02 Agustus 2014

Tenaga Medis DInkes Kota Surabaya Akan Mencari-cari Pengidap HIV/AIDS


Oleh Syaiful W. HarahapAIDS WatchIndonesia

Awasi Pengidap HIV/AIDS di Dolly” Ini judul berita di jpnn.com (20/7-2014). Ini tentang pekerja seks komersial (PSK) di lokasi pelacuan Dolly di Kota Surabaya Jawa Timur. Judul berita itu menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terkait dengan HIV/AIDS.

Kasus HIV/AIDS di Kota Surabaya dilaporkan sampai bulan Mei 2014 adalah 589 HIV dan 444 AIDS (jpnn.com, 20/7-2014).

Pertama, tidak ada peraturan yang membenarkan seorang pengidap HIV/AIDS diawasi. Jika ada orang atau pihak yang mengawasi orang-orang yang mengidap HIV/AIDS itu artinya telah terjadi perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Ini bukan hanya terhadap pengidap HIV/AIDS, tapi kepada semua pengidap penyakit kecuali penyakit yang terkait dengan wabah.

Mata Rantai Penyebaran HIV

Kedua, terkait dengan risiko penularan yang menjadi persoalan besara bukan PSK yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS, tapi, (a) PSK yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, (b) laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke PSK, dan (c) laki-laki yang tertular HIV dari PSK.

(a) PSK yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi akan menularkan HIV/AIDS kepada laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tsb. Setiap malam seorang PKS rata-rata melakukan hubungan seksual dengan tiga laki-laki. Jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV kian banyak jika PSK yang mengidap HIV/AIDS juga banyak.

(b) Laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Itu artinya laki-laki ini akan menurkan HIV kepada istrinya secara horizontal atau kepada perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya, seperti istri, istri siri, selingkuhan, pacar atau PSK. Jika istrinya tertular HIV maka ada pula risiko penularan HIV secara vertikal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

(c) Laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Itu artinya laki-laki ini akan menurkan HIV kepada istrinya secara horizontal atau kepada perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya, seperti istri, istri siri, selingkuhan, pacar atau PSK. Jika istrinya tertular HIV maka ada pula risiko penularan HIV secara vertikal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Mata rantai penyebaran HIV/AIDS oleh laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK mendorong penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. Realitas inilah yang tidak pernah disampaikan secara utuh ke masyarakat.

Maka, biar pun PSK yang mengidap HIV/AIDS diawasi, jauh lebih banyak PSK yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Kondisinya kian runyam karena banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Dalam berita tsb. disebutkan: Mereka (tenaga medis di puskesmas-pen.) akan secara aktif mencari orang-orang yang diduga menderita penyakit tersebut. ”Petugas bisa mendatangi orang yang dicurigai dan mengetesnya,” kata Kepala Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Surabaya dr Mira Novia.

Cara-cara yang diterapkan oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya ini merupakan langkah yang melawan hukum karena akan menyasar orang-orang dengan kriteria mereka sendiri.

Siapa yang diduga menderita penyakit tsb (HIV/AIDS)?

Secara umum berdasarkan pemahaman setengan orang terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis yang sangat rendah, maka yang mereka duga adalah: PSK, waria, dan laki-laki ‘hidung belang’ yang ketahuan.

Padahal, orang-orang yang berisiko tertular HIV tidak terbatas pada PSK, waria dan laki-laki ‘hidung belang’.

Laki-laki dan perempuan pelaku kawin-cerai juga merupakan orang-orang yang berisiko tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan mereka mengidap HIV/AIDS.

Begitu juga dengan laki-laki yang beristri lebih dari satu, jika ada di antara istri-istri tsb. yang sudah pernah menikah maka ada risiko tertular HIV karena bisa jadi ada di antara istri tsb. yang mengidap HIV/AIDS.

Kasus di Kota Medan, Sumut, misalnya, seorang guru agama yang terdeteksi mengidap HV/ADIS ternyata istri dan anak kedua mengidap HIV/AIDS. Rupanya, guru agama ini beristri dua. Kemungkinan besar HIV menular dari istri kedua.

