12 Juli 2014

Pelajar SMA di Klaten, Jawa Tengah, Positif HIV

Klaten, aidsindonesia.com (11/7-2014) - Penularan HIV/AIDS di Klaten kini semakin memprihatinkan. Bahkan dalam sebulan, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Klaten bisa menemukan sekitar enam pasien baru yang mengidap HIV/AIDS.
“Kasus pengidap HIV/AIDS di Klaten semakin memprihatinkan karena rata-rata dalam sebulan kami menemukan enam kasus baru. Bahkan, pada Mei lalu, kami menemukan pelajar SMA yang terkena HIV. Saat ini siswa tersebut dalam pendampingan kami agar tetap beraktivitas seperti biasa,” kata Pegiat KPA Klaten, Fauzi Rivai, pekan lalu.
Namun, ia tidak bisa membeberkan identitas pelajar tersebut karena ada kode etik bahwa identitas pengidap HIV/AIDS harus dirahasiakan. Tapi, ia menyebut secara fisik kondisi pelajar masih terlihat sehat, bahkan pelajar itu juga aktif berolahraga, dan melakukan pola hidup sehat.
Mengetahui kasus tersebut, KPA kemudian menelusuri tentang dugaan penyebab pelajar terkena HIV. Ternyata diketahui bahwa orangtua pelajar itu merupakan penderita AIDS, sehingga penularan penyakit disebabkan karena faktor keturunan.
“Pelajar yang mengidap HIV itu tidak merokok dan tidak mengkonsumsi minuman keras. Bahkan, dia cenderung pendiam dan tidak pernah terlibat kenakalan remaja. Kalau dilihat sekilas, tidak jauh berbeda dengan pelajar pada umumnya. Setelah ditelusuri, ternyata virus itu berasal dari orangtuanya,” tuturnya. (solopos.com).

10 Juli 2014

Menyikapi Peningkatan Kasus HIV/AIDS di Kota Jogja

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

Jakarta, aidsindonesia.com (11/7-2014) – Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Jogja, DI Yogyakarta, sampai bulan Maret 2014 mencapai 714. Disebutkan “Dari jumlah tersebut, penyebab paling banyak masih disebabkan karena perilaku seks heteroseksual sebesar 56 persen.” (Jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Yogyakarta meningkat dan semakin mengkawatirkan, tribunNews.com. 8/7-2014)

Judul berita ini sensasional karena mengabaikan fakta terkait dengan pelaporan kasus HIV/AIDS. Laporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah dengan kasus baru. Begitu seterusnya sehingga jumlah kasus kumulatif tidak akan pernah turun biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal.

Disebutkan angka 714 tsb. bertambah sebesar 5,4 persen dari 677 kasus pada akhir tahun 2013. Kasus yang terdeteksi di tahun 2014 bukan tidak semua kasus baru yang insidennya terjadi di tahun 2014 karena penularan bisa saja sudah terjadi sebelum tahun 2013.

Pernyataan ” .... penyebab paling banyak masih disebabkan karena perilaku seks heteroseksual sebesar 56 persen” menyesatkan karena penularan HIV bukan karena orientasi seksual, tapi karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual.

Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi pada heteroseksual (laki-laki suka perempuan dan sebaliknya) melaui seks anal, seks oral dan seks vaginal di dalam dan di luar nikah, serta homoseksual (gay yaitu laki-laki suka laki-laki) melalui seks anal dan seks oral jika hubungan seksual dilakukan dengan yang mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.

Fakta yang menarik dalam berita tsb. adalah ”64 persen dari 714 kasus tersebut diderita oleh laki-laki”. Itu artinya ada 450-an laki-laki pengidap HIV/AIDS. Nah, 450 laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Laki-laki yang mengidap HIV/AIDS tsb. tertular dengan faktor risiko hubungan seksual. Risiko tertular HIV pada laki-laki terjadi al. karena sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu PSK yang kasat mata seperti di lokasi pelacuran. Di Kota Jogja ada tempat pelacuran ”Sarkem” di sekitar Jalan Pasar Kembang di ujung utara Jalan Malioboro.

