Indonesia merupakan negara ketiga di Asia setelah
Tiongkok dan India dengan angka pertambahan kasus HIV baru yang tertinggi.
Sampai Desember 2013 sudah dilaporkan 164.442 kasus HIV/AIDS yang tersebar di
seluruh wilayah Nusantara. Ini merupakan tantangan bagi pemerintah baru priode
2014-2019.
Sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia (1987) sampai sekarang pemerintah sama
sekali tidak mempunyai program yang konkret untuk menanggulangi penyebaran
HIV/AIDS di masayarakat. Presiden dan wakil presiden baru berpeluang menurunkan
insiden infeksi HIV baru sehingga menyelamatkan Indonesia dari “kiamat AIDS”.
Epidemi HIV/AIDS akan menggerogoti dana pembangunan di kawasan Asia
Pasifik. Ini prediksi kalangan ahli di akhir tahun 1990-an. Hal ini terbukti
karena insiden infeksi HIV baru di kawasan Asia Pasifik justru terus meroket,
sedangkan di kawasan Afrika, Eropa Barat, Amerika Serikat dan Australia justru
mulai mendatar. Penyebaran HIV/AIDS di kawasan Asia Pasifik akan membuat banyak
penduduk di kawasan ini yang tertular HIV karena 60 persen penduduk dunia
bermukim di kawasan Asia Pasifik (AIDS Menggerogoti Ekonomi Asia Pasifik,
Tabloid Mutiara, 11-17 November 1997).
Secara global laporan UNAIDS pada tahun 2013 diperkirakan 35,3 juta
penduduk dunia hidup dengan HIV/AIDS. Dari jumlah ini 2,1 juta HIV/AIDS
terdeteksi pada penduduk usia 10-19 tahun. Sejak kasus AIDS pertama terdeteksi
diperkirakan 36 juta penduduk dunia meninggal karena penyakit terkait AIDS.
Perkiraan WHO pada tahun 2012 sekitar 2,3 juta penduduk dunia tertular
HIV/AIDS.
Kasus AIDS Pertama
Sedangkan secara nasional sampai Desember 2013 kasus kumulatif HIV/AIDS
mencapai 164.442 yang terdiri atas 118.792 HIV dan 45.650
AIDS dengan 9.585 kematian.
Penyebaran kasus HIV/AIDS sudah terjadi di seluruh wilayah Nusantara mulai
dari Aceh sampai Papua. Bahkan, di 22 provinsi kasus HIV/AIDS di atas 1.000,
sedangkan di beberapa provinsi lain kasus HIV/AIDS justru sudah mencapai
belasan dan puluhan ribu (Tabel I).
Kasus-kasus HIV yang terdeteksi akan masuk ke masa AIDS antara 5-15 tahun
kemudian sehingga di bebarapa daerah dengan jumlah kasus HIV yang mencapai
ribuan kelak akan terjadi “ledakan AIDS”.
Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Indonesia sudah berada pada kondisi yang
sangat mengkhawatirkan karena selama ini tidak ada penanggulangan yang
komprehensif. Maka, ini merupakan tantangan besar dan berat bagi pemerintah
baru karena menyangkut kelangsungan hidup rakyat Indonesia.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia sampai Desember 2013 yaitu
164.442 tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena
epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg
phonomenon). Kasus yang dilaporkan (164.442) digambarkan sebagai punak
gunung es yang muncul ke atas permukaan
air laut, sedangkan kasus yang ada di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan
gunung es yang ada di bawah permukaan air laut (Gambar 1).
Maka, yang menjadi tantangan bagi pemerintah baru adalah mendeteksi
kasus-kasus HIV/AIDS yang belum terdeteksi yaitu yang ada di masyarakat. Jumlah
kasus yang tidak terdeteksi terus bertambah seperti deret ukur sedangkan
penemuan kasus baru hanya seperti deret hitung.
Itu semua terjadi karena penanggulangan epidemi HIV/AIDS yang dilakukan
pemerintah sejak awal epidemi di Indonesia (1987) sampai sekarang tidak
konkret. Penanggulangan hanya dengan orasi moral yang mengedepankan mitos
(anggapan yang salah tentang HIV/AIDS) bahwa masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang berbudaya, beradab, dan beragama sehingga tidak mungkin
tertular HIV/AIDS.
