25 Oktober 2014

Kematian Pengidap HIV/AIDS di Kota Depok, Jawa Barar, Bukan Karena HIV atau AIDS

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia
           
“Sebanyak 19 orang warga Kota Depok, Jawa Barat meninggal dunia akibat menderita penyakit HIV/AIDS. Pasalnya, karena rendahnya tingkat kesadaran mereka untuk meminum obat anti retroviral virus (ARV).” Ini lead pada berita “19 Orang di Depok tewas karena HIV/AIDS” (merdeka.com, 25/10-2014).

Pernyataan pada lead dan judul berita tsb. menyesatkan karena:

(1) Kematian pada pengidap HIV/AIDS, disebut juga Odha yaitu Orang dengan HIV/AIDS, bukan karena (virus) HIV atau (kondisi) AIDS, tapi karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS (secara statistik masa AIDS antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll.

(2) Sampai sekarang belum ada laporan kematian Odha karena HIV atau AIDS.

(3)  Tidak semua orang yang tertular HIV/AIDS mengetahui bahwa dirinya sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik mereka dan tidak ada pula keluhan kesehatan yang khas AIDS. Akibatnya, ketika mereka masuk masa AIDS mudah sakit dan ada yang harus dirawat di rumah sakit. Tapi, karena kondisi sudah parah sering tidak tertolong sehingga menemui ajal.

ARV adalah singkatan dari antiretroviral yaitu obat yang bisa menghambat perkembangbiakan HIV di dalam darah. Obat ini diberikan kepada Odha jika CD4 (hasil pemeriksaan laboratorium) sudah 350. Maka, tidak semua orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS otomatis meminum obat ARV.

Disebutkan oleh Pendiri Kuldesak, Samsu Budiman: "Tingkat kesadaran para ODHA (orang dengan HIV/AIDS, red) belum tinggi. Dari 387 ODHA, hanya 35 orang atau kurang dari 10 persen saja yang rutin mengonsumsi obat anti ARV."

Pertanyaan untuk Samsu: Apakah semua Odha itu, 387, sudah menjalani tes CD4?

Kalau jawabannya YA, maka berapa CD4 mereka? Apakah 387 Odha itu CD4-nya di bawah 350?

Kalau CD4 di atas 350 tidak dianjurkan minum obat ARV. Maka, patut dipertanyakan apakah yang tidak mau minum obat ARV itu CD4-nya di bawah 350?

Persoalan yang dihadapi Odha di Kota Depok adalah mereka tidak akan menerima santunan kematian karena peraturan daerah (Perda) Kota Depok membuat pengecualian terhadap kematian penduduk karena terkait AIDS (Santunan Kematian yangDiskriminatif di Kota Depok, Jawa Barat).

Masalah lain adalah Pemkot Depok tidak mempunyai program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret, terutama pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK).

Bisa juga Pemkot Depok menganggap di Kota Depok tidak ada pelacuran karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang diregulasi. Tapi, biar pun tidak ada lokasi pelacuran praktek pelacuran yang melibatkan PSK tetap ada di Kota Depok.

Selama Pemkot Depok tidak melokalisir pelacuran, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru terus terjadi melalui kegiatan pelacuran yang pada gilirannya bermuara pada “ledakan AIDS”. ***

22 Oktober 2014

Dua Cewek Kakak-Adik Pengidap HIV/AIDS di Karangasem, Bali, “Sebarkan” AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

* Persoalan bukan pada dua cewek AIDS itu, tapi ada pada laki-laki dewasa penduduk Karangasem ....

“Dua Wanita Pengidap HIV/AIDS Resahkan Warga.” Ini judul berita di Pos Bali (22/10-2014) tentang isu yang beredar di Kabupaten Karangasem, Bali. Diisukan ada dua cewek cantik kakak-adik, berumur 20-an tahun, yang menyebarkan HIV/AIDS. Kasus HIV/AIDS di Kab Karangasem dilaporkan 363 (tribunnews.com. 11/10-2014).

Terkait dengan judul berita di atas, ada beberapa hal yang luput dari perhatian, yaitu:

(1) Bagaimana masyarakat mengetahui dua wanita tsb. mengidap HIV/AIDS? Jika status HIV kedua wanita itu diketahui masyarakat, maka ada yang salah yaitu ada pihak atau orang yang membeberkan status HIV mereka. Bisa juga mereka sendiri yang membuka status HIV mereka.

