14 Juni 2014

Cewek ABG Takut Kena HIV Karena Lakukan Seks Oral

Tanya Jawab AIDS No 1/Juni 2014

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Saya seorang cewek. Kalau seks oral dengan orang yang tidak pernah melakukan hubungan seksual, apakah ada risiko tertular HIV? Umur cowok yang saya oral usianya sama dengan saya yaitu 14 tahun.

Nn ‘X’, Jawa Barat via SMS (9/6-2-014)

Jawab: Yang perlu diingat adalah tidak bisa dibuktikan dan tidak bisa dilihat dengan mata telanjang apakah seorang laki-laki sudah pernah atau belum pernah melakukan hubungan seksual baik seks vaginal maupun seks anal (kecuali ybs. yang dianal bisa diperiksa secara medis). Maka, biar pun cowok yang Anda maksud mengaku tidak pernah ngeseks itu tidak jaminan bahwa dia tidak pernah melakukan hubungan seksual. Seorang cowok dengan usia 14 tahun sudah bisa melakukan hubungan seksual.

Nah, jika cowok yang Anda oral sudah pernah melakukan hubungan seksual, maka kalau dia tidak memakai kondom ada risiko dia tertular HIV atau penyakit lain, seperti kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), virus hepatitis B, dll.

Risiko penularan HIV melalui seks oral lebih besar pada yang mengoral. Dalam hal ini ada pada diri Anda. Kemungkinan tertular HIV melalui seks oral kecil, tapi tetap saja ada risiko apalagi ejakulasi yaitu air mani keluar di dalam rongga mulut dan Anda sedang sariawan.

Jika Anda tetap ingin menyalurkan dorongan hasrat seksual dengan tidak melakukan seks vaginal, maka lakukan dengan tangan (onani) atau seks oral tapi memakai kondom.


Jika Anda melakukan seks oral karena takut hamil, maka lagi-lagi ingat jangan lakukan seks anal karena risiko penularan HIV melalui seks anal justru lebih besar daripada melalui seks vaginal.***[Syaiful W. Harahap]***

Perda AIDS Kota Banjarbaru, Kalsel, Membuktikan Ada Praktek Pelacuran

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

Jakarta, aidsindonesia.com (12/6-2014) - Pemkot Banjarbaru, Prov Kalimantan Selatan, melarang praktek pelacuran atau prostitusi berdasarakan peraturan daerah (Perda) yaitu Perda Kota Banjarbaru No 6 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Pelacuran, tapi di sisi lain Perda Kota Banjarbarau No 1 Tahun 2014 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Banjarbaru justru membuktikan ada praktek pelacuran.

Hal itu ada di Paragraf 3 ”Pencegahan pada Tenpat Hiburan dan Tempat Potensi lainnya”.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Untuk apa ada program pencegahan HIV/AIDS di tempat hiburan?

Tempat Hiburan

Tempat hiburan yang dimaksud dalam perda itu pun tidak jelas karena bioskop, karaoke, mal, diskotek, dll. juga tempat hiburan.

Dalam perda di Pasal 1 ayat 25 disebutkan ”Pemilik atau pengelola tempat hiburan adalah seseorang yang memiliki usaha jasa penginapan (hotel, losmen, dll), atau yang bersifat hiburan malam (cafe, diskotik, karaoke, bilyard).”

Itu artinya ada praktek pelacuran di hotel, losmen, cafe, diskotek, karaoke, dan bilyard. Tapi, perda ini mengabaikan praktek pelacuran di rumah (kontrakan, kos-kosan, dll.) dan hotel berbintang.

