05 April 2014

Cewek Kelas 1 SMK Ngeseks dengan 8 Cowok, Khawatir Tertular HIV

Tanya Jawab AIDS No 3/April 2014

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya:  Saya, cewek, umur 15 tahun, kelas 1 SMK. Dalam kurun waktu tiga tahun belakangan ini saya sudah ngeseks berganti-ganti dengan delapan laki-laki. Empat di antara mereka masih perjaka ketika ngeseks dengan saya. Tapi saya jarang melakukannya. Aku takut sekali karena saya ngeseks sebelum mengetahui HIV/AIDS. Dengan pasangan yang terakhir kami pacaran dan dia janji akan menikahi saya setelah lulus sekolah. (1) Apakah saya sudah tertular HIV? (2) Apakah pasangan saya yang sekarang juga harus tes HIV? (3) Kalau sudah menikah apakah ada risiko tertular HIV kalau kami ngeseks? (4) Siapa dan bagaimana, sih, hubungan seks yang bisa kena HIV? (5) Saya takut tes karena takut hasilnya positif. (6) Apakah HIV/AIDS bisa sembuh? (7) Saya sering makan pisang katanya bisa mencegah HIV/AIDS. Apakah ini benar?

“XY”, Kota “S” di Jatim via SMS (27/1-2014)

Jawab: (1) Tentu saja tidak bisa dibuktikan bahwa seorang laki-laki masih perjaka. Tidak ada tanda fisik yang menandakan seorang laki-laki masih perjaka atau tidak. Berbeda dengan cewek yang bisa diketahui melalui pemerikaan oleh dokter ahli. Maka, tidak bisa dipastikan apakah mereka belum pernah atau sudah pernah ngeseks sebelum melakukan hal yang sama denganmu. Nah, yang empat lagi kan tidak perjaka. Artinya, mereka sudah pernah melakukan hubungan seksual dengan pasangan lain, bisa pacar, pekerja seks komersial (PSK), atau waria. Itu artinya laki-laki yang melakukan hubungan seksual denganmu perilaku mereka berisiko tertular HIV. Kalau ada di antara delapan laki-laki itu yang mengidap HIV/AIDS maka ada risiko penularan HIV terhadap dirimu. Untuk mengetahui apakah sudah tertular HIV atau belum hanya bisa diketahui melalui tes HIV di tempat-tempat yang sudah direkomendasikan oleh pemerintah.

(2) Ya, apalagi kalian sepakat akan menikah setelah lulus maka lebih baik tes HIV sekarang agar bisa diambil langkah ke depan kalua hasilnya negatif atau positif. Tapi, ingat jika hasil tes HIV negatif, maka pacarmu itu pun tidak boleh ngeseks dengan perempuan lain agar tidak ada lagi risiko penularan HIV.

(3) Kalau salah satu atau kalian berdua mengidap HIV, maka ada risiko penularan HIV melalui hubungan seksual setelah kalian menikah. Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (di dalam dan di luar nikah), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau dua-dunya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama). Melalui konseling ada cara-cara yang dianjurkan agar tidak terjadi penularan HIV kalau salah satu atau kedua-dua pasangan mengidap HIV/AIDS.

(4) Hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yang bisa menularkan HIV adalah jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

(5) Apapun hasil tes HIV sangat berguna karena bisa menjadi awal langkah baru ke depan. Maka, yang paling baik adalah segera melakukan tes HIV agar bisa diketahui apakah sudah tertular HIV atau belum.

(6) Ada penyakit yang ada obatnya tapi tidak bisa sembuh yaitu diabetes dan darah tinggi. HIV/AIDS pun ada obatnya tapi tidak bisa disembuhkan.  Yang bisa dilakukan pengidap HIV/AIDS adalah meminum obat agar kondisi tubuh tetap sehat dan mencegah penyakit lain masuk ke dalam tubuh. Sedangkan virus (HIV) tetap ada di dalam tubuh seumur hidup.

(7) Tidak ada kaitan antara makan pisang dengan pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS. Itu hanya mitos (anggapan yang salah). Belum ada satu pun jenis virus, seperti virus flu dan virus hepatitis B, yang bisa diobati. Maka, langkah yang tepat adalah konsultasi dan berobat ke dokter.

Silakan ke Klinik VCT di rumah sakit umum daerah di daerahmu. Kalau takut dikenal orang silakan pakai pakaian yang bisa menyamarkan dirimu dan pakai nama palsu. Jika ada kesulitan, silakan kontak kami. ***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Tiga Kali Tes HIV dengan Hasil Negatif, Tapi Tetap Kebingungan

Tanya Jawab AIDS No 2/April 2014

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Aku seorang cowok. Punya mantan cewek setahun yl. dan sudah putus. Kemarin cewek itu tes HIV di sebuah RS di Surabaya, Jatim, dengan hasil positif. Saya takut HIV karena dulu pernah ML dengan cewek itu kadang pakai kondom kadang tidak pakai kondom. Saya sudah tiga kali tes HIV hasilnya negatif.  Tes ini saya lakukan setelah enam bulan putus dengan cewek itu. Saya bingung karena teman-teman pada nyindir. Sekarang saya sudah punya istri yang mengandung empat bulan. Istri saya ini bukan cewek itu. Apa yang harus saya lakukan?

“Z” (via SMS, 1/8-2014)

Jawab: Ada kemungkinan mantan cewekmu itu tertular HIV setelah putus denganmu. Tapi, kalau dia sudah mengidap HIV/AIDS ketika kalian pacaran maka ada risiko penularan HIV terhadapmu. Risiko ini terjadi karena Anda tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pacarmu.