Selain dengan PSK langsung risiko tertular HIV juga terjadi pada hubungan seksual laki-laki dengan perempuan yang juga bersifat PSK tapi tidak kasat mata. Mereka disebut PSK tidak langsung karena tidak ’praktek’ di tempat pelacuran. Misalnya, cewek pub, cewek kafe, cewek diskotek, anak sekolah, mahasiswi, ABG, cewek panggilan, selingkuhan, cewek gratifikasi seks, dll.

Langkah untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS melalui laki-laki adalah dengan program berupa intervensi untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki. Ini bisa dilakukan dengan program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Program hanya bisa efektif jika pelacuran dilokalisir dengan regulasi. Celakanya, ”Sarkem” bukan pelacuran yang dilokalisir dengan regulasi, tapi hanya lokasi yang berkembang di permukiman. Bahkan, dalam Perda AIDS DI Yogyakarta sama sekali tidak ada pasal yang terkait dengan ”Sarkem” (Lihat: Perda AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-di-yogyakarta.html

Upaya sosialisasi kondom di ”Sarkem” hanya merupakan inisiatif komunitas sehingga tidak ada kekuatan hukum yang melindungi PSK (Lihat: Duka Derita PSK di ‘Sarkem’ Yogyakarta - http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/11/duka-derita-psk-di-%E2%80%98sarkem%E2%80%99-yogyakarta-372263.html

Sedangkan praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung tidak bisa diintervensi. Kasus-kasus HIV/AIDS pada kalangan aparat, pegawai, karyawan, dan pengusaha kemungkinan besar terjadi melalui hubungan seksual dengan PSK tidak langsung.

Jika Pemkot Jogja tidak melakukan intervensi terhadap laki-laki yang melacur dengan PSK langsung, maka penyebaran HIV/AIDS di Kota Jogja akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ”ledakan AIDS”. ***

Kasus HIV/AIDS di Kota Yogyakarta Meningkat dan Mengkhawatirkan

Yogyakarta, aidsindonesia.com (8/7-2014) - Jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Yogyakarta meningkat dan semakin mengkawatirkan.

Hingga Maret 2014, tercatat ada 714 kasus terjadi di Kota Yogyakarta, jumlah tersebut meningkat 5,4 persen dari jumlah kasus akhir tahun lalu yang mencapai 677 kasus.

Dari jumlah tersebut, penyebab paling banyak masih disebabkan karena perilaku seks heteroseksual sebesar 56 persen.

Dengan rata-rata umur penderita antara umur 20 hingga 29 tahun dan 64 persen dari 714 kasus tersebut diderita oleh laki-laki.

"Kasus di Yogyakarta semakin tinggi, akhir tahun lalu ada 677 kasus dan hingga triwulan pertama 2014 jumlahnya meningkat menjadi 714 kasus. Dimana penyebab paling banyak adalah diakibatkan heteroseksual," kata Sekretaris Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kota Yogyakarta, F Kaswanto, Selasa (8/7/2014).

Sementara itu untuk kasus HIV Aids pada bayi yang baru lahir, Kaswanto menyebutkan pada triwulan pertama 2014 tidak ditemukan kasus.

Untuk menekan jumlah penderita dan menanggulangi HIV Aids di Kota Yogyakarta, KPA Kota Yogyakarta melakukan beragam cara seperti dengan bekerja sama dengan komunitas. (tribunNews.com).

Puluhan TKI Asal Cilacap Terkena HIV/AIDS

Cilacap, aidsindonesia.com (8/7-2014) - Sejumlah 67 orang bekas buruh migran asal Cilacap, Jawa Tengah, terdeteksi menderita HIV/AIDS. Mereka dipulangkan dari negara tujuan setelah menjalani pemeriksaan. 

"Kami imbau agar sebelum berangkat buruh migran melakukan tes kesehatan di klinik Voluntary Counseling Tes (VCT) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cilacap," kata Manajer Kasus VCT RSUD Cilacap, Rubino Sriadji, Selasa 8 Juli 2014.

Tidak hanya itu, kata dia, tidak sedikit juga mereka yang sudah mengetahui positif HIV/AIDS masih tetap nekat untuk pergi ke luar negeri. Bahkan surat keterangan dari VCT dimanipulasi jika dia negatif HIV/AIDS.


“Kalau hasilnya dia positif HIV/AIDS atau hamil maka tidak diperbolehkan untuk berangkat dan bekerja di luar negeri,” ujarnya.


