25 Juli 2014

Kondom Netralkan HIV, Kabar Gembira Membawa Malapetaka

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

Jakarta, aidsindonesia.com (26/7-2014) - “Kabar gembira, kondom ini bisa menetralkan virus HIV!” Ini judul berita di merdeka.com (25/7-2014).

Sepintas ada harapan besar dalam penanggulangan HIV/AIDS, tapi di sisi lain hal itu justru membawa bencana dan melapetaka bagi umat manusia.

Lho, koq, bisa?

Sekarang saja ketika belum ada obat yang bisa menyembuhkan HIV/AIDS dan tidak ada vaksin yang bisa menghalau HIV, banyak orang yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV, al.: (1) Pernah atau sering melakukan hubungan seksual, seks vaginal dan dan seks anal, di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (2) Pernah atau sering melakukan hubungan seksual, seks vaginal dan dan seks anal, di dalam dan di luar nikah dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Vaksin HIV bisa saja membawa gaya hidup baru bagi sebagian orang (Lihat: AIDS: Obat dan Vaksin Akan Membuat (Perilaku) sebagian Orang Seperti Binatang - http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/30/aids-obat-dan-vaksin-akan-membuat-perilaku-sebagian-orang-seperti-binatang-417550.html).

Dikabarkan bahwa kondom tsb., diproduksi di Australia, mengembangkan gel (KBBI: larutan koloid setengah padat, terbentuk dari zat polimer yang tidak larut dalam air, misal larutan pati dalam air yg menyerupai lem) yaitu Vivagel yang mengandung dendrimers nano atau molekul kecil yang akan menempel pada virus dan mencegahnya masuk di dalam tubuh manusia.

Terkait dengan gel tsb. ada beberapa hal yang justru bertolak belakang dengan fakta, al.:

(1) Kondom yang dipakai laki-laki ketika melakukan hubungan seksual, seks vaginal dan seks anal, menampung air mani ketika terjadi ejakulasi sehingga (virus) HIV yang ada di air mani tidak bisa masuk ke tubuh laki-laki melalui batang panis. Maka, tanpa gel pun kondom sudah mencegah penularan HIV dari air mani ke pasangan seksual.

(2) Kondom berfungsi melindungi penis agar tidak ‘terendam’ pada cairan vagina sehingga (virus) HIV yang ada di cairan vagina tidak mencari jalan masuk di penis ketika terjadi hubungan seksual.

Maka, yang diperlukan bukan gel di dalam kondom, tapi kualitas kondom yang baik agar tidak rusak ketika dipakai pada hubungan seksual. Memang, kondom yang terbuat dari karet getah sudah melalui uji mutu dengan bukti berbagai standar, al. standar ISO.

Dalam berita disebutkan “Sudah banyak penemuan medis yang berusaha untuk mengalahkan salah satu virus yang paling ditakuti yaitu virus HIV. Mulai dari obat hingga terapi.”

Pernyataan di atas menyesatkan karena sampai sekarang yang ada baru obat antiretroviral (ARV) yang berguna untuk menahan laju perkembangan atau penggandaan (virus) HIV di dalam darah. Sedangkan untuk mengalahkan virus, misalnya vaksin, belum ada.

HIV bukan virus yang paling ditakuti karena bisa dicegah dengan cara-cara yang realistis.

Tanpa vaksin pun seseorang bisa melindungi diri agar tidak tertular HIV, terutama melalui transfusi darah dan hubungan seksual.

Jika transfusi darah selalu memakai darah yang sudah diskirining HIV oleh instansi yang berwewenang.

Jika melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan yang tidak diketahui status HIV-nya, maka laki-laki memakai kondom dan perempuan memaksa laki-laki memakai kondom.

Jika melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, seks vaginal dan seks anal, bagi laki-laki pakailah kondom.

Jika melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar, seks vaginal dan seks anal, nikah bagi perempuan paksalah laki-laki memakai kondom.

Jika melakukan hubungan seksual dengan yang sering ganti-ganti pasangan, maka laki-laki pakailah kondom dan perempuan memaksa laki-laki pakai kondom.