Karena hasil tes HIV yang Anda lakukan hasilnya negatif, maka kemungkinan mantan pacarmu itu tertular setelah kalian putus.

Pertanyaannya: Apakah tes HIV yang Anda lakukan sesuai dengan standar prosedur tes HIV yang baku?

Standar tes HIV yang baku adalah hasil tes pertama dikonfirmasi dengan tes lain. Misalnya, tes HIV pertama dengan reagen ELISA. Apa pun hasilnya contoh darah yang sama dites lagi dengan Western blot. Tapi, WHO sudah memberikan tes konfirmasi tanpa harus dengan Western blot yaitu dilakukan tes tiga kali dengan reagen ELISA tapi dengan reagen dan teknik yang berbeda.

Apakah sebelum pacaran dengan pacar yang Anda putuskan Anda juga pernah melakukan hubungan seksual dengan perempuan, waria atau laki-laki?

Kalau jawabannya tidak maka tidak ada risiko sebelum melakukan hubungan seksual dengan cewek yang Anda putuskan.

Pertanyaan selanjutnya: Apakah bisa Anda buktikan bahwa pacar yang Anda putuskan itu tidak pernah ngeseks dengan laki-laki lain sebelum Anda pacaran dengan ybs.?

Kalau jawabnnya bisa, maka lagi-lagi Anda tidak berisiko.

Selanjutnya, apakah istri Anda yang sekarang pernah mempunyai pasangan atau suami sebelum menikah dengan Anda?

Kalau jawabannya tidak, Anda tidak berisiko.

Lalu, apakah Anda pernah ngeseks setelah putus dengan pacar Anda, sebelum menikah dan selama menikah?

Kalau jawabannya tidak, maka Anda tidak berisiko.

Sekarang semua tergantung pada diri Anda. Kalau Anda merasa tidak pernah melakukan perilaku berisiko, maka hasil tes itu bisa Anda pegang.


- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Kartu Bebas HIV Uganda Dipalsukan

Kampala, AIDS Watch Indonesia (4/4-2014) - Sejumlah klinik swasta di ibukota Uganda, Kampala, menjual sertifikat HIV negatif palsu untuk membantu warga mendapatkan pekerjaan.

Dari 15 klinik yang didatangi tim investigatif BBC, 12 diantaranya bersedia memberikan hasil tes HIV negatif palsu, lapor wartawan BBC Catherine Byaruhanga.
billboard tes hiv

Ratusan klinik kecil di Kampala biasanya dijalankan seorang perawat, teknisi laboratorium, dan kadang-kadang seorang dokter.

Seorang teknisi lab mengatakan sangat berisiko untuk memberikan sertifikat palsu karena dirinya dapat ditahan.

Tetapi setelah berunding beberapa lama, dia bersedia mengeluarkannya dengan imbalan Pound 12 atau Rp225.000.

Tim investigatif BBC mendengar banyak cerita warga membeli hasil HIV negatif palsu untuk tujuan bepergian ke luar negeri, berbohong kepada pasangannya, dan juga untuk mendapatkan pekerjaan.

Pemerintah Uganda dipandang sukses menurunkan jumlah orang penderita HIV AIDS

Hal ini dilakukan karena adanya stigma sosial terhadap para penderita HIV di Uganda.

Contoh sukses


Salah satu pelanggan klinik adalah wanita berumur 20-an tahun dengan nama samaran Sarah yang ditemui BBC di sebuah pasar ramai.

"Saya harus mempunyai bukti hasil tes HIV yang negatif karena perusahaan tidak akan mempekerjakan saya jika mereka mengetahui status HIV positif saya," kata ibu satu anak yang harus berjuang untuk menghidupi keluarganya.

Selama bertahun-tahun Uganda dipandan sebaga contoh sukses mengatasi HIV di dunia.

Dua puluh tahun lalu, satu dari lima warga Uganda adalah Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).

Kampanye pemerintah menyebabkan tingkatnya menurun menjadi 6,3% di tahun 2005, namun akhir-akhir ini meningkat lagi menjadi 7,2% pada tahun 2012. (BBCIndonesia.com/detikNews).

04 April 2014

SMS-based service to fight HIV/AIDS rolled out in Phllippine

Manila, AIDS Watch Indonesia (April 4, 2014) - A mobile telecommunications service aimed at curbing the rise in HIV/AIDS in the Philippine capital region of Metro Manila was launched here today.
The Philippine National AIDS Council (PNAC), a public-private advisory body, partnered with Philippine NGO Support Program and local mobile telecommunications firm Globe Telecommunications for the "TXT HIV to 8504" campaign.
The SMS-based campaign was designed to provide information and referral to HIV counseling, testing, and life-saving treatment programs. Globe subscribers may avail of the service for free for one year.
PNAC said the campaign is also in line with the United Nation's advocacy for information and communication technology-based initiatives to combat HIV which had infected 17,450 Filipinos since 1984.
The public-private initiative, PNAC Executive Director Ferchito Avelino said, hopes to raise awareness about HIV/AIDS particularly in the National Capital Region which was identified as having a high number of new HIV cases.
Based on figures released by the Philippine Department of Health (DOH), the number of new HIV/AIDS cases in the January to February period has already reached 934. In the month of February alone, the DOH recorded 486 new HIV/AIDS cases.
Avelino said the service was made available through mobile phones as Filipinos have come to regard it as indispensable devices for information and services.
Citing 2009 data from Business Wire, PNAC said the Philippines is touted as the "Text Capital of the World" with more than 1.39 million text messages sent daily. (Xinhua/philstar.com).

