Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS WatchIndonesia
* Bisa
jadi PSK yang mengidap HIV/AIDS justru tertular dari laki-laki penduduk Papua
....
“Rumor Genosida di Papua Gara-gara Tingginya
Kasus AIDS.” Ini judul tulisan Kurator Kata,
Newsroom Blog
(id.berita.yahoo.com, 5/12-2014).
Judul berita
yang bertumpu pada premis ini menyesatkan jika dikaitkan dengan epidemi
HV/AIDS.
Pertama, genosida (KBBI:
pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras) dengan
penyakit bisa berjalan efektif jika penyakit, bakteri, kuman atau virus penyebab
penyakit tsb. bisa menimbulkan wabah (KBBI: penyakit menular yang berjangkit dengan cepat,
menyerang sejumlah besar orang di daerah yang luas, spt wabah cacar, disentri,
kolera).
HIV/AIDS
bukan wabah karena tidak bisa berjangkit dengan cepat karena cara penularannya
yang sangat khas. Selain itu HIV/AIDS tidak bisa menular melalui udara, air dan
pergaulan sosial sehari-hari.
Laporan Kasus Kumulatif
Dari aspek
medis probabiitas atau risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa
kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan orang yang mengidap HIV/AIDS adalah
1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali kemungkinan terjadi
penularan. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual ke
berapa terjadi penularan. Bisa yang pertama, kedua, ketujuh, kelima belas,
ketiga puluh, kesembilan puluh, bahkan bisa pada hubungan seksual yang
keseratus.
Terkait
dengan rumor genosida Papua yang disebutkan sebagai ‘agen’ adalah perempuan,
dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) yang mengidap HIV/AIDS. Ada
persoalan besar, PSK ‘agen genosida’ tsb. harus melakukan hubungan seksual 100
kali dengan laki-laki Papua ada ada risiko tertular HIV/AIDS. Bertolak dari
fakta medis itu, maka amatlah sulit bagi seorang ‘PSK agen genosida’ untuk melakukan 100 kali hubungan seksual
dengan laki-laki yang menjadi target. Tentu tidak mungkin laki-laki target itu
ngeseks tiap hari atau tiap malam dengan ‘PSK agen genosida’ karena banyak
faktor, al. biaya dan waktu. Kalaupun ‘PSK agen genosida’ itu menggratiskan
layanan seks, juga tidak mudah baginya untuk meminta seorang laki-laki Papua
agar ngeseks dengan dia sebanyak 100
kali.
Kedua, kematian pada orang-orang yang tertular HIV/AIDS
tidak terjadi cepat karena kematian pengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS.
Secara statistik masa AIDS terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.
Jika seseorang yang tertular HIV terdeteksi sebelum masa AIDS, maka ada obat
yang bisa menekan laju perkembangan HIV di dalam darah yaitu obat
antiretroviral (ARV) sehingga daya tahan tubuh pengidap HIV/AIDS tetap terjaga.
Ini membuat pengidap HIV/AIDS tidak mudah kena penyakit infeksi oportunistik
sehingga menghindarkannya dari kematian karena penyakit terkait AIDS.
Dua hal di
atas luput dari pengetahun yang menulis berita atau laporan yang mengaitkan
genosida dengan AIDS.
Lagi pula
tidak adil mengaitkan PSK sebagai ‘agen genosida’ karena tidak ada tes HIV
terhadap PSK yang masuk ke Papua sehingga bisa saja PSK yang kemudian
terdeteksi mengidap HIV/AIDS setelah buka “praktek” di Papua justru ditularkan
oleh laki-laki dewasa penduduk Papua.
Ketiga, angka
kasus HIV/AIDS yang dilaporkan bersifat kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah
kasus baru. Begitu seterusnya sehingga sampai kiamat pun angka kasus yang
dilaporkan tidak akan pernah turun biar pun semua pengidap HIV/AIDS meninggal
dunia.
