Jakarta,
aidsindonesia.com (1/7-2014) - Ketika banyak Negara bisa menurunkan insiden infeksi HIV
baru melalui cara-cara yang realistis, Indonesia malah melakukan
langkah-langkah yang tidak realistis bahkan cenderung ke ranah mitos (anggapan
yang salah), seperti memakai jargon-jargon moral.
Langkah lain yang dilakukan di Indonesia
adalah menerbitkan peraturan daerah (Perda) mulai dari provinsi, kabupaten
sampai kota. Sampai
sekarang tercatat 70-an perda yang tersebar di seluruh Nusantara.
Perda-perda itu sendiri dirancang berdasarkan pengalaman
Thailand yang berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki
melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) dengan program ’wajib
kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Pelacuran di Belu
Program itu dicangkok bulat-bulat oleh Indonesia, tapi
tidak memperhatikan berbagai aspek terkait dengan program tsb., al. program
kondom tsb. adalah program terakhir dari lima
program yang dijalankan dengan skala nasional di Thailand. Program
penanggulangan HIV/AIDS di Negeri Gajah Putih itu dimulai dengan melibatkan
media massa
untuk menyebarluaskan informasi HIV/AIDS.
Celakanya, di Indonesia program kondom jadi program utama
sehingga mendapat kritik dan penolakan yang kuat.
Bahkan, faktor utama agar program ’wajib kondom 100 persen’ berjalan
justru diabaikan yaitu pelacuran yang dilokalisir. Di Indonesia praktek
pelacuran tidak dilokalisir sehingga terjadi di sembarang tempat dan sembarang
waktu.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Belu mulai tahun 2004 sampai
2012 mencapai 585 (likurai.com, 16/5-2013). Angka ini tentu saja tidak
menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi
HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan (585)
digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut,
sedangkan kasus yang ada di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es
di bawah permukaan air laut.
Salah satu Perda yang dibuat untuk menanggulangi HIV/AIDS
adalah Perda Kab Belu, NTT, No 13 Tahun 2012 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV dan AIDS yang disahkan tanggal 10 September 2012.
Di Pasal 4 ayat c disebutkan: ”Upaya pencegahan HIV dan AIDS
dilakukan melalui perlu penggunaan kondom pada setiap hubungan seks beresiko.”
Dalam kaitan ini hubungan seks beresiko yang dimaksud adalah
hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki dewasa dengan PSK yaitu
pelacuran.
Lalu, di mana PSK beroperasi di Kab Belu?
Secara de jure tidak ada tempat pelacuran yang legal atau
yang dilokalisir dengan kekuatan hukum. Tapi, secara de facto pelacuran ada di
berbagai tempat dengan kegiatan sembarang waktu.
Ternyata di wilayah Kab Belu pelacuran terjadi di bar, panti
pijat dan lokasi (Pasal 8). Siapa perempuan yang menjadi PSK di sana? Mereka adalah pramuria,
pramu pijat dan PSK (Pasal 8 ayat 3).
Lalu, bagaimana cara pencegahan HIV/AIDS yang diatur dalam
perda tsb.?
Di Pasal 8 ayat 1 huruf a disebutkan: ”Pelanggan seks
berkewajiban
menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seksual.”
Ada
beberapa hal yang muncul terkait dengan buyi pasal di atas, yaitu:
Pertama, kaga menggunakan yang berasal dari kata guna tidak
semerta dipakaikan pada penis karena bisa saja digunakan untuk menutup jari. Yang
pas adalah mamakai kondom.
Kedua, bagaimana cara memantau bahwa laki-laki memakai
kondom selama melakukan hubungan seksual dengan PSK?
Pakai Kondom
Dalam Perda ini sama sekali tidak ada cara yang realistis
untuk memantau apakah laki-laki memakai kondom selama hubungan seksual
berlangsung dengan PSK.
Nah, itulah yang terjadi jika program asli (’wajib kondom
100 persen’) hanya dicangkok karena aspek-aspek yang terkait dengan program itu
diabaikan. Cara pemantauan terkait dengan pemakaian kondom, misalnya, dilakukan
dengan cara melakukan survailans IMS rutin terhadap PSK. IMS adalah infeksi
menular seksual, al. sifilis, GO, virus hepatitis B, klamdia, dll.
Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu membuktikan
bahwa PSK itu melayani laki-laki yang tidak memakai kondom. Pemilik wisma, bar,
lokasi pelacuran diberikan sanksi mulai dari teguran sampai pencabutan izin
usaha.
Pasal 8 ayat 2 huruf c disebutkan: ”Pengelola bar, pengelola
panti pijat dan pengelola lokasi berkewajiban mengharuskan pelanggan seks
menggunakan kondom pada waktu melakukan hubungan seksual.”
Caranya? Lagi-lagi tidak jelas. Lagi pula bagaimana cara
untuk memastikan laki-laki memakai
kondom selama hubungan seksual berlangsung.
Pasal 8 ayat 2 huruf d disebutkan: ”Pengelola bar, pengelola
panti pijat dan pengelola lokasi berkewajiban memberikan perlindungan kepada
pramuria, pramu pijat, dan PSK dan melaporkan kepada pihak yang berwajib
pelanggan yang memaksakan kehendaknya untuk melakukan hubungan seksual tanpa
menggunakan kondom.”
Di Pasal 8 ayat 3 disebutkan: Pramuria, pramu pijat dan PSK
berkewajiban:
a. meminta pasangannya menggunakan kondom pada saat
melakukan hubungan seksual;
b. menolak melakukan hubungan seksual dengan pelanggan yang
tidak mau menggunakan kondom;
c. memeriksa kesehatan secara berkala pada unit layanan IMS
yang ditunjuk oleh pemerintah daerah;
d. segera berobat bila terinfeksi IMS, HIV dan AIDS serta
bertanggungjawab untuk tidak menularkan kepada orang lain
Terkait dengan huruf a dan b yang menjadi persoalan adalah
posisi tawar PSK sangat lemah karena laki-laki akan mencari PSK yang mau
melakukan hubungan seksual dengan mereka tanpa memakai kondom.
Sedangkan huruf c dan d merupakan penanggulangan di hilir. Artinya,
ketika ada PSK yang terdektsi mengidap IMS dan HIV/AIDS atau kedua-duanya
sekaligus, itu artinya sudah terjadi penularan HIV yaitu dari laki-laki ke PSK
dan dari PSK ke laki-laki lain.
Dalam epidemi HIV laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dan
laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di
masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
Terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS yang diperlukan
adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama
pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.
Jika penanggulangan di hulu tidak dilakukan, maka insiden
infeksi HIV baru akan terus terjadi dan penyebaran HIV pun terus pula terjadi
yang kelak akan bermuara pada ”ledakan AIDS”. ***