Mengalami Keanehan

Begitu juga dengan laki-laki yang menerima gratifikasi seks berupa ‘cewek’ untuk jadi pasangan melakukan hubungan seksual. Biar pun cewek ini bukan PSK, tapi cewek itu adalah perempuan yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV karena melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti (Lihat: Gratifikasi Seks (Akan) Mendorong Penyebaran HIV/AIDS di Indonesiahttp://www.aidsindonesia.com/2013/01/gratifikasi-seks-akan-mendorong.html).

Amatlah gegabah langkah Dinas Kesehatan Kota Surabaya itu kalau petugas kesehatan yang mencurigai seseorang mengidap HIV/AIDS melakukan tes HIV kepada yang dicurigai tsb. karena status HIV/AIDS seseorang tidak bisa dilihat dari fisik ybs.

Langkah Dinas Kesehatan Kota Surabaya itu bak ‘mati gaya’ karena program penanggulangan HIV/AIDS di sana tidak konkret. Bahkan, dalam Perda AIDS Kota Surabaya pun tidak ada pasal yang konkret untuk menanggulangai penyebaran HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Kota Surabaya - http://www.aidsindonesia.com/2013/07/perda-aids-kota-surabaya.html).


Celakanya, Pemkot Surabaya menutup lokasi pelacuran, tapi dalam Perda AIDS Kota Surabaya justru pelacuran “dipelihara” (Lihat: Dolly Ditutup, Dalam Perda AIDS Kota Surabaya Justru Ada (Praktek) Pelacuran - http://www.aidsindonesia.com/2014/06/dolly-ditutup-dalam-perda-aids-kota.html).


Dikabarkan bahwa “untuk para lelaki hidung belang yang suka jajan dengan PSK, dinkes memang tidak bisa berbuat terlalu banyak. Upaya dinkes hanya mempersering sosialisasi tentang bahaya penyakit itu. Sosialisasi tersebut juga dibarengi dengan ajakan untuk segera memeriksakan diri bila mengalami keanehan.”

Selama sosialiasi sudah terjadi penularan HIV dari laki-laki pelanggan PSK ke pasangan seksnya, bisa istri, pacar, selingkuhan, PSK atau ke sesama laki-laki. Lagi pula tidak ada rentang waktu yang bisa dipakai sebagai acuan kapan seorang laki-laki pelanggan PSK akan melakukan tes HIV. Bahkan, bisa jadi status HIV mereka baru ketahuan ketika sakit atau sekarat di rumah sakit.

Pernyataan “ .... untuk segera memeriksakan diri bila mengalami keanehan” merupakan gambaran umum yang terjadi salama ini yang justru menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas HIV/AIDS pada fisik orang-orang yang tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Gejala di masa AIDS pun tidak spesifik karena gejala itu juga bisa karena penyakit lain.

Maka, langkah konkret yang bisa dilakukan oleh Pemkot Surabaya untuk mendeteksi penduduk yang mengidap HIV/AIDS adalah dengan merancang regulasi, seperti peraturan daerah (Perda), al.:

(1) Mewajibkan perempuan hamil konseling HIV/AIDS bersama suami atau pasangan jika memeriksakan kehamilan ke sarana kesehatan pemerintah.

(2) Mewajibkan semua orang yang berobat ke sarana kesehatan pemerintah untuk menjalani tes HIV.

Sedangkan untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa, hanya bisa dilakukan melalui hubungan seksual dengan PSK jika pelacuran dilokalisir. Yang terjadi di Kota Surabaya adalah pelacuran tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dijalankan program yang bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru.

Itu artinya Pemkot Surabaya tinggal menunggu waktu saja untuk “panen AIDS”. *** 

Awasi Pengidap HIV/AIDS di Dolly

Surabaya, aidsindonesia.com (20/7-2014) - Pasca penutupan lokalisasi Dolly-Jarak, Pemkot Surabaya dihadapkan pada pekerjaan besar untuk memantau penderita HIV/AIDS. Semua instansi dikerahkan untuk tetap mengendalikan penularan penyakit berbahaya itu dari berbagai sisi.