Yang jadi persoalan besar adalah perempuan, terutama istri, yang tidak mempunyai posisi tawar yang kuat terhadap suaminya untuk mengetahui perilaku suami di luar rumah. Dalam kondisi ini diharapkan pemerintah bisa membuat regulasi yang bisa melindungi perempuan, terutama istri, dari risiko ditulari HIV oleh suami atau pasangan.

Dengan cara-cara yang realistis seseorang bisa melindungi dirinya agar tidak tertular dan menularkan HIV. ***

24 Juli 2014

Ajakan Mengetahui Status HIV versi “KOMPAS TV” Menyesatkan


Oleh Syaiful W. HarahapAIDS WatchIndonesia

Jakarta, aidsindonesia.com (25/7-2014) - "Ayo, ita cek status HIV." Inilah ajakan seorang cewek kepada teman-temannya di Iklan Layanan Masyarakat (ILM) di ”KOMPAS TV”. Ajakan ini menyesatkan karena dikesankan semua orang harus menjalani tes HIV untuk mengetahui status HIV.

Ketika informasi tentang HIV/AIDS yang akurat sudah banjir, tapi tetap saja ada yang tidak memahami fenomena HIV/AIDS secara komprehensif. (Pembuat) ILM itu salah satu di antaranya.

Perilaku Berisiko

Entah apa tujuan ILM tsb. karena yang menjadi persoalan besar bukanlah penanggulangan di hilir, al. tes HIV, tapi penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru. Ini pun hanya bisa dilakukan pada laki-laki yang melacur dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran.

Kalau tujuan iklan tsb. untuk mencari kasus HIV yang ada di masyarakat terkait dengan fenomena gung es juga tidak tepat karena tidak semua penduduk berisiko tertular HIV.

“Gunung es” adalah fenomena epidemi HIV/AIDS yaitu kasus yang terdeteksi atau kasus yang dilaporkan (digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut) tidak menggambarkan kasus ril di masyarakat (digambarkan bongkahan es yang ada di bawah permukaan air laut).

Kasus yang tiak terdeteksi itu merupakan dark number yang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Langkah konkret untuk mencari kasus pada dark number bukanlah mengajak atau menganjurkan semua orang mengetahui status HIV-nya dengan menjalani tes HIV.

Soalnya, tidak semua orang berada pada posisi yang berisiko tertular HIV.

Seseorang berisiko tertular HIV al. karena pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK.

Maka, tentu saja tidak semua orang pernah atau sering melakukan hal di atas.

Maka, anjuran dan ajakan untuk mengetahui status HIV secara massal merupakan cara-cara yang tidak etis karena sudah menyamaratakan perilaku semua orang sebagai perilaku yang berisiko tertular HIV.

Salah satu langkah yang bisa “mencari” angka pada kasus dark number adalah melalui tes HIV yang diwajibkan bagi: (a) perempuan hamil, dan (b) pasien yang berboat dengan jaminan kesehatan di rumah sakit pemerintah.

Dua hal itu tidak melanggar hak asisasi manusia (HAM) karena ada pilihan. Langkah (a) sudah dijalankan di beberapa negara, al. Malaysia. Sedangkan cara (b) dijalnakan di Amerika Serikat.

Turunkan Insiden HIV Baru

Selama ini ada kesan kalau sudah tes HIV, terutama dengan hasil negatif, dianggap sebagai “vaksin”. Kesan ini yang harus dibongkar karena salah kaprah.

Biar pun hasil tes HIV pada satu saat negatif itu tidak jaminan selamanya negatif karena bisa saja setelah tes ybs. melakukan kegiatan yang berisiko tertular HIV. Itulah sebabnya tes HIV sebelum menikah pun tidak ada manfaatnya (Lihat: Tes HIV sebelum Menikah Bisa Jadi Bumerang - http://edukasi.kompasiana.com/2013/08/21/tes-hiv-sebelum-menikah-bisa-jadi-bumerang-585282.html).