Rubino mengatakan sudah beberapa kali TKI dipulangkan ke Cilacap karena positif HIV/AIDS. Sebelum berangkat, mereka tidak pernah diperiksa kesehatan di VCT untuk mengetahui apa mereka positif HIV atau tidak.

Sekitar 15 persen dari 550 buruh migran terdeteksi positif HIV/AIDS. Dalam konseling di VCT, terungkap bahwa penularan virus tidak hanya terjadi di luar negeri, melainkan juga ketika TKI pulang ke Indonesia. “Ada kasus TKI pulang dari luar negeri, tapi setelah di bandara dia tidak langsung pulang ke rumah, tapi mampir dulu ke tempat lain dan jajan," katanya. (Baca:TKI Tertular HIV/AIDS Saat Bekerja di Luar Negeri)

Kepala Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Cilacap, Rodli mengatakan, semua calon TKI yang akan berangkat ke luar negeri untuk bekerja harus melalui tes kesehatan di klinik yang sudah ditunjuk oleh BP3TKI. Ada lima poin utama bagi calon TKI yang akan berangkat ke luar negeri, yakni lolos cek jantung, paru-paru, tekanan darah, HIV/AIDS dan kehamilan bagi perempuan. ARIS ANDRIANTO/tempo.co

07 Juli 2014

Ibu Rumah Tangga di Indragiri Hilir, Riau, Banyak Tertular HIV/AIDS



Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

Jakarta, aidsindonesia.com (8/7-2014) - ''Itulah kenapa kita ingatkan untuk mengikuti test HIV, karena itu sudah menjadi hak setiap orang, jangan lagi merasa tabu, karena yang merasa aman belum tentu bebas dari HIV dan AIDS.'' Ini pernyataan Ketua Bangun Desa Payung Negeri (BDPN) Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Prov Riau, Zainal Arifin, dalam berita ” Waduh, Kasus HIV/AIDS di Inhil Didominasi Ibu Rumah Tangga” (goriau.com, 7/7-2014).

Pernyataan Zainal itu terkait dengan temuan kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga (IRT) sampai bulan Mei 2014 sebanyak 18 dari 88 kasus yang ada di Inhil.

Jumlah yang terdeteksi itu pun tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena banyak orang yang mengidap HIV/AIDS tidak menyadarinya, al. karena tidak ada gejala-gejala atau tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka, dan tidak ada pula keluhan kesehatan yang khas AIDS.

Untuk mengetahui apakan seseorang sudah tertular HIV atau belum hanya bisa dilakukan melalui tes HIV. Tapi, yang perlu diingat adalah tes HIV merupakan langkah penanggulangan di hilir. Artinya, Zainal membiarkan dulu ibu-ibu rumah tangga tertular HIV dari suami baru menjalani tes HIV.

Dalam penanggulangan HIV/AIDS di hulu yang diperlukan bukan tes HIV, tapi program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada ibu-ibu rumah tangga. Tentu saja sasarannya bukan ibu-ibu rumah tangga, tapi suami karena suamilah yang menularkan HIV kepada ibu rumah tangga (baca: istri).

Disebutkan oleh Zainal ” .... karena yang merasa aman belum tentu bebas dari HIV dan AIDS.”

Seseorang akan aman dari risiko tertular HIV jika tidak pernah melakukan kegiatan yang berisiko tertular HIV, al. (1) tidak pernah melalukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (2) tidak pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan nomor (1) atau nomor (2) atau dua-duanya, maka dia aman sehingga tidak perlu tes HIV.

Disebutkan lagi bahwa penemuan HIV dan AIDS lebih banyak ditemukan pada IRT dikarenakan umumnya IRT tidak mengetahui bahwa suaminya beresiko terkena HIV.

Dikatakan oleh Zainal: ''Terkadang mereka merasa aman, tapi tidak mengetahui bahwa sang suami juga jajan sembarangan.''

Adalah hal yang mustahil bagi seorang istri untuk bertanya tentang perilaku seksual suaminya di luar rumah. Untuk itulah diperlukan intervensi agar laki-laki, dalam hal ini suami, tidak melakukan perilaku berisiko yaitu nomor (1) dan (2) atau dua-duanya.

