03 Oktober 2014

Melancong ke Bali, Harap Maklum: 20 Persen Cewek Kafe Remang-remang Mengidap HIV/AIDS!

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

“20 Persen Pekerja Kafe Remang-remang Tertular HIV.” Ini judul berita di tribunnews.co (1/10-2014) tentang status HIV/AIDS pekerja kafe remang-remang di wilayah Provinsi Bali melalui siurvailans tahun 2013.

Sekilas judul ini sensasional dan bombastis, maklum soal HIV/AIDS yang terdeteksi pada perempuan-perempuan cantik yang bekerja di kafe remang-remang. Penyebutkan kafe remang-remang saja banyak orang yang berpikiran ‘remang-remang’ pula.

Memang, dari judul berita di atas terbukti bahwa cewek-cewek kafe itu bukan hanya pandai melayani tamu dengan menyediakan minuman dan makanan ringan, juga minuman beralkohol, tapi juga lihai menggeliat mengikuti irama goyangan laki-laki selama ngeseks.

Celakanya, penyebaran HIV/AIDS sudah merata di bumi ini sehingga tidak ada satu pun daerah yang semua penduduknya berstatus HIV-negatif. Biar pun ada daerah di Nusantara yang berkoar-koar di daerahnya tidak ada kasus HIV/AIDS itu terjadi karena di daerah itu tidak dilakukan survailans tes HIV dan bisa jadi penduduk setempat tes HIV di daerah lain dengan berbagai macam alasan.

Kembali ke Bali. Ada tiga hal yang luput dari perhatian wartawan dan narasumber berita tsb. yaitu:

(1) Ada sejumlah laki-laki, bisa penduduk Bali atau pendatang, sebanyak pekerja kafe yang mengidap HIV/AIDS yang menularkan HIV/AIDS ke pekerja kafe remang-remang tsb. Dalam kehiduan sehari-hari mereka ini bisa sebagai seorang suami, pacar, atau selingkuhan yang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS ke istri, pacar, selingkuhan, pekerja kafe, pekerja seks komersial (PSK) dan pasangan seks lain.

(2) Ada pula sejumlah laki-laki, bisa penduduk Bali dan pendatang, yangg berisiko tinggi tertular HIV/AIDS yaitu mereka yang ngeseks tanpa memakai kondom dengan pekerja kafe remang-remang yang mengidap HIV/AIDS tsb. Soalnya, tidak bisa dikenali cewek-cewek pekerja kafe yang mengidap HIV/AIDS dari fisik mereka. Dalam kehiduan sehari-hari mereka ini bisa sebagai seorang suami, pacar, atau selingkuhan yang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS ke istri, pacar, selingkuhan, pekerja kafe, pekerja seks komersial (PSK) dan pasangan seks lain.

(3) Laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke cewek-cewek pekerja kafe remang-remang dan laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari cewek pekerja kafe remang-remang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Bali, al. secara horizontal yaitu melalui hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam dan di luar nikah, ke istri, pacar, selingkuhan, cewek kafe, PSK, dst.

Lalu, apa yang dilakukan Pemprov Bali, dalam hal ini Dinkes Bali, untuk menanggulangi tiga hal di atas?

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Bali seperti yang dilaporkan oleh Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, sampai 30 Juni 2014 adalah 13.312 yang terdiri atas 9.051 HIV dan 4.261 AIDS (spritia.or.id).

Disebutkan oleh Kepala Dinkes Provinsi Bali, Ketut Suarjaya, bahwa jumlah pengidap virus yang belum bisa disembuhkan itu cukup tinggi di kafe-kafe di Bali. Karena itulah, Suarjaya, berharap kepada desa pakraman untuk tidak mengizinkan jika ada pembangunan kafe remang-remang di desa-desa Bali.

Pertanyaan untuk Suarjaya: Apakah kafe, hotel, restoran, bar, dll. yang mengantongi izin otomtis tidak akan terjadi penularan HIV jika di tempat-tempat tersebut terjadi hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom?

