Oleh
Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia
“Perangi HIV/AIDS, Vidi Aldiano
Harap Pemerintah Lebih Optimal.” Ini judul berita di kapanlagi.com (15/11-2014).
Judul berita ini mengabaikan peranan orang per orang dalam menanggulangi
penyebaran HIV/AIDS.
Pemerintah sendiri kalang-kabut karena penolakan yang sangat keras dari
beberapa kalangan terkait dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS melalui hubungan
seksual berisiko dengan pemakaian kondom.
Selain itu pelacuran yang tidak dilokalisir pun menjadi persoalan besar
dalam penanggulangan HIV/AIDS karena pemerintah tidak bisa melakukan intervensi
kepada laki-laki yang melacur dengan pekerja seks komersial (PSK) karena
pelacuran terjadi terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Maka, langkah yang perlu digalakkan sekarang bukan lagi “menyerang”
pemerintah, tapi megajak setiap orang, khususnya terkait seks, agar tidak
melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu:
(1) Laki-laki dewasa tidak melakjukan hubungan seksual tanpa kondom, di
dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti,
(2) Perempuan dewasa tidak melakjukan hubungan seksual tanpa kondom, di
dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi
laki-laki tidak memakai kondom,
(3) Laki-laki dewasa tidak melakjukan hubungan seksual tanpa kondom dengan
perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langung (PSK yang
kasat mata seperti PSK di lokalisasi atau lokasi pelacuran dan di jalanan)
serta PSK tidak langsung (PSK berupa cewek panggilan, cewek pub, cewek disko,
cewek kafe, cewek pemijat, ‘ayam kampus’, ABG, ibu-ibu, dll.),
Bagaimana seorang Vidi Aldiano bisa mengharapkan pemerintah melakukan penanggulangan pada
tiga hal di atas?
Tentu saja tidak bisa karena: (1) dan (2) tidak bisa diawasi, sedangkan (3)
juga tidak bisa diawasi karena pelacuran tidak dilokalisir.
Ada pernyataan “Kasus penanganan HIV AIDS adalah salah satu masalah serius
yang sampai saat ini menghantui para generasi muda di Indonesia dan seluruh
dunia.”
Tidak jelas apakah pernyataan itu dari Vidi Aldiano atau kesimpulan
wartawan. Tapi, yang jelas pernyataan tsb. tidak akurat karena yang menjadi
mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat sekarang adalah suami yaitu
laki-laki dewasa yang bisa dibuktikan pada istri yang kian banyak terdeteksi
mengidap HIV/AIDS.
Remaja banyak terdeteksi mengidap HIV/AIDS terjadi karena remaja
penyalahgguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarun suntik
secara bersama-sama dengan bergantian wajib tes HIV ketika hendak rehabilitasi.
Sedangkan laki-laki dewasa yang sering melakukan hubungan seksual berisiko,
seperti pada kasus nomor (1) dan (3) di atas, tidak diwajibkan tes HIV. Bahkan,
ketika istri mereka terdeteksi mengidap HIV/AIDS ada di antara suami-suami itu
yang justru menuduh istrinya selingkuh. Mereka pun menolak tes HIV. Inilah al.
sebabnya kasus HIV/AIDS pada laki-laki dewasa lebih sedikit jika dibandingkan
dengan remaja, khususnya penyalahguna narkoba.
Disebutkan pula “Oleh sebab itu, pemerintah kita terus mengupayakan
berbagai macam cara guna menekan jumlah penyebaran penyakit ini.”
Adalah mustahil pemerintah bisa menekan insiden infeksi HIV baru, terutama
pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual, karena pelacuran tidak
dilokalisir.
Persoalan
HIV/AIDS kian runyam karena gaung penangulangan hanya bergema pada Hari AIDS
Sedunia tiap tanggal 1 Desember dan pada Malam Renungan AIDS di bulan Maret.
Disebutkan “Kali
ini Vidi Aldiano juga
ikut mengkampanyekan pentingnya untuk saling peduli dan berbagi kepada para
ODHA. Hal ini diupayakan, agar mereka dapat terus survive dalam
menghadapi virus HIV/AIDS ini.”
Itu artinya Vidi Aldiano melakukan langkah di hilir yaitu
dengan membiarkan orang tertular HIV/AIDS dahulu baru ada kegiatan peduli
terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Saat ditanya oleh KapanLagi.com® tentang bagaimana peran pemerintah saat ini, Vidi Aldiano menyatakan programnya sudah berjalan, tapi masih
kurang optimal: "Ini merupakan penyakit yang amat sangat serius. Dan
ternyata, informasinya pun belum bisa begitu tersebar dengan baik.”
Vidi Aldiano sendiri menyampaikan informasi
yang tidak akurat yaitu “penyakit yang amat sangat serius”. HIV adalah
virus sedangkan AIDS bukan penyakit tapi kondisi seseorang yang sudah tertular
HIV yang secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.
Yang serius bukan
HIV atau AIDS, tapi perilaku banyak orang yang tidak menerapkan seks aman [selalu
memakai kondom pada hubungan seksual yang berisiko yaitu pada nomor (1), (2)
dan (3) di atas].
Di bagian lain Vidi Aldiano mengatakan akses pelayanan
bagi para ODHA juga masih sulit untuk dijangkau: "Orang-orang yang sudah
mengidap HIV/AIDS, untuk mendapatkan obatnya segala macem aksesnya juga masih
susah."
Astaga, ini orang koq asal ngomong. Akses pelayanan dan
obat (obat antiretroviral/ARV) sudah tersebar secara luas mulai dari puskesmas
sampai rumah sakit.
Yang menjadi
persoalan besar adalah banyak orang yang tidak menyadari perilaku seksualnya
berisiko tertular HIV/AIDS karena termakan mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, dalam informasi
HIV/AIDS selalu disebutkan bahwa penularan HIV/AIDS terjadi melalui PSK di
lokasi pelacuran. Maka, banyak orang yang melakukan hubungan seksual berisiko
yaitu dilakukan di luar lokalisasi, seperti di hotel berbintang, spa, dll.
dengan perempuan yang bukan PSK langsung.
Nah, kalau Vidi Aldiano ingin berbuat banyak, ajak dan doronglah
setiap orang agar tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.