Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia
“Magelang: Jumlah Kasus HIV/AIDS Naik.” Ini judul berita di “Radar Jogja” (23/11-2014). Judul
berita ini menunjukkan pemahaman yang sangat rendah terhadap cara
pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia. Dilaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di
Kota Magelang 58.
Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia
dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu
seterusnya sehingga sampai kapan pun jumlah kasus yang dilaporkan tidak akan
pernah turun biar pun semua pengidap HIV/AIDS yang dilaporkan mati.
Yang perlu dipehatikan adalah jumlah kasus
baru yang ditemukan, al: (a) Bagaimana kasus baru ditemukan?, (b) Pada tahap
mana kasus-kasus baru itu ditemukan?, dan (c) Pada siapa kasus-kasus baru itu
ditemukan?
Jawaban dari tiga pertanyaan di ataslah
yang layak jadi berita karena akan menggambarkan epidemi HIV/AIDS di Kota
Magelang.
Jika kasus ditemukan karena ybs. sakit itu
artinya penyuluhan ke masyarakat sangat jarang sehingga pengidap HIV/AIDS baru
terdeteksi di rumah sakit karena kecurigaan dokter terkait dengan penyakit yang
mereka derita dan perilaku seksual mereka.
Kalau kasus HIV/AIDS ditemukan pada masa
AIDS, itu artinya pengidap HIV/AIDS sudah tertular HIV antara 5-15 tahun
sebelumnya. Maka, pada rentang waktu itu pengidap HIV/AIDS tsb. sudah
menularkan HIV kepada orang lain, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah. Penyebaran HIV/AIDS terjadi tanpa disadari oleh
pengidap HIV/AIDS.
Kalau kasus ditemukan pada pekerja seks
komersial (PSK) itu artinya sudah banyak laki-laki yang berisiko tertular HIV,
yaitu laki-laki yang ngeseks dengan
PSK tanpa memakai kondom. Seorang PSK meladeni tiga laki-laki tiap malam, maka
jika PSK itu terdeteksi pada masa AIDS itu artinya sudah ada 3.600 – 10.800 laki-laki
yang berisiko tertular HIV/AIDS [1 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x (5
tahun atau 15 tahun)].
Kalau kasus HIV/AIDS terdeteksi pada
perempuan hamil itu artinya mereka tertular HIV dari suami atau pasangan. Maka,
diperlukan konseling pasangan agar suami atau pasnagan mereka mau tes HIV.
Selain itu program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya pun harus
dijalankan agar bayi-bayi yang lahir tidak mengidap HIV/AIDS.
Maka, jumlah kasus yang dilaporkan (58)
tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat karena penyebaran
HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan (58)
digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas pemukaan air laut,
sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan es di bawah
permukaan air laut.
Disebutkan bahwa Staf Bidang PPPL
(Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan), Dinkes Pemkot Magelang,
Syafaat Wahyudi, Dinkes melakukan sosialisasi bahaya penyakit HIV/AIDS ke
masyarakat di berbagai sektor, al. sektor usaha perhotelan.
Yang diperlukan bukan sosialiasi,
tapi intervensi melalui regulasi yaitu program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi
laki-laki yang ngeseks dengan PSK di
penginapan, losmen, hotel melati sampai hotel berbintang.
Tanpa ada intervensi, maka praktek
pelacuran yang terjadi di di penginapan, losmen, hotel melati sampai hotel
berbintang akan mendorong insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa yaitu
yang ngeseks tanpa kondom dengan PSK.
Disebutkan pula bahwa Syafaat
mengajak para pengusaha dan pengelola hotel dan restoran untuk memeriksakan
para karyawannya. Pernyataan Syafaat ini menohok pengelola hotel dan restoran
karena itu artinya karyawan hotel dan restoran melakukan hubungan seksual
dengan tamu.
Disebutkan lagi “Pemeriksaan
tersebut se-kaligus untuk mecegah penyebaran virus ini.” Yang jelas orang-orang
yang diperiksa jika terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu artinya mereka sudah tertular.
Pemeriksaan adalah program di hilir. Pemkot Magelang membiarkan warganya
tertular HIV dulu baru diperiksa.
Ketua PHRI Kota Magelang, Edi
Hamdani, disebutkan menyambut baik sosialisasi karena menambah pengetahuan para pengelola hotel
tentang cara penyebaran HIV/AIDS dan siapa saja yang berisiko tertular.
Pertanyaan untuk
Edi: Apa yang akan dilakukan pengelola penginapan, losmen, hotel melati sampai hotel
berbintang untuk mencegah agar tidak terjadi
insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang ngeseks dengan PSK?
Atau Edi menepuk
dada: Tidak ada pelacuran di penginapan, losmen, hotel melati sampai hotel berbintang!
Ya, syukurlah.
Tapi, mengapa Syafaat melakukan
sosialisasi HIV/AIDS ke pengelola penginapan, losmen, hotel melati sampai hotel
berbintang? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.