Inilah salah satu bukti betapa sebagian dari kita tidak menempatkan persoalan secara proporsoinal. Upaya untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS, al. melalui cewek-cewek di kafe remang-remang, bukan dengan memberikan izin kepada kafe, tapi melakukan intervensi dengan regulasi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali ngeseks dengan cewek kafe remang-remang.

Jika Pemprov Bali, seperti yang dikatakan oleh Suarjaya, pendirian kafe harus ada izin, maka ini pintu masuk untuk melakukan intervensi. Artinya, pemberian izin disatukan dengan ketentuan bagi pengusaha kafe untuk menerapkan aturan ‘wajib memakai kondom bagi laki-laki yang ngeseks dengan cewek kafe’. Karena terkait dengan hukum, maka ada sanksi hukum bagi pengusaha kafe jika ada cewek kafe yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/sifilis, raja singa/go, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, dll.) melalui survailans rutin terhadap cewek-cewek kafe.

Pernyataan Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali, Jero Gede Suwena Putus Upadesa, ini menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak akurat. Dampak buruk atau negatif yang mereka maksud yaitu penyebaran HIV/AIDS bukan karena kafe tsb. atau cewek-cewek kafe, tapi ada laki-laki pengidap HIV/AIDS yang ngeseks tanpa kondom dengan cewek kafe. Selanjutnya ada pula laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari cewek kafe yang mengidap HIV/AIDS karena ngeseks tanpa kondom.

Jadi, bukan karena tidak ada izin. Tapi, ada perilaku-perilaku seksual yang tidak aman.

Nah, sebagai ketua majelis Pakraman, apakah Jero Gede bisa mengajak warganya agar tidak ngeseks dcngan cewek-cewek kafe remang-reman, dengan PSK di Bali dan di luar Bali, atau dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah?

Persoalan bukan pada cewek-cewek kafe remang-remang, tapi pada laki-laki, bisa penduduk Bali bisa pelancong, yang ngeseks tanpa kondom dengan cewek-cewek kafe remang-remang. ***

02 Oktober 2014

Di Kab Kuningan, Jawa Barat, HIV/AIDS “Membunuh” Pengidapnya


Oleh Syaiful W. HarahapAIDS WatchIndonesia

4 Warga Kuningan Tewas Terjangkit HIV/AIDS.” Ini judul berita di kompas.com (24/9-2014).

Judul berita ini benar-benar menyesatkan dan menimbulkan kepanikan yang pada gilirannya mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) atau pengidap HIV/AIDS.

Pernyataan di judul berita tsb. dikatakan menyesatkan karena kematian pada pengidap HIV/AIDS atau Odha bukan karena HIV/AIDS, tapi karena penyakit-penyakit yang muncul di masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll.

Secara statistik masa AIDS muncul pada pengidap HIV/AIDS antara 5-15 tahun setelah tertular HIV. Pada masa AIDS kekebalan tubuh pengidap HIV/AIDS sangat rendah sehingga rentan tertular berbagai macam penyakit. Karena kekebalan rendah, maka penyakit-penyakit yang masuk di masa AIDS sangat potensial sebagai penyebab kematian.

Di lead berita disebutkan: “Sebanyak empat warga di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, meninggal dunia akibat terjangkit virus mematikan, Human Immunodeficiency Virus Infection / Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS). Mereka meninggal dunia dalam waktu yang berdekatan, pada pertengahan Agustus hingga awal September 2014.”

Menyebutkan HIV/AIDS sebagai “virus mematikan” adalah kesalahan besar karena sampai hari ini belum ada laporan kematian pengidap HIV/AIDS karena terjangkit atau diserang HIV atau AIDS. Yang mematikan pada pengidap HIV/AIDS bukan virus HIV atau AIDS, tapi penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik.

Keterangan Kepala Pengelola Program, Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA), Kabupaten Kuningan, Asep Susan Sonjaya, menyebutkan tiga korban merupakan pecinta sesama jenis, sedangkan satu lainya berstatus waria. 

Untuk apa menyebut ‘pecinta sesama jenis’ karena secara terminologi mereka dikenal sebagai laki-laki gay yaitu orientasi seks dengan homoseksual.

Dalam berita disebutkan pula: “Belum genap sembilan bulan, sejak Januari hingga September 2014, terdapat 37 warga yang menjadi korban keganasan virus tersebut.”