03 April 2014

Scholar says Papuans should lead local response to HIV/AIDS

Canberra, AIDS Watch Indonesia (Apri 3, 2014) - An Australian researcher says NGOs led by indigenous Papuans should play a bigger role in the response to HIV/AIDS in the Indonesian province.
Jenny Munro is a cultural anthropologist at the Australian National University, and been involved in recent studies on HIV/AIDS in West Papua.
She says government studies have shown HIV affects about 2.5 percent of the indigenous population, although some scholars believe it could be much worse.
That compares to about 1.8 percent of the migrant Indonesian population.
Ms Munro says one of the factors is that most Papuans tend to live in rural areas.
"There really are very limited HIV information and testing and treatment services outside major cities, another big issue is that sort of the Indonesian perspective and international models often put forward by donors are still setting the agenda so to speak."
Jenny Munro says Papuan NGOs have the community links and cultural expertise to deliver more effective prevention and treatment programmes. (http://www.radionz.co.nz/).

HIV/Aids deaths still too high – expert

Cape Town, AIDS Watch Indonesia (April 3, 2014) - Africans on antiretroviral drugs are still dying of HIV/Aids because of programme issues and clinical conditions, a University of Cape Town infectious diseases physician said on Thursday.

“There are still one million people dying of HIV despite the scaling up of antiretroviral (ARV) treatment in low and middle-income countries,” Dr Graeme Meintjes told the International Congress on Infectious Diseases in Cape Town.

He said the rate of Aids deaths globally had decreased from 2,3 million in 2005 to 1,6 m in 2012, 1,2 m of which were in Africa.
Most of these people were young adults who had left huge gaps in their community.
From a programme point of view, most African treatment systems were “overstretched, understaffed and had many cracks”.
Testing for the virus in its early stages was sub-optimal in coverage and many people only started ARV therapy when they had very low CD4 counts (the count of white blood cells that fight infection).
Based on a 2009 study, Meintjes said those in high-income countries were given ARVs when their CD4 count was around 274 cells per microlitre.
In low-income countries, this treatment started when the CD4 count was around 145 cells per microlitre.
Those with a count lower than 200 had the greatest risk of developing opportunistic infections. He said drop-out rates in treatment programmes were high.
“By three years on ARVs, a third of the people are lost to the programme,” Meintjes said.
Many of those lost returned a year or two later with an Aids-defined illness.
“Up to half of the deaths in HIV are attributed to tuberculosis (TB),” he said.
A study on 39 organ biopsies at a Johannesburg hospital showed that most deaths were due to disseminated TB, which spread from the lungs to other body parts through the blood or lymph system.
Meintjes said an increasing concern was drug-resistant TB, which was diagnosed in 15,000 people annually and had a high mortality rate.
Other major clinical conditions found in those who had died while on ARVs were bacterial and fungal infections, and Kaposi’s Sarcoma, a connective tissue cancer.
Meintjes said there were interventions available to counter these ARV problems. Health facilities should have user-friendly HIV services so that people felt comfortable going there for the rest of their life.
Technology like cellphone messaging should be used to send information to patients and remind them of appointments.
The congress at the Cape Town International Convention Centre was organised by the International Society for Infectious Diseases, in collaboration with the Federation of Infectious Diseases Societies of Southern Africa.
Sapa (http://citizen.co.za/)

Saudi Arabia Has Stopped Isolating AIDS Patients

About 13,900 people have been found to be suffering from the disease until ens-2012: ministry

Riyadh, AIDS Watch Indonesia February 3, 2014 - Saudi Arabia no longer isolates patients infected with AIDS and lets them live a normal life following a breakthrough in the treatment of the killer disease over the past years, according to a specialist in the conservative Gulf kingdom.
 
Dr Nizar Bahbiri, a contagious diseases consultant at Suleiman Faqih Hospital in the Western Saudi Red Sea port of Jeddah, said he believes there would be no medicine that would totally treat and prevent AIDS in the next 10 years but added that the current treatment allows AIDS victims to live a relatively normal life.
 
“In the past, we (doctors) used to say an infected man cannot marry a healthy woman…we also said if such marriage takes place, the infected husband must wear a condom to have sex with his wife…but now the situation has completely changed with the current available treatment….a man can now marry a healthy woman and they can have healthy children and live a normal life,” he told Sabq newspaper.
 
“In Saudi Arabia, the situation has also changed….we no longer isolate or quarantine AIDS patients…we even place them with normal patients in the same room…we also allow some of them to live at home and go to work like any other normal man provided that they use the medicine prescribed to them.”
 
Bahbiri said sexual engagement has been found to be the main case of the Acquired Immuno Deficiency Syndrome in Saudi Arabia, with a population of around 30 million at the end of 2013, including nearly nine million foreigners.
 
“We have launched a campaign in Saudi Arabia with the aim of easing the fear of AIDS and to encourage infected people to have early treatment…those who have the least suspicion of having AIDS must have a test…in case they test positive, they will be treated and allowed to live a normal life like a person with any other illness,” he said.
 
“AIDS disease has become very simple in case it is detected early…I tell those who test positive for AIDS not to have any fear.”
 
Bahbiri gave no figures on AIDS cases in Saudi Arabia but healthy ministry estimates showed around 13,900 people have been found to be suffering from the disease until the end of 2012. Like in other Gulf nations, expatriates found to be infected with the diseases are deported from the kingdom. (
www.emirates247.com). 