Kemenkes RI melaporkan jumlah kasus yang dilaporkan dari April 1987 sampai Maret 2014 per 17 Juli 2014 sebanyak 188.273 yang terdiri ats 134.042 HIV dan 54.231 AIDS dengan 9.615 kematian (spiritia.or.id).

Jumlah tsb. merupakan persoalan besar bagi Indonesia karena terkait dengan penyebaran HIV dan biaya pembelian obat antiretroviral (ARV).

Yang bisa dilakukan secara realistis dalam penanggulangan HIV/AIDS dengan langkah-langkah yang konkret hanya menurunkan insiden ifneksi HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran yaitu program “wajib kondom 100 persen”.

Tentu saja program itu tidak bisa jalan di Indonesia dengan efektif karena pelacuran di Indonesia tidak dilokalisir sehingga terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Jika pemerintah tidak menjalankan program penanggulangan yang konkret, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.


Pada gilirannya kasus-kasus baru itu pun menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakt yang kelak akan bermuara pada “ledakan AIDS”. ***

21 Juli 2014

Cewek Takut Kena AIDS Karena Ngeseks Dengan Dua Laki-laki

Tanya Jawab AIDS No 1/Juli 2014

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail:  aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya:  (1) Apakah bisa dokter yang memeriksa HIV dalam darah kita mengetahui bahwa orang ini pernah melakukan hubungan seksual meskipun hasilnya negatif dan tidak berisiko tapi memang benar pernah melakukan hubungan seksual? (2) Dua minggu lalu saya tes HIV di rumah sakit, hasilnya nonreaktif, apakah ini bisa dipercaya? (3) Saya melakukan hubungan seksual dengan mantan saya setahun yang lalu. Setelah putus saya menikah dengan laki-laki lain. Tiga bulan kemudian putus lagi dan menikah dengan laki-laki lain lagi. Dua laki-laki ini belum pernah melakukan hubungan seksual dengan perempuan sebelum dengan saya. Mereka tidak pernah pakai narkoba suntik. Apakah saya berisiko tertular HIV? Saya sangat takut.
Nn “ZZ” via SMS (19/7-2014)

Jawab: (1) Sebelum menjalani tes HIV ada konseling yaitu semacam wawancara dengan konselor terkait dengan alasan dan tujuan melakukan tes HIV. Nah, dari konseling ‘kan akan ketahuan faktor risiko yaitu cara penularan HIV yang dialami. Jika tidak pernah menerima transfusi darah yang tidak disaring HIV, juga tidak pernah memakai jarum suntik bergantian pada penyalahgunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya), maka tentulah faktor risikonya hubungan seksual. Bisa jadi seks vaginal atau seks anal. Kalau seorang perempuan menjalani tes HIV dengan faktor risiko hubungan seksual, maka hanya ada dua kemungkinan: seks vaginal atau seks anal. Seks oral sangat kecil kemungkinan terjadi penularan HIV. Nah, jika ternyata faktor risiko seks vaginal tentulah sudah bisa dipastikan perempuan tadi sudah melakukan hubungan seksual.

(2) Tes HIV dengan reagen ELISA hasilnya akurat jika dilakukan tiga bulan setelah hubungan seksual tanpa kondom terkahir dengan pasangan yang berganti-gantai atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pelaku kawin-cerai dan pekerja seks komersial (PSK). Tes HIV bisa akurat jika tes pertama dikonfirmasi dengan tes lain. WHO menganjurkan jika tes pertama dengan ELISA maka konfirmasi dilakukan dengan reagen ELISA sebanyak tiga kali dengan reagen dan teknik yang berbeda dengan tes pertama. Apakah langkah ini dilakukan ketika Anda tes HIV? Kalau standar ini tidak dilakukan dan Anda pada masa jendela (melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti di bawah tiga bulan), maka hasil tes tidak akurat.

(3) Bagaimana Anda membuktikan bahwa dua laki-laki terakhir tidak pernah melakukan hubungan seksual, vaginal dan anal, dengan perempuan atau laki-laki lain? Kalau hanya berdasarkan pengakuan tentu tidak akurat. Maka, Anda berisiko karena tidak bisa dibuktikan bahwa dua laki-laki itu tidak pernah melakukan perilaku berisiko sebelum ngeseks dengan Anda.