Intervensi yang bisa dilakukan adalah membuat regulasi untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tapi, ini hanya bisa efektif jika pelacuran dilokalisir. Kalau pelacuran tidak dilokalisir, maka intervensi tidak bisa dijalankan karena pelacuran terjadi di sembaran waktu dan sembarang tempat. Bisa di penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang, dll.

Celakanya, Pemkab Inhil akan menepuk dada: Di daerah kami tidak ada pelacuran!

Pemkab benar karena memang di Inhil sccara de jure tidak ada pelacuran yang dilokalisir, tapi secara de facto pelacuan terjadi di banyak tempat dalam berbagai bentuk.

Maka, jika Pemkab Inhil tidak membuat regulasi yang mengatur pemakaian kondom bagi laki-laki di pelacuran, maka insiden infeksi HIV akan terus terjadi yang kelak bermuara pada kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak.

Jumlah kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga kian banyak kalau banyak laki-laki yang beristri lebih dari satu. Pada gilirannya semakin banyak pula anak-anak yang lahir dengan HIV/AIDS. ***

Waduh, Kasus HIV/AIDS di Inhil, RIau, Didominasi Ibu Rumah Tangga

Tembilahan, aidsindonesia.com (7/7-2014) - Siapa sangka Ibu Rumah Tangga (IRT) yang kesehariannya hanya mengurus rumah dan anak-anak malah paling tinggi penemuan kasus HIV dan AIDS di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Prov Riau.

Dinas Kesehatan (Dinkes) sendiri mencatat hingga Mei 2014 ini, 88 kasus telah ditemukan dan 18 kasus diantaranya menimpa IRT.

Ketua Bangun Desa Payung Negeri (BDPN) Kabupaten Inhil, Zainal Arifin, Senin (7/72/2014) kepada GoRiau.com mengatakan, penemuan HIV dan AIDS lebih banyak ditemukan pada IRT dikarenakan umumnya IRT tidak mengetahui bahwa suaminya beresiko terkena HIV.

''Terkadang mereka merasa aman, tapi tidak mengetahui bahwa sang suami juga jajan sembarangan,'' kata Zainal.

Ia juga mengatakan dengan banyaknya IRT yang ditemukan pengidap HIV tentu menjadi resiko tinggi bagi anggota keluargannya terutama anak-anak.

''Itulah kenapa kita ingatkan untuk mengikuti test HIV, karena itu sudah menjadi hak setiap orang, jangan lagi merasa tabu, karena yang merasa aman belum tentu bebas dari HIV dan AIDS,'' lanjutnya.

Ditambahkannya pula, bagi masyarakat, posyandu, kelompok ibu-ibu yasinan dan arisan, kantor kantor swasta dan negri yang ingin mendapatkan informasi berupa sosialisasi sekaligus layanan VCT BDPN siap mengakses langsung


''Semuanya gratis tidak di pungut biaya dan kami siap hadir untuk masyarakat, hubungi saja kantor kita di depan Lapas Tembilahan,'' ujar Zainal. (ayu/goriau.com).

06 Juli 2014

Pemerintah ‘’Membiarkan’’ Suami Menularkan HIV/AIDS ke Istri


Oleh Syaiful W. Harahap - AIDS Watch Indonesia


4,9 Juta Ibu Rentan Tertular HIV/AIDS”. Ini judul berita di Harian “TERBIT’ Jakarta (4/7-2014). Angka ini sangat besar jika dikaitkan dengan penyebaran HIV/AIDS. Dalam berita itu sama sekali tidak ada informasi tentang cara atau langkah konkret yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS dari suami ke istri (ibu rumah tangga).

Dilaporkan bahwa estimasi jumlah laki-laki dewasa ‘pembeli seks’ mencapai 6,7 juta. Dari jumlah ini ada 4,8 juta laki-laki tsb. yang mempunyai istri. Jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS pada tahun 2013 sebanyak 6.213.

Ada beberapa hal terkait dengan fakta di atas, yiatu penularan HIV dari sumai ke istri (horizontal) dan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (vertikal). Yang dilakukan pemerintah sekarang adalah program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya, tapi tanpa regulasi.

