02 Mei 2014

Menghindari Data Ganda, KPA Papua Validasi Data HIV/AIDS

Diduga terjadi banyak catatan ganda sehingga angka penderita HIV/AIDS di Papua tinggi
Jayapura, aidsindonesia.com (2/5/2014) - Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Papua akan melakukan validasi data HIV/AIDS. Sebab, KPA menduga banyak terjadi catatan ganda sehingga terlihat angka penderita HIV/AIDS di Papua cukup tinggi.

Sekretaris KPA Papua, drh. Constant Karma, kepada wartawan di Hotel Grand Abepura, Rabu (30/4), mengatakan dari survei yang dilaporakan Menteri Kesehatan pada Rapat Kerja Bupati/Wali Kota se-Papua di Kantor Gubernur Dok II Jayapura, beberapa waktu silam, Papua mampu mengendalikan penurunan HIV/AIDS dalam tujuh tahun terakhir ini. Gambaran situasi penyakit HIV/AIDS sebanyak 2,4 persen, turun menjadi 2,3 persen dari hasil survei yang dilakukan. Padahal, banyak orang berpikir kenaikan HIV di Papua akan naik sampai 5 persen.

“Dalam artian kita mampu menahan laju HIV di Papua, walaupun secara kawasan ada kenaikan, tetapi ada penurunan yang signifikan,” kata dia.
 
Oleh sebab itu, setelah anggaran KPA Papua turun, pihaknya akan langsung melakukan validasi data, sehingga dapat mencocokkan data di KPA Provinsi dan kabupaten/kota. Sehingga nanti tidak ada data yang doble lagi.

“Saya masih berpikir dengan penurunan angka dari 2,4 ke angka 2,3 persen, apakah kita sudah sampai kepada puncak HIV/AIDS. Ini yang kami masih tanyakan kepada dokter. Namum, pendapat dokter juga masih berbeda-beda,” dia menerangkan.

Pada kesempatan itu, Karma kembali menjelaskan bahwa  hampir sebagian besar daerah sudah membentuk KPA. Dari 29 kabupaten/kota tinggal lima kabupaten yang belum terbentuk dan diharapkan dalam tahun ini sudah terbentuk.

Disinggung komitmen kepala daerah di Papua untuk menekan laju HIV/AIDS, Karma menegaskan, gubernur, para  bupati/wali kota sangat komitmen untuk mengatasi masalah HIV/AIDS di Tanah Papua. Buktinya, pada APBD masing-masing daerah sudah dianggarkan khusus untuk KPA setempat.

Hanya saja, anggaran yang disiapkan oleh masing-masing kepala daerah tidak diakses baik oleh KPA maupun LSM di daerah. Karena harus melewati sekda dan wakil bupati. 

“Sehingga banyak laporan teman-teman di daerah mereka mengalami kesulitan,” kata dia. 

Dengan demikian, untuk menjembatani KPA di daerah dengan pemerintah setempat, KPA Papua telah membentuk tim asistensi yang diketuai oleh Pasaribu, yang tugasnya untuk menjembatani KPA kabupaten agar bisa dapat mengakses bupati/wakil dan sekda. 

Penanggulangan Kusta
Sementara itu, menurut Karma, Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal telah memberikan tugas tambahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Papua, selain tugas utamanya. 

Sekretaris KPA Papua, drh. Cosntant Karma, pada wartawan di Hotel Grand Abepura, Rabu, mengatakan wakil gubernur memberikan satu tugas tambahan kepada KPA Papua, yakni soal penyakit kusta. Menurut Karma, penyakit Kusta di Papua juga cukup tinggi dan mendapat perhatian serius dari Kementerian Kesehatan. Oleh sebab itu, wakil gubernur minta KPA Papua mengurusnya. 

“Tapi, bukan KPA nanti mengobati pasien penyakit kusta, KPA hanya memberikan akses, agar masyarakat bisa mendapat pertolongan dari rumah sakit,” dia menjelaskan.
 
Untuk tugas tambahan ini, KPA Papua akan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) penyakit kusta. Dengan demikian, pokja inilah yang akan melakukan promosi atau penyuluhan kepada masyarakat.

Diakuinya, penyakit kusta ini cukup tinggi di Kabupaten Asmat, Biak  maupun Jayapura. 

“Jadi, masalah kalau tidak didalami nanti seperti tidak ada masalah. Tetapi didalami secara baik, ternyata banyak sekali masalah,” dia berujar. (Sinar Harapan)

Waspada! Virus HIV AIDS Mengintai Ibu Rumah Tangga di Sukoharjo, Jateng

Sukoharjo, aidsindonesia.com (1/5/2014) - Penyebaran virus HIV AIDS di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, tidak hanya terjadi pada orang dengan resiko tinggi saja, tapi sekarang juga sudah merembet ke jaringan bawah. Hal tersebut didapati setelah Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Sukoharjo melakukan pendataan penderita. 

Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Sukoharjo, Bejo Raharjo, Kamis (1/5/2014), mangatakan total sesuai data akumulatif sampai 2014 yang ada tercatat sebanyak 144 orang penderita HIV AIDS berada di Sukoharjo. sebanyak 80 pasien sudah menjalani perawatan VCT ke rumah sakit yang ditunjuk. 

Bejo mengatakan sesuai data rata rata perbulan ada sebanyak dua orang penderita HIV baru. Data terakhir yang masuk pada 2014 ini tercatat ada sebanyak tujuh orang penderita. 

Sedangkan secara akumulatif sejak 2004 sampai 2014 tercatat ada sebanyak 36 orang penderita HIV AIDS di Sukoharjo meninggal dunia. “Dari jumlah penderita mayoritas didominasi wirausahawan, ibu rumah tangga dan pekerja seks komersil (PSK),” ujar Bejo. 

Dilihat dari penderita, Bejo menjelaskan sudah terjadi penyebaran pada golongan dengan resiko rendah. Sebab ibu rumah tangga dikatakanya sangat jauh dari resiko menderita HIV AIDS. Namun kenyataanya angka sesuai data menunjukan cukup tinggi jumlahnya. 

Para ibu rumah tangga tersebut dijelaskanya menderita HIV AIDS karena tertular pasanganya atau suaminya. Karena itu kemungkinan besar, karena pengaruh pasangan yang suka berganti pasangan maka menyebabkan virus itu bisa menular. 

“Para pria atau suami dari pasangan ibu rumah tangga menjadi penyebab penularan virus,” lanjutnya. 

Dijelaskanya, resiko tinggi orang terserang HIV AIDS merupakan PSK. Tapi dikatakan Bejo dilihat dari jumlah justru masih kalah dengan ibu rumah tangga yang tingkat resiko tertularnya rendah. 