Langkah utama pemkot adalah menggerakkan 62 puskesmas yang tersebar di seluruh Surabaya. Tenaga medis di puskesmas itu telah dibekali kemampuan dan peralatan untuk mendeteksi penyakit HIV/AIDS. Mereka akan secara aktif mencari orang-orang yang diduga menderita penyakit tersebut. ”Petugas bisa mendatangi orang yang dicurigai dan mengetesnya,” kata Kepala Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Surabaya dr Mira Novia, Sabtu (19/7).

Selain cara jemput bola semacam itu, ada delapan puskesmas yang disiapkan untuk menerima penderita HIV/AIDS. Yakni, Puskesmas Putat Jaya, Perak Timur, Sememi, Dupak, Jagir, Manukan Kulon, Kedurus, dan Tanah Kali Kedinding. Puskesmas tersebut memiliki tenaga medis khusus yang bisa memberikan penanganan awal untuk penderita. ”Semua tes itu juga gratis,” ungkapnya.

Selain berbasis puskesmas, pencarian penderita HIV/AIDS melibatkan pengurus lembaga swadaya masyarakat. Terutama untuk mendekati komunitas-komunitas yang rentan terhadap pergaulan bebas. ”Lokasi-lokasi yang berpotensi menjadi tempat transaksi seks juga kami datangi,” ujarnya.

Langkah itu bertujuan menjaring para penderita HIV/AIDS di Surabaya. Sebab, setiap tahun jumlah pengidap penyakit itu bertambah cukup banyak. Pada Januari hingga Mei saja, terdeteksi 281 orang. Perinciannya, 171 orang terjangkit HIV dan 110 sudah terkena AIDS.

Data tersebut menambah daftar panjang pengidap HIV/AIDS pada 2013 sebanyak 754 orang. Sebanyak 501 menderita HIV dan sisanya terkena AIDS. Pada 2012 yang terdeteksi penyakit itu mencapai 752 orang dengan klasifikasi 418 terkena HIV dan 334 orang mengidap AIDS. ”Data itu bertambah dari tahun ke tahun. Jadi, tiap tahun ada kasus baru,” ujarnya.

Khusus di Dolly-Jarak juga ditemukan kasus baru. Temuan itu didapatkan Dinkes Surabaya pada saat memeriksa kesehatan para pekerja seks komersial (PSK) yang mengambil dana kompensasi pada Juni lalu. Ada 45 orang yang terpapar HIV/AIDS. Sebanyak 36 orang di antaranya merupakan penderita baru.

Mereka yang terdata itu diberi surat rekomendasi untuk berobat. Surat rujukan tersebut dikirim ke dinas kesehatan asal para PSK. ”Isi surat itu amat lengkap. Mulai jenis obat, dosis, hingga riwayat penyakit,” imbuh Mira.

Dengan langkah itu, perkembangan penyakit para eks PSK tersebut diharapkan tetap terpantau. Mereka juga bisa berobat secara terkontrol.

Sementara itu, untuk para lelaki hidung belang yang suka jajan dengan PSK, dinkes memang tidak bisa berbuat terlalu banyak. Upaya dinkes hanya mempersering sosialisasi tentang bahaya penyakit itu. Sosialisasi tersebut juga dibarengi dengan ajakan untuk segera memeriksakan diri bila mengalami keanehan.

Tetapi, selama ini orang-orang itu memang kerap malu untuk menjalani tes HIV/AIDS. Sebab, ada anggapan sangat kuat di masyarakat bahwa penyakit tersebut bukan hanya masalah fisik, tapi juga imbas perilaku seksual bebas.

Konsultan masalah HIV/AIDS dari RSUD dr M. Soewandhie dr Ita Puspita Dewi SpKK mengungkapkan, mereka tidak hanya malu, tapi juga kerap takut bila ternyata terbukti mengidap penyakit tersebut. ”Jadi berimbas pada psikis,” ungkapnya.