Keempat,
daerah-daerah dengan jumlah kasus yang dilaporkan banyak terjadi karena, al.:
(1) Kegiatan sosalisasi dan penjangkauan ke masyarakat
sangat banyak sehingga banyak penduduk yang menjalani tes HIV,
(2) Sarana tes HIV banyak tersebar sehingga tes bisa
dilakukan di banyak tempat,
(3) Dokter sudah dilatih untuk menjalankan pemantauan
terhadap pasien-pasien dengan penyakit-penyakit yang terkait dengan HIV/AIDS
dengan hasil anjuran untuk tes HIV,
(4) Penyakit menular yang mematikan, seperti malaria, TB,
dll., jadi wabah di daerah-daerah tsb. sehingga penduduk yang mengidap HIV/AIDS
mudah tertular yang akhirnya membawa mereka ke rumah sakit untuk berobat, dan
(5) Pengetahuan masyarakat terhadap HIV/AIDS sudah baik
sehingga mereka bisa menimbang-nimbang perilaku mereka yang akhirnya mendorong
mereka untuk menjalani tes HIV.
Maka,
daerah-daerah dengan angka laporan kasus HIV/AIDS yang rendah tidak menjami
bahwa di daerah itu tidak ada penduduk yang mengidap HIV/AIDS. Ini bisa terjadi
karena lima faktor di atas tidak jalan di daerah tsb. Maka, kasus-kasus
HIV/AIDS yang tidak terdeteksi menjadi ‘bom wakut’ ledakan AIDS karena penduduk
yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi akan menyebarkan HIV/AIDS di
masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah, tanpa mereka sadari.
Pernyataan Provokasi
Laporan Ditjen PP & PL, Kemenkes
RI, tanggal 18 November 2014 menyebutkan
jumlah kasus kumulatif di Papua adalah 26.235 yang terdiri atas 16.051 HIV dan 10.184
AIDS. Jumlah ini menempatkan Papua pada peringkat ke-3 secara nasional di bawah
DKI Jakarta (40.259) dan Jawa Timur (28.225).
Sedangkan
peringkat berdasarkan kasus AIDS, Papua berada para peringkat ke-1 secara
nasional dengan 10.184 kasus. Itu artinya masa AIDS pada penduduk Papua yang
tertular HIV lebih cepat dari penduduk di daerah lain, al. karena faktor
kesehatan, wabah penyakit menular, higienis, dll.
Disebutkan: “Saking
tingginya angka di Papua, banyak penduduk pulau itu yang percaya tengah terjadi
genosida yang sistematis dengan sengaja menginfeksi orang Papua dengan penyakit
mematikan.”
Pernyataan
ini provokasi karena menyebarkan HIV/AIDS tidak mudah dan HIV/AIDS bukan penyakit
yang mematikan. Kematian pada pengidap atau penderita HIV/AIDS terjadi karena
infeksi oportunistik yaitu penyakit-penyakit yang menyerang di masa AIDS,
seperti diare, TB dan malaria.
Disebutkan pula bahwa “ .... seorang perempuan pekerja seks meninggal di RSUD
Merauke pada April 1994, kehebohan terjadi karena itu pertama kalinya ditemukan
kasus kematian akibat AIDS di Papua.”
Kalau saja
wartawan atau penulis yang menulis kasus ini memahami epidemi HIV/AIDS, maka
ybs. harus menjelaskan:
(a) Apa penyakit yag menyebabkan pekerja seks itu
meninggal?,
(b) Apakah pekerja seks itu menjalani tes HIV ketika
pertama kali dia tiba di Merauke?,
(c) Berapa lama dia “praktek” di Merauke ketika meninggal
di rumah sakit?, dan
(d) Kapan pekerja seks itu terdeteksi mengidap HIV/AIDS?
Terkait
dengan (b), jika pekerja seks itu tidak menjalani tes HIV ketika tiba di
Merauke, maka bisa saja dia tertular HIV di Merauke. Yang menularkan bisa penduduk
setempat atau pendatang (Epidemi HIV di Irian Jaya*).
Nah,
lagi-lagi wartawan atau penulis kisah itu tidak membawa fakta tadi, kematian
seorang pekerja seks pengidap HIV/AIDS, ke realitas sosial yaitu penyebaran HIV/AIDS.
Ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu:
-
Pekerja seks
itu sudah mengidap HIV/AIDS ketika tiba di Merauke. Jika ini yang terjadi, maka
sudah ratusan bahkan ribuan orang Merauke dan pendatang yang ngeseks tanpa kondom dengan pekerja seks
itu. Mereka ini berisiko tinggi tertular
HIV. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari pekerja seks yang mengidap HIV/AIDS
menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah secara horizonal. Yang punya
istri menularkan HIV ke istrinya, yang lain menularkan HIV ke pasangannya atau
pekerja seks lain.