Penanggulangan di Hilir

Tapi, program ini adalah langkah di hilir. Artinya, sudah terjadi penularan HIV yaitu dari suami ke istri atau ibu rumah tangga. Ini sama saja dengan pembiaran yakni pemeirntah membiarkan suami menularkan HIV ke istri mereka.

Selain itu program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya pun tidak dilakukan secara sistematis dengan regulasi sehingga banyak kasus yang tidak terdeteksi.

Akan lain halnya jika pemerintah membuat regulasi, misalnya, setiap perempuan hamil wajib mengikuti konseling pasangan. Bagi suami yang perilakunya berisiko diwajibkan tes HIV beserta istri.

Regulasi itu pun hanyalah di hilir karena ketika seorang ibu rumah tangga terdeteksi mengidap HIV ketika hamil itu artinya suami sudah menularkan HIV ke istrinya.

Yang diperlukan adalah program penanggulangan HIV/AIDS di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Program ini bisa dijalankan dengan intervensi melalui regulasi.

Risiko penularan HIV/AIDS ke laki-laki dewasa, sebagian di antaranya adalah suami, terjadi melalui:

(1) Hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti. Risiko terjadi karena ada kemungkinan salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan ke laki-laki. Selanjutnya, laki-laki yang tertula HIV/AIDS menularkan HIV ke perempuan lain, al. kepada istrinya.

(2) Hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK. Risiko terjadi karena ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK mengidap HIV/AIDS sehingga PSK tertular HIV. Selanjutnya laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK berisiko pula tertular HIV/AIDS. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari PSK akan menularkan HIV ke perempuan, al. kepada istri dan PSK.

Intervensi terhadap Laki-laki

(3) Hubungan seksual dengan perempuan atau cewek gratifikasi seks. Cewek gratifikasi seks melayani laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom sehingga berisiko tertular HIV/AIDS. Selanjutnya laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan cewek gratifikasi seks berisiko tertular HIV/AIDS. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam nikah (dengan istri, ada pula yang beristri lebih dari satu) dan di luar nikah (dengan perempuan lain dan PSK).

Pada kondisi (1) dan (3) tidak bisa dilakukan intervensi karena hubungan seksual terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Sedangkan pada kondisi (2) pemerintah bisa melakukan intervensi melalui regulasi yaitu menjalankan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Yang perlu diingat adalah intervensi hanya bisa dilakukan jika PSK dilokalisir.

Masalah baru (akan) muncul karena secara de jure tidak ada celah untuk melokalisir PSK. Padahal, secara de facto pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu di seluruh Nusantara.

Tanpa intervensi terhadap laki-laki yang melacur dengan PSK, maka risiko laki-laki pelanggan PSK tertular HIV sangata tinggi. Laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menularkan HIV ke istrinya. Jumlah perempuan yang tertular HIV kian banyak karena ada laki-laki yang beristri lebih dari satu.

Agaknya, pemerintah tetap tidak melakukan langkah-langkah yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki. Itu artinya jumlah ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS pun akan terus bertambah dan pada gilirannya melahirkan anak dengan HIV/AIDS.

Selain jadi beban negara, anak-anak yang lahir dengan HIV/AIDS juga tidak bisa diandalkan sebagai generasi penerus bangsa. ***

4,9 Juta Ibu Rumah Tangga di Indonesia Rentan Tertular HIV/AIDS

Jakarta, aidsindonesia.com (4/7-2014) - Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) memperkirakan sebanyak 4,3 juta ibu rumah tangga di Indonesia rentan tertular HIV/AIDS.

“Jumlah perkiraan itu muncul dari angka estimasi lelaki pembeli seks yang jumlahnya mencapai 6,7 juta orang,” kata Koordinator Pembina Wilayah Program KPAN, Yufrizal Putra, kemarin.


Ia mengatakan, para ibu rumah tangga tersebut tertular HIV/ AIDS dari para suami mereka yang menjadi pembeli atau pelanggan seks.


Data penularan HIV/AIDS terhadap ibu rumah tangga, tambahnya, cenderung meningkat dan jumlahnya lebih tinggi dibanding penderita HIV/AIDS dari kalangan wanita penjaja seks.
Pada 2013, kata dia, jumlah ibu rumah tangga yang tertular HIV/ AIDS sebanyak 6.230 orang, sedangkan wanita penjaja seks hanya 2.021 orang (
Arbi)/harianterbit.com)