Terserangnya ibu rumah tangga terhadap virus HIV AIDS menyebabkan penularan pada anak waktu hamil. Setelah melahirkan, anak tersebut butuh penanganan secara khusus dari petugas. 

Dari data akumulatif yang dimiliki DKK Sukoharjo sampai sekarang total ada enam orang anak yang tertular dari ibunya. Mereka sudah mendapatkan penanganan dari petugas medis. 

Untuk penanganan penderita sendiri dijelaskanya, pihak DKK Sukoharjo sudah menunjuk dua rumah sakit. Pertama yakni Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sukoharjo dan rumah sakit Yarsis Kartasura.  

“Khusus untuk rumah sakit Yarsis sengaja dipilih karena untuk mencover penderita yang mayoritas berada di wilayah Kecamatan Kartasura,” lanjutnya.(Mam/KRjogja.com)

Penderita HIV AIDS di Sumsel capai 1.705 orang

Palembang, aidsindonesia.com (2/5/2014) - Jumlah pengidap HIV AIDS di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) sejak 20 tahun terakhir mencapai 1.705 orang. Sedangkan penderita yang sudah meninggal dunia sebanyak 124 orang.

Direktur Eksekutif Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sumsel Amirul Husni mengungkapkan, penderita HIV AIDS terbanyak berada di Kota Palembang dengan total 512 orang. Kemudian disusul enam daerah lain, seperti Ogan Komering Ilir (32 orang), Ogan Komering Ulu (32), Muara Enim (25), Prabumulih (22), Banyuasin (14), dan Musi Banyuasin (11).

"Total penderita HIV AIDS di Sumsel selama 20 tahun terakhir mencapai 1.705 orang. Mereka tersebar di seluruh daerah dan yang terbanyak di Palembang dan enam daerah lain," ungkap Husni kepada merdeka.com (2/5).

Kasus terbaru terjadi pada Januari 2014 lalu di Palembang dengan munculnya 13 orang penderita HIV AIDS. "Itu data terbaru yang masuk, kemungkinan tiga bulan terakhir kembali bertambah," kata dia.

Dia menambahkan, pihaknya terus mensosialisasikan bahaya penyakit ini kepada masyarakat, terutama yang rentan terhadap penyakit kelamin. Jika ditemukan kasus tersebut, langsung ditindaklanjuti ke rumah sakit untuk pemeriksaan.

"Setiap kota besar memang rawan terjadi penularan. Apalagi banyaknya perilaku seks bebas di kalangan masyarakat saat ini," tukasnya. (
Irwanto/merdeka.com).

PMI: 4.000 Pendonor Darah di Riau Idap HIV/AIDS

Pekanbaru, aidsindonesia.com (2/5/2014) - Palang Merah Indonesia (PMI) Provinsi Riau mendeteksi, selama tahun 2013 hampir 4.000 pendonor darah di Riau ternyata mengidap HIV/AIDS. Penderita yang ditemukan PMI Riau itu kemudian dikonseling dan mendapat pengobatan, untuk mencegah penularan lebih lanjut.

Dijumpai Jurnal Nasional di kantornya, Jumat (2/5), Sekretaris PMI Riau, Bemi Hendrias SE.Ak mengatakan, PMI Riau memiliki unit yang mengawasi tentang HIV/AIDS. Selain itu, juga mengawasi virus seperti hepatitis, dan penyakit menular lainnya.

“Hampir 4.000 penderita HIV/AIDS yang tersebar di Riau, sudah terdeteksi oleh PMI. Tetapi, HIV/AIDS seperti gunung es. Di permukaan ada 4.000 penderita, kalau mereka sudah berkeluarga, barangkali sudah menularkan kepada pasangan dan anaknya. Mungkin lebih 12.000 penderita HIV/AIDS di Riau,” kata Beni.

Dia menambahkan, penderita HIV/AIDS terdeteksi sewaktu menyumbangkan darah. Seluruh penderita yang terdeteksi itu kemudian dikonseling dan diberikan obat-obatan. “Saat ini kita masih dibantu global fund untuk peralatan test dan obat-obatan. Namun, 2015 akan diputus. Kita harus berpikir, bagaimana mengupayakan dana untuk mengatasi penyakit ini. Kalau yang 4.000 ini bisa kita lokalisir, yang baru jangan lagi terinfeksi,” jelas Beni.

Menurut Wakil Ketua PMI Riau, dr Rahmansyah, penderita HIV/AIDS saat ini tidak hanya kalangan tidak berpendidikan. Tapi kalangan berpendidikan yang terinfeksi HIV/AIDS juga sudah ada di Riau.  

Sementara itu, Ketua PMI Riau, Drs Syahril Abu Bakar MSi, yang baru terpilih pada Musprov PMI Riau 15 Maret lalu untuk masa bakti 2014-2019, memaparkan, setiap bulan PMI menyediakan 3.000 hingga 4.000 kantong darah di PMI Pekanbaru.

Melihat tingginya minat masyarakat akan ketersediaan darah, pihaknya berharap masyarakat bisa lebih aktif mendonorkan darahnya. Dia mencontohkan, di sebuah perguruan tinggi saja, dari 16 ribu mahasiswa, hanya 50 mahasiswa yang aktif mendonorkan darahnya ke PMI. Padahal, saat ini tingkat kecelakaan, terutama di Pekanbaru, cukup tinggi dan membutuhkan banyak darah.

Berkaitan dengan hal tersebut, pada pelantikan pengurus PMI Riau terpilih oleh Ketua Umum PMI, yang dijadwalkan Senin (5/5), di Pekanbaru, akan dilakukan pula penanda tanganan Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman antara PMI dengan Serikat Pekerja Perkebunan Pertanian K-SPSI.

MoU yang akan ditandatangani oleh Ketua Umum PMI Muhammad Jusuf Kalla dengan Ketua Umum, Serikat Pekerja Perkebunan Pertanian-SPSI, Achmad Sudibyo, terkait dengan kesiapan Serikat Pekerja Perkebunan Pertanian K-SPSI untuk mendukung donor darah dan penanggulangan bencana. “Anggota Serikat Pekerja Perkebunan Pertanian K-SPSI se-Indonesia itu sekitar 800 ribu orang, sedangkan di Riau ada 80 ribu orang, dan mereka siap mendukung PMI,” ujar Syahril.

Pada pelantikan itu, PMI mengundang seluruh jajaran PMI, PMR (sekolah & perguruan tinggi), swasta, LAM, K-SPSI dan seluruh aktivis kemanusiaan. “Kami juga mengundang 50 orang pendonor darah aktif untuk bertatap muka dengan Ketua Umum PMI,” tambahnya.

Sebagai orang baru di PMI, Syahril bertekad menolong masyarakat banyak. Beberapa program telah disusun bersama jajarannya, antara lain konsolidasi organisasi, menyiapkan personil yang siaga 24 jam, menata kembali mekanisme kerja di PMI.