Lagi-lagi pernyataan yang bombastis dan sensasional, tapi tidak memberikan informasi yang akurat karena kematian 37 warga Kuningan tsb. bukan karena keganasan HIV/AIDS tapi karena penyakit lain yaitu infeksi oportunistik.

Asep juga tidak bersikap sebagai narasumber yang berkompeten karena al. tidak menyebutkan jenis atau nama penyakit yang menyebabkan kematian pada tiga gay dan satu waria tsb.

Kalau dalam berita disebutkan jenis atau nama penyakit penyebab kematian, maka masyarakat akan memahami HIV/AIDS secara benar sehingga tidak muncul stigma dan diskriminasi.

Menurut Asep, kematian terkait HIV/AIDS di Kab Kuningan sudah mencapai 190 sejak tahun 2004 tidak menggambarkan angka yang sebenarnya karena tidak menutup kemungkinan banyak korban yang meninggal dunia akibat HIV/AIDS yang tidak dilaporkan, tidak diketahui, sehingga tak masuk data.

Disebutkan bahwa masyarakat di Kab Kuninganh masih sangat takut, dan merasa aib untuk memberitahu ada anggota keluarga yang meninggal akibat AIDS.

Tentu saja karena informasi yang mereka terima tidak akurat, bahkan menakut-nakuti, seperti judul dan lead berita tsb.

Yang menjadi persoalan besar bukan tiga gay dan satu waria yang meninggal, tapi orang-orang yang menularkan HIV/AIDS dan orang-orang yang sudah tertular HIV/AIDS, terutama terkait dengan waria. Yang menularkan ada satu orang dan yang berisiko tertular ribuan orang. Mereka ini jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondo di dalam dan di luar nikah.

Studi di Kota Surabaya, Jawa Timur, menunjukkan yang menjadi pelanggan waria adalah laki-laki heteroseksual sebagian besar yang mempunyai istri. Celakanya, laki-laki heteroseksual justru jadi “perempuan” yang dianal (penis waria masuk ke anus laki-laki heteroseksual) oleh waria sehingga risiko tertular HIV sangat besar.

Laki-laki heteroseksual tsb. menjadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari lingkungan waria ke masyarakat, terutama kepada istri atau pasangan seks mereka. Jika satu waria meladeni tiga laki-laki heteroseksual setiap malam, maka sebelum waria itu meninggal sudah ada 5.400 – 16.200 laki-laki heteroseksual yang berisiko tertular HIV/AIDS (1 waria x 3 laki-laki/malam x 30 hari/bulan x 5 atau 15 tahun).

Disebutkan lagi: “Bahkan, ironisnya, tiap kali melakukan tes konseling dan pemeriksaan mobile VCT, banyak sekali yang menolak, khususnya para lelaki. Tidak hanya satu dua, hampir rata-rata para pria menolak  untuk diperiksa.”

Lho, yang benar saja, dong, Asep. Cara-cara yang Anda lakukan tentu saja tidak komprehensif.

Pertama, dilakukan secara terbuka sehingga semua orang mengetahui siapa saja yang melakjkan tes HIV.

Kedua, apakah sudah ada konseling dalam bentuk penyuluhan sebelum mereka diajak tes HIV.

Ketiga, apa jaminan Anda agar informasi hasil tes tidak tersebar luas jika tes dilakukan secara terbuka.

Keempat, tidak semua warga masyarakat harus menjalani tes. Hanya mereka yang pernah atau sering melakukan perilaku berisko yang dianjurkan tes HIV.

Kelima, apakah Anda sudah memberikan informasi yang akurat tentang perilaku berisko secara luas kepada masyarakat?

Maka, kesalahan bukan pada masyarakat, tapi ada pada Anda. ***

01 Oktober 2014

Warga Bali “Ramai-ramai” Tes HIV/AIDS, Ada Apa?

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

Membludak, Warga Bali Lakukan Tes HIV/AIDS.” Ini judul berita di tribunnews.com edisi  30/9-2014.

Judul berita ini menggambarkan kondisi buruk perilaku warga Bali karena tidak semua orang, dalam hal ini warga Bali, harus melakukan tes HIV.