Kalau benar identitas mereka disebarkan sebagai pengidap HIV/AIDS, maka sudah terjadi perbuatan melawan hukum. Jika yang mereka lakukan itu sebagai bagian dari “balas dendam” karena perlakuan masyarakat terhadap mereka, seperti stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda), maka ada yang salah dengan konseling sebelum dan sesudah tes HIV.  Bisa juga mereka tes HIV tanpa konseling, misalnya di laboratorium yang tidak masuk jaringan Klinik VCT yang dibina pemerintah.

Jika seseorang terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku, maka tidak akan pernah terjadi “balas dendam” karena pada konseling sebelum tes mereka sudah diyakinkan agar tidak menularkan HIV ke orang lain dan mereka juga memberikan pernyataan bahwa penularan HIV berhenti sampai pada mereka (yang menjalani tes HIV).

(2) Kalau pun status HIV dua wanita itu diketahui, mengapa disebutkan meresahkan warga? Soalnya, penularan HIV/AIDS tidak bisa melalui pergaulan sehari-hari, seperti berbicara, bersalaman, duduk bersama, minum dan makan bersama, bermain bersama, dll.

Jika dua cewek AIDS itu tetap dianggap meresahkan itu artinya ada laki-laki di Karangasem yang gemar melakukan hubungan seksual dengan dua cewek itu. Risiko tertular HIV besar kalau laki-laki tidak memakai kondom.

Disebutkan dalam berita: “Pasalnya menurut informasi yang beredar, dua orang cewek kakak-adik tersebut terus berkeliaran mencari mangsa menyebarkan virusnya ke orang lain.”

Untuk menyebarkan HIV/AIDS ke orang lain, maka dua cewek itu harus melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki. Nah, kalau ini yang terjadi, maka persoalan bukan pada dua cewek pengidap HIV/AIDS itu tapi ada pada laki-laki dewasa penduduk Karangasem. Sudah ada informasi bahwa ada dua cewek cantik pengidap HIV/AIDS yang menawarkan jasa seks, mengapa laki-laki tetap mau melakukan hubungan seksual dengan cewek-cewek itu.

Disebutlan lagi: “Diduga telah lebih dari 30 orang yang menjadi korban dari  kedua pengidap penyakit yang mematikan itu.”

Probabilitas (kemungkinan) tertular HIV/AIDS dari seorang pengidap HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, ke orang lain adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali terjadi penularan HIV. Masalahnya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual ke berapa terjadi penularan HIV. Bisa yang pertama, kedua, kelima, ketujuh puluh, kesembilan puluh, dst. Artinya, setiap hubungan seksual tanpa kondom dengan pengidap HIV/AIDS selalu ada risiko tertular HIV.

Ada lagi pernyataan dalam berita: “Dari beberapa broadcast melalui Blacbery beredar isu bahwa cewek yang bersangkutan sempat mandi di salah satu tempat wisata air di karangasem dan dengan sengaja melukai dirinya agar darahnya tersebar di air. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk menularkan virus HIV AIDS ke  banyak orang.”

Penyabaran HIV/AIDS tidak bisa dilakukan melalui air karena HIV hanya bisa hidup di sel darah putih manusia. Di luar tubuh mansuai, kecuali di laboratorium,  HIV akan segera mati.

Menurut, I Made Sukerana, Ketua KPAD (Komisi Pemberantasan AIDS Daerah) Karangasem, “ .... ternyata yang sempat memakai cewek tersebut adalah kebanyakan anak-anak muda geng motor yang sering nongkrong malam-malam di pinggir jalan raya.”

Tentu saja itu berita buruk karena anak-anak muda geng motor itu berisiko tertular HIV/AIDS. Jika ada di antara mereka yang tertular itu artinya mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual dan jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya).

Di bagian lain disebutkan pula bahwa Kadis Kesehatan Karangasem, IGM Tirtayana, mengatakan, pasca isu penyebaran HIV/AIDS yang beredar di masayarakat ternyata banyak warga yang telah melakukan tes VCT untuk mengetahui kondisi tubuhnya.

Jika kondisi di atas terjadi itu artinya banyak laki-laki penduduk Karangasem yang perilaku seksnya berisiko tertular HIV/AIDS yaitu sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti, serta dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan dua cewek tadi.

Maka, yang perlu dilakukan Pemkab Karangasem, Bali, adalah melakukan intervensi melalui regulasi untuk memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung yaitu PSK yang ada di lokasi pelacuran, kafe, pub, diskotek, dll.

Jika Pemkab Karangasem tidak melakukan intervensi, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***