3,500 Pesakit Hidap HIV/AIDS Setiap Tahun

Kuala Lumpur, AIDS Watch Indonesia - (1 Desember 2013) - Sebanyak 3,500 rakyat negara ini dikesan dijangkiti virus HIV/AIDS setiap tahun sejak kes tersebut pertama kali dilaporkan di negara ini pada 1986. Ketua Jabatan Perubatan Hospital Sungai Buloh, Datuk Dr. Christopher Lee berkata, sehingga 2012, sebanyak 81,000 rakyat Malaysia menghidap HIV masih hidup.

"Walaupun jumlah pertambahan penghidap HIV menurun sejak 2002, usaha-usaha ke arah pencegahan masih perlu dilakukan memandangkan corak jangkitan virus telah bertukar.

"Jika dahulu, kebanyakan penghidap HIV dijangkiti melalui perkongsian jarum dalam kalangan penagih dadah tetapi kini gejala seks bebas menjadi ancaman terbesar terhadap peningkatan HIV membabitkan remaja,'' katanya.

Beliau berkata demikian selepas majlis Hari AIDS Sedunia 2013 anjuran Hospital Sungai Buloh bersama Keretapi Tanah Melayu Berhad (KTMB) di sini hari ini.

Sebanyak 40 sukarelawan dari Universiti Teknologi Mara (UiTM), Universiti Malaysian Allied Health Sciences Academy (MAHSA), Universiti Taylor serta Universiti Sains dan Pengurusan (MSU) menaiki tren komuter untuk mengedar reben khas dan risalah pencegahan awal AIDS kepada penumpang di laluan Bandar Tasik Selatan, Klang dan Rawang.

Menurut Christopher, golongan belia merupakan kumpulan paling berisiko dijangkiti virus HIV akibat tingkah laku dan cara hidup salah.

"Kami berusaha untuk mengekang gejala ini dengan memberi penekanan kepada langkah pencegahan menerusi penggunaan kondom, namun tidak bermakna kami menggalakkan seks sebelum kahwin, tetapi memberi pengetahuan lebih luas kepada golongan muda tentang bahaya AIDS," katanya.

Dalam pada itu, beliau berkata, semua pihak perlu meningkatkan kesedaran tentang epidemik HIV/AIDS yang masih lagi menjadi ancaman kepada kesihatan awam dengan bersama-sama mencegah jangkitan tersebut, menggalakkan masyarakat mengetahui status masing-masing serta memanfaatkan rawatan yang disediakan.

"Selain itu, kami ingin menggesa masyarakat agar mengubah stigma dan diskriminasi mereka kepada pesakit AIDS untuk memastikan mereka sentiasa mendapat akses sokongan, rawatan dan jagaan," katanya. (utusan.com.my)

02 April 2014

Penderita Terus Meningkat, Wabup 'Risau' Penyebaran HIV/AIDS Tidak Terkontrol

Bengkalis, AIDS Watch Indonesia - (4 Maret 2014) -Penyebaran penyakit mematikan HIV/AIDS di Kabupaten Bengkalis saat ini sangat mencemaskan. Saat ini dilaporkan tercatat 219 penderita masing-masing 84 laki-laki dan 135 perempuan.

Para penderita mayoritas kelompok umur produktif, yakni 16 - 64 tahun mencapai 60 persen. Bahkan, menyerang kelompok ibu-ibu rumah tangga dan mengalami peningkatan.

"Perkembangannya sudah sangat mengkhawatirkan. Untuk itu, perlu penanganan yang ekstra dan tentunya harus didukung oleh tenaga yang ekstra pula," ujar Ketua Penanggulangan HIV/AIDS Kabupaten Bengkalis Suayatno, ketika memimpin rapat penanggulangan HIV/AIDS, Selasa (4/3/14) di Kantor Bupati.

Suayatno sangat menyayangkan sebahagian kalangan masih memandang sebelah mata. "Padahal tidak semua penderita karena pernah melakukan hubungan intim di luar pernikahan atau "jajan". Penularannya banyak cara," katanya lagi.

Sementara itu Ketua KPA Provinsi Riau Chandra yang hadir di kegiatan tersebut mengungkapkan, beberapa langkah yang dilakukan sebagai upaya pencegahan dan penularan virus HIV/AIDS adalah melakukan screeningpada wanita dengan perilaku seksual beresiko, penggunaan kondom dan lainnya.


"Kami juga aktif meminta sejumlah perusahaan, untuk bekerja sama, rutin melakukan pemeriksaan terhadap karyawannya. Cara seperti ini lebih efektif dan mudah terpantau," paparnya.***(dik/riauterkini.com)

Medics accused of testing HIV/Aids without consent

Kenya,  AIDS Watch Indonesia - (April, 2, 2014) - Scholars are seeking to establish why women are being forced to undergo syphilis tests and coerced screening for HIV/AIDS and cervical cancer, all on account of being pregnant.

The claims were first made about six years ago by the Federation of Women Lawyers in Kenya, then picked up last year by international human right bodies and currently by local and foreign scholars.

Evidence presented by three universities last month show a significant number of pregnant women attending antenatal clinics are being forced to test for the three conditions without their consent as the law requires.
Routine testing for HIV and screening for cervical cancer has been introduced in all public hospitals but a client must first be given all the relevant information and allowed to make an informed choice, including the option of saying no.

On the other hand, the testing for syphilis in women during the first trimester is mandatory in public health facilities but in the context of informed choice. Further, the law on syphilis requires a client or her partner or partners to be notified once the disease is diagnosed.

He should be provided with written instructions about the condition, appropriate education and counseling measures.

In line with the Bill of Rights in the Constitution, Health Cabinet Secretary James Macharia in October launched the National Patients’ Rights Charter. According to the Charter, a patient has the right to informed consent for diagnosis and treatment. The patient should also be allowed to make own decision willingly and free from duress.