Maka, kesalahan besar pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah menjadikan
kasus kematian wisatawan Belanda yang meninggal di RS Sanglah, Denpasar, Bali,
pada tahun 1987 sebagai kasus pertama di Indonesia. Soalnya, sejak epidemi
HIV/AIDS menjadi persoalan di banyak negara di dunia dan mereka langsung
menanganinya dengan cara-cara yang realistis, di Indonesia justru sebaliknya.
Pemerintah menyangkal semua kemungkinan bahwa HIV/AIDS akan masuk ke
Indonesia, misalnya dengan mengatakan bahwa HIV/AIDS hanya terjadi di Barat,
merupakan penyakit kalangan homoseksual, dll. Ketika kematian wisatawan Belanda
itu ditetapkan pemerintah sebagai kasus pertama, maka ada empat hal yang selama
ini dijadikan pemerintah sebagai penolakan terhadap HIV/AIDS ada pada kasus
tsb., yaitu: (a) HIV/AIDS datang dari luar negeri, (b) HIV/AIDS penyakit
homoseksual, dan (c) HIV/AIDS berkecamuk di Barat, dan (d) HIV/AIDS penyakit
orang bule.
Maka, empat hal itu ada pada wisatawan Belanda yang meninggal itu. Itulah salah satu hal yang membuat
penanggulangan HIV/AIDS sulit dilakukan karena sebagian orang merasa
perilakunya tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena mereka tidak termasuk dalam
empat faktor di atas.
Pada Kongres AIDS Internasional Asia
Pasifik VI (The Sixth International Congress
on AIDS in Asia and the Pacific) di Melbourne, Australia, Oktober 2001, Dr Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS (Badan PBB
yang khusus menangani HIV/AIDS) dalam pidato pembukaan secara khusus menyoroti
peningkatan epidemi HIV di kalangan IDU (injecting drug use yaitu penyalahguna
narkoba dengan jarum suntik) di Indonesia.
Ketika itu laporan Ditjen PPM & PL Depkes
menyebutkan jumlah kasus HIV/AIDS sampai 30 Juni 2001 tercatat pada kalangan penyalahguna
narkoba adalah 415, yang terdiri atas 309 HIV dan 106 AIDS. Sedangkan perkiraan
kalangan ahli pada saat itu jumlah kasus HIV/AIDS pada kalangan penyalahguna
narkoba antara 60.000 - 80.000 (AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan, Harian “Suara Pembaruan”, 6 Oktober 2001).
Warung Tembak
Sayang, peringatan Dr Piot itu tidak ditanggapai dengan baik oleh
pemerintah kala itu. Akibatnya, penyebaran HIV, terutama melalui jarum suntik
pada kalangan penyalahgunaan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya),
terus terjadi yang pada gilirannya berimbas ke masyarakat luas.
Dengan 45.650 kasus AIDS yang dilaporkan ada 7.962 kasus AIDS dengan faktor
risiko penyalahguna narkoba. Jika mereka ini mempunyai pasangan seks atau
melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), maka ada 7.962 orang
yang berisiko tertular HIV. Jika istri mereka tertular HIV, maka ada pula
risiko penularan ke bayi yang mereka kandung kelak.
Penyebaran HIV/AIDS pada penyalahguna narkoba terjadi karena mereka,
rata-rata antara 3-5 orang, memakai narkoba dengan jarum suntik yang dipakai
secara bersama-sama dengan bergiliran. Jika di antara mereka ada yang mengidap
HIV/AIDS, maka teman-teman yang sama-sama menyuntikkan narkoba pun berisiko
tertular HIV/AIDS.
Penyalahguna narkoba menjadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari lingkungan
penyalahguna narkoba ke masyarakat, terutama melalui hubungan seksual yang
tidak mana yaitu tidak memakai kondom di dalam dan di luar nikah. Penyalahguna
narkoba mempunyai pasangan seks, seperti pacar, istri atau PSK.
