Jakarta, aidsindonesia.com (12/6-2014) - Pemkot Banjarbaru, Prov Kalimantan Selatan,
melarang praktek pelacuran atau prostitusi berdasarakan peraturan daerah
(Perda) yaitu Perda Kota Banjarbaru No 6 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Pelacuran, tapi di sisi lain Perda Kota Banjarbarau No 1 Tahun 2014 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Banjarbaru justru membuktikan ada praktek
pelacuran.
Hal itu ada di Paragraf
3 ”Pencegahan pada Tenpat Hiburan dan Tempat Potensi lainnya”.
Pertanyaan yang
sangat mendasar adalah: Untuk apa ada program pencegahan HIV/AIDS di tempat
hiburan?
Tempat Hiburan
Tempat hiburan yang dimaksud dalam perda itu pun tidak jelas karena
bioskop, karaoke, mal, diskotek, dll. juga tempat hiburan.
Dalam perda di
Pasal 1 ayat 25 disebutkan ”Pemilik atau pengelola tempat hiburan adalah
seseorang yang memiliki usaha jasa penginapan (hotel, losmen, dll), atau yang
bersifat hiburan malam (cafe, diskotik, karaoke, bilyard).”
Itu artinya ada
praktek pelacuran di hotel, losmen, cafe, diskotek, karaoke, dan bilyard. Tapi,
perda ini mengabaikan praktek pelacuran di rumah (kontrakan, kos-kosan, dll.)
dan hotel berbintang.
Dalam Perda
AIDS di pasal Pasal 11 disebutkan: (1) Setiap pemilik/pengelola tempat hiburan
dan tempat potensial lainnya wajib:
a. melaporkan
data karyawannya secara berkala dalam rangka perencanaan kegiatan
penanggulangan HIV dan AIDS;
b. memberikan
penyuluhan, informasi dan edukasi tentang bahaya penularan IMS, HIV, dan AIDS
pada karyawannya;
c. berperan
aktif dalam upaya penanggulangan IMS, HIV, dan AIDS, dengan melakukan
pemeriksaan rutin untuk karyawannya;
Kalau tempat-tempat hiburan dimaksud tidak ada pratek pelacuran yaitu
hubungan seksual tentulah tidak perlu ada program penanggulangan dan pencegahan
karena tidak ada perilaku berisiko tertular HIV.
Tapi, pada pasal 1 ayat a, b, dan c secara eksplisit ada risiko penularan
HIV itu artinya ada praktek pelacuran.
Maka, amatlah beralasan kalau kemudian ada ibu rumah tangga yang terdeteksi
mengidap HIV/AIDS karena suami mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom
dengan perempuan di tempat-tempat hiburan tsb.
Celakanya, dalam perda cara-cara pencegahan agar tidak menularkan dan
tertular HIV justru tidak konkret.
Simak saja di
Pasal 7: Kegiatan pencegahan dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi
melalui komunikasi, informasi dan edukasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip
pencegahan HIV dan AIDS, yaitu:
a. tidak
melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah;
b. hanya
melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah;
c. menggunakan kondom bagi pasangan yang sah dengan HIV positif;
d. menghindari penyalahgunaan
obat/zat adiktif dan alat suntik;
Ayat (a) dan (b) tidak akurat
karena penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan
seksual (belum menikah, pasangan yang tidak sah), tapi karena kondisi hubungan
seksual (salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak
memakai kondom selama hubungan seksual berlangsung).
Kondom 100 Persen
Penularan HIV pada ibu rumah
tangga terjadi melalui hubungan seskual yang sah di dalam ikatan pernikahan
yang sah pula. Itu artinya ayat (b) tidak akurat.
Sedangkan ayat (c) justru jadi
bumerang karena risiko penularan HIV justru banyak terjadi melalui hubungan
seksual dengan pasangan yang tidak sah melalui praktek zina (ganti-ganti
pasangan, perselingkuhan, dll.) dan pelacuran (di lokasi pelacuran, losmen,
hotel melati, hotel berbintang, apartemen, dll.) dengan PSK langsung (PSK di
lokasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (PSK di luar lokasi pelacuran) serta
cewek gratifikasi seks.
Pengalaman Thailand dalam
menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki justru terjadi pada praktek
pelacuran, yaitu melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang
melacur. Tapi, program ini hanya
bisa dilakukan di pelacuran yang dilokalisir.
Celakanya, dalam perda ini tidak ada program yang merupakan intervensi
terhadap laki-laki yang melacur agar memakai kondom. Maka, laki-laki yang
melacur di berbagai tempat di Kota Banjarbaru dan di sekitarnya, seperti di
Kota Banjarmasin, akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat
terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, al.
kepada istrinya.
Seorang aktivis yang bergerak di bidang AIDS di Kalsel memberikan data yang
merupakan faktor penyebaran HIV/AIDS di Kalsel. Dari beberapa kasus yang mereka
tangani berawal dari deteksi kasus pada laki-laki yang dirawat di rumah sakit. Melalui
istri yang menjaga diketahui bahwa pasien mempunyai istri lebih dari satu.
Rata-rata kasus yang ditangani ternyata istri pasien empat.
(Di Kalsel, Istri Muda Terdeteksi HIV setelah
Suami Meninggal - http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/25/di-kalsel-istri-muda-terdeteksi-hiv-setelah-suami-meninggal--554719.html).
Itu artinya ada empat perempuan yang berisiko tertular HIV secara
horizontal dari suami dan ada pula empat bayi yang berisiko tertular HIV secara
vertikal dari ibunya. Celakanya, dalam perda ini tidak ada program yang
sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan di Kota Banjarbaru sebanyak 54.
Stigma dan Diskriminasi
Mitos (anggapan
yang salah) bahwa HIV/AIDS terkait dengan moral diimplikasikan di Pasal 22 ayat
(1) huruf b: Perawatan terhadap ODHA dilakukan melalui pendekatan agama. Yang
diperlukan adalah penangangan secara psikologis yang melibatkan psikolog.
Penanggulangan
HIV/AIDS pada perda ini kian tidak realistis karena di Bab V Peran Serta
Masyarakat pada Pasal 27 ayat (1) huruf a dan b disebutkan: Masyarakat dapat
berperan serta dalam upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara:
a. mempromosikan perilaku hidup sehat;
b. meningkatkan ketahanan keluarga;
Risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi bukan karena
perilaku hidup yang tidak sehat, tapi karena hubungan seksual yang tidak aman
atau tidak terlindungi yaitu laki-laki tidak memakai kondom selama hubungan
seksual.
Lagi pula, apa, sih, yang dimaksud dengan perilaku hidup sehat?
Hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, hanya bisa dilakukan oleh
orang-orang yang sehat.
Huruf a dan b justru mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi
(perlakuan berbeda) karena dikesankan orang-orang yang tertular HIV/AIDS adalah
yang perilakunya tidak sehat dan tidak mempunyai ketahanan keluarga.
“Hari gini” mitos masih saja dipakai sebagai andalan dalam menanggulangi
HIV/AIDS, seperti dalam perda ini.
Maka, penanggulangan HIV/AIDS pun tidak akan bisa dilakukan dengan pijakan
perda ini. Itu artinya penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di masyarakat di
Kota Banjarbaru yang kelak akan bermuara pada “ledakan AIDS”. ***