-
Pekerja seks
itu tertular HIV/AIDS di Merauke. Jika
ini yang terjadi, maka ada satu atau beberapa laki-laki peduduk Merauke atau
pendatang yang menularkan HIV/AIDS ke pekerja seks tsb. Selanjutnya sudah
ratusan bahkan ribuan orang Merauke dan pendatang yang ngeseks tanpa kondom dengan pekerja seks ini Mereka ini berisiko tinggi tertular HIV.
Laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari pekerja seks yang mengidap HIV/AIDS
menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah secara horizonal. Yang punya
istri menularkan HIV ke istrinya, yang lain menularkan HIV ke pasangannya atau
pekerja seks lain.
Disebutkan pula bahwa penduduk lokal sudah mengetahui ada dua pekerja seks
terjangkit HIV/AIDS di Merauke.
Lho, ini ‘kan
jadi aneh. Sudah tahu pekerja seks mengidap HIV/AIDS mengapa ada laki-laki
penduduk Merauke yang ngeseks tanpa
kondom dengan pekerja seks ini?
Biar pun
sepuluh, seratus atau seribu pekerja seks pengidap HIV/AIDS ada di satu daerah,
maka tidak akan pernah terjadi penyebaran HIV/AIDS kalau laki-laki penduduk
setempat tidak ngeseks tanpa kondom
dengan pekerja seks pengidap HIV/AIDS.
Disebutkan pula ada dua nelayan Thailand di Merauke yang juga mengidap HIV/AIDS. Selama tidak terjadi kontak seks yaitu hubungan seksual dengan dua nelayan Thailand itu, maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV/AIDS dari dua nelayan Thailand tsb. ke penduduk Merauke.
Disebutkan pula ada dua nelayan Thailand di Merauke yang juga mengidap HIV/AIDS. Selama tidak terjadi kontak seks yaitu hubungan seksual dengan dua nelayan Thailand itu, maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV/AIDS dari dua nelayan Thailand tsb. ke penduduk Merauke.
HIV Tidak Menyebar
Disebutkan
lagi bahwa pada bulan Maret 1995 terdeteksi kasus HIV/AIDS pertama pada ibu
rumah tangga di Merauke.
Lagi-lagi
wartawan atau penulis yang berkisah tentang genosida ini tidak melihat fakta di
balik data itu. Itu artinya suami ibu rumah tangga tsb. pernah atau sering ngeseks tanpa kondom dengan pekerja
seks.
Ini juga dalam berita “Dari pusat kota Merauke, perlahan virus itu menyebar ke
kampung-kampung di sekitarnya. Pada 2008 tercatat pengidap HIV/AIDS di daerah itu
sudah lebih dari 900 kasus.”
HIV/AIDS
tidak bisa menyebar karena virus ini tidak ada di alam bebas, seperti di udara
dan air. HIV sebagai virus ada di dalam tubuh orang yang mengidap HIV/AIDS
yakni di dalam darah.
Ini pernyataan Theresia Essy Samkakai, aktivis hak asasi manusia Papua: “Penanggulangan
AIDS tidak gencar dilakukan pemerintah pada saat pertama kali muncul pada 1992.
Akibatnya muncul isu AIDS sebagai genosida.”
Sampai
sekarang pun penanggulangan HIV/AIDS yang dijalankan pemerintah tidak
komprehensif karena hanya bertumpu di hilir, seperti tes HIV, pemberian obat,
dll. Itu artinya pemerintah membiarkan dulu ada penduduk yang tertular HIV baru
ditangani.
Pemkab
Merauke sudah membuat peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS, tapi perda
ini tidak menukik ke akar persoalan. Yang ‘ditempak’ perda ini adalah pelacur
asal Pulau Jawa dengan memenjarakan mereka jika terdeteksi mengidap sifilis
atau kencing nanah (Tindakan KPA Merauke Menyesatkan).