Kemudian, dia juga akan menyiapkan Ambulan Reaksi Cepat, serta membangun traumatic center clinic, mengingat banyaknya kecelakaan yang terjadi di Pekanbaru, namun tidak tertangani dengan cepat. Selain itu, sosialisasi juga akan digiatkan, melalui Lembaga Adat Melayu, dan Kakanwil Agama, untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya donor darah. (Lisda Yulianti Harnina/http://www.jurnas.com/)

Di Sleman ada 358 penderita HIV/AIDS

Sleman, aidsindonesia.com (2/5/2014) -  Di Kabupaten Sleman, saat ini ancaman bahaya Napza juga diikuti dengan bahaya penularan HIV/AIDS. “Itu adalah tantangan besar yang harus kita hadapi bersama,”  Bupati Sleman Sri Purnomo mengatakan. 

“Tidak bisa dipungkiri, peran kaum perempuan sangat besar dalam melindungi keluarga dari berbagai pengaruh buruk, termasuk di antaranya bahaya narkoba dan penularan HIV/AIDS,” kata Sri Purnomo yang mengimbau seluruh kaum perempuan untuk turut serta dalam upaya pemberantasan narkoba.

Menurutnya, kasus HIV/AIDS dari tahun 2004-2012 telah menyebabkan kematian sebanyak 39 orang. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman sejak 2004-2012, penderita HIV/AIDS pada usia kurang dari satu tahun tercatat satu kasus. Pada usia 1-4 tahun, tercatat sebanyak tujuh penderita. Pada usia 5-14 tahun, tercatat sebanyak delapan penderita. Sementara itu, penderita di usia 15-19 tahun sebanyak lima orang dan penderita terbanyak, yakni pada usia 20-29 tahun, mencapai 183 orang. Sedangkan pada usia 30-39 tahun, tercatat sebanyak 133 penderita HIV/AIDS. Di usia 50-59 tahun terdapat 17 kasus dan di usia 60 tahun ke atas kasus tersebut mencapai empat kasus.

“Kenyataan tersebut saya harapkan menjadi perhatian dan referensi masyarakat dalam memerangi dampak penggunaan narkoba,” kata Sri Purnomo.

Penanggulangan penyalahgunaan Napza memerlukan sinergi integral dari banyak pihak. Tidak hanya pemerintah dan perangkat hokum, namun juga kaum ibu yang menjadi benteng utama keluarga dalam melindungi anak-anak dari pengaruh negatif pergaulan.

“Perlu saya tekankan bahwa penangganan korban penyalahgunaan Napza diperlukan pendekatan yang kompleks tidak hanya secara klinis dan sosial, namun juga melalui pendekatan psikologis yang dapat dilakukan oleh kaum ibu,” tandas Sri Purnomo yang menambahkan terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab penyalahgunaan narkoba.(Affan Safani Adham/http://koranopini.com/)

Sejak 2005, Sebanyak 172 Anak di Sumut Terinfeksi HIV

Medan, aidsindonesia.com (2/5/2014)Sejak 2005 hingga Maret 2014, jumlah kumulatif anak di bawah usia 15 tahun yang terinfeksi HIV mencapai 172 orang. Mereka selama ini dirawat khusus di RSUP Haji Adam Malik dan RS Haji Medan.
Menurut Manager Officer Global Fund Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumut, Andi Ilham Lubis, Jumat (2/5), dari jumlah itu, ada 21 laki-laki dan 14 perempuan di bawah usia satu tahun. Sedangkan untuk usia 1-14 tahun, ada 81 laki-laki dan 56 perempuan.
“Penularannya semua dari ibu ke anak. Untuk itu kami juga memfokuskan perhatian pada ibu karena penularan dari ibu berdampak pada anak yang dilahirkan,” tuturnya.
Namun, ujar Andi, Dinkes Sumut hanya menangani masalah penyakitnya. Soal bagaimana penderita setelah keluar dari rumah sakit, diharapkan peran instansi terkait lainnya.
“KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) daerah sebagai koordinator diharapkan bisa mendorong agar Odha yang keluar dari rumah sakit bisa mendapatkan haknya dan tidak didiskriminasi,” ucap Andi.
Kepala Sekretariat KPA Provsu, Ahmad Ramadhan mengatakan, peran aktif dinas pendidikan (Disdik) untuk masalah ini perlu ditingkatkan. Seharusnya, ada intervensi kebijakan dari pemerintah agar anak-anak ini juga bisa mengenyam pendidikan yang layak.
“Harusnya dinas pendidikan juga turut memerhatikan karena rata-rata anak yang hidup dengan HIV/AIDS, putus sekolah dan tak pernah mengenyam pendidikan,” sebut Ramadhan.
Dijelaskan, anak yang menderita HIV/AIDS sejak dilahirkan cukup banyak. Dengan strategi pengobatan yang dilakukan, banyak juga anak yang bertahan hidup hingga usia 10 tahun. Namun, sayangnya, anak-anak dengan HIV/AIDS ini banyak yang tidak mengenyam pendidikan.
“Bahkan, yang sudah sekolah terpaksa putus sekolah karena mendapatkan diskriminasi,” tuturnya.
Karenanya, KPA berharap pemahaman dari dinas atau SKPA (Satuan Kerja Perangkat Daerah), terkait penanggulangan HIV dapat ditingkatkan, bukan hanya pada program penyuluhan dan sosialisasi saja. KPA berharap Disdik tak hanya sekadar sosialisasi, perlu peran aktif dinas untuk penanggulangan masalah ini.
“Seperti peran aktif Disdik dalam membantu Odha yang terpaksa putus sekolah karena diskriminasi yang diterima anak di sekolah. Seharusnya ada kebijakan intervensi sehingga tidak ada risiko putus sekolah pada anak-anak ini. Secara spesifik program itu belum kami dapatkan,” tuturnya.
Karena kelangsungan kehidupan sosial Odha ini sangat berpengaruh, peran dinas sosial juga dituntut lebih besar. Karena biasanya, anak yang hidup dengan HIV/AIDS, lebih dahulu ditinggalkan orangtuanya. (nai/analisa)

30 April 2014

Terduga Pengidap HIV/AIDS di NTT Dijebloskan ke Sel Tahanan SatPol PP

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS WatchIndonesia

* SatPol PP Sikka melakukan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran HAM

”Usai ditangkap, FDS dijeblos ke dalam sel Pol PP Sikka karena diduga kuat mengidap penyakit HIV/AIDS sejak lama.” Ini pernyataan dalam berita ”Diduga Menyebarkan HIV/AIDS, Ayam Kampung Dijeblos ke Sel” (kupang.tribunnews.com, 30/4-2014). Sedangkan di tribunNews.com judul berita adalah: ”Diduga Mengidap HIV/AIDS, PSK Dijebloskan ke Sel Satpol PP

FDS alias Ika,  28 tahun, adalah seorang pekerja seks komersial (PSK) yang ditangkap pada saat razia Polisi Pamong Praja (Pol PP) Kab Sikka, NTT, di Belang Beach, Kel Wailiti, Kec Alok Barat, Kab Sikka (28/4/2014).