Dia menyebutkan, pada tahap awal, HIV/AIDS memang tidak menunjukkan gejala sama sekali. Nah, kadang itu yang membuat orang lengah untuk memeriksakan diri. Bila daya tahan menurun dan kerap terserang penyakit, baru mereka sadar. Kalau sudah seperti itu, kondisi pasien sudah semakin buruk. (jun/c7/end/jpnn.com).

30 Juli 2014

Indonesia Termasuk Negara Yang Tertinggal Dalam “Perang” Melawan AIDS


Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia


Jakarta, aidsindonesia.com (30/7-2014) - “Indonesia termasuk negara yang dianggap tertinggal dalam kemajuan melawan HIV.” Ini ada di dalam siaran pers (press release) UNAIDS: UNAIDS report shows that 19 million of the 35 million people living with HIV today do not know that they have the virus (17/7-2014).


Kesimpulan yang dilansir UNAIDS tsb. menunjukkan bukti konkret terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Sejak awal epidemi, ditandai dengan keputusan pemerintah tentang kasus HIV/AIDS pertama yaitu pada laki-laki gay WN Belanda yang meninggl di RS Sanglah, Dempasar, Bali, pada tahun 1987 dengan indikasi penyakit terkait HIV/AIDS.

Mitos AIDS

Sebelum pemerintah menetapkan kasus ini sebagi kasus pertama di Indonesia, sudah ada beberapa kasus yang mengarah ke HIV/AIDS, tapi pemerintah menolak mengakuinya karena ketika itu dan sampai sekarang pun pemerintah selalu mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan ‘penyimpangan seksual’, khususnya homoseksual, luar negeri, dan bule.

Maka, kloplah sudah “definisi” AIDS yang disebut pemerintah dengan kasus WN Balanda tsb. sehingga pemerintah pun sambil nemepuk dada mengumumkan  bahwa kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia adalah kasus karena penyimpangan seksual, laki-laki gay, homoseksual, bule dan luar negeri.

Itulah sebabnya kampanye penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia hanya mengedepankan aspek-aspek moral yang hanya sebatas retorika.

Tahun berjalan kasus terus terdeteksi. Celakanya lagi-lagi pemerintah menepuk dada karena jumlah kasus yang terdeteksi sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan kalau dibandingkan dengan jumlah kasus di negara lain.

Dalam bahasa lain yang dikumandangkan pemerintah dalam menangulangi HIV/AIDS hanya sebatas mitos (anggapan yang salah), al. (diolah dari berbagai brosur, bahan ceramah, buku, dll. oleh penulis):

1. HIV/AIDS adalah penyakit bule (maka banyak orang yang tidak merasa berisiko karena dia bukan bule dan tidak kontak dengan bule).

2. HIV/ADIS menular melalui zina atau di luar nikah (maka muncul wacana melakukan nikah mut’ah di pelacuran, di hotel tertentu juga dilakukan nikah mut’ah sebelum transaksi seks).

3. HIV/AIDS menular pada hubungan seksual sebelum nikah (maka orang-orang yang sudah menikah merasa aman dengan melakukan hubungan seksual berisiko).

4. HIV/AIDS menular melalui ‘penyimpangan seks’ (maka orang-orang yang tidak merasa dirinya melakukan hubungan seksual yang menyimpang yaitu homoseksual merasa aman melakukan hubungan seksual yang berisiko).

5. HIV/AIDS menular di lokalisasi pelacuran (maka pemerintah pun menutup lokalisasi pelacuran, tapi tidak bisa mengontrol pelacuran di berbagai tempat).

6. HIV/AIDS menular melalui hubungan seksual yang tidak sehat (jargon moral yang tidak akurat karena semua hubungan seksual adalah sehat).

7. HIV/AIDS menular karena tidak ada ketahanan keluarga (maka orang-orang yang merasa diri dan keluarganya mempunyai ketahanan merasa aman melakukan hubungan seksual bersiko).