Tapi, judul berita itu sudah menghukum warga Bali yang menunjukkan perilaku seksual warga Bali berisiko tertular HIV sehingga mereka melakukan tes HIV sampai membludak.

Perilaku Berisiko Tertular HIV/AIDS

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Bali dilaporkan 9.908, dengan estimasi 26.000 (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional/KPAN). Itu artinya kasus yang terdeteksi baru 38,11 persen. Berarti ada 16.092 lagi kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi dan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal, al. melalui hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di dalam dan di luar nikah.

Orang-orang yang dianjurkan tes HIV yakni yang berperilaku berisiko tertular HIV, yaitu:

(1) Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, di dalam dan di luar nikah, al. dengan parempuan yang berganti-ganti, seperti dengan pacar, perselingkuhan, ‘kumpul kebo’, kawin kontrak, nikah mut’ah, dan pelaku kawin-cerai.

(2) Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, di dalam dan di luar nikah, al. dengan laki-laki yang berganti-ganti, seperti dengan pacar, perselingkuhan, ‘kumpul kebo’, kawin kontrak, nikah mut’ah, dan pelaku kawin-cerai.

(3) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, al. pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang kasat mata seperti di lokasi pelacuran, taman, jalanan, dll.) serta PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata seperti cewek panggilan, ABG, ibu-ibu, mahasiswi, ayam kampus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek gratifikasi seks, dll.).

(4) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom dengan dengan waria dan laki-laki (dikenal sebagai LSL yaitu Lelaki Suka Seks Lelaki).

(5) Laki-laki gay yang pernah atau sering melakukan hubungan seks anal dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.

(6) Perempuan hamil karena ada kemungkinan suami mereka berperilaku berisiko tertular HIV, seperti pada angka (1), (2), (3) dan (4) sehingga kalau suami mereka mengodap HIV/AIDS maka ada kemungkinan mereka juga tertular HIV.

(7) Laki-laki dan perempuan yang pernah atau sering memakai narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) secara bersama-sama dengan cara disuntikkan dengan memakai jarum yang sama secara bergiliran.

Nah, jika disebutkan bahwa warga Bali membludak melakukan tes HIV itu artinya warga Bali melakukan salah satu atau beberapa perilaku berisiko di atas. Ini ‘kan menyesatkan.

Tidak ada gunanya tes HIV kalau perilaku tidak terkait dengan perilaku yang berisiko tertular HIV.

Disebutkan: “Berdasarkan data dari KPA Bali, jumlah penderita terbanyak HIV/AIDS berada di wilayah Kota Denpasar. Di ibukota Provinsi Bali ini, jumlah penderita secara kumulatif dari tahun 1987 hingga 2014 sebanyak 3.919 kasus.”

Pertanyaannya adalah: Apakah semua pendeita HIV/AIDS yang tercatat di Kota Denpasar merupakan penduduk Kota Denpasar?

Tes HIV Langkah di Hilir

Kalau jawabannya “YA”, maka hal itu merupakan kondisi ril dari masyarakat yang banyak melakukan perilaku berisiko.

Tapi, kalau jawabannya “TIDAK”, maka pernyataan itu salah.  Bukan “jumlah penderita terbanyak HIV/AIDS berada di wilayah Kota Denpasar”, tapi kasus HIV/AIDS banyak tercatat di Denpasar.

Kondisi itu terjadi karena sebelum tempat tes, disebut Klinik VCT, dibukan di berbagai tempat dulu hanya ada di RS Sanglah, Denpasar, sehingga kasus-kasus dari berbagai daerah di Bali dan dari luar Bali serta luar neger yang terdeteksi di RS Sanglah tercatat sebagai kasus di Kota Denpasar.

Dalam berita disebutkan: Upaya yang dilakukan oleh Pemkot Denpasar dalam meminimalisasi penyebaran HIV, antara lain adalah dengan layanan Voluntary Counseling Test (VCT).  

Langkah ini di hilir. Artinya, Pemkot Denpasar menunggu ada dulu penduduk kota itu yang tertular HIV baru dites.

