Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS WatchIndonesia
Ia (Wakil
Wali Kota Tangerang, Banten-pen.) menjelaskan, penanggulangan masalah HIV/AIDS
di Kota Tangerang memerlukan penanganan yang komprehensif dan berkesinambungan.
(Kasus HIV/AIDS di Tangerang Didominasi
Usia Produktif, beritasatu.com, 12/12-2014).
Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Tangerang adalah 1.116
yang terdiri atas 712 HIV dan 404 AIDS dengan 21 kematian (kabartangsel.com, 2/12-2014).
Kata-kata ‘komprehensif’
dan ‘berkesinambungan’ merupakan jargon-jargon retorika yang selalu menjadi
bagian dari pidato. Jika dikaitkan dengan penanggulangan HIV/AIDS, apa yang
dimaksud dengan penanganan yang komprehensif dan berkesinambungan?
Dalam berita
disebutkan: “ .... diperlukan sosialisasi penyusunan strategi dan rencana
penanggulangan HIV/AIDS yang menyeluruh. Begitu juga dengan komitmen dari semua
pihak seperti lingkungan eksekutif, legislatif, pihak swasta dan masyarakat.”
Rupanya,
baru sebatas sosialisasi dan rencana. Selama sosalisasi dan penyusunan rencana
sudah banyak terjadi insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa
melalui hubungan seksual (Lihat gambar), serta penyebaran HIV/AIDS di
masyarakat secara horizontal yang dilakukan oleh laki-laki yang tertular
HIV/AIDS.
Dari sudut
hubungan seksual paling tidak ada empat “pintu” masuk HIV/AIDS ke Kota
Tangerang, yaitu:
(1)
Laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar
nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di Kota Tangerang atau di luar Kota
Tangerang,
(2)
Perempuan dewasa melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan
laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di
Kota Tangerang atau di luar Kota Tangerang,
(3)
Laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang
sering ganti-ganti pasangan, yaitu pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK
yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dll.) di Kota
Tangerang atau di luar Kota Tangerang, dan
(4)
Laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang
sering ganti-ganti pasangan, yaitu PSK tidak langsung (cewek kafe, cewek pub,
cewek disko, ‘ayam kampus’, ABG, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi
seks, dll.) di Kota Tangerang atau di luar Kota Tangerang.
Jika memakai
kosa kata komprehensif, maka itu artinya Sachrudin harus menutup empat “keran”
di atas.
Adalah
mustahil bagi Sachrudin untuk menutup empt kran di atas karena tidak ada
mekanisme atau teknologi yang bisa memantai perilaku laki-laki dan perempuan
pada empat keran di atas.
Selain empat
keran di atas, ada pula satu persoalan yang sangat pelik yaitu penduduk Kota
Tangerang yang sudah mengidap HIV/AIDS dan tidak terdeteksi akan menyebarkan
HIV/AIDS secara horizontal antar penduduk al. melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah.
Hal itu
terjadi karena penduduk Kota Tangerang yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak
terdeteksi tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada
tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik mereka. Maka,
penyebaran HIV/AIDS pun terjadi tanpa disadari oleh banyak orang.
Soal jumlah
penduduk Kota Tangerang yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi merupakanh
refleksi dari fenomena gunung es, yaitu kasus yang terdeteksi () digambarkan
sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan
kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah
permukaan air laut.
Maka, ada
dua hal yang harus dikerjakan Sachrudin secara simultan, yaitu menutup empat keran
dan mendeteksi penduduk yang mengidap HIV/AIDS.
Itu artinya
mustahil karena karan nomor (1), (2) dan (4) tidak bisa dideteksi. Di Prov
Papua pernah ada wacana menanam chip di penis laki-laki agar pergerakan mereka
bisa dipantau. Persoalannya adalah bagaimana membedakan sinyal jika seorang
laki-laki ngeseks dengan istrinya, pekerja seks komersial (PSK), selingkuhan,
ABG, dengan sesama laki-laki, dll.
Yang bisa dilakukan
hanya mengecilkan aliran kran nomor (3), tapi dengan syarat pelacuran harus
dilokalisir. Intervensi yang bisa dilakukan adalah menjalankan program ‘wajib
kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang ngeseks
dengan PSK.
Langkah
pertama adalah dengan meregulasi pelacuran yaitu dilokalisir. Germo atau
mucikari diberikan izin usaha yang akan menjadi pintu masuk untuk memberlakukan
sanksi hukum. Secara rutin, misalnya tiap hari Senin, dilakukan tes IMS
(infeksi menular seksual, kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis
B, jengger ayam, klamdia, dll.) terhadap PSK. Kalau ada PSK yang terdeteksi
mengidap IMS itu artinya ada laki-laki yang tidak memakai kondom ketika ngeseks
dengan PSK. Germo diberikan sanksi sesuai dengan yang sudah diatur, misalnya,
teguran, pencacutan izin usaha, denda sampai kurungan.
Sedangkan langkah
kedua adaslah mendeteksi penduduk Kota Tangerang yang mengidap HIV/AIDS, bisa
dilakukan melalui:
(a) Regulasi
dalam bentuk perda atau perwali yang mewajibkan semua pasien yang berobat di
sarana kesehatan pemerintah wajib menjalani tes HIV,
(b) Regulasi
dalam bentuk perda atau perwali yang mewajibkan semua pasien yang berobat
dengan BPJS di sarana kesehaan swasta yang iurannya dibayar pemerintah wajib
menjalan tes HIV, dan
(c) Regulasi
dalam bentuk perda atau perwali yang mewajibkan semua perempuan hamil dan
pasangan atau suaminya wajib menjalani konseling dan tes HIV.
Tiga
regulasi di atas bisa mendeteksi penduduk yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak
terdeteksi. Tiga regulasi di atas tidak melanggar hak asasi manusia (HAM)
karena ada pilihan jika tidak bersedia menjalani tes HIV.
Tanpa program
yang konkret, khusunya terhadap nomor (3), maka penyebaran HIV/AIDS di Kota
Tangerang akan terus terjadi yang kelak bermuara pada “ledakan AIDS”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.