Langkah konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS di kalangan
penyalahguna narkoba dengan jarum suntik ada negara yang menjalankan program
‘pertukaran jarum suntik’. Caranya adalah dengan membagi-bagikan jarum suntik
yang steril kepada penyalahguna narkoba agar mereka tidak memakai jarum secara
bergantian. Ada pula negara yang menyediakan tempat menyuntik disebut “shooting
galeries”, semacam sanggar tempat menyuntik atau “warung tembak”.
Penyalahguna narkoba datang ke tempat itu membawa narkoba untuk disuntikkan
dengan jarum yang steril.
Indonesia menalankan program rumatan metadon yaitu mengganti narkoba suntik
dengan narkoba sinstetis yang disebut metadon dalam bentuk cair. Penyalahguna
narkoba yang memakai jarum suntik dialihkan memakai metadon di sarana kesehatan
yang ditunjuk pemerintah. Program ini sangat terbatas dan hanya ada di beberapa
kota, maka pemerintah baru ditantang untuk menyediakan rumatan metadon dengan
skala nasional.
Selain penyebaran HIV/AIDS secara horizontal dari penyalahguna narkoba ke
pasangan seksualnya, seperti istri, penyebaran HIV/AIDS selanjutnya terjadi
secara vertikal dari istri ke bayi yang dikandung di istri.
Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya
pasangan pemerintah baru diharapkan bisa merancang UU yang mewajibkan semua
perempuan hamil yang berobat dan memeriksakan diri ke sarana kesehatan
pemerintah dengan program jaminan gratis dari pemerintah daerah diwajibkan
melakukan tes HIV. Ini tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) karena ada
pilihan yaitu memerikakan kehamilan ke sarana kesehatan swasta dengan jaminan
kesehatan berbayar.
Dengan mengetahui status HIV perempuan hamil, maka bisa dijalankan program
pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Program ini menyelematkan bayi
agar tidak tertular HIV dari ibu yang mengandungnya.
Selain itu dideteksi pula satu laki-laki yang mengidap HIV/AIDS yaitu suami
atau pasangan perempuan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Dengan langkah kecil ini saja sudah diputus dua mata rantai penyebaran HIV
yaitu dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya dan dari laki-laki suami atau pasangan
perempuan yang terdeksi mengidap HIV/AIDS ke istri lain bagi yang beristri
lebih dari satu, ke pasangan seks yang lain atau ke PSK.
Memutus mata rantai penyebaran HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya sudah
mendesak karena sejak tahun 1987 sampai 2013
terdeteksi 6.230 kasus AIDS pada kalangan ibu rumah tangga. Risiko ibu
rumah tangga tertular HIV/AIDS kian besar karena catatan Kemenkes RI menunjukkan
4,9 juta ibu rumah tangga menikah dengan
laki-laki yang perilaku seksnya berisiko tinggi (tribunNews.com,
25/4-2014). Mereka itu adalah laki-laki atau suami yang sering melakukan
hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan
perempuan yang sering berganti-ganti, seperti PSK dan cewek gratifikasi seks.
Tentu angka-angka itu hanya sebagian kecil saja karena banyak perempuan
hamil yang mengidap HIV/AIDS tidak terdeteksi. Di Yayasan Pelita Ilmu (YPI),
sebuah lembaga yang menangani HIV/AIDS di Jakarta, misalnya, ada 140-an
anak-anak mulai dari balita sampai usia SMP yang tertular HIV dari ibu mereka
dan sekarang didampingi oleh relawan di YPI.
Gratifikasi Seks
Maka, diperlukan langkah yang konkret dari pemerintah agar anak-anak dengan
HIV/AIDS tidak ditolak di sekolah. Soalnya, kalau didirikan sekolah khusus
anak-anak dengan HIV/AIDS itu sama saja dengan mendiskriminasi anak-anak tsb.
Untuk itulah pasangan pemerintah baru ditantang untuk meracang UU yang
melindungi anak-anak dengan HIV/AIDS agar tidak ditolak di sekolah dan
perguruan tinggi serta tidak mengalami stigmatisasi (cap buruk) di masyarakat.
Selain pada penyalahguna narkoba, penyebaran HIV/AIDS juga terjadi melalui
laki-laki yang perilaku seksualnya bersiko, yaitu laki-laki dewasa yang pernah
atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah
dengan perempuan yang berganti-ganti. Soalnya, perempuan-perempuan itu pun ada
kemungkinan juga mempunyai pasangan lain.