Dalam Perda AIDS di pasal Pasal 11 disebutkan: (1) Setiap pemilik/pengelola tempat hiburan dan tempat potensial lainnya wajib:

a. melaporkan data karyawannya secara berkala dalam rangka perencanaan kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS;

b. memberikan penyuluhan, informasi dan edukasi tentang bahaya penularan IMS, HIV, dan AIDS pada karyawannya;

c. berperan aktif dalam upaya penanggulangan IMS, HIV, dan AIDS, dengan melakukan pemeriksaan rutin untuk karyawannya;

Kalau tempat-tempat hiburan dimaksud tidak ada pratek pelacuran yaitu hubungan seksual tentulah tidak perlu ada program penanggulangan dan pencegahan karena tidak ada perilaku berisiko tertular HIV.

Tapi, pada pasal 1 ayat a, b, dan c secara eksplisit ada risiko penularan HIV itu artinya ada praktek pelacuran.

Maka, amatlah beralasan kalau kemudian ada ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena suami mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan di tempat-tempat hiburan tsb.

Celakanya, dalam perda cara-cara pencegahan agar tidak menularkan dan tertular HIV justru tidak konkret.

Simak saja di Pasal 7: Kegiatan pencegahan dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi melalui komunikasi, informasi dan edukasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan HIV dan AIDS, yaitu:

a. tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah;

b. hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah;

c. menggunakan kondom bagi pasangan yang sah dengan HIV positif;

d. menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif dan alat suntik;

Ayat (a) dan (b) tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (belum menikah, pasangan yang tidak sah), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom selama hubungan seksual berlangsung).

Kondom 100 Persen

Penularan HIV pada ibu rumah tangga terjadi melalui hubungan seskual yang sah di dalam ikatan pernikahan yang sah pula. Itu artinya ayat (b) tidak akurat.

Sedangkan ayat (c) justru jadi bumerang karena risiko penularan HIV justru banyak terjadi melalui hubungan seksual dengan pasangan yang tidak sah melalui praktek zina (ganti-ganti pasangan, perselingkuhan, dll.) dan pelacuran (di lokasi pelacuran, losmen, hotel melati, hotel berbintang, apartemen, dll.) dengan PSK langsung (PSK di lokasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (PSK di luar lokasi pelacuran) serta cewek gratifikasi seks.

Pengalaman Thailand dalam menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki justru terjadi pada praktek pelacuran, yaitu melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melacur. Tapi, program ini hanya bisa dilakukan di pelacuran yang dilokalisir.

Celakanya, dalam perda ini tidak ada program yang merupakan intervensi terhadap laki-laki yang melacur agar memakai kondom. Maka, laki-laki yang melacur di berbagai tempat di Kota Banjarbaru dan di sekitarnya, seperti di Kota Banjarmasin, akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, al. kepada istrinya.

Seorang aktivis yang bergerak di bidang AIDS di Kalsel memberikan data yang merupakan faktor penyebaran HIV/AIDS di Kalsel. Dari beberapa kasus yang mereka tangani berawal dari deteksi kasus pada laki-laki yang dirawat di rumah sakit. Melalui istri yang menjaga diketahui bahwa pasien mempunyai istri lebih dari satu. Rata-rata kasus yang ditangani ternyata istri pasien empat.

(Di Kalsel, Istri Muda Terdeteksi HIV setelah Suami Meninggal - http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/25/di-kalsel-istri-muda-terdeteksi-hiv-setelah-suami-meninggal--554719.html).

Itu artinya ada empat perempuan yang berisiko tertular HIV secara horizontal dari suami dan ada pula empat bayi yang berisiko tertular HIV secara vertikal dari ibunya. Celakanya, dalam perda ini tidak ada program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Kota Banjarbaru sebanyak 54.

Stigma dan Diskriminasi

Mitos (anggapan yang salah) bahwa HIV/AIDS terkait dengan moral diimplikasikan di Pasal 22 ayat (1) huruf b: Perawatan terhadap ODHA dilakukan melalui pendekatan agama. Yang diperlukan adalah penangangan secara psikologis yang melibatkan psikolog.