Suami Anda sendiri pun, apakah bisa Anda buktikan sebelum menikah dan selama menikah dia tidak pernah ngeseks dengan perempuan lain atau laki-laki? Kalau tidak bisa Anda buktikan, maka hubungan seksual Anda dengan suami pun ada risiko penularan HIV.


Untuk mengusir ketakutan Anda sebaiknya menjalani tes HIV di klinik VCT di rumah sakit umum di daerah Anda. Tapi, ingat hasil tes akurat jika dilakukan minimal tiga bulan setelah ngeseks terakhir tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan dua laki-laki itu atau laki-laki lain. *** [Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia] ***

20 Juli 2014

Lokalisasi Pelacuran Bukan Sumber Kemunculan HIV/AIDS


Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

Data dari dinkes, angka kasus HIV/AIDS di beberapa kawasan di Surabaya seperti Benowo, Krembangan, Pabean Cantikan, Sawahan dan Wonokromo cukup tinggi. Sebelumnya, di kawasan tersebut berdiri lokalisasi atau karena berdekatan dengan lokalisasi.” (Penyebaran HIV/AIDS di Surabaya Banyak Terdampak dari Lokalisasi, detikNews, 17/7-2014).

Ada beberapa hal yang jadi pertanyaan yang sangat mendasar dari pernyataan di atas, yaitu:

Pertama, pada siapa-siapa saja kasus HIV/AIDS tsb. terdeteksi? Ini penting karena akan menunjukkan fakta sebagai realitas sosial karena kalau kasus yang dimaksud cukup tinggi terdeteksi pada pekerja seks komersial (PSK) tentulah hal yang masuk akal karena PSK merupakan orang-orang dengan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Ini terjadi karena mereka melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom.

Kedua, bagaimana cara yang dilakukan Dinkes Kota Surabaya untuk menemukan kasus-kasus HIV/AIDS tsb.? Jika kasus yang disebut cukup tinggi tsb. diperoleh dengan cara survailans tes terhadap PSK, maka itu bukan merupakan kasus faktual karena survilans bukan untuk menemukan kasus HIV/AIDS.

Ketiga, mengapa tidak ada angka pembanding pada daerah di luar lokalisasi? Ini juga bisa memberikan gambaran terkait dengan penyebaran HIV/AIDS.

Yang jadi persoalan besar bukan kasus HIV/AIDS yang cukup tinggi pada PSK, tapi banyak laki-laki dewasa, dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV, yaitu (a) laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK, dan (b) laki-laki yang tertular HIV dari PSK.

Maka, pernyataan ”Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya meneliti beberapa kawasan yang sebelumnya difungsikan sebagai lokalisasi, menjadi sumber kemunculan penyakit HIV/AIDS” menunjukkan pemahanan yang sangat dangkal terhadap epidemi HIV/AIDS secara faktual.

HIV/AIDS tidak muncul dengan sendirinya, tapi merupakan penyakit yang ditularkan yaitu (virus) HIV.

Laki-laki dewasa yang mengidap HIV/AIDS menularkan HIV kepada PSK karena laki-laki tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah kepada istri, pacar, pasangan seks lain dan PSK.

Lalu banyak pula laki-laki dewasa yang tertular HIV dari PSK karena karena laki-laki ini tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah kepada istri, pacar, pasangan seks lain dan PSK.

Ada lagi pernyataan Kabid Pengendalian Masalah Kesehatan Dinkes Kota Surabaya, dr Mira Novia: "Kasus HIV/AIDS banyak ditemukan di kawasan tersebut (eks lokalisasi) karena dampak dari keberadaan lokalisasi. Selain itu, di kawasan terdapat hot spot seperti tempat hiburan.”

Ada fakta yang digelapkan dari pernyataan dr Mira yaitu tentang laki-laki yang membawa HIV/AIDS ke lokalisasi pelacuran dan laki-laki yang membawa HIV/AIDS dari lokalisasi pelacuran.