Dari informasi yang diterbitkan media di atas, ada beberapa hal yang ngawur, yaitu:

(1) Disebutkan ”diduga kuat mengidap penyakit HIV/AIDS sejak lama.” Status HIV seseorang tidak bisa diduga-duga karena kepastian seseorang sudah tertular HIV hanya bisa diketahui melalui tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIVyang baku. Maka, tidak ada hak Satpol PP untuk menduga-duga seseorang, bahkan seorang PSK, terkait dengan status HIV.

(2) Jika FDS kelak terdetesi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV, maka yang menjadi persoalan besar adalah: (a) laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke FDS akan menjadi mata rantai penularan HIV di masyarakat, dan (b) laki-laki yang tertular HIV dari FDS juga akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

(3) Tidak ada UU yang memberikan kewenangan kepada Satpol PP untuk menjebloskan terduga pengidap HIV/AIDS, bahkan pengidap HIV/AIDS, ke sel tahanan. Maka, perbuatan Satpol PP Sikka itu merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

(4) Penggunaan kata ”ayam” kepada FDS merupakan perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Ini juga perbuatan melawan hukum dan pelanggaran HAM.

Celakanya, wartawan yang meliput kejadian tsb. dan yang menulis berita ini tidak memakai hati nurani dan nalarnya karena terbukti dari judul dan isi berita tidak ada pertanyaan kepada Satpol PP tentang dasar hukum menjebloskan orang yang diduga mengidap HIV/AIDS ke sel tahanan.

Dalam kaitan ini wartawan menempatkan diri pada posisi Satpol PP sebagai orang dengan kekuasaan penuh (power full dan voice full) dan menempatkan FDS pada posisi tanpa dukungan (power less dan voice less). Ini artinya wartawan sudah mengabaikan fungsinya pada posisi keberpihakan dan membela orang-orang yang tertindas dan dibabaikan.

Di bagian disebutkan "Wanita yang kami tangkap ini diduga terkena penyakit ganas ....” Ini pernyataan Kasat Pol PP Sikka, Adeodatus Buang da Cunha.

Astaga, ini Pak Ketua rupanya pengetahuannya tentang HIV/AIDS amat dangkal. HIV/AIDS bukan penyakit ganas tapi penyakit menular seksual yaitu penularannya al. terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dikabarkan di sana ada institusi yaitu Yakkestra Flores. Tapi, mengapa institusi ini pun tidak mempersoalkan perlakuan SatPol PP terhadap FDS?

Disebutkan lagi oleh Buang bahwa di Kota Maumere ada empat PSK yang perlu diawasi  ketat oleh semua pihak. Buang pun sesumbar: ”Saran saya mereka harus ditampung dan diawasi khusus karena ada informasi mereka juga sudah terkena penyakit ganas."

Kalau saja Buang memakai nalar, maka yang perlu dia lakukan adalah mengajak laki-laki di sana agar tidak melacur. Bukan mengawasi empat PSK itu karena mengawasi orang tanpa alasan hukum juga merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar HAM.

Langkah SatPol PP Sikka ini membuktikan cara-cara penanggulangan HIV/AIDS yang tidak pas sehingga penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di wilayah Kab Sikka khusunya dan di NTT pada umumnya.

Jika tidak ada langkah konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki, maka penyebaran HIV/AIDS di Sikka tinggal menunggu waktu saja untuk ’ledakan AIDS’. ***

Pelacur Lokal di Bali Sebagai ‘’Pintu Masuk’’ HIV/AIDS ke Masyarakat

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

Diberitakan dari Legian, Bali, bahwa pelacur (pekerja seks komersial/PSK) lokal di sana lebih suka melacur dengan laki-laki bule (Pelacur lokal di Legian lebih suka dikencani bule, merdeka.com, 30/4-2014).

Ada realitas sosial di balik informasi yang disampaikan merdeka.com itu, yakni: ada risiko penularan HIV dari laki-laki bule ke PSK lokal. Risiko penularan HIV kian besar jika PSK lokal itu tidak memaksa laki-laki bule pakai kondom ketika sanggama.

Ada beberapa hal yang luput dari perhatian terkait dengan PSK lokal tsb., yaitu:

Pertama, PSK lokal itu juga akan melayani laki-laki lokal, baik penduduk Bali maupun pelancong. Jika ini terjadi, maka laki-laki Bali dan pelacong yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK lokal berisiko tertular HIV. Kalau mereka tertular, maka ada pula risiko penularan kepada pasangan mereka, seperti istri dan pacar. Ini dapat dilihat dari kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga.

Kedua, PSK biasanya mempunyai ”suami” atau pacar. Yang mereka sebut ”suami” dan pacar itu tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK sebagai ”istri” dan pacar. Maka, ”suami” dan pacar PSK itu berisiko tertular HIV. Dalam prakteknya ”suami” dan pacar PSK itu menjadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari PSK ke perempuan atau laki-laki yang menjadi pasangan mereka di masyarakat.

Dua fakta di atas luput dari perhatian pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Bali sehingga penyebaran HIV/AIDS terus terjadi. Laporan Ditjen PP & PL, Kemenkes RI per  14 Februari 2014 menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Bali sampai tanggal 31 Desember 2013 mencapai 11.589 yang terdiri atas 7,791 HIV dan 3.798 AIDS. Dengan jumlah ini Bali ada di peringkat 5 secara nasional.

Diakabarkan bahwa PSK asal Indonesia di Legian, Bali, menjadi buruan para pelancong bule dan Timur Tengah. Tarif sekali sanggama untuk satu jam berkisar antara Rp 200.000 sampai Rp 500.000.

Mengapa ada risiko penularan HIV ke PSK lokal dari laki-laki bule dan laki-laki asal Timur Tengah?

Yang perlu diingat adalah laki-laki bule dan laki-laki asal Timur Tengah tsb. ada yang sudah singgah di daerah tujuan wisata (DTW) di negara lain, seperti di Thailand, Malaysia, Filipina, dll. sebelum ke Bali. Bahkan, ada di antara mereka yang singgah Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.

Ada kemungkinan mereka pun melacur dengan PSK di negara-negara atau kota-kota itu sehingga ada risiko mereka tertular HIV.