Penanggulangan HIV/AIDS pada perda ini kian tidak realistis karena di Bab V Peran Serta Masyarakat pada Pasal 27 ayat (1) huruf a dan b disebutkan: Masyarakat dapat berperan serta dalam upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara:

a. mempromosikan perilaku hidup sehat;

b. meningkatkan ketahanan keluarga;

Risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi bukan karena perilaku hidup yang tidak sehat, tapi karena hubungan seksual yang tidak aman atau tidak terlindungi yaitu laki-laki tidak memakai kondom selama hubungan seksual.

Lagi pula, apa, sih, yang dimaksud dengan perilaku hidup sehat?

Hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sehat.

Huruf a dan b justru mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) karena dikesankan orang-orang yang tertular HIV/AIDS adalah yang perilakunya tidak sehat dan tidak mempunyai ketahanan keluarga.

“Hari gini” mitos masih saja dipakai sebagai andalan dalam menanggulangi HIV/AIDS, seperti dalam perda ini.


Maka, penanggulangan HIV/AIDS pun tidak akan bisa dilakukan dengan pijakan perda ini. Itu artinya penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di masyarakat di Kota Banjarbaru yang kelak akan bermuara pada “ledakan AIDS”. ***

Perda AIDS Kab Wajo, Sulsel, Tanpa Langkah Konkret

Oleh Syaiful W. Harahap - AIDS Watch Indonesia

Jakarta, aidsindonesia.com (14/6-2014) - Sejak Pemkab Nabire, Papua, menelurkan peraturan daerah (Perda) melalui Perda No 18 Tahun 2003 terkait dengan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, banyak daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota yang berlomba-lomba membuat perda sejenis. Sampai Mei 2014 tercatat 21 provinsi, 44 kabupaten dan 16 kota sudah menerbitkan perda AIDS. Selain itu ada pula 4 peraturan gubernur (Pergub), peraturan bupati (Perbup) dan 5 peraturan walikota (Perwali) tentang penanggulangan AIDS.

Perda-perda AIDS sendiri dibuat dengan ‘kiblat’ program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand yaitu ‘wajib kondom 100 persen’. Program ini adalah ekor program penanggulangan HIV/AIDS dengan skala nasional di Thailand, sedangkan di Indonesia program tsb. dijadikan program utama. Itu artinya program penanggulangan dengan ‘wajib kondom 100 persen’ di Indonesia adalah “mengekor ke ekor program (Thailand)” (Lihat: Syaiful W. Harahap, Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia ’Mengekor’ ke Ekor Program Thailand - http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/04/penanggulangan-hivaids-di-indonesia-%E2%80%99mengekor%E2%80%99-ke-ekor-program-thailand-444213.html).

Celakanya, semua perda, pergub dan perwali itu tidak menyentuh akar persoalan yaitu pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS karena pasal-pasal di perda-perda itu hanya normatif dan bermuatan moral. Padahal, pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS adalah dengan cara-cara yang konkret karena HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa ditangani dengan teknologi kedokteran.

Lihat saja Perda Kab Wajo, Prov Sulsel, No 13 Tahun 2012 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS ini (secara nasional perda ini ada pada urutan ke-73).

Pintu Masuk AIDS

Di Pasal 1 ayat 9 disebutkan: Pencegahan adalah upaya-upaya agar penyebarluasan virus HIV tidak meluas dan terkonsentrasi di masyarakat memalui berbagai intervensi perilaku pada penjaja seks dan pelanggan dengan penggunaan alat pencegah, penggunaan jarum suntik dan alat kesehatan lain yang steril, pengguna narkoba, skrining donor darah pada transfusi darah, penerima donor, penerima organ atau jaringan tubuh, ibu hamil yang telah terinfeksi HIV dan bayi yang dikandungnya serta kewaspadaan umum pada tenaga kesehatan.

Tapi, tidak ada satu pun pasal dalam perda ini yang secara konkret, sistematis dan terukur yang (akan) dijalankan untuk pencegahan dan penanggulangan penyebaran HIV/AIDS.