HIV/AIDS yang terdeteksi pada PSK justru ditularkan oleh laki-laki yang jadi sebagai pelanggan PSK, tapi bisa juga dari laki-laki yang menjadi ”suami” atau ”pacar” PSK. Di beberapa lokalisasi ”suami” atau ”pacar” PSK mereka sebut kiwir-kiwir.

Disebutkan pula oleh dr Mira bahwa sumber kemunculan penyakit di lokalisasi membuat angka penderita HIV/AIDS di Surabaya tinggi.

Kasus HIV/AIDS berdasarkan data Dinkes Kota Surbaya pada periode Januari sampai Mei 2014 ditemukan 281 kasus baru dengan rincian 171 HIV dan 110 AIDS. Ini menambah jumlah kasus HIV/AIDS karena pada tahun 2013 terdeteksi  754 kasus dengan rincian 501 HIV dan 253 AIDS. Sedangkan di tahun 2012 ditemukan 752 kasus dengan rincian 418 HIV dan 300 AIDS. Itu artinya di Kota Surabaya terdeteksi 1.753 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 1.090 HIV dan 663 AIDS.

Lagi-lagi tidak ada penjelasan pada siapa kasus ini terdeteksi. Kalau semua kasus itu terdeteksi pada PSK, maka itu artinya ada puluhan ribu bahkan ratusan ribu laki-laki yang berisiko tertular HIV jika mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Tentang PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS disebutkan bahwa ”Mereka kebanyakan berasal dari luar kota seperti Bandung, Indramayu, Malang dan Jember."

Persoalannya adalah laki-laki yang menjadi pelanggan PSK asal luar Kota Surabaya itu sebagian besar adalah penduduk Kota Surabaya.

Maka, pertanyaannya adalah: Apa langkah konkret yang selama ini dijalankan Pemkot Surabaya untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK?

Tentu saja tidak ada. Bahkan, dalam Perda AIDS Kota Surabaya pun sama sekali tidak ada pasal yang mengatur penanggulangan HIV/AIDS di lokalisasi pelacuran (Lihat: Perda AIDS Kota Surabaya - http://www.aidsindonesia.com/2013/07/perda-aids-kota-surabaya.html).

Celakanya, biar pun dalam perda tsb. tidak ada disebutkan lokasi atau lokalisasi pelacuran, tapi dalam perda itu justru diakui ada kegiatan pelacuran (Lihat: Dolly Ditutup, Dalam Perda AIDS Kota Surabaya Justru Ada (Praktek) Pelacuran - http://www.aidsindonesia.com/2014/06/dolly-ditutup-dalam-perda-aids-kota.html).

Fakta ini menunjukkan bahwa perilaku berisiko tertular dan menularkan HIV/AIDS di Kota Surabaya tetap ada biar pun semua tempat pelacuran yang kasat mata ditutup. Soalnya, pelacuran terjadi di sembarang rempat dan sembarang waktu. Bahkan, awal bulan ini Polda Jatim membongkar kasus pelacuran yang melibatkan cewek panggilan dengan tarif jutaan rupiah dengan tempat transaksi seks di hotel berbintang lima (Lihat: Pasca Penutupan “Dolly”, Kasus HIV/AIDS (Akan) Banyak Terdeteksi pada Pegawai, Aparat dan Pengusaha - http://www.aidsindonesia.com/2014/07/pasca-penutupan-dolly-kasus-hivaids.html).

Disebutkan pula bahwa ”Pihaknya berharap dengan alih fungsi lokalisasi yang dilakukan Pemkot Surabaya, jumlah penderita HIV/AIDS bisa terus menurun.” Ini tentu saja tentu saja tidak realistis karena perilaku berisiko al. melalui praktek pelacuran tetap terjadi.

Bahkan, dengan kondisi pelacuran tidak dilokalisir upaya untuk melakukan intervensi berupa sosialisasi pemakaian kondom pada laki-laki ’hidung belang’ tidak bisa dilakukan. Akibatnya, risiko penularan HIV pada praktek pelacuran terus terjadi sehingga penyebaran HIV/AIDS pun terus terjadi yang pada akhirnya akan mendorong ”ledakan AIDS”. ***