Penyebaran yang lain terjadi melalui laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan
seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti
PSK.
Kota Batam, di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), merupakan salah satu kota
yang bisa menjadi ‘pintu masuk’ penyebaran HIV/AIDS secara nasional karena di
Batam beroperasi PSK dari banyak daerah di Indonesia (Batam bisa Jadi ”Pintu
Masuk” Epidemi HIV/AIDS Nasional, Harian “Sinar Harapan”, 3 Agustus 2001).
Jika ada PSK yang tertular HIV/AIDS di Batam, maka ketika mereka pulang kampung
atau mudik mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV di kampungnya. Antara lain
risiko penularan kepada suami atau pasangan seksualnya di kampung, bisa pula
ada di antara mereka yang ‘buka praktek’ di kampung sehingga terjadi penyebaran
HIV/AIDS.
Dalam kaitan ini peluang yang dimiliki oleh pasangan pemerintah baru adalah
mendorong daerah-daerah ‘pamasok PSK’ ke Batam untuk menjalin kerja sama dengan
Pemprov Kepulauan Riau. Kerja sama dimaksud adalah Pemprov Kepri melakukan tes
HIV rutin terhadap PSK dengan dukungan daerah-daerah ‘pemasok PSK’ sehingga PSK
yang mengidap HIV/AIDS bisa dideteksi agar bisa didampingi jika mereka pulang
kampung agar tidak menyebarkan HIV/AIDS.
Ada lagi penyebaran HIV/AIDS yang luput dari perhatian yaitu melalui
laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan cewek gratifikasi seks yaitu
perempuan yang diberikan kepada mitra bisnis, pejabat negara, dll. sebagai
imbalan atau balas jasa (Gratifikasi Seks (Akan) Mendorong Penyebaran
HIV/AIDS di Indonesia, kompasiana.com,
14/1-2014).
Penyebaran HIV/AIDS melalui cewek gratifikasi seks ini sangat tinggi
karena: (a) Tidak ada program penjangkuan terhadap cewek gratifikasi, (b) Tidak
ada pemantauan pemakaian kondom pada hubungan seksual yang mereka lakukan
dengan laki-laki yang menerima mereka sebagai gratifikasi. Kondisi ini membuat
hubungan seksual antara cewek gratifikasi seks dengan laki-laki yang menerima
gratifikasi itu riskan terjadi penularan HIV/AIDS. Bisa jadi dari cewek ke
laki-laki atau sebaliknya.
Terkait dengan gratifikasi seks ini diharapkan pasangan pemerintah baru
merancang UU yang melarang gratifikasi seks dan memasukkan gratifikasi seks
sebagai tindakan korupsi sehingga pelaku-pelakunya dijerat dengan UU Tipikor.
Langkah konkret yang bisa dilakukan pemerintah untuk memutus mata rantai
penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual berisiko adalah mendorong
perubahan perilaku seks pada laki-laki yang gemar melakukan hubungan seksual,
di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan
yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK dan cewek gratifikasi seks.
Laporan Kementerian Kesehatan RI menyebutkan pada tahun 2012 di Indonesia
ada 6,7 juta laki-laki beristri yang gemar melakukan hubungan seksual dengan
PSK. Dari jumlah ini 2,2 juta di antaranya adalah laki-laki yang mempunyai
istri (kompas.com, 3/12-2012). Itu artinya ada 2,2 istri yang berisiko tertular
HIV/AIDS dari suaminya karena para suami itu tidak memakai kondom ketika
melakukan hubungan seksual dengan PSK atau dengan cewek gratifikasi seks.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian sudah terdeteksi 6.230 ibu rumah tangga dengan kasus AIDS.
Jumlah ini akan lebih besar jika ada di antara suami-suami yang mengidap
HIV/AIDS mempunyai istri lebih dari satu. Laporan Kemenkes RI menyebutkan
sampai 31 Desember 2013 bahwa AIDS duah terdeteksi pada 1.009 anak usia 0-4
tahun.