Prevalensi (perbandingan antara PSK yang mengidap HIV/AIDS dan PSK yang tidak mengidap HIV/AIDS) di kalangan PSK di DTW di kawasan Asia Tenggara tergolong tinggi. Di Denpasar, misalnya, prevalensi mencapai 20 persen. Itu artinya dari 100 PSK ada 20 PSK yang mengidap HIV/AIDS.

Dengan prevalensi itu risiko tertular HIV sangat besar jika sanggama dengan PSK laki-laki tidak pakai kondom.

Celakanya, di kota-kota yang menjadi DTW di Indonesia tidak ada program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret dan sistematis. Selain itu praktek pelacuran pun tersebar luas di berbagai tempat mulai dari lokasi pelacuran, penginapan, losmen, hotel melati sampai hotel berbintang.

Praktek pelacuran yang tidak dilokalisir itu membuat program penanggulangan melalui intervensi tidak bisa dilakukan. Akibatnya, pemakaian kondom pada laki-laki ’hidung belang’ tidak bisa diterapkan secara faktual.

Selama praktek pelacuran di Bali tidak dilokalisir, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi karena ada di antara laki-laki dewasa penduduk Bali yang melacur dngan PSK.

Laki-laki dewasa penduduk Bali yang melacur tanpa kondom dengan PSK menjadi jembatan penyebaran HIV/AIDS secara horizontal dari PSK ke masyarakat, terutama ke keluarga yaitu kepada istrinya.

Jika istri mereka tertular HIV, maka ada pula risiko penularan secara vertikal dari ibu ke bayi yang dikandungya.

Kondisinya kian runyam karena tidak ada program yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.


Maka, penyebaran HIV/AIDS di Bali pun kompletlah sudah: suami ke istri dan istri ke anak yang dikandungmnya.***

Perilaku Sodomi Rentan Sebarkan Virus HIV

Medan, aidsindonesia.com (30/4/2014)Penanganan kasus perilaku seks menyimpang, phedopilia (sodomi) sangat membutuhkan keseriusan semua pihak. Karena  kasus sodomi memiliki faktor resiko yang dapat mengakibatkan infeksi karena luka pada anus. Dan bila pelaku teridap infeksi HIV maka otomatis akan menularkannya kepada korban, untuk itu diperlukan penanganan dini melibatkan lintas sektor.

Hal itu dikatakan Kepala Dinas Kesehatan Sumut, dr SH Surjantini MKes didampingi Projeck Officer GF AIDS, Andi Ilham Lubis SKM, MKM (29/4) menanggapi semakin maraknya terungkap kasus sodomi terhadap korban yang umumnya masih berusia belia akhir-akhir ini.

Dikatakan, hasil penelitian psikolog, saat ini di kota-kota besar  tumbuh secara signifikan gay muda sehingga semakin tinggi resiko yang  muncul dalam penyebaran virus HIV.

“Kasus anak seks yang merupakan perilaku kejiwaan sangat membutuhkan  penanganan psikiater serius dan terpadu melalui aksi dari KPA (Komisi Penanggulangan Aids) di seluruh kabupaten/kota, kata Andi.

Bahkan dalam program ABAT, "Aku Bangga Aku Tahu", pada tahun 2015 remaja harus memperoleh informasi HIV secara konprehensif.

Sehingga dalam program ABAT, tambah Andi, untuk menangani kasus HIV bukan semata menjadi tanggung-jawab kesehatan namun semua sektor, seperti Dinas Pendidikan, Agama dan Dispora juga Dinas Parawisata, sehingga target untuk mencapai 95 persen remaja harus memiliki pengetahuan yang konprehensif pada tahun 2015.

Di sanalah peran dari KPA yang dipimpin Gubernur sebagai pimpinan KPA, sehingga dapat menggerakkan lintas sektor dalam penanggulangan HIV AIDS,” jelasnya. (A6/h/hariansib.co)

Menuju Zero HIV/AIDS di Kukar, Kaltim

Kukar Pelajari Strategi dan Rencana Aksi KPAD Batam
Batam, aidsindonesia.com (29/4/2014) - Wakil Bupati Kutai Kartanegara HM Ghufron Yusuf didampingi Asisten IV Setkab Kukar yang juga Ketua Komisi Penanggulangan Aids Daerah (KPAD), Kabag Kesra HM Arsyad, serta sejumlah instansi terkait lain pada Jumat (25/4) melangsungkan studi efektivitas implementasi pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Batam, Kepulauan Riau. Rombongan yang berjumlah 26 orang diterima Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Batam, Nurmadiah, didampingi Sekretaris KPAD Batam serta unsur Dinas Sosial dan Bagian Batam, berlangsung di Ruang Presentasi Raja Ahli Kelana, lantai lima Kantor Wali Kota Batam. HM Ghufron dalam sambutannya mengatakan, kunjungan ke Batam dalam rangka implementasi program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS oleh KPAD bersama Pemkab Kukar, sangat diperlukan adanya data-data empiris dan referensi cukup.
Kunjungan ini juga bertujuan mempelajari strategi dan rencana aksi program dan kegiatan di Batam. Sekaligus mengetahui penanggulangan dan pencegahan yang sudah dilakukan, sedang, maupun akan dilakukan. Ini penting sebagai upaya menuju zero HIV/AIDS di Kukar. Sementara itu, Kepala BPPKB Batam Nurmadiah menyambut baik kunjungan tersebut. Penanggulangan AIDS akibat pergaulan bebas merupakan masalah nasional karena terjadi di setiap daerah. Apalagi Batam sebagai kota metropolitan yang sedang berkembang pesat, banyak dilirik investor maupun warga daerah lain yang ingin mengadu nasib di sana. Namun demikian, perantau tanpa ketrampilan ataupun wawasan tinggi, terutama perempuan, membuat banyak yang terjerumus jadi pekerja seks komersial (PSK).
Pihaknya berupaya mendata para PSK untuk melakukan penyuluhan hingga pembagian kondom. Peran aktif PSK sangat diharapkan untuk berpartisipasi menanggulangi penyebaran HIV/AIDS walau kebanyakan para tamu meminta berhubungan tanpa pengaman. Untungnya, kesadaran masyarakat memeriksakan diri saat ini mulai baik. Bukan hanya perempuan pekerja seks, kalangan umum juga diperbolehkan melakukan pemeriksaan. "Kita tidak mengetahui bagaimana kita bisa terjangkit. Bisa dari jarum suntik dan sebagainya," tutur dia. Adapun dari tujuh tempat hiburan di Batam, sejak 2012 dari hasil tes 8.030 orang, terdapat 436 kasus dengan penderita AIDS 126 orang. Sementara pada 2013, hasil tes 10.520 orang mencatatkan 577 kasus dengan 56 orang meninggal dunia. "Sedangkan untuk masalah narkotika atau heroin, sejak 2007 di Batam tidak ada kasus," jelas Nurmadiah.
Pemkot Batam melalui BPPKB serta instansi terkait tiap 3 bulan sekali rutin melakukan rapat koordinasi serta program peningkatan kualitas hidup perempuan dan anak. Selain itu, meningkatkan masalah KB dan keluarga, hingga ketahanan keluarga menuju keluarga sejahtera. Dikatakan, perempuan Batam harus cerdas menyikapi pembangunan Pemkot Batam demi masyarakat. Masalah perdagangan manusia serta kekerasan dalam rumah tangga terjadi sangat tinggi. Perlu keseriusan dinas terkait untuk menangani dan jangan dianggap remeh. Dengan demikian, peran seorang ibu sebagai perempuan harus cerdas. Kaum ibu sebagai motor penggerak rumah tangga, berfungsi melahirkan generasi ke depan dan membina generasi di dalamnya.
Sementara untuk lebih melakukan pengawasan dan pembinaan, BPPKB Batam dan KPAD, serta instansi terkait, telah membentuk kelompok masyarakat peduli AIDS. Dan, respons masyarakat sangat antusias menyambut hal ini. Penduduk jadi sangat kreatif dan liar (tantangan moral), melibatkan seluruh dinas terkait, para mubalig, tokoh agama, masyarakat, LSM peduli AIDS, sekaligus membentuk kelompok kerja (pokja) di tempat-tempat hiburan yang melibatkan penghuni tempat hiburan tersebut. (hmp04/*/bby/k9/KaltimPost).