Yang diperlukan adalah program  penanggulangan di hulu yaitu untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru terutama di kalangan laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK langsung. Soalnya, adalah hal yang mustahil menghentikan insiden infeksi HIV baru dari 7 perilaku berisko di atas.

Yang bisa dilakukan dengan cara-cara yang konkret adalah melakukan intervensi pada perilaku nomor (3), itu pun hanya dengan PSK langsung yang kasat mata di lokasi pelacuran. Jika pelacuran tidak dilokalisir, maka program intervensi, dikenal dengan ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melacur, tidak akan bisa dijalankan.

Disebutkan oleh Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Denpasar, Luh Putu Sri Armini: “jumlah kunjungan orang yang melakukan VCTmenunjukkan peningkatan. Jumlahnya banyak dan terus meningkat.”

Wah, itu bukti lagi kalau warga Kota Denpasar melakukan perilaku berisko sehingga yang melakukan tes membludak.

Koordinator Pokja Informasi dan Pencegahan KPA Bali, Prof Dr Mangku Karmaya, mengatakan: “fenomena HIV/AIDS di Bali ibarat gunung es. Maka, untuk membongkarnya perlu adanya kesadaran diri dari masyarakat untuk memeriksakan diri sedini mungkin.”

Yang diperlukan bukan kesadaran masyarakata, tapi orang-orang dengan perilaku berisiko. Jika semua orang disamaratakan perilakunya, maka akan muncul mitos baru bahwa biar pun tidak melakukan perilaku berisiko, kecuali perempuan hamil, tetap akan tertular HIV. Maka, mereka pun mengabaikan perilaku seks aman.

Disebutkan lagi: “Kampanye seperti menghindari perilaku seks menyimpang dan gonta ganti pasangan juga terus dilakukan selain sosialisasi pemakaian kondom untuk mereka yang berpotensi terjangkit virus ini (HIV-pen.).”

Kalau yang dimaksud dengan seks menyimpang adalah zina, al. dengan melacur, maka perlu diingat bahwa tidak ada kaitan langsung antara ‘seks menyimpang’ dengan penularan HIV/AIDS.

Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) dengan berbagai macam posisi hubungan seks jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali ngeseks (kondisi hubungan seksual).

Langkah-langkah yang tidak realistis dan konkret itulah al. yang membuat penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia jalan di tempat, bahkan mundur. Maka, tidaklah mengherankan kalau penyebaran HIV/AIDS terus terjadi di negeri ini dan kelak bermura pada ‘ledakan AIDS’. ***

29 September 2014

Di Jembrana, Bali: Laki-laki yang Ngeseks dengan Perempuan Penghibur Berisiko Tertular HIV/AIDS

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS WatchIndonesia

Razia kosan pekerja kafe, Satpol PP temukan 3 wanita positif HIV.” Ini judul berita di merdeka.com (29/9-2014) yang terjadi di Kota Negara, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali.

Sekilas judul itu menggambarkan “keberhasilan” Satpol PP menemukan tiga perempuan yang positif HIV, tapi jika dikaitkan dengan fenomena HIV/AIDS maka ada fakta yang luput dari perhatian Satpol PP dan jajaran Pemkab Jembrana.

Pertama, paling tidak ada tiga orang laki-laki, bisa penduduk Jembrana atau pendatang, yang mengidap HIV/AIDS. Mereka inilah yang menularkan HIV/AIDS ke tiga perempuan penghibung tsb. Dalam kehidupan sehari-hari bisa jadi tiga laki-laki tsb. adalah suami sehingga ada risiko penularan HIV ke istri atau pasangan mereka (horizontal). Jika istri atau pasangan mereka tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV ke bayi yang dikandung istri mereka (vertikal).

Kedua, jika setiap malam seorang perempuan penghibur melayani tiga laki-laki, maka setiap malam ada 9 laki-laki, bisa penduduk lokal atau pendatang, yang berisiko tertular HIV. Dalam kehidupan sehari-hari bisa jadi laki-laki tsb. yang tertular HIV dari perempuan penghiburng itu adalah suami sehingga ada risiko penularan HIV ke istri atau pasangan mereka (horizontal). Jika istri atau pasangan mereka tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV ke bayi yang dikandung istri mereka (vertikal).

