Oleh Syaiful
W. Harahap – AIDS Watch Indonesia
Pemerintah Provinsi Papua berencana membangun rumah sakit
khusus untuk menangani dan merawat warga yang positif terinfeksi HIV/AIDS.
Ini lead pada berita “Pemprov Papua
Akan Bangun RS Khusus HIV/AIDS Pada 2015” (beritasatu.com, 4/8-2014).
Jumlah kasus
kumulatif HIV/AIDS di Prov Papua sampai 31 Maret 2014 tercatat 25.059 yang
terdiri atas 14,943 HIV dan 10,116 AIDS (Ditjen PP & PL,
Kemenkes RI, 28 Mei 2014/www.spiritia.or.id).
Jumlah ini menempatkan Prov Papua sebagai peringkat pertama dengan jumlah kasus
AIDS terbanyak di Indonesia.
Ada beberapa
hal yang luput dari perhatian terkait dengan rencana Pemprov Papua itu.
Pertama, penyakit yang diidap oleh pengidap
HIV/AIDS bukan penyakit khusus, sehingga tidak diperlukan penanganan bahkan
rumah sakit khusus. Orang-orang yang mengidap HIV/AIDS pada masa AIDS, secara
statistik antara 5-15 tahun, mulai mudah tertular penyakit, disebut infeksi
oportunistik, seperti jamur, diare, TB, dll. Penyakit-penyakit ini tidak
memerlukan penanganan khusus.
Kedua, disebutkan rumah sakit tsb. untuk “merawat
warga yang positif terinfeksi HIV/AIDS”. Ini tidak pas karena tidak
semua orang yang mengidap HIV/AIDS ototmatis akan dirawat. Apalagi sekarang
sudah ada obat antiretroviral (ARV) yang bisa menahan laju perkembangan HIV di
dalam darah sehingga kondisi kesehatan pengidap HIV/AIDS tetap terjaga.
Ketiga,
rumah sakit khusus AIDS justru akan membuat diskriminasi (perlauan berbeda) karena
dikesankan pengidap HIV/AIDS harus mendapatkan perawatan dan dirawat di rumah
sakit khusus.
Keempat,
rumah sakit khusus AIDS juga akan mendorong stigma (cap buruk) terhadap
pengidap HIV/AIDS karena dikesankan mereka berbeda dengan penduduk yang
mengidap penyakit yang sama.
Kepala Dinas Kesehatan Prov Papua, drg Aloysius Giyai, mengatakan, selama ini penanganan warga
yang positif terinfeksi HIV/AIDS di rumah sakit umum terkesan masih
diskriminatif. Harus ada rumah sakit khusus buat mereka (warga yang sudah
positif HIV/AIDS, red.).
Yang jadi persoalan bukan karena rumah sakit, tapi karena
perilaku pegawai, karyawan, perawat, dokter, dll. di rumah sakit yang
membedakan pengidap HIV/AIDS dan yang tidak diketahui status HIV-nya.
Apakah kelak di rumah sakit khusus AIDS ada jaminan perlakuan
pegawai, karyawan, perawat, dokter, dll. terhadap pengidap HIV/AIDS tidak ada
lagi stigma dan diskriminasi?
Tentu saja tidak ada karena kesalahan bukan pada rumah sakit
tapi tanggapan dan perilaku orang-orang yang bersentuhan dengan pengidap
HIV/ADIS di rumah sakit.
Walikota Jayapura pernah sesumbar
bahwa tahun 2015 Kota Jayapura “bebas AIDS” (Lihat: Mustahil, Tahun 2015 Kota Jayapura
Ditargetkan Bebas HIV/AIDS - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/mimpi-tahun-2015-kota-jayapura_8.html).
Nah, untuk apa lagi bangun rumah sakit AIDS kalau kota itu
sudah bebas AIDS?
Pembangunan rumah sakit AIDS itu adalah langkah di hilir.
Artinya, Pemprov Papua membiarkan penduduk tertular HIV baru kemudian dirawat
di rumah sakit tsb. Ini terjadi kalau Pemprov Papua tidak mempunyai program
yang konkret di hulu.
Salah satu mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Prov Papua
adalah laki-laki dewasa, bisa lajang, duda atau beristri, yang tertular
HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial
(PSK) baik di lokasi atau lokalisasi pelacuran maupun di luar lokasi pelacuran,
seperti di losmen, hotel, dll.
Di setiap kota dan kabupaten di Prov Papua ada tempat
pelacuran. Celakanya, program berupa intervensi ke pelacuran yaitu memaksa
laki-laki memakai kondom. Yang terjadi justru jerat hukum kepada PSK yang
melayani laki-laki tanpa kondom.
Biar pun PSK itu ditangkap sudah ada risiko penularan HIV
dari PSK ke laki-laki yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan
seksual.
Maka, selama program
penanggulangan HIV/AIDS di hulu tidak konkret, maka selama itu pula insiden
infeksi HIV baru terus terjadi sehingga penyebaran HIV di masyarakat pun terus
terjadi. Kndisi ini akah berakhir pada “ledakan AIDS”, al. ditandai dengan
kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi. ***