HIV/AIDS Meningkat di Jepara, Jawa Tengah

Kepala Poli VCT RSUD Kelet lakukan Voluntary Conseling Test di Penjara dan Lokalisasi\

Jepara, aidsindonesia.com (30/4/2014) - Jumlah penderita HIV AIDS di Kabupaten Jepara terus meningkat. Pada tahun 2012, jumlah penderita tercatat sebanyak 59 orang. Tahun lalu, 2013, meningkat menjadi 89 orang. Tahun ini, Kepala Poli VCT RSUD Kelet Tomy Nugroho memprediksi angka tersebut akan mengalami peningkatan.

“Hingga Maret tahun ini sudah ada 15 orang. Ini hanya data yang berhasil kami himpun dari hasil pemeriksaan. Kami meyakini di luar data tersebut masih banyak lagi,” ujar Tomy di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kabupaten Jepara saat melakukan Voluntary Conseling Test (VCT) HIV AIDS, Rabu (30/4/2014).

Lebih lanjut Tomy menyampaikan, guna menekan angka penderita HIV AIDS yang terus meningkat setiap tahunnya, pihaknya rutin melakukan jemput bola VCT ke berbagai tempat yang diduga menjadi sarang penyebaran. Seperti tempat karaoke, kompleks warung remang-remang yang biasa dijadikan tempat mangkal PSK, dan komunitas waria.

“Untuk di tempat karaoke belum menemukan, tapi kalau yang di tempat PSK dan Waria sudah ada yang positif. Setiap bulannya kami rutin memeriksa ratusan orang,” ujar Tomy.

Tidak hanya menyasar tempat karaoke dan lokalisasi, LP pun menjadi sasaran VCT. Sebanyak 144 tahanan diperiksa untuk dipastikan ada atau tidak yang mengidap penyakit mematikan itu.

“Kali ini pemeriksaan ke dua, pertama pada awal April lalu memeriksa sebanyak 56 tahanan hasilnya dinyatakan negatif,” kata Tomy.

“Sedangkan untuk kali ini menunggu hasil laboratorium dari sampel darah yang diambil dari tiap tahanan,” imbuh Tomy.

Di Kabupaten Jepara terdapat empat fasilitas kesehatan yang menyediakan VCT. Yaitu Puskesmas Pecangaan, Puskesmas Mlonggo, RSUD Kelet, dan RSUD Kartini. Namun yang ada perawatan bagi penderita baru RSUD Kartini. (Rhs / Mys/jaringnews.co)

Diduga Menyebarkan HIV/AIDS, Ayam Kampung Dijeblos ke Sel

Maumere, aidsindonesia.com (30/4/2014) - Razia aparat Polisi Pamong Praja (Pol PP) Sikka di Belang Beach, Kelurahan Wailiti, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, Senin (28/4/2014) malam, berhasil menangkap seorang perempuan pekerja seks komersial (PSK) berinisial FDS alias Ika (28).

Usai ditangkap, FDS dijeblos ke dalam sel Pol PP Sikka karena diduga kuat mengidap penyakit HIV/AIDS sejak lama. 'Ayam' dari  Nelle, Sikka, ini kemudian diserahkan ke Yakkestra, Dinas Sosial dan Nakertrans Sikka untuk dibina agar tidak beroperasi lagi.

Kasat Pol PP Sikka, Adeodatus Buang da Cunha, Selasa (29/4/2014), mengatakan, perempuan yang diduga dari latar belakang keluarga tidak harmonis ini sering beroperasi di Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Sikka. Dalam operasinya, jelas Buang yang memimpin penangkapan, FDS memasang tarif berbeda di setiap kabupaten. Di  Sikka, FDS memasang tarif sekali 'esek-esek' Rp 25 ribu. Di Lembata dan Flores Timur, Rp 50 ribu.

Saat ditemui di kantornya, Buang didampingi dua staf Yakkestra Flores yang akan mendampingi FDS yang sedang berada di sel Pol PP Sikka. "Wanita yang kami tangkap ini diduga terkena penyakit ganas. Di Maumere, FDS beroperasi di Kali Mati dan di belakang Kantor Bupati Sikka.

Bulan lalu kami tangkap dia lalu serahkan ka Dinas Sosial dan Naketrans Sikka. Tetapi wanita ini pindah lagi di Belang Beach, Kelurahan Wailiti dan beroperasi di sana. Semalam saat kami tangkap dia baru selesai melayani dua tamu. Kami dengar informasi FDS dalam pengawasan LSM karena ada sesuatu yang tidak beres.

Maka itu, setelah ditangkap saya langsung koordinasi dengan Yakkestra Flores, Dinas Sosial dan Nakertrans Sikka. Kami tidak mau wanita ini dibiarkan tanpa pengawasan," tutur Buang.

Dia mengakui FDS sudah berulangkali ditangkap aparat Pol PP dan Polres Sikka. Setelah dilepas dan membuat surat pernyataan, FDS kembali beroperasi di belakang Kantor Bupati Sikka dan Kali Mati, Kota Maumere.

"Di Kali Mati Maumere dia beroperasi dengan pelanggannya dari kalangan menengah ke bawah seperti tukang ojek, buruh dan sopir. Dia memasang tarif hanya Rp 20 ribu. Mereka 'main' beralaskan karung dan daun. Lokasi itu tanah pemerintah yang dijadikan kebun oleh warga Kota Uneng," ujar Buang.

