“ .... para wanita PSK lebih menyadari akan
bahaya tertular virus HIV. Mereka pun melakukan pencegahan dengan menggunakan
kondom saat berhubungan seks.” Ini pernyataan Program Manager Ikatan Perempuan
Positif Indonesia, Melly Windi Lianti dalam berita “Ini Yang Membuat Ibu Rumahtangga Lebih Rentan Ketularan AIDS Ketimbang
PSK” (tribunnews.com, 9/9-2014).
Melly
menyampaikan pernyataan tsb. terkait dengan pendapat dia bahwa ibu rumah tangga
ternyata lebih rentan terjangkit HIV dibanding pekerja seks komersial (PSK).
Kasus yang terjadi pada mereka adalah karena tertular HIV dari suaminya.
Ada
beberapa fakta yang terkait dengan soal tsb., tapi tidak muncul ke permukaan
dan cenderung digelapkan.
Pertama,
biar pun PSK menydari risiko tertular HIV tapi tidak semua PSK mempunyai posisi
tawar yang kuat untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika berhubungan seksual.
Kedua,
biar pun ada PSK yang hanya melayani laki-laki yang memakai kondom tapi mereka
justru melayani pasangannya sebagai pacar, suami, dll. tanpa memakai kondom.
Ketiga,
yang memakai kondom bukan PSK tapi laki-laki yang membeli seks kepada PSK tsb.
Persoalan
yang sangat mendasar mengapa disebut jumlah ibu rumah tangga yang mengidap
HIV/AIDS lebih banyak daripada PSK.
Seorang
PSK rata-rata melayani 3 laki-laki setiap malam. Ada kemungkinan di antara
laki-laki itu ada suami. Itu artinya satu malam saja ada 3 suami yang berisiko
tertular HIV dan kalau mereka terular dari PSK maka mereka pun menularkan HIV
ke istrinya. Bisa juga ke perempuan lain dalam bentuk hubungan pacar gelap,
simpanan, teman ‘kumpul kebo’, dll.
Dari gambar jelas ditunjukkan bahwa 1 PSK melayani 3 laki-laki. Maka, biar pun ada 3 laki-laki yang mengidap HIV/AIDS mereka hanya menularkan ke satu PSK. Sebaliknya, 1 PSK yang mengidap HIV/AIDS menularkan HIV ke 3 laki-laki. Ini satu PSK dan satu malam. Kalau 1.000 PSK dan 1 bulan tentulah ada 60.000 laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS setiap bulan (1.000 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan).
Dari gambar jelas ditunjukkan bahwa 1 PSK melayani 3 laki-laki. Maka, biar pun ada 3 laki-laki yang mengidap HIV/AIDS mereka hanya menularkan ke satu PSK. Sebaliknya, 1 PSK yang mengidap HIV/AIDS menularkan HIV ke 3 laki-laki. Ini satu PSK dan satu malam. Kalau 1.000 PSK dan 1 bulan tentulah ada 60.000 laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS setiap bulan (1.000 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan).
Fakta
di atas menunjukkan jumlah ibu rumah tangga atau istri yang berisiko tertular
HIV akan lebih banyak daripada PSK.
Maka,
tidak pada tempatnya mengatakan bahwa ibu rumah tangga lebih banyak tertular
HIV daripada PSK karena PSK sudah aware (meminjam istilah Melly).
Fakta
lain tentang jumlah pengidap HIV pada ibu rumah tangga dan PSK adalah ada
kebijakan untuk melakukan tes HIV terhadap ibu hamil. Sedangkan survailans tes
HIV terhadap PSK jarang sekali dilakukan. Kondisi ini membuat jumlah ibu hamil
yang terdeteksi mengidap HIV akan lebih banyak daripada PSK.
Disebutkan lagi
oleh Melly: "Fenomenanya kini lebih banyak pada ibu rumah tangga karena
mereka merasa tidak punya risiko HIV. .... ,"
Dalam berita
disisipkan data ini: Data terakhir dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) disebutkan
jumlah ibu runah tangga yang mengidap HIV/AIDS 6.230, sedangkan jumlah PSK
pengidap HIV/AIDS 2.021 (1987-2013).
Pertanyaan untuk
data di atas: (a) Berapa jumlah ibu rumah tangga yang menjalani tes HIV, (b) Berapa
jumlah PSK yang menjalani tes HIV?, (c) Bagaimana tes HIV dijalankan terhadap
ibu rumah tangga?, dan (d) Bagaimana pula tes HIV dijalankan terhadap PSK?
Ada di antara
ibu-ibu rumah tangga yang memahami risiko tertular HIV karena mereka juga tahu
persis perilaku seksual suami di luar rumah. Persoalannya adalah tidak ada
dalil atau hukum yang bisa membela istri yang meminta suami pakai kondom ketika
sanggama kalau si suami berperilaku berisiko.
Bahkan, pemahaman
agama yang sangat dogmatis menempatkan istri sebagai sub-ordinat dari suami
sehingga istri tidak punya posisi tawar untuk bertanya kepada suami tentang
perilaku seksualnya di luar rumah. Nah, bertanya pun tidak punya hak apalagi
meminta suami pakai kondom.
Pada
kondisi-kondisi tertentu suami diposisikan punya hak untuk ‘memukul’ istri yang
dianggap melawan.
Disebtukan lagi: “Para
ibu rumah tangga ini umumnya terlambat mengetahui telah tertular HIV karena
tidak melakukan pemeriksaan sebelumnya.”
Di Indonesia tidak
ada program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.
Yang ada hanya kebijakan-kebijakan lokal yang menganjurkan ibu hamil untuk
konseling dan seterusnya tes HIV.
Maka, yang
diperlukan adalah langkah konkret dari negara, dalam hal ini pemerintah, yaitu
intervensi melalui regulasi yang ketat dan pemantauan yang konkret.
Intervensi yang
bisa menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa adalah program ‘wajib
kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Persoalannya
adalah program itu hanya efektif jika
pelacuran dilokalisir. Celakanya, pelacuran di Indonesia tidak ada yang
dilokalisir berdasarkan regulasi.
Kondisi itu
membuat insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa akan terus terjadi yang
akan berujung pada ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dan terakhir pada
anak-anak yang mereka lahirkan dengan HIV/AIDS. ***