Di Bab III tentang Pencegahan dan Penanggulangan sama sekali tidak ada satu pun pasal yang menukik ke akar persoalan yaitu cara-cara mencegah penularan HIV/AIDS pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Pemkab Wajo boleh-boleh saja menepuk dada dengan mengatakan bahwa di wilayah Kabuparen Wajo tidak ada pelacuran.

Itu benar adanya.

Tapi, perlu diingat bahwa yang tidak ada adalah lokasi atau lokalisasi pelacuran. Sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung.

Paling tidak ada empat “pintu masuk” utama HIV/AIDS ke Kab Wajo, yaitu:

1. Melalui laki-laki dewasa penduduk Kab Wajo yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam nikah (kawin-cerai) dan di luar nikah (perselingkuhan, dll.) dengan perempuan yang berganti-ganti di Kab Wajo atau di luar Kab Wajo.

2. Melalui laki-laki dewasa penduduk Kab Wajo yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, al. PSK langsung (PSK yang kasat mata di lokasi atau lokalisasi, di jalanan, dll.) dan PSK tidak langsung (perempuan sebagai PSK di penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang, kafe, diskotek, panti pijat, biliar, ‘anak sekolah’, ABG, ‘mahasiswi’, ‘ibu-ibu’, cewek gratifikasi seks, dll.) di Kab Wajo atau di luar Kab Wajo.

3. Melalui perempuan dewasa penduduk Kab Wajo yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti di Kab Wajo atau di luar Kab Wajo.

Stigma dan Diskriminasi

4. Melalui penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan memakai jarum suntik secara bergantian.

Di Pasal 8 ayat (1) disebutkan: Kegiatan pencegahan dilakukan secara komperehensif, integratif, partisipatif, dan berkesinambungan, yang meliputi 11 hal, tapi tak satu pun dari 11 hal itu yang menyentuh “pintu masuk” nomor 1, 2 dan 3 di atas.

Maka, amatlah beralasan kalau kemudian penyebaran HIV/AIDS terus terjadi di wilayah Kab Wajo. Data menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Wajo per Desember 2012 mencapai 175 (sindonews.com, 17/1-2013). Angka ini menempatkan Kab Wajo pada peringakt ketiga dengan jumlah kasus terbesar di Sulsel.

Pada Pasal 8 ayat 1 huruf i disebutkan:  Kegiatan pencegahan dilakukan secara komperehensif, integratif, partisipatif, dan berkesinambungan, yang meliputi memfasilitasi pengembangan penatalaksanaan pelayanan untuk program PMTCT, termasuk pengembangan sumber daya manusianya.

Tapi, dalam perda tidak ada langkah atau cara yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Maka, ada risiko bayi lahir dengan HIV/AIDS dari ibu pengidap HIV/AIDS.

Perda ini seperti halnya perda-perda lain justru mendorong masyarakat melakukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang mengidap HIV/AIDS karena di Bab V tentang Peran Serta Masyarakat pada Pasal 16 ayat 1 disebutkan: Pemerintah Daerah memberi ruang dan kesempatan yang sama bagi masyarakat dan dunia usaha untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara:

a. Berperilaku hidup sehat;

b. Meningkatkan ketahanan hidup keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS;

Pernyataan (a) dan (b) mengesakan bahwa orang-orang yang tertular HIV/AIDS karena berperilaku hidup yang tidak sehat dan tidak mempunyai ketahanan keluarga.

Tidak ada kaitan langsung antara perilaku hibup sehat dan ketahanan  keluarga dengan penularan HIV/AIDS.

Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual (kondisi hubungan seksual).

Jika Pemkab Wajo hanya berbekal Perda AIDS yang normatif ini untuk menanggulangi HIV/AIDS di Kab Wajo, maka itu artinya penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak akan bermuara pada “ledakan AIDS’ ***