Cara itu
jelas tidak ada gunanya karena:
(A) Laki-laki
yang menularkan sifilis atau kencing nanah ke pekerja seks justru menjadi mata
rantai penyebaran sifilis dan kencing nanah di masyarakat al. melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, dan
(B) Penularan
sifilis dan kencing nanah persis sama dengan penularan HIV/AIDS. Maka, kalau
pekerja seks yang terdeteksi mengidap sifilis atau kencing nanah juga mengidap
HIV/AIDS, ada kemungkinan sekaligus juga terjadi penularan HIV/AIDS. Laki-laki
yang tertular HIV/AIDS dari pekerja seks itu pun jadi mata rantai penyebaran
HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan
di luar nikah (PerdaAIDS Kab Merauke: Laki-laki Tidak Pakai Kondom ‘Lolos’ dari Sanksi Pidana).
Menurut Mama
Essy, masalahnya adalah semua program memerangi HIV/AIDS di Papua ini butuh
dana. Dana dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah seret, yang ada justru
bantuan dari donor asing.
Memerangi
penyebaran HIV/AIDS tidak butuh dana (yang besar) karena kuncinya ada pada
laki-laki dan regulasi. Yang perlu diingat adalah tidak mungkin menghentikan
penyebaran HIV/AIDS. Yang bisa dilakukan secara konkret dengan hasil yang
terukur hanyalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui
hubungan seksual dengan PSK. Kita bisa melihat keberhasilan Thailand yaitu
melalui program “wajib kondom 100 persen” bagi laki-laki yang ngeseks dengan PSK.
Program ini
bisa jalan kalau pelacuran dilokalisir dengan regulasi sehingga germo atau
mucikari memegang izin usaha. Melalui izin usaha inilah pemerintah bisa masuk
untuk menjatuhkan sanksi hukum yaitu mulai dari teguran, pencabutan izin usaha
sampai kurungan bagi germo yang melawan regulasi bukan terhadap PSK seperti
yang terjadi di Merauke.
Secara rutin
PSK menjalani tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, kencing nanah,
virus hepatitis B, klamidia, dll.). Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS,
maka germo diberikan sanksi karena membiarkan ada laki-lagi yang ngeseks tanpa kondom dengan PSK.
Celakanya, di Merauke yang diberikan sanksi kurungan justru PSK. Seorang PSK
dikurung ada puluhan bahkan ratusan PSK yang berlomba mengisi ‘posisi’ PSK yang
dibui itu (PerdaAIDS Merauke (Hanya) ‘Menembak’ PSK).
Untuk
melakukan genosida dengan penyakit, maka yang dipakai adalah penyakit-penyakit
yang cepat menular, mematikan dan sulit dicegah. Penyebarannya al. memakai
media air dan udara serta hewan. Ini disebut wabah. Seperti diare, disenrti,
tipus, TB, demam berdarah, flu burung, malaria, dll. bukan HIV/AIDS. ***
Requesting for remedy is not really your first move you should do when you go to a good louis vuitton outlet uk. Your first move you ought to talk to an individual's mental health expert is certainly help designing a favorable views together with during limiting an individual's depressive atmosphere ups and downs. Despair may be a major diseases. It all results in developmental together with intellectual meltdown, and this will result to louis vuitton replica uk whenever placed untreated. Despair has to be clinically diagnosed without delay. Isn't a disorder that could be straightforward solution; however , a good depressive man must always take into account: no company is certainly on their own worldwide. If you already are located an exceedingly discreet together with unhappy daily life, there’s one man these days what person cares for you. You’re an intense man. You’re not alone. Don’t now let all by yourself suffer a loss of any conflict. Don’t now let louis vuitton replica uk secure. Always keep those you love close to you and that you will truly feel invincible. It is a fact the fact that some folks happen to be fortunate the natural way to make a good brilliantly poised general population speech and toast. Yet, the is not going to means that other individuals is unable to grant these types of speeches these basically contain a fear of turn out to be. What precisely they desire is certainly investigation together with perform that they are superior general population audio systems. Yet, despite the fact that to do so, often times there are ways to chanel replica as the turn out to be recommendation. For anybody who is a student troubled to review to your serious experiment, chances are you'll more or less without delay find that you will will need the aid of sure stategies to come up with an individual's investigation daily life significantly less chanel replica. Numerous trainees of the grows older benefit from figuring out remembrance activities.
BalasHapus