Laki-laki Pembeli Seks

Mitos itulah yang membuat penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia runyam karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya berisiko tertular HIV al. karena tidak terkati dengan 7 hal di atas.

Sampai tahun 2006 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia di bawah 10.000 dengan jumlah penduduk 180 juta jiwa. Sedangkan sampai 31 Maret 2014 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 188.273 yang terdiri atas 134,042 HIV dan 54,231 AIDS dengan 9,615 kematian (spiritia.or.id).      

Di bagian lain siaran pers UNAIDS itu disebutkan pula bahwa “Indonesia bersama lima negara lain (Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Nigeria, Rusia, dan Sudan Selatan) menghadapi tiga ancaman, yaitu (a) beban HIV yang berat, (b) cakupan pengobatan yang rendah, dan (c) tingkat penurunan infeksi HIV yang sangat rendah.”

Untuk (a) tidak terasa berat karena sampai sekarang pemerintah menyediakan obat antiretroviral (ARV) gratis. Padahal, harga obat ini Rp 360.000 per paket/bulan. Untuk pengobatan lain yang muncul terkait dengan infeksi HIV ditanggung pemerintah melalui program kartu miskin. Tentu akan lain kondisinya kalau kelak pemerintah tidak lagi menyediakan obat ARV gratis karena akan banyak pengidap HIV/AIDS yang tidak bisa membeli obat ARV yang akhirnya berdampak pada tingkat  kematian yang tinggi pada pengidap HIV/AIDS.

Sedangkan untuk (b) juga tidak jadi masalah berat bagi pemerintah karena banyak orang yang mengdap HIV/AIDS tidak terdeteksi sehingga mereka tidak membutuhkan obat ARV. Bahkan, kematian mereka pun tidak pula terdeteksi terkait dengan HIV/AIDS karena meninggal di luar rumah sakit.

Yang jadi masalah besar adalah (c) karena erat kaitannya dengan penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Insiden infeksi HIV baru terus terjadi karena hubungan seksual berisiko al. dilakukan oleh laki-laki, sebagian besar beristri, dengan pekerja seks komersial (PSK) tanpa kondom. Jumlah laki-laki yang gemar ngeseks tanpa kondom dengan PSK mencapai 10 persen dari populasi laki-laki dengan rentang usaia 15-65 tahun. Jumlahnya mencapai 6,7 juta (tempo.co, 25/4-2014).

Di sisi lain tes HIV terhadap 100.926 perempuan hamil pada tahun 2013 menghasilkan 3.135 dari mereka tertular HIV. Sayang, hanya 1.544 yang mau menjalani program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Akibatnya, ada 106 anak yang dilahirkan dengan HIV/AIDS (tempo.co, 25/4-2014).

Gambaran tentang risiko penyebaran HIV dari suami ke istri yang berakhir pada anak silakan simak di 2,2 Juta Laki-laki ‘Pembeli Seks’ ke PSK Mempunyai Istri - http://edukasi.kompasiana.com/2013/03/02/22-juta-laki-laki-pembeli-seks-ke-psk-mempunyai-istri-539465.html.

Yang bisa dilakukan pemerintan hanyalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki pada hubungan seksual dengan PSK. Ini hanya bisa dilakukan jika pelacuran atau PSK dilokalisir yaitu melaukan intervensi terhadap laki-laki berupa pemaksaan agar mereka memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Celakanya, pelacuran di Indonesia tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dijangkau untuk menjalankan program kondom. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang kelak akan bermuara pada “ledakan AIDS”. ***

29 Juli 2014

UNAIDS Report: 19 Million of the 35 Million People Living With HIV

They do not know that they have the virus

In sub-Saharan Africa, nearly 90% of people who know their HIV-positive status are on treatment- ending the AIDS epidemic by 2030 will require smart scale-up to close the gap 

Geneva, aidsindonesia.com (16/7-2014) - new report by UNAIDS shows that 19 million of the 35 million people living with HIV globally do not know their HIV-positive status.  