Risiko penularan HIV/AIDS dari PSK ke laki-laki atau sebaliknya terjadi
karena banyak di antara laki-laki pelanggan PSK itu tidak memakai kondom ketika
melakukan hubungan seksual dengan PSK. Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan
hanya 35 persen dari 6,7 juta laki-laki pelanggan PSK yang memakai kondom
setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK (kompas.com,
6/12-2012).
Penanggulangan di Hilir
Persoalan yang dihadapi terkait dengan laki-laki pelanggan PSK adalah sejak
era reformasi semua daerah menutup lokalisasi pelacuran sehingga praktek
pelacuran tersebar luas di sembarang tempat dan sembarang waktu. Jika pelacuran
tidak dilokalisir, maka penjangkauan terhadap PSK dan pelanggannya sangat sulit
dilakukan sehingga sosialisasi pemakaian kondom bagi laki-laki tidak dapat
dijalankan secara efektif.
Langkah konkret yang bisa dilakukan untuk menurunkan insiden infeksi HIV
baru pada laki-laki pelanggan PSK adalah melalui intervensi barupa ‘wajib
kondom 100 persen’ bagi laki-laki ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Ini sudah terbukti menurunkan kasus HIV/AIDS baru di Thailand. Tapi, program
‘wajib kondom 100 persen’ hanya bisa dilakukan kalau pelacuran dilokalisir
sehingga program ini tidak bisa dijalankan secara efektif di Indonesia.
Beberapa pemerintah daerah, mulai dari provinsi, kabupaten dan kota
menerbitkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS, tapi perda-perda
itu sama sekali tidak bekerja karena pasal-pasal dalam perda-perda tsb. hanya aturan
normatif yang dibalut dengan moral.
Perda AIDS di Indonesia, yang pertama diterbitkan di Kab Nabire, Papua,
tahun 2003, meniru program ‘wajib kondom 100 persen’ di Thailand. Tapi, karena
perda dibuat dengan semangat moral maka perda-perda itu pun hanyalah ‘macan
kertas’ yang tidak menukik ke akar persoalan.
Misalnya, dalam perda-perda itu, sampai April 2014 sudah ada 78 perda, selalu
disebutkan bahwa mencegah penularan HIV/AIDS dengan cara: (a) Jangan melakukan
hubungan seksual sebelum menikah, (b)
Jangan melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang tidak sah, dan (c)
Meningkatkan iman dan taqwa.
Tiga cara di atas sama sekali tidak terkait langsung dengan penularan
HIV/AIDS karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam
dan di luar nikah kalau salah satu atau kedua pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS
dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.
Karena sejak awal epidemi persoalan HIV/AIDS sudah dibumbui dengan moral
dan ‘diperkuat’ pula dengan perda-perda AIDS, maka amatlah sulit mengajak
laki-laki pelanggan PSK untuk selalu memakai kondom jika melakukan hubungan
seksual: (1) dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah,
dan (2) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK dan
cewek gratifikasi.
Kondisinya kian runyam karena program ‘wajib kondom 100 persen’ yang
dikembangkan Kemenkes RI dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN)
tidak dijalankan secara komprehensif. Di negara asal program itu, Thailand,
ternyata program itu merupakan urutan terakhir (ekor) dari serangkaian program
penanggulangan HIV/AIDS dengan skala nasional.
Thailand menjalankan program penanggulangan melalui rangkaian yang
sistematis dan berkelanjutan yang dimulai dengan penyebarluasan informasi
HIV/AIDS melalui media massa dan terakhir program ‘wajib kondom 100 persen’.
Celakanya, di Indonesia program penanggulangan dimulai dengan ‘wajib kondom
100 persen’ sehingga menimbulkan pro dan kontra yang berkepanjangan. Ini terjadi
karena masyarakat belum memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS
yang konkret, al. dengan kondom (Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia
’Mengekor’ ke Ekor Program Thailand, kompasiana.com, 4/3-2012).
Jika kelak masyarakat tetap menolak lokalisasi pelacuran, maka upaya untuk
menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual
dengan PSK sangatlah sulit. Ini tantangan terberat bagi pemerintah baru.
Pendekatan secara sosial dan moral terhadap laki-laki pelanggan PSK juga
sangat sulit karena praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang
waktu. Berbeda halnya jika pelacuran dilokalisir, penjangkauan dan intervensi
bisa dilakukan secara efektif.