Buang sudah menanyakan kepada FDS terkait wilayah operasi dan pelanggannya. "Selama sebulan di Belang Beach, pelanggannya anak sekolah, sopir, tukang ojek, buruh dan orangtua berambut uban. Sehari dia harus bayar kamar Rp 100.000. Maka itu sehari dia harus dapat pelanggan 10 orang agar bisa membayar sewa kamar. Juga untuk makan dan minum sehari. Kalau sehari 10 orang, maka ada 300 orang yang dia layani sebulan. Ini yang kita takutkan sehingga saya koordinasi, termasuk dengan manajemen RSUD TC Hillers Maumere, agar ada langkah penanganan  khusus," tegas Buang.

Buang mengungkapkan, di Kota Maumere ada empat PSK yang perlu diawasi  ketat oleh semua pihak. Keempat PSK ini sering beroperasi di Kali Mati dan Pasar Alok, Maumere.

"Kami sudah tangkap, tapi mereka kembali  beroperasi. Saran saya mereka harus ditampung dan diawasi khusus karena ada informasi mereka juga sudah terkena penyakit ganas," katanya. (tribunNews.com).

Tingkat HIV di Jepang Semakin Tinggi

Tokyo, aidsindonesia.com (30/4/2014) - Hai, Ladies! Jepang dikenal dengan negara yang masyarakatnya sangat tenang dan pemalu. Siapa tahu bahwa Jepang menyimpan hal besar seputar seksualitas. Ada laporan bahwa tingkat HIV/AIDS di Jepang semakin meningkat tiap tahunnya. Simak informasi selengkapnya yang dilansir situs japantoday.com.

Seks di Jepang sudah menjadi makanan sehari-hari. Pornografi dan seks bebas sudah bukan hal yang tabu lagi di Jepang. Anda juga mungkin sering melihat kebanyakan film-film dewasa yang diproduksi oleh Jepang. Hal itu sebenarnya sangat menggambarkan budaya seks yang ada di Jepang. Saat Anda pergi ke Jepang, Anda akan menemukan banyak gambar-gambar pornografi yang terpampang bebas di jalanan sebagai ikon berbagai klub malam yang ada di sana. Tempat prostitusi sudah sangat banyak ditemukan di seluruh penjuru Jepang.

Banyak wanita dari usia remaja sampai dewasa yang sudah pernah mencoba praktek prostitusi. Hal ini dikarenakan seks bebas sudah sangat biasa bagi mereka. Banyak gadis remaja yang kehilangan keperawanannya bahkan sejak usia yang sangat dini. Tingginya tingkat seks bebas di kalangan masyarakat Jepang menyebabkan tingginya tingkat penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS.

Menteri Kesehatan di Jepang menyatakan bahwa tingkat HIV/AIDS pada tahun 2008 sangatlah tinggi. Terdapat 1.126 pasien HIV dan 431 penderita AIDS yang tersebar di Jepang. Kebanyakan penderita HIV/AIDS adalah kaum homoseksual dan biseksual. Masalah ini sudah seharusnya segera ditindaklanjuti agar penyakit HIV/AIDS tidak semakin menyebar.

Semoga informasi di atas bermanfaat untuk Anda. (Rani R. Wati/vemale.com)

Pemprov Kepri Kurang Peduli HIV/AIDS

Ranai, aidsindonesia.com (30/4/2014) - Secara umum pemerintah Propinsi Kepri dan semua kabupaten/kota masih kurang peduli terhadap HIV/AIDS sebab sampai saat ini pemerintah tidak memiliki aksi untuk menanggulangi penyakit ini. 

Demikian dikatakan Koordinator KPA Propinsi Kepri, Harmoni di Tanjung Pinang Selasa (29/4) melalui telepon.

"Kami menilai perhatian pemerintah dalam menangggulangi HIV/AIDS dan mengantisipasi penyebarannya masih kurang, sebab selama ini sama saja kita lihat pemerintah masih dalam tataran rencana saja," katanya.

Bahkan menurut Harmoni, pemerintah masih cenderung mengabaikan ancaman menyebarnya penyakit tersebut di tengah-tengah masyarakat.

"Bahkan pemerintah masih menganggap para PSK itu sebagai orang asing. Padahal yang mempergunakan PSK itu bisa jadi juga warga masyarakat dari pemerintah itu sendiri," ungkapnya.

Harmoni mengingatkan, mencegah penyebaran dan menanggulangi HIV/AIDS itu tidak semudah membalik telapak tangan dan tidak bisa dilakukan oleh sebagian pihak saja, tanpa adanya kerjasama semua pihak terutama sekali pemerintah.

Sebab menurut dia penyakit ini muncul juga disebabkan oleh lemahnya kontrol sosial dari semua pihak terutama sekali pemmerintah. Menurutnya, menanggulangi dan mengantisipasi penyebaran penyakit itu tidak bisa dilakukan tanpa adanya aksi nyata dari Pemerintah.

"Kita tinggal mengharapkan aksi dari pemerintah, sehingga kita semua bisa menanggulanginya secara bersama-sama," pungkasnya. (fat/http://haluankepri.com/)

Penderita HIV/AIDS di Lampung Capai 1.445 Orang

Jakarta, aidsindonesia.com (29/4/2014) - Meski upaya sosialisasi pencegahan terus dilakukan, namun jumlah pengidap dan penderita human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS) di Provinsi Lampung, sudah mencapai 1.445 orang.

Menurut data Dinas Kesehatan (diskes) Lampung, Selasa (29/4/2014), jumlah pengidap/penderita sudah mencapai 1.445 orang, terdiri dari 1.006 orang pengidap HIV, dan 439 orang penderita AIDS. "Berdasarkan data lapangan hanya 1.445 orang," kata Kepala Seksi Promosi Kesehatan dan Humas Diskes Lampung dr Asih Hendrastuti.

Jumlah ini, menempatkan Provinsi Lampung, melebih peringkat 20 secara nasional. Ia mengatakan memang ada peningkatan empat persen dari tahun sebelumnya, yang hanya 1.386 penderita. Diskes telah mendirikan klinik infeksi menular seksual atau IMS di 276 puskesmas, untuk penanggulangan HIV/AIDS di Lampung.

Seiring waktu, hanya 20 klinik yang berjalan rutin, karena pasiennya banyak di empat tempat, yakni Kecamatan Panjang, Sukaraja, Kedaton, dan di Kabupaten Lampung Tengah. Daerah ini rawan penyebaran dan penularan penyakit tersebut. (108CSR.com)

Kasus HIV/AIDS di Semarang Meningkat

Tahun 2011, kasus HIV/AIDS di Semarang naik menjadi 427 kasus
Semarang, aidsindonesia.com (25/4/2014) - Kasus HIV/AIDS di Kota Semarang tahun 2011 meningkat menjadi 427 kasus dibanding tahun 2010 yang hanya 285 kasus HIV dan 59 kasus AIDS (2011) meningkat dari 2010 (46 kasus).

