (guru agama), istri pertama, istri kedua dan anak kedua dari istri pertama positif mengidap HIV/AIDS. Itu artinya, guru agama itu tertular HIV/AIDS dari istri kedua. Maka, penularan HIV di keluarga guru agama ini terjadi di dalam ikatan pernikahan yang sah.

Ada kemungkinan perilaku seksual mantan suami istri kedua guru agama itu berisiko, al. sering ngeseks dengan pekerja seks komersial (PSK) tanpa kondom, sehingga istrinya tertular HIV/AIDS. Si istri ini pun tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular HIV/AIDS sehingga ketika menikah dengan guru agama itu dia tidak merasa sebagai perempuan yang pernah menikah dengan laki-laki yang perilaku seksualnya berisiko.

Nah, bertolak dari kasus guru agama di Medan itu bisa dianalogikan dengan kasus pada tokoh masyarkat dan tokoh agama di Kab Semarang. Bisa mereka mempunyai istri lain. Kalau tidak resmi sebagai istri kedua dst., bisa juga istri mereka itu dinikahi secara siri (pernikahan sah menurut akidah Islam tapi tidak dicatatkan di KUA).

Karena menyangkut tokoh masyarakat dan tokoh agama adalah sangat tidak etis tidak disebutkan faktor risiko agar masyarakat tidak membawa mereka ke ranah moral. Sangat disayangkan Koordinator Wilayah PKBI Kabupaten Semarang, Muhamad Pujisantoso, tidak menyebutkan faktor risiko dan juga tidak menjelaskan mengapa kedua pasangan itu dirawat di rumah sakit. Akibatnya, masyarakat mengait-ngaitkan penyakit tokoh masyarakat dan tokoh agama itu dengan HIV/AIDS.

Di bagian lain Muhamad mengatakan: "Dari kalangan PSK lima orang, itu kita dapat di lokalisasi Tegalpanas, PSK liar di Ungaran dan di Gamblok, Ambarawa. Empat orang dari LSL (lelaki suka lelaki), tiga janda, dan seorang LBT (laki-laki berisiko tinggi)."

Tidak jelas apa yang dimaksud Muhamad sebagai “PSK liar” karena terkait dengan penyebaran HIV/AIDS risiko penularan terjadi pada semua jenis dan bentuk PSK. Baik PSK langsung (PSK di lokalisasi dan di jalanan) maupun PSK tidak langsung (cewek kafe, cewek pub, cewek disko, ‘ayam kampus’, ABG, anak sekolah, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.) serta PSK liar sama saja perilakunya karena tidak ada program pencegahan berupa intervensi yang konkret terhadap laki-laki yang ngeseks dengan PSK.

Dikatakan pula oleh Muhamad: "Setelah razia di Ungaran, Kapolres langsung mengatensi kepada seluruh polsek untuk merazia PSK liar. Kamis kemarin di Gamblok (Ambarawa) kita dapati tiga PSK, salah satunya dinyatakan positif setelah di-VCT."

Dalam penyebaran HIV/AIDS yang jadi persoalan besar bukan PSK, tapi laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK karena bisa saja laki-laki itu sebagai seorang suami sehingga istrinya berisiko tertular HIV. Kalau laki-laki itu punya istri lebih dari satu, maka perempuan yang berisiko tertular HIV pun kian besar. Jika istri dan perempuan yang menjadi pasangan mereka tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang mereka kandung kelak.

Selanjutnya adalah laki-laki yang pernah ngeseks dengan PSK tsb. dengan tidak memakai kondom. Mereka berisiko tertular HIV. Paling tidak sebelum seorang PSK menjalani tes HIV sudah ada 180 laki-laki yang berisiko tertular HIV (1 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan).

Ada kemungkinan laki-laki yang pernah ngeseks dengan PSK tanpa kondom adalah seorang suami sehingga istrinya berisiko tertular HIV. Kalau laki-laki itu punya istri lebih dari satu, maka perempuan yang berisiko tertular HIV pun kian besar.

Jika Pemkab Semarang tidak melakukan intervensi berupa program “wajib kondom 100 persen” melalui regulasi terhadap laki-laki yang ngeseks dengan PSK, maka insiden kasus HIV baru akan terus terjadi yang bisa dilihat dari kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga.

Pada gilirannya penyebaran HIV/AIDS di Kab Semarang akan bermuara pada “ledakan AIDS”. ***