“Whether you live or die should not depend on access to an HIV test,” said Michel Sidibé, Executive Director of UNAIDS. “Smarter scale-up is needed to close the gap between people who know their HIV status and people who don’t, people who can get services and people who can’t and people who are protected and people who are punished.”

The UNAIDS Gap report shows that as people find out their HIV-positive status they will seek life-saving treatment. In sub-Saharan Africa, almost 90% of people who tested positive for HIV went on to access antiretroviral therapy (ART). Research shows that in sub-Saharan Africa, 76% of people on ART have achieved viral suppression, whereby they are unlikely to transmit the virus to their sexual partners. New data analysis demonstrates that for every 10% increase in treatment coverage there is a 1% decline in the percentage of new infections among people living with HIV.

The report highlights that efforts to increase access to ART are working. In 2013, an additional 2.3 million people gained access to the life-saving medicines. This brings the global number of people accessing ART to nearly 13 million by the end of 2013. Based on past scale-up, UNAIDS projects that as of July 2014 as many as 13 950 296 people were accessing ART.

“If we accelerate all HIV scale-up by 2020, we will be on track to end the epidemic by 2030,” said Mr Sidibé. “If not, we risk significantly increasing the time it would take—adding a decade, if not more.” 

By ending the epidemic by 2030, the world would avert 18 million new HIV infections and 11.2 million AIDS-related deaths between 2013 and 2030.

Ending the AIDS epidemic

The report reveals that just 15 countries (Brazil, Cameroon, China, India, Indonesia, Kenya, Mozambique, Nigeria, Russian Federation, South Africa, Uganda, United Republic of Tanzania, USA, Zambia, Zimbabwe) account for more than 75% of the 2.1 million new HIV infections that occurred in 2013. In every region of the world the report finds that there are three or four countries that bear the burden of the epidemic. In sub-Saharan Africa, just three countries—Nigeria, South Africa and Uganda—account for 48% of all new HIV infections.

However, the report also shows that entire countries are being left behind—for example, six nations—Central African Republic, Democratic Republic of the Congo, Indonesia, Nigeria, Russian Federation and South Sudan—are facing the triple threat of high HIV burden, low treatment coverage and no or little decline in new HIV infections.

In the first report of its kind, the UNAIDS Gap report emphasizes the importance of location and population through an in-depth regional analysis of HIV epidemics and through analysis of 12 populations at higher risk of HIV. It analyses the reasons for the widening gap between people gaining access to HIV prevention, treatment, care and support, and people being left behind. It shows how focusing on populations that are underserved and at higher risk of HIV will be key to ending the AIDS epidemic.

HIV prevalence is estimated to be 28 times higher among people who inject drugs, 12 times higher among sex workers, 19 times higher among gay men and other men who have sex with men and up to 49 times higher among transgender women than among the rest of the adult population. In sub-Saharan Africa, adolescent girls and young women account for one in four new HIV infections. The report looks at why certain populations are not accessing HIV services and outlines the urgent need to address their specific needs.

“There will be no ending AIDS without putting people first, without ensuring that people living with and affected by the epidemic are part of a new movement,” said Mr Sidibé. “Without a people-centred approach, we will not go far in the post-2015 era.”

The report shows that it is both essential and possible to go deeper than a country-wide approach. Because countries and regions have multiple and varying epidemics, the report outlines that having country targets and sound policies in place creates space to address complex micro-epidemics with tailored, bite-sized solutions that will help reach people faster with better HIV services. It notes that cities and communities will play an increasingly major role in effective scale-up.

However, the report also shows that a lack of data on people most affected by HIV, coupled with widespread stigma and discrimination, punitive legal environments, barriers to civil society engagement and lack of investment in tailored programmes are holding back results. It confirms that countries that ignore discrimination and condone inequalities will not reach their full potential, and face serious public health and financial consequences of inaction. The report emphasizes the need for equal access to quality HIV services as both a human rights and public health imperative.