The client also has the right to be treated with dignity and respect.

Evidence, however, paints a totally different picture, with pregnant women visiting public hospitals being coerced and threatened to make decisions they may not be well informed about.

“Some women indicated they were threatened and others were concerned with the harsh or judgmental attitudes of the medical staff attending to them on syphilis cases,” says a report published last week in the journal BMC Medical Ethics.

The audit was carried out by Dickens Omondi Aduda  of the School of Public Health at Maseno University and Nhlanhla Mkhize of  the  School of Psychology, University of KwaZulu Natal, South Africa. (Gatonye Gathura/www.standardmedia.co.ke).

Condom use falls in SA as HIV/AIDS fear declines-survey

South AfricaAIDS Watch Indonesia - (April 2, 2014) - SOUTH Africans are using fewer condoms, sleeping around more and becoming less knowledgeable about HIV/AIDS, says the latest household survey by the Human Sciences Research Council (HSRC), released on Tuesday.
The findings suggest the government’s HIV/AIDS prevention efforts may have flagged as it turned its attention towards implementing what is now the biggest HIV/AIDS treatment programme in the world. Today an estimated 2.4-million people are on treatment, a figure the government intends to increase by 500,000 a year.
"We calculated that 30% of the world’s ARV (antiretroviral) patients are in SA. Obviously it brings its own problems," said Health Minister Aaron Motsoaledi, suggesting that the "heightened fear" of HIV/AIDS that pervaded South Africa before treatment was widely available had declined.
"We suspected it might happen. This survey confirms this," he said at the launch of the National HIV Prevalence, Incidence and Behaviour survey 2012.
The fourth since 2002, the survey found 12.2% of South Africans were HIV positive in 2012, up from 10.8% in 2008. Based on Statistics SA’s midyear population estimates for 2012, the researchers calculated that 6.4-million South Africans were HIV positive.
The increasing prevalence of HIV was a mixed blessing, as it showed that HIV-positive patients were living longer thanks to the availability of treatment, but that almost half-a-million (469,000) people had become infected in 2012, said HSRC CEO Olive Shisana.
The survey found just over two-thirds (67.5%) of young men aged between 15 and 24 reported using condoms at their last sexual encounter in 2012, down from 85.2% in 2008.
Among men aged between 25 and 49, condom use fell to 36.1%, down from 44.1% over the same period. Women also reported using condoms less.
"In 2012 more people were buying condoms than getting them free (from the government). We are not sure why," said Prof Shisana, describing condom use as "imperative" for preventing sexual transmission of HIV. Overall, 52.9% of the household survey participants said they had never used condoms.
Dr Motsoaledi said officials suspected that young people saw the government-issue "Choice" condoms as staid and boring, so they were to be replaced with a "new type of condom that will bring excitement". The new versions, to be distributed at universities and further education and training colleges next month, would be flavoured and coloured.
The survey included interviews with 38,431 people, of whom 28,997 agreed to an HIV test. It found overall levels of knowledge about HIV/AIDS were "low and falling", said Prof Shisana.
For example, only 22.7% of black men aged between 25 and 49 knew how HIV was transmitted and rejected major myths and misconceptions, down from 31.8% four years earlier.
Equally worrying, the proportion of people reporting multiple sexual partners had increased, said Prof Shisana. "We are beginning to see a disturbing trend that should be a concern for all of us."
Almost a quarter (23.1%) of men aged between 15 and 49 said they had multiple sexual partners in 2012, up from 19.3% in 2008. Just more than 5% of women in the same age group said they had more than one sexual partner. That was up from 3.7% in 2008.
The survey found significant gender disparities, with women bearing the brunt of the epidemic.
HIV/AIDS prevalence for women aged between 15 and 49 was 23.2%, but just 14.5% for men of the same age. HIV/AIDS prevalence was eight times higher among teenage girls aged between 15 and 19, at 5.6%, than among boys in the same age cohort, where prevalence was just 0.7%.
Prof Shisana said women were more vulnerable to HIV/AIDS due to both their biology and societal pressures. Women are at increased risk of acquiring HIV during pregnancy, as their immune systems are suppressed at this time. (TAMAR KHAN/http:/www.bdlive.co.za).

Belasan Penderita HIV/AIDS di Tulungagung Meninggal

TulungagungAIDS Watch Indonesia - (27 Maret 2014 ) - Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Tulungagung, Jawa Timur tampaknya, cukup banyak. Sebab, ODHA yang meninggal cukup banyak selama tiga bulan pertama 2014 saja mencapai 14 orang. Sedangkan pada bulan ini saja terdeteksi 21 ODHA baru.

Hal tersebut diungkapkan Kasi P2PL Dinkes Tulungagung, Didik Eka. Menurut dia, setiap bulan jumlah ODHA terus meningkat. Pada 2012 ditemukan 144 kasus dan pada 2013 ada 152 kasus.

Diperkirakan, pada 2014 jumlah itu semakin tinggi. Sebab, hingga Maret 2014 saja, terdapat 53 kasus dan 14 di antaranya meninggal. “Sebagian besar ODHA yang meninggal adalah laki-laki yang bekerja swasta,” ungkapnya.

Didik menjelaskan, dalam menghadapi bertambahnya jumlah penderita ODHA di Tulungagung, dinkes meningkatkan sosialisasi bahaya HIV/AIDS kepada masyarakat. Juga, gencar melakukan VCT di berbagai instansi dan membagikan kondom secara gratis untuk mencegah penularan HIV/AIDS kepada kelompok berisiko tinggi.


