Oleh
Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia
“Wakil Wali Kota Sukabumi,
Achmad Fahmi menegaskan saat ini pihaknya tengah gencar memperkuat program
warga peduli AIDS (WPA). Dengan kelompok warga ini maka akan memudahkan untuk
mendeteksi penyebaran virus.” Ini pernyataan dalam berita “4 Ibu Rumah
Tangga Positif HIV/AIDS, 1 Orang Hamil” di
sindonews.com, 11/8-2014.
Tidak
jelas apa yang dimaksud dengan “memudahkan untuk mendeteksi penyebaran virus”
dalam pernyataan wakil wali kota itu.
Pertama,
penyebaran virus (HIV) tidak kasat mata. Penularan HIV/AIDS hanya melalui
cara-cara yang khas yang tidak bisa dilihat secara langsung dan tidak terjadi
melalui air, udara dan pergaulan sosial.
Kedua, orang-orang
yang mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya, sehingga tidak bisa diketahui
siapa yang menularkan HIV/AIDS.
Ketiga, orang-orang
yang tertular HIV/AIDS pun tidak bisa dikenali dari fisiknya, terutama sebelum
masuk masa AIDS (antara 5-15 tahun).
Pertanyaan
untuk Pak Wakil Wali Kota: Bagaimana cara WPA mengenali orang-orang yang
menyebarkan HIV/AIDS?
Lagi
pula kalau pun WPA mencari-cari warga yang mengidap HIV/AIDS, itu artinya sudah
terjadi penyebaran HIV.
Kasus
kumulatif HIV/AIDS di Kota Sukambumi sejak tahun
2002 sampai bulan Agustus 2014 tercatat 784. Kasus terakhir terdeteksi pada
empat ibu rumah tangga, salah satu di antaranya sedang hamil.
Kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu
rumah tangga itu membuktikan bahwa suami mereka melakukan perilaku berisiko,
al. melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial
(PSK).
Yang perlu dilakukan Pemkot
Sukabumi bukan menggerakkan WPA “untuk mengetahui tingkat penyebaran virus”,
tapi melakukan program yang konkret berupa intervensi terhadap laki-laki dewasa
yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Program tsb. adalah memaksa
laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Program
ini hanya bisa dijalankan dengan efektif jika pelacuran dilokalisir. Sedangkan
di Kota Sukabumi pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu
sehingga tidak bisa diintervensi.
Dalam gambar bisa dilihat
bahwa intervensi hanya bisa dilakukan terhadap laki-laki pada hubungan seksual
dengan PSK langsung yaitu PSK yang ada dilokalisasi. Sedangkan PSK langsung di
luar lokalisasi dan PSK tidak langsung (seperti cewek kafe, cewek diskotek,
cewek pub, ABG, cewek gratifikasi seks, dll.) tidak bisa dijalankan intervensi.
Intervensi lain adalah
sosialiasi agar suami-suami yang melacur tanpa kondom memakai kondom ketika
sanggama dengan istrinya.
Langkah terkakhir adalah
intervensi terhadap ibu-ibu hamil berupa program pencegahan penularan HIV
dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Tapi, program ini hanya pasif
karena tidak ada program yang bisa mendeteksi ibu-ibu hamil yang mengidap
HIV/AIDS secara sistematis.
Jika
Pemkot Sukabumi tidak melakukan intervensi terhadap laki-laki yang melacur,
maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru terus terjadi sehinga penyebaran
HIV/AIDS pun terus pula terjadi di masyarakat.
Penyebaran
HIV/AIDS di Kota Sukabumi kian runyam karena dikabarkan ada “arisan gigolo”
(Lihat: “Arisan Gigolo” di Sukabumi, Jawa Barat: Mendorong Penyebaran HIV/AIDSdi Masyarakat).
Penyebaran
HIV/AIDS akan berimbas pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi yang kelak sampai
pada muara yaitu “ledakan AIDS”. ***