Selama ini penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia yang konkret dan terukur
hanya dilakukan di hilir, al. tes HIV pada perempuan hamil, tes HIV pada
pasien-pasien yang berobat ke rumah sakit dengan gejala-gejala terkait
HIV/AIDS, dan survailans tes HIV di kalangan PSK dan waria.
Itu artinya pemerintah menunggu bahkan membiarkan penduduk tertular HIV
dahulu baru ditangani.
Persoalan besar yang terjadi jika penanggulangan yang konkret hanya
dilakukan di hilir adalah sebelum mereka terdeteksi mengidap HIV melalui tes
HIV mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain. Semua terjadi tanpa
disadari.
Wajib Kondom
Orang-orang yang mengidap HIV/AIDS, yaitu: suami menularkan HIV ke
istrinya. Perempuan menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya, laki-laki
menularkan HIV ke pasangan seksnya atau ke PSK.
Terkait dengan pelacuran ada salah kaprah yang sangat fatal yaitu
menyebutkan bahwa PSK dan pelacuran sebagai penyebar HIV/AIDS. Ini tidak tepat
karena:
(a) Yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan
sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Laki-laki ini menjadi mata rantai
penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah, dan
(b) Laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom
berisiko tertular HIV. Laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata
rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom
di dalam dan di luar nikah.
Langkah konkret yang bisa dilakukan untuk memutus mata rantai (a) dan (b)
adalah melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan
hubungan seksual dengan PSK. Tapi, sekali lagi ini hanya bisa dilakukan jika
pelacuran dilokal
Karena penolakan yang sangat kuat dari masyarakat sehingga pelacuran tidak
bisa dilokalisir, maka langkah konkret yang bisa dilakukan pemerintah baru
adalah membuat UU yang mewajibkan konseling pasangan bagi ibu rumah tangga yang
sedang hamil ketika memeriksakan kehamilan ke sarana kesehatan pemeintah.
Konseling pasangan dilakukan untuk mengetahui riwayat perilaku seksual
suami dan istri mulai dari sebelum menikah dan selama pernikahan. Perilaku
seksual salah satu atau kedua pasangan erat kaitannya dengan risiko tertular
HIV.
Langkah konkret lain yang bisa dijalankan pemerintah baru untuk mendeteksi
HIV/AIDS di masyarakat adalah dengan membuat UU yang mewajibkan semua pasien
yang berobat ke sarana kesehatan pemerintah, seperti puskesmas dan rumah sakit,
yang memakai dana pemerintah untuk menjalani tes HIV. Ini tidak melanggar HAM
karena ada pilihan bagi yang tidak bersedia menjalani tes HIV yaitu berobat ke
sarana kesehatan nonpemerintah.
Satu kasus HIV/AIDS terdeteksi, maka satu mata rantai penyebaran HIV
diputus. Itu artinya semakin banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi, maka kian banyak
pula mata rantai penyebaran HIV/AIDS yang diputus.
Selain itu mendeteksi kasus HIV/AIDS pun akan memudahkan upaya pengobatan
karena sekarang sudah ada obat antiretroviral (ARV) yaitu obat untuk menghambar
pertumbunan HIV di dalam darah. Dengan obat ARV pengidap HIV/AIDS bisa hidup seperti
biasa karena obat itu menjaga kondisi fisik dan kesehatan. Orang-orang yang
meminum obat ARV pun pada tahap tertentu tidak menularkan HIV ke pasangannya
karena virus (HIV) di dalam darahnya ‘tidur’.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh pemerintah baru adalah dana untuk
membeli obat ARV karena obat ini harus diminum seumur hidup. Tapi, orang-orang
yang terdeteksi HIV/AIDS tidak semerta meminum obat ARV. Saat ini harga obat
ARV Rp 360.000/bulan.
Maka, tanpa langkah-langkah yang konkret, penyebaran HIV/AIDS akan terus
terjadi di Indonesia yang kelak akan sampai pada “ledakan AIDS” sehingga
menggerogoti APBN (Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara) al. untuk pembelian
obat ARV, pengobatan dan perawatan pengidap HIV/AIDS. ***