“Kemarin (dua hari lalu) kita melakukan tes kepada juru parkir (jukir) di lingkup Dishubkominfo Tulungagung. Hari ini (kemarin) kita melakukan tes kepada 70 orang petugas SPBU,'' jelasnya. (c1/and/JPNN/jpnn.com)

Penyebaran HIV/AIDS di Bengkalis Mengkawatirkan, Tercatat Sudah 219 Korban

BengkalisAIDS Watch Indonesia (4 Maret 2014) - Penyebaran penyakit mematikan HIV/AIDS di Bengkalis sudah sangat mengawatirkan. Tercatat sudah 219 penderita, 84 laki-laki dan 135 perempuan. Harus dilakukan pencegahan yang luar biasa pula, agar penyakit tersebut tidak terus makan korban.

Kenyataan ini diungkapkan Ketua Penanggulangan HIV/AIDS Kabupaten Bengkalis, H Suayatno pada rapat penanggulangan HIV/AIDS di Kantor Bupati Bengkalis, Selasa (4/3). Hadir dalam rapat itu Ketua KPA Riau dr Chandra, Direktur RSUD Bengkalis dr Zulkarnaen, pengurus Yayasan Utama Penanggulangan AIDS serta undangan lainnya.

Para penderita mayoritas kelompok umur produktif, yakni 16 – 64 tahun mencapai 60%. Bahkan katanya, kelompok ibu-ibu rumah tangga akhir-akhir ini mengalami peningkatan.

''Perkembangannya sudah sangat mengkawatirkan. Untuk itu, perlu penanganan yang ekstra dan tentunya harus didukung oleh tenaga yang ekstra pula. Bukan tidak mungkin, tiga atau lima tahun mendatangm jumlahnya akan semakin meningkat jika kita hanya berdiam saja,'' urai Suayatno.

Wakil Bupati Bengakalis in menambahkan, sebagian kalangan masih memandang sebelah mata kepada mereka yang terjangkit HIV/AIDS. Padahal kata Wabup, tidak semua penderita karena pernah melakukan hubungan intim di luar prnikahan atau jajan di luar.

''Banyak cara seserang bisa terkena penyakit menular ini. Bisa dari atau saat transfusi darah dengan mereka yang terkontaminasi virus HIV, atau menggunakan alat-alat  invasive yang terkontaminasi, seperti jarum suntik, piasu cukur,'' paparnya.

Salah satu upaya untuk mencegah peredaran virus mematikan tersebut, masyarakat harus mengetahui terlebih dahulu dengan atau cara apa seseorang bisa terjangkit virus HIV/AIDS.

Pihaknya akan terus mengampanyekan tentang bahaya virus HIV/AIDS serta menghindari perbuatan yang bisa atau menyebabkan seseorang terjangkit virus HIV/AIDS.

Ketua KPA Riau, dr Chandra menambahkan, beberapa langkah yang dilakukan sebagai upaya pencegahan dan penularan virus HIV/AIDS adalah melakukan screening pada wanita dengan perilaku seksual beresiko, penggunaan kondom dan lainnya.\

''Kita juga aktif meminta kepada sejumlah perusahaan, untuk bisa bekerjasama, rutin melakukan pemeriksaan terhadap karyawannya. Cara seperti ini lebih efektif dan mudah terpantau,'' paparnya. (jfk/goriau.com)

Pariaman Peringkat 3 AIDS

* Temuan KPAD Pariaman

PariamanAIDS Watch Indonesia (26 Maret 2014) - Temuan Komisi Penanggulan AIDS Dae­rah (KPAD), Kota Pariaman, Prov Sumatera Barat, berada di peringkat tiga di Sum­bar Tahun 2013 dalam kasus HIV/AIDS.

Ini harus menjadi perhatian serius, karena hampir 85 persen penderita HIV/AIDS adalah usia produktif yakni 15-35 ta­hun. Demikian diungkapkan Kepala Dinas Kesehatan Kota Pariaman, Yutriadi Rivai saat membuka rapat KPAD Kota Pariaman, Senin (24/3).

Yutriadi mengatakan, gene­rasi muda saat ini menghadapi tantangan yang besar. Dimana arus globalisasi telah membuat se­­bagian remaja lupa nilai-nilai aga­­ma dan mudah terjerumus da­­lam pergaulan bebas. Banyak ge­nerasi muda terlibat penya­lang­­gunaan narkoba dan seks bebas.

Fakta lain yang meng­kha­watirkan adalah temuan dari KPAD Kota Pariaman ditemu­kan­­nya kasus HIV di Pariaman tang­gal 13 Februari lalu, me­nyu­sul adanya satu orang warga Ko­ta Pariaman yang positif HIV/AI­DS dan tengah dirawat di salah sa­tu rumah sakit di Kota Pariaman.

Menurutnya, salah satu fak­tor yang berkontribusi besar ter­ha­dap masalah ini adalah ma­sih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hal-hal ter­se­but. Menurut hasil survei tahun 2010, masih ada sekitar 29 persen generasi muda yang belum mengetahui tentang ma­sa­lah reproduksi.

Selain itu, masih ada 39 persen remaja yang belum me­ma­hami informasi tentang Pe­ri­la­ku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), 25 persen di antaranya kurang memahami masalah Penyakit Menular Seksual (PMS), 28 persen tidak menge­ta­­hui secara pasti bahaya dan penyebaran HIV/AIDS, dan 20 persen tidak memiliki infor­ma­si memadai terkait bahaya dan penyalahgunaan rokok.

“Padahal, hidup ala barat yang mengagungkan kebeba­san tanpa batas adalah hidup yang penuh dengan risiko. Ka­re­na penyalahgunaan narkoba dan seks bebas adalah dua peri­la­ku yang secara nyata telah men­jadi penyebab utama da­tang­nya HIV/AIDS,” terangnya.

 Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan 50 persen penderita HIV/AIDS telah te­rin­feksi sebelum usia 25 tahun dan meninggal karena HIV/AIDS sebelum usia 35 tahun.

“Fakta-fakta kesehatan ke­mu­di­an me­nun­jukkan kepada kita semua bahwa banyak ge­nerasi muda yang seharusnya dapat meran­cang dan me­wu­judkan mimpi-mimpi mereka, harus berakhir dengan maut,” tuturnya.


Melalui forum KPAD ini ia berharap dapat memberikan tambahan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjauhi pergaulan berisiko dan pergaulan yang tidak se­hat.(*/Padang Ekspres).

Tes HIV/AIDS Sekota Bengkulu Di APBDP

Kota BengkuluAIDS Watch Indonesia - (26 Maret 2014) - Jika tidak ada aral melintang rencana Pemkot Bengkulu untuk melakukan tes HIV/AIDS untuk warga se Kota Bengkulu akan dianggarkan pendanaannya pada APBD P 2014.

Hal ini diungkapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK) Kota Bengkulu, drg H Edriwan Mansyur MM menurutnya tes Hiv/AIDS akan dilakukan untuk warga sekota Bengkulu dengan mentode sampling.

“Jadi memang walikota menginstruksikan Dinas Kesehatan Kota Bengkulu untuk melakukan tes identifikasi HIV/AIDS  untuk warga Kota Bengkulu, system yang digunakan dengan metode sampling sehingga tidak hanya kalangan pelajar SMP yang akan diakomodir,” jelasnya, Rabu (26/3).

Menurut dia metode yang dipakai berdasarkan persentase dengan acuan 10 persen yang mewakili komunitas.

”Misalnya komunitas pelajar, kita tes 10 persennya dan diambil secara acak, pegawai negeri sipil, pegawai swasta, dan sebagainya,” tutur Edriwan.

Dikatakan dia meski ada instruksi langsung dari Walikota Bengkulu H. Helmi Hasan yang dalam hal ini menjabat Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bengkulu. Pihaknya belum bisa merealisasikan segera. Sebab selain tidak masuk kedalam anggaran APBD 2014 rencana tersebut membutuhkan biaya mahal dimana dalam sekali tes atau perkepala menghabiskan dana Rp 140 ribu.

“Kalau sekarang dananya tidak ada, tidak dianggarkan. Insyaallah dana itu akan dianggarkan pada APBD perubahan,” terangnya.

Edriwan menyampaikan jika kedepan rencana anggaran ini tidak disepakati DPRD Kota pihaknya sudah menyiapkan langkah lain dengan mencari kerjasama antar perusahaan.


“Kita usahakan mitra mampu membantu atau perusahaan- perusahaan yang ada di Kota Bengkulu dari dana CSR mereka,” tutupnya.(sey/bengkuluonline.com)

Bayi 4 Bulan Terinfeksi HIV/AIDS

Sekadau, AWI (29/03/2014) - Kasus HIV/AIDS semakin merajalela saja di Sekadau. Ironisnya, penyakit mematikan tersebut tak hanya menyerang kaum remaja dan dewasa saja. Anak-anak pun tak luput dari jamahan penyakit yang sulit ditanggulangi itu. Pasalnya, baru-baru ini, seorang bayi yang masih berusia empat bulan dilaporkan terinfeksi HIV/AIDS.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sekadau melalui Kepala Bidang Pemberantasan Masalah Kesehatan (PMK), Slamet mengungkapkan, bayi malang itu diketahui berasal dari daerah Sei Ayak, Kecamatan Belitang Hilir.“Kita dapat laporan dari RSUD Sekadau bahwa ada bayi usia empat bulan dinyatakan terinfeksi HIV/AIDS. Terungkap saat orangtua bayi tersebut memboyong anaknya ke RSUD Sekadau untuk berobat beberapa waktu lalu,” kata Slamet, kemarin. Sayangnya, saat ini keberadaan bayi malang itu belum diketahui kondisi terakhirnya. 

Pihak Dinkes Sekadau telah berupaya mendatangi keluarga penderita ke Sei Ayak. Namun, menurut penuturan para tetangga, bayi beserta orangtuanya telah cukup lama tidak berada di kediaman mereka. “Kita belum sempat menemui orang tuanya. Menurut warga sekitar, mereka mengasingkan diri. Hingga sekarang belum diketahui dimana keberadaan mereka,” terang Slamet.

Slamet mengaku cukup khawatir dengan kondisi bayi tersebut mengingat usianya yang masih sangat belia. Apalagi, virus yang menginfeksi merupakan penyakit yang sangat berbahaya. Jika tidak cepat diberikan penanganan medis, Slamet khawatir kondisi imunitas tubuhnya tak mampu bertahan lama. Meski demikian, Slamet enggan memberikan analisis soal berapa lama si bayi mampu bertahan dari infeksi yang menyerangnya.“Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, harus segera mendapat penanganan medis,” ucap Slamet.


Slamet menduga orangtua bayi tersebut juga menderita HIV/AIDS sehingga anaknya juga terjangkiti. “Diduga orangtuanya juga terinfeksi. Namun belum bisa dipastikan karena kita juga belum pernah bertemu dengan mereka,” ujar Slamet.Dengan bertambahnya kasus infeksi HIV/AIDS yang menimpa bayi yang belum diketahui identitasnya itu, total kasus HIV/AIDS yang sudah ditemukan di Sekadau menjadi 28 kasus. Dari 28 kasus itu, 19 diantara pengidap telah meninggal dunia. Sementara, sembilan orang lainnya masih hidup termasuk bayi usia empat bulan asal Sei Ayak.
(bny/Asep Haryono).