Hope and gaps

UNAIDS is reporting the lowest levels of new HIV infections this century, at 2.1 million [1.9 million–2.4 million]. In the last three years alone new HIV infections have fallen by 13%.
It is estimated that 35 million people were living with HIV in the world at the end of 2013. AIDS-related deaths are at their lowest since the peak in 2005, having declined by 35%. Tuberculosis continues to be the leading cause of death among people living with HIV.

New HIV infections among children have fallen by 58% since 2001 and dropped below 200 000 for the first time in the 21 most affected countries in Africa.

The highest number of people living with HIV was in sub-Saharan Africa—24.7 million [23.5 million–26.1 million] people. Asia and the Pacific had the next largest population of people living with HIV, at an estimated 4.8 million [4.1 million–5.5 million] people.

The percentage of people living with HIV who were receiving treatment was found to be highest in western Europe and North America, at 51% [39–60%], and in Latin America, at 45% [33–51%]. However, coverage was lowest in the Middle East and North Africa, at just 11% [8–16%].

New HIV infections declined most in the Caribbean—by 40% since 2005; however, new HIV infections have risen by 8% in western Europe and North America, by 7% in the Middle East and North Africa and by 5% in eastern Europe and central Asia since 2005.

AIDS-related deaths were seen to be rising steeply in the Middle East and North Africa, by 66%. The only other region where AIDS-related deaths are increasing is eastern Europe and central Asia, where AIDS-related deaths rose by 5% between 2005 and 2013.

The report outlines that to close the gap between people who are reached with HIV services and people who are not will require research and innovation combined with protective laws that promote freedom and equality for all people. It will also require increased commitment from the global community and countries most affected to the remarkable returns on investment that have been witnessed over the last 10 years to continue so that the end of the AIDS epidemic can be achieved by 2030.  (press release, UNAIDS).

28 Juli 2014

Terkait Penangan Pengungsi Hingga HIV/AIDS, Pimpinan Katolik Kritisi Pemkab Karo

Kabanjahe, aidsindonesia.com (27/7-2014) -Tanggung jawab Pemkab Karo dalam penanganan pengungsi yang sampai saat ini masih terpencar-pencar di berbagai  lokasi terutama dalam mewujudkan relokasi tiga desa yang sudah lama dijanjikan cukup berat. Termasuk dalam perbaikan ribuan hektare areal pertanian warga di luar tiga desa yang direlokasi cukup mendesak dibenahi dan penanganan HIV/AIDS yang merupakan daerah terbesar penyebarannya di Sumut dibandingkan dengan jumlah penduduknya setelah Medan dan Deli Serdang.

Keuskupan Agung Medan (KAM) melalui Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Yayasan Caritas, yang sejak awal erupsi sampai sekarang terus memberi perhatian sosial dan bantuan berkisar Rp5 miliar lebih kepada seluruh pengungsi; kurang sempurna bila tidak didukung Pemkab Karo. HIV/AIDS terus berkembang, demam berdarah merajalela melebihi 100 orang di Desa Batukarang. Penanganan ini diharapkan dapat diprioritaskan dan pihak gereja dan pimpinan Katolik mendukung dan siap bekerjasama dengan Pemkab Karo .

Demikian dikatakan Vikep Pastor Ignatius Simbolon OFMCap sebagai perwakilan Uskup Agung Medan, Mgr Anicetus B Sinaga OFMCap di Tanah Karo didampingi sejumlah pastor dan tokoh masyarakat dalam pertemuan dengan Plt Bupati Karo Terkelin Brahmana SH, Kamis (24/7) di aula kantor Bupati Karo.

“HIV/AIDS yang terus berkembang di Tanah Karo perlu diteliti, apa penyebabnya atau apa ada muatan politisnya. Kalau jujur kita mencermati, kegiatan berupa ceramah, KKR atau pun imbauan  yang dilakukan selama ini tidak menyentuh. Sebab itu, tim Litbang Pemkab Karo perlu dibentuk untuk penanganan setiap permasalahan dengan segera . Staf ahli bupati Karo kesannya tidak kredibel karena latar belakang ilmunya kontradiktif dengan tugas sebagai pemberi solusi dan penggagas”, lanjut Pastor Moses E Situmorang, OFMCap, Pastor Paroki Berastagi menambahkan.

