Oleh
Syaiful W. Harahap – AIDS WatchIndonesia
“Wanita cantik dari negara-negara ini jadi
PSK di Indonesia.” Ini judul berita di merdeka.com
(8/12-2014). Disebutkan bahwa pelacur, disebut juga sebagai pekerja seks
komersial (PSK), dari negara-negara Maroko, Thailand, Tiongkok, Ukraina, dan Uzbekistan beroperasi sebagai ‘pemuas syahwat’ di banyak daerah.
Pelacur asal Maroko beroperasi di kawasan Puncak,
Bogor, Jawa Barat, dengan ‘mangsa’ warga asal kawasan Timur Tengah dan Afrika
Utara yang memang menjadi ‘turis syahwat’ sejak tahun 1980-an. Pelacur asal Maroko yang dijaring Kantor Imigrasi
Bogor berusia antara 20-30 tahun. Mereka menyewa sebuah vila. Dengan taris ‘sekali
tembak’ atau short time Rp 2 juta – Rp 5 juta pelacur asal Maroko ini mengincar
turis asal Timur Tengah dan Afrika Utara.
Menurut Dirjen
Imigrasi, Bambang Catur, keberadaan
PSK asal Maroko ini sulit dideteksi, karena mereka masuk dengan dokumen yang
resmi dan tinggal sebagai wisatawan yang membaur dengan warga asing lain yang
sedang mencari suaka. Pada Agustus 2014 tercatat 418 pencari suaka legal di Rudenim
Cisarua, sedangkan imigran ilegal sudah lebih dari 600 orang (poskotanews.com, 4/12-2014).
Sedangkan
pelacur asal Tiongkok, disegut cungkok,
‘mondok’ di hotel, khususnya di daerah Mangga Besar, Jakarta Barat serta di
Jakarta Utara. Baru-baru ini operasi pelacur asing menangkap 45 pelacur asal
Tiongkok. Dikabarkan pelacur cungkok yang
rata-rata berusia 17-25 tahun ini sangat pandai memuaskan pelanggannya dengan
layanan seks. Mereka umumnya berasal dari Fujian, sebuah daerah di pesisir
Tiongkok. Dengan tarif jutaan rupiah untuk ‘sekali tembak’ cungkok ini bisa mengumpulkan uang ratusan juta rupiahs setiap
bulan (kaskus.co.id, 7/8-2014).
Ada pula
pelacur asal Ukraina. Dikabarkan Mabes Polri mengangkap seorang perempuan
WN Ukraina ygn diduga menjadi ‘germo’ karena sudah ‘menjual’ sembilan perempuan
Ukraina berusia 18-20 tahun yang dijadikan sebagai pelacur.
Pelacur
asal Uzbekistan menyaru menjadi pemijat plus-plus. Mereka beroperasi di sebuah hotel di Jakarta Utara dengan tarif jutaan rupiah
untuk pijat sekaligus layanan seks.
Pelacur-pelacur dari manca negara itu
bisa saja sebagai mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Jakarta dan Puncak yang
selanjutnya ke seluruh pelosok Nusantara karena pelanggannya tentulah orang
berduit. Mereka itu adalah pengusaha, pegawai, aparat dan pejabat yang
mendapatkan gratifikasi seks.
Soalnya, di negara asal pelacur-pelacur itu kasus HIV/AIDS tinggi dan
prevalensi HIV (perbandingan antara yang mengidap HIV/AIDS dan tidak mengidap
HIV/AIDS) pada pelacur juga besar.
Itu artinya ada kemungkinan di antara ;pelacur-pelacur asing itu ada
yang mengidap HIV/AIDS sehingga mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS
melalui hubungan seksual dengan laki-laki dewasa penduduk Indonesia. Sedangkan
kasus pelacur Maroko yang ngeseks dengan laki-laki asal Timur Tengah dan
Afrka Utara, penyebaran HIV/AIDS terjadi jika laki-laki itu tertular HIV/AIDS
mereka menularkan ke penduduk lokal melalui ‘kawin kontrak’ dan nikah mut’ah
(nikah yang memenuhi rukun nikah tapi hanya untuk jangka waktu tertentu).
Bahkan, belakangan turis-turis berjenggot itu memilih ngeseks dengan PSK karena
lebih praktis karena tidak terikat dengan berbagai ‘aturan’ main di sana.
Dari Tabel dapat dilihat kasus HIV/AIDS dan prevalensi HIV/AIDS pada
pelacur di negara-negara tsb. Sedangkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yang
dilaporkan oleh Kemenkes RI sampai tanggal 30 September 2014 berjumlah 206.084 yang terdiri atas 150.285 HIV dan 55.799 AIDS dengan 9.796 kematian.
Celakanya, laki-laki ‘hidung belang’ tidak mau memakai kondom ketika ngeseks dengan pelacur-pelacur tsb.
dengan berbagai macam alasan, seperti merasa rugi karena tidak terjadi gesekan
penis dengan vagina dan air mani tidak tumpah di rahim pelacur, dll.
Maka,
risiko tertular HIV/AIDS pun kian besar. Kondisinya kian runyam karena
pelacur-pelacur itu meladeni semua laki-laki dari berbagai macam kebangsaan
yang juga datang dari negara-negara dengan kasus HIV/AIDS yang besar. Ini
artinya laki-laki dari negara-negara dengan kasus HIV/AIDS yang besar pun ada
kemungkinan sebagai pengidap HIV/AIDS sehingga mereka menjadi mata rantai
penyebaran HIV/AIDS di Indonesia, baik kepada istri pada ‘kawin kontrak’ dan
nikah mut’ah maupun ke pelacur yang beroperasi di kawasan wisata seks tsb.
Kondisi
di atas tidak bisa diintervensi untuk menjalankan program pemakaian kondom bagi
laki-laki ketika ngeseks dengan
pelacur-pelacur asing tsb. Maka, insiden infeksi HIV baru pun akan terus terjadi
yang pada gilirannya akan sampai pada “ledakan AIDS” (dari berbagai sumber). ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.