Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia
"Kita jangan lengah dengan masuknya arus
globalisasi di kabupaten ini, sehingga berbagai upaya menangkal
perilaku-perilaku menyimpang harus gencar dilakukan." Ini pernyataan Bupati Gorontalo, David Bobihoe
Akib, dalam berita “30
Warga Gorontalo Mengidap HIV/AIDS” di harianterbit.com (10/10-2014).
Itulah bentuk orasi moralistis yang sama sekali tidak
terkait dengan persoalan yang ada karena tidak ada kaitan arus globalisasi dan
perliku-perilaku menyimpang dengan penularan HIV/AIDS.
Sebagai virus, HIV hanya menular melalui cara-cara
yang sangat khas, yaitu:
(1) Melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar
nikah, dengan pengidap HIV/AIDS dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2) Melalui transfusi darah yang mengandung HIV/AIDS,
(3) Melalui jarum suntik, al. pada penyalahguna narkoba
(narkotik dan bahan-bahan berbahaya) yang dipakai secara bersama-sama dengan
bergantian, dan
(4) Melalui air susu ibu (ASI) dengan proses menyusui
dengan perempuan yang mengidap HIV/AIDS.
Empat cara penularan (faktor risiko) itu jelas tidak
ada kaitannya secara langsung dengan arus globalisasi.
Tanpa arus globalisasi pun apakah Pak Bupati bisa
menjamin selama ini tidak ada penduduknya yang melakukan hubungan seksual
dengan pekerja seks komersial (PSK) baik PSK langsung maupun PSK tidak langsung
di Gorontalo dan di luar Gorontalo?
Dengan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS sebanyak 30 di
Kab Gorontalo tentulah sudah terjadi penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di
masyarakat. Pak Bupati mengatakan: "Pengidap HIV/AIDS di daerah ini
tergolong tinggi, karena jumlah penduduk memang sangat sedikit atau belum
mencapai 400 ribu jiwa dibandingkan dengan daerah lainnya, seperti di Pulau
Jawa.”
Jika di antara 30 pengidap HIV/AIDS ada PSK, maka
laki-laki penduduk Kab Gorontalo yang sudah pernah melakukan hubungan seksual
tanpa memakai kondom dengan PSK berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Berbagai studi menunjukkan seorang PSK melayani
rata-rata 3 laki-laki tiap malam. Maka, sudah bisa dihitung-hitung jumlah
laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS ketika PSK tsb. terdeteksi mengidap
HIV/AIDS. Seseorang terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV itu artinya
minimal ybs. sudah tertular HIV/AIDS tiga bulan. Itu artinya sudah ada 180 laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS
(1 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan).
Disebutkan “Termasuk mengkampanyekan anti seks bebas
yang tidak hanya merusak masa depan generasi muda, namun akan merusak citra
daerah ini.”
Tidak jelas apa yang dimaksud dengan seks bebas. Kalau
yang dimaksud dengan seks bebas dalam berita ini adalah zina, maka perzinaan
dalam berbagai bentuk sudah lama terjadi tanpa ada arus globalisasi.
Misalnya, melacur dengan PSK, perselingkuhan, “kumpul
kebo”, kawin kontrak, dll. tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan
HIV/AIDS.
Pak Bupati mungkin membusungkan dada karena di
daerahnya tidak ada lokalisasi pelacuran yang diatur dengan regulasi sehingga
dianggap tidak ada praktek pelacuran di Kab Gorontalo. Ini adalah anggapan yang
naif karena praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Selain itu bisa saja penduduk Kab Gorontalo melacur di
luar daerah atau di luar negeri. Jika merka tertular HIV/AIDS di luar daerah
atau di luar negeri, maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS
di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
Ini juga pernyataan Pak Bupati: "Jangan tabu mengkampanyekan anti seks
bebas, agar generasi muda kita menjadi waspada dan sadar bahwa kita telah
menjadi daerah ke lima di Indonesia tertinggi pengidap HIV/AIDS, sehingga
jangan sampai angka ini terus naik di tahun-tahun mendatang.”
Secara nasional kasus HIV/AIDS justru banyak
terdeteksi di kalangan dewasa yang bisa dibuktikan dengan kasus HIV/AIDS pada
ibu-ibu rumah tangga. Lagi pula generasi muda yang tertular HIV/AIDS ada di
terminal terakhir karena mereka tidak menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS.
Itu karena mereka tidak mempunyai pasangan tetap atau istri.
Yang diperlukan adalah intervensi yang konkret melalui
regulasi dengan mewajibkan laki-laki dewasa yang melacur dengan PSK memakai
kondom. Celakanya, pelacuran di Kab Gorontalo tidak dilokalisir sehingga tidak
bisa dilakukan intervensi teradap laki-laki yang ngeseks dengan PSK.
Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Kab Gorontalo
akan terus terjadi yang kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***