"Peningkatan kasus HIV/AIDS ini mengembirakan dan menyedihkan. Mengembirakan karena penderita ketahuan dan dapat cepat diobati, menyedihkan karena kasusnya justru meningkat dari tahun sebelumnya," kata Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang Widoyono di Semarang, Rabu (25/4).

Seluruh data tersebut merupakan data yang terkumpul dari rumah sakit dan klinik voluntary counselling and testing (VCT).

"Untuk laporan dari rumah sakit paling banyak dari Rumah Sakit dr. Kariadi," katanya.
Widoyono memperkirakan peningkatan kasus tersebut karena meningkatnya kesadaran masyarakat melakukan konsultasi sehingga ketahuan.

Di Kota Semarang sudah dapat sembilan klinik VCT, di antaranya di RSUP dr. Kariadi, RS Tugu, RSUD Kota Semarang Ketileng, RS Panti Wiloso Citarum, RS Bhayangkara, Griya ASA-PKBI, dan di PMI Kota Semarang.

"Jika berisiko datang saja ke klinik VCT. Rahasia dijamin, tes gratis, dan jika positif, obatnya juga gratis," katanya.

Mereka yang masuk golongan berisiko adalah 3M, yakni "man, money, dan mobile" atau laki-laki yang nilai ekonominya berada dan sering bepergian.

Widoyono mengaku Dinkes Semarang terus melakukan upaya untuk menekan meningkatnya kasus HIV/AIDS dengan delapan upaya, antara lain komunikasi perubahan perilaku pada kelompok berisiko seperti kepada sopir taksi, tukang ojek, pemandu karaoke, pengurus resosialisasi, dan wanita pekerja seks.

Upaya berikutnya adalah progam pemakaian kondom 100 persen, klinik penyakit kelamin karena penderita 10 kali lebih cepat tertular HIV/AIDS dan klinik ini ada di Lokalisasi Argorejo (Sunan Kuning) dan di Rowosari Atas (daerah Mangkang).

"Kemudian klinik VCT, program CST atau care support and treatment, yakni memberikan perawatan, pengobatan, dan dukungan," katanya.

Upaya Dinkes Semarang lainnya, tambah Widoyono, adalah dengan pengurangan dampak buruk pengguna narkoba suntik, program pencegahan penularan ibu ke anak karena jika ibunya penderita HIV, kemungkinan 30 persen anaknya juga tertular, dan upaya terakhir adalah dengan komunikasi publik. (antara/sinarharapan.co).

Diduga Mengidap HIV/AIDS, PSK Dijebloskan ke Sel Satpol PP

Maumere, aidsindonesia.com (30/4/2014) - Razia aparat Polisi Pamong Praja (Pol PP)  Sikka di Belang Beach, Kelurahan Wailiti, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, Senin (28/4/2014) malam, berhasil menangkap seorang perempuan pekerja seks komersial (PSK) berinisial FDS alias Ika (28).

Usai ditangkap, FDS dijebloskan ke dalam sel Pol PP Sikka karena diduga kuat mengidap penyakit HIV/AIDS sejak lama. 'Ayam' dari Nelle,Sikka ini kemudian diserahkan ke Yakkestra, Dinas Sosial dan Nakertrans Sikka untuk dibina agar tidak beroperasi lagi.

Kasat Pol PP Sikka, Adeodatus Buang da Cunha, Selasa (29/4/2014), mengatakan, perempuan yang diduga dari latar belakang keluarga tidak harmonis ini sering beroperasi di Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Sikka. Dalam operasinya, jelas Buang yang memimpin penangkapan, FDS memasang tarif berbeda di setiap kabupaten. Di Sikka, FDS memasang tarif sekali 'esek-esek' Rp 25 ribu. Di Lembata dan Flores Timur, Rp 50 ribu.

Saat ditemui di kantornya, Buang didampingi dua staf Yakkestra Flores yang akan mendampingi FDS yang sedang berada di sel Pol PP Sikka.

"Wanita yang kami tangkap ini diduga terkena penyakit ganas. Di Maumere, FDS beroperasi di Kali Mati dan di belakang Kantor Bupati Sikka. Bulan lalu kami tangkap dia lalu serahkan ka Dinas Sosial dan Naketrans Sikka.

Tetapi wanita ini pindah lagi di Belang Beach, Kelurahan Wailiti dan beroperasi di sana. Semalam saat kami tangkap dia baru selesai melayani dua tamu. Kami dengar informasi FDS dalam pengawasan LSM karena ada sesuatu yang tidak beres. Maka itu, setelah ditangkap saya langsung koordinasi dengan Yakkestra Flores, Dinas Sosial dan Nakertrans Sikka. Kami tidak mau wanita ini dibiarkan tanpa pengawasan," tutur Buang.

Dia mengakui FDS sudah berulangkali ditangkap aparat Pol PP dan Polres Sikka. Setelah dilepas dan membuat surat pernyataan, FDS kembali beroperasi di belakang Kantor Bupati Sikka dan Kali Mati, Kota Maumere.

"Di Kali Mati Maumere dia beroperasi dengan pelanggannya dari kalangan menengah ke bawah seperti tukang ojek, buruh dan sopir. Dia memasang tarif hanya Rp 20 ribu. Mereka 'main' beralaskan karung dan daun. Lokasi itu tanah pemerintah yang dijadikan kebun oleh warga Kota Uneng," ujar Buang.

Buang sudah menanyakan kepada FDS terkait wilayah operasi dan pelanggannya. "Selama sebulan di Belang Beach, pelanggannya anak sekolah, sopir, tukang ojek, buruh dan orangtua berambut uban. Sehari dia harus bayar kamar Rp 100.000. Maka itu sehari dia harus dapat pelanggan 10 orang agar bisa membayar sewa kamar. Juga untuk makan dan minum sehari. Kalau sehari 10 orang, maka ada 300 orang yang dia layani sebulan. Ini yang kita takutkan sehingga saya koordinasi, termasuk dengan manajemen RSUD TC Hillers Maumere, agar ada langkah penanganan khusus," tegas Buang.

Buang mengungkapkan, di Kota Maumere ada empat PSK yang perlu diawasi ketat oleh semua pihak. Keempat PSK ini sering beroperasi di Kali Mati dan Pasar Alok, Maumere. 

Kami sudah tangkap, tapi mereka kembali beroperasi. Saran saya mereka harus ditampung dan diawasi khusus karena ada informasi mereka juga sudah terkena penyakit ganas," katanya. (Laporan Wartawan Pos Kupang, Aris Ninu).