Ketiga, jika tes yang dipakai Dinas Kesehatan Jembrana adalah reagen ELISA, maka tiga perempuan penghibur pengidap HIV/AIDS tsb. sudah tertular HIV minimal tiga bulan. Itu artinya sudah ada 540 (3 perempuan penghibur x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan) laki-laki yang berisiko tertular HIV. Merka bisa saja penduduk Jembrana atau pendatang.

Yang menjadi persoalan besar bagi Pemkab Jembrana adalah “mencari” laki-laki yang menularkan HIV ke tiga perempuan penghibur dan laki-laki yang tertular HIV dari tiga perempuan penghibur tsb. Jika mereka tidak ditemukan itu artinya mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara horizontal, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Jembrana dilaporkan 505 yang merupakan 5,5 persen dari kasus kumulatif di Prov Bali (kompas.com, 1/7-2014).

Dalam berita disebutkan: Selain melakukan pemeriksaan kartu identitas, mereka juga diperiksa tes urin dan darah para pekerja tersebut. Ironisnya, dari hasil pemeriksaan ini ditemukan tiga wanita terjangkit virus HIV. "Untuk identitas, mohon maaf kami rahasiakan. Sesuai kode etik badan kesehatan dan perlindungan terhadap ohida," jelas Asmara (Kasi Operasi dan Trantib Sat Pol PP Jembrana I Nyoman Gede Suda Asmara).

Yang ironis bukan penemuan tiga perempuan yang mengidap HIV/AIDS, tapi ada laki-laki penduduk Jembrana yang menularkan HIV ke tiga perempuan tsb., dan ratusan laki-laki lain bisa penduduk Jembrana yang berisiko tertular HIV dari tiga perempuan penghibur tsb.

Terkait dengan identitas bukan karena “kode etik badan kesehatan dan perlindungan terhadap ohida”, tapi secara medis semua informasi penderita semua penyakit adalah rahasia jabatan dokter. Publikasi identitas, jenis penyakit dan tindakan medis hanya bisa diperoleh atas izin pasien.

Disebutkan pula “Dia (Kasat Satpol PP Jembrana-pen.) juga memastikan akan terus melakukan pemeriksaan terkait upaya antisipasi penularan HIV/AIDS di Jembrana, .....”

Bagaimana cara Satpol PP melihat penularan HIV/AIDS?

Orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisik mereka, sehingga adalah hal yang mustahil Satpol PP bisa mengantispasi penularan HIV/AIDS.

Yang bisa dilakukan Satpol PP atau Pemkab Jembrana untuk menanggulangi HIV/AIDS melalui hiburan malam hanyalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang ngeseks dengan perempuan penghibur. Caranya adalah dengan melakukan intervensi melalui regulasi yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan perempuan penghibur.

Kabid Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Dinas Kesehatan Jembrana, dr I Gusti Bagus Ketut Oka Parwata, mengatakan, bahwa dari beberapa kali Satpol PP melakukan operasi dan berhasil menjaring penduduk pendatang yang pekerjaannya beresiko terhadap penularan HIV/AIDS. 

Pernyataan di atas hanya menyudutkan pendatang, padahal persoalan ada di Jembrana yaitu laki-laki penduduk Jembrana yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan penghibur pendatang tsb. Memang, ada kemungkinan perempuan pendatang itu sudah mengidap HIV/AIDS sehingga berisiko menularkan ke laki-laki penduduk Jembrana. Itu artinya masalah bukan pada perempuan penghibur pendatang, tapi pada laki-laki penduduk Jembrana yang ngeseks tanpa kondom dengan perempuan penghibur pendatang.


Disebutkan pula bahwa ada perempuan penghibur yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tapi langsung dipulangkan ke daerah asal seingga tidak bisa diawasi.

Yang jadi persoalan bukan perempuan penghibur pengidap HIV/AIDS yang dipulangkan tsb., tapi laki-laki penduduk Jembrana yang sudah tertular HIV dari perempuan penghibur itu. Mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Selama Pemkab Jembrana hanya menyalahkan perempuan penghibur pendatang, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS di Jembrana terus terjadi yang kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS. ***