36 Persen PSK di Situbondo Positif HIV/AIDS

Situbondo, AWI (27 Maret 2014) - Penyebaran virus HIV/AIDS di Situbondo semakin mengkhawatirkan. Penderita virus mematikan yang mayoritas penularannya melalui hubungan seks bebas tersebut banyak menyerang pekerja seks komersial (PSK) di beberapa lokasi esek-esek di  Kota Santri itu.

Sebanyak 27 di antara 75 PSK yang terdata di dua eks lokalisasi berbeda di Situbondo dinyatakan positif terinfeksi HIV/AIDS. Artinya, 36 persen PSK terjangkit virus mematikan tersebut. Karena ada beberapa temuan penderita baru, jumlah penderita HIV/AIDS bertambah. Dengan begitu, saat ini jumlah penderita yang terpantau di Situbondo mencapai 195 orang.

Perkembangan seputar penyebaran virus HIV/AIDS tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Situbondo Abu Bakar Abdi. Data terbaru dari hasil pemeriksaan reaksi cepat itu diketahui di dua eks lokalisasi. Yaitu, Gunung Sampan (GS), Desa Kotakan, Kecamatan Situbondo, dan lokalisasi Rajawali, Kecamatan Banyuglugur.

“Di GS, ada 35 PSK. Sebanyak 15 di antara jumlah itu positif HIV/AIDS,” kata Abu Bakar Abdi, Rabu (26/3).

Sementara itu, di lokasi Rajawali Banyuglugur, pihaknya memeriksa 40 PSK. Lebih dari seperempatnya diketahui terinfeksi virus mematikan itu. ''Ada 12 PSK yang dinyatakan positif,'' jelas Abu.

Para PSK yang terinfeksi HIV/AIDS diketahui masih berusia produktif. Mereka rata-rata berusia 25 sampai 40 tahun. Sejauh ini pihaknya menyatakan sulit menanggulangi penyebaran virus tersebut. Selain karena lokasi para penderita yang jaraknya berbeda dan cukup jauh, para penderita selalu-berpindah-pindah tempat.


“Pemantauannya susah. Sebab, mereka tidak terlokalisasi dan selalu berpindah-pindah tempat. Hal itu membuat pengawasan terputus,” papar Abu Bakarl. (jpnn.com).

Dinkes Bireuen Tangani 24 Penderita HIV/AIDS

* 13 Diantaranya Meninggal Dunia

Bireuen,  AIDS Watch Indonesia - (30 Maret 2014) - Hingga akhir Maret, jumlah penderita HIV/AIDS yang ditangani jajaran Dinkes Bireuen tercatat 24 orang, 13 orang di antaranya sudah meninggal dunia dalam setahun terakhir.

“Jumlah penderita HIV/AIDS yang terdata dan berobat di Bireuen 24 orang. Mungkin saja ada beberapa penderita lainnya yang belum terdeteksi,” kata Kadiskes Bireuen, dr Yurizal kepada Serambi Sabtu (29/3). Yusrizal dimintai konfirmasi terkait adanya informasi pasien HIV dari luar Bireuen yang berobat ke Bireuen.

Kadiskes yang didampingi Kabid Pengendalian Masalah Kesehatan, Dinkes Bireuen dr Irawati MKes mengakui beberapa penderita  HIV yang ditangani Dinkes Bireuen memang berasal dari luar Bireuen. “Mereka warga kabupaten/kota lain datang berobat ke Bireuen dan diketahui terjangkit virus mematikan,” katanya.

Disebutkan, saat mereka berobat ke Bireuen dari awal sudah diinformasikan, pasien telah mendapat perawatan di tempat lain dan berobat lanjutan ke Bireuen.  Disebutkan, berdasarkan data awal tahun 2013, jumlah penderita HIV yang didapatkan tenaga medis di Bireuen berjumlah 12 orang. Artinya, dalam setahun terakhir terjadi peningkatan 100 persen, sehingga jumlahnya menjadi 24 orang.

Dari jumlah tersebut, 13 orang diantaranya sudah meninggal dunia, sedangkan lainnya dalam pengawasan dan berobat di Bireuen. Kemudian dari jumlah tersebut dua diantaranya masih di bawah umur yaitu berusia 5 dan 9 tahun. Terungkapnya mereka sebagai penderita penyakit tersebut berdasarkan hasil  uji sampel darah di laboratorium yang dilakukan tim medis Dinkes Bireuen dan RSUD Bireuen.

Para penderita HIV itu sekarang menjalani pengobatan. Mereka minum obat seumur hidup untuk meningkatkan kekebalan, tapi tak bisa menghilangkan virus mematikan itu dari dalam tubuhnya. Cara mendeteksi penyakit itu, menurut dr Irawati, pada periode tertentu petugas medis memeriksa kesehatan dan darah orang-orang yang digolongkan rentan terkena HIV.

Selain itu ada juga yang ditemukan saat pemeriksaan darah rutin di puskesmas atau rumah sakit serta balai pengobatan lainnya. Pencegahan agar tidak terjangkit HIV, kata Irawati, dapat dilakukan dengan pendidikan/penyuluhan intensif yang ditujukan pada perubahan cara hidup dan perilaku seksual.

Juga diperlukan sosialisasi bahaya HIV/AIDS kepada usia remaja sampai usia tua. Selain itu, kata Irawati, yang lebih utama adalah memperdalam agama dan menjalankan perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya dengan ikhlas dan benar.(yus/tribunNews.com).