Plt Bupati Karo Terkelin Brahmana terkait masukan dan harapan disampaikan para pastor yang bertugas melayani di seluruh wilayah Tanah Karo mengapresiasi dengan harapan siap dikritisi dan ditegur.

“Ini masukan yang sangat berharga bagi saya. Ini awal kepemimpinan saya. Kritisilah saya, tegur dan beri masukan agar ke depan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Karo dapat kita wujudkan bersama. 

Saya siap berkoordinasi dan komunikasi. Kalau sifatnya konstruktif, silakan. Saya welcome” , ujar Terkelin.

Pada kesempatan itu, Pastor Rudi Sitanggang, Pr, dari Kabanjahe,  Pastor Liberius Sihombing dari Tiganderket, Pastor Ivo Siregar mewakili Direktur JPIC Kapusin Medan, Pastor Bernard Sijabat, Pr dan pastor lainnya juga memberikan masukan terutama dalam penanganan kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup dan penanganan pengungsi Sinabung. Dalam pertemuan itu, Plt bupati didampingi Asisten I, Drs Terkelin Purba, Msi. Sedangkan dari tokoh masyarakat hadir, Rapat Romanus Purba, SH, mantan Ketua DPRD Karo, Harmonis Bukit, Sarjana Purba, Agustin Pandia dan lainnya. (BR2/c/SIB)..

HIV/AIDS Tewaskan 14.446 Orang Indonesia

Melbourne, aidsindonesia.com (27/7-3024) - Indonesia tidak memiliki dokumentasi mengenai HIV/AIDS hingga 2000 dan epidemi ini telah tumbuh dengan cepat selama sepuluh tahun terakhir.

The Global Burden of Disease Study 2013 mencatat, angka kematian karena HIV/AIDS di Indonesia meningkat sebesar 87,5 persen per tahun selama kurun waktu tersebut - angka pertumbuhan tertinggi di dunia.

Tahun 2013, sebanyak 14.446 orang Indonesia--hampir 70 persen adalah pria--meninggal karena HIV/AIDS. Antara tahun 2000 dan 2013, kasus-kasus baru meningkat setiap tahunnya sebesar 28,1 persen.

Tahun lalu, tercatat 45.159 kasus baru. Namun demikian, angka kasus baru yang muncul dan angka kematian karena HIVAIDS di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan angka rata-rata global.

Kemajuan dalam penanganan malaria memperlihatkan hasil yang menjanjikan, dengan angka penurunan per tahun sebesar 5,2 persen untuk kematian antara tahun 2000 dan 2013, dibandingkan dengan penurunan angka kematian global yang hanya mencatat 3,1 persen.
Tuberkulosa (TB) masih memperlihatkan bahwa Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan angka rata-rata global.

“Studi terbaru yang bersifat massal ini, yang kami hadirkan di saat-saat usainya era MDGs, mendokumentasikan kemajuan yang sangat pesat dalam hal penanganan HIV dan Malaria, khususnya, tetapi juga memperlihatkan berbagai hal yang masih perlu kita lakukan,” ungkap Dr. Alan Lopez, Melbourne Laurate Profesor, Selasa (22/7/2014).

Co-founder dari Studi Global Burden of Disease (GBD) ini menyatakan, masalah kesehatan dan kematian di negara-negara miskin, dan ketiganya harus mendapat perhatian khusus dari semua dukungan dan upaya penanganan kesehatan secara global.

"Tanpa hal itu, kita semua akan menghadapi resiko terjadi stagnasi, bahkan lebih buruk lagi, akan terjadi perubahan dari hasil yang telah dicapai saat ini," katanya.(Adhitya Nugraha K/tribun/rimanews.com).