Oleh
Syaiful W. Harahap - AIDS Watch Indonesia
"Karena
berdasarkan data WHO, setiap ditemukan 1 kasus HIV/AIDS, estimasi keadaan di
lingkungan sekitarnya sekitar 100 kasus." Ini disebutkan oleh Sekretaris
KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Sumut Rahmatsyah (medanbisnis.com,
24/10-2014).
Penulis
mewawancarai Prof Dr Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM, yang dikenal sebagai dokter
yang menangani HIV/AIDS sejak awal epidemi tentang 'rumus' WHO itu. Hasil
wawancara dengan Prof Beri, panggilan akrabnya, adalah:
Pertama, 'rumus' tsb. bukan
untuk menentukan jumlah kasus ril HIV/AIDS di masyarakat.
Kedua, 'rumus' tsb. dipakai
untuk keperluan epidemilogis, misalnya untuk merancang program penanggulangan,
penyediaan obat, rumah sakit, dll.
Ketiga, 'rumus' tsb
bisa dijadikan acuan untuk poin kedua jika: tingkat pelacuran tinggi, pemakaian
kondom rendah, tingkat kesehatan masyarakat rendah, dll.
Lebih
lanjut Prof Beri mengatakan bahwa 'rumus' itu bisa dipakai di Afrika karena
memenuhi kondisi kedua yaitu pelacuran tinggi, pemaian kondom rendah dan tingkat
kesehatan masyarakat pun ssangat rendah
Kalau
KPA Sumut memakai rumus itu, maka pelacuran dan AIDS di Sumut sama kondisinya
dengan di Afrika. Celakanya, Pemprov Sumut tidak mempunyai program yang konkret
untuk menanggulangi HIV/AIDS.
Dalam berita
Rahmat mengatakan: “ .... estimasi penemuan kasus HIV/AIDS di Sumut merupakan
peringkat 10 besar di Indonesia. Karenanya, dalam menurunkan rantai penularan
HIV/AIDS, penyeragaman informasi harus dilakukan, termasuk dalam pendataan.”
Tidak
ada kaitan langsung antara mata rantai penyebaran HIV/AIDS dengan penyeragaman
informasi. Memutus atau menurunkan mata rantai penyebaran HIV/AIDS bisa
dilakukan melalui program konkret berupa intervensi terhadap laki-laki yang
ngeseks dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu intervensi melalui
regulasi berupa program ‘wajib kondom 100 persen’.
Namun,
program ‘wajib kondom 100 persen’ hanya bisa dijalankan secara efektif kalau
pelacuran dilokalisir dengan regulasi sehingga kegiatan di lokalisasi pelacuran
terikat dengan hukum. Regulasi diperlukan karena germo atau mucikari akan
diberikan izin usaha sebagai bagian dari ikatan hukum. Germo wajib memaksa
laki-laki yang ngeseks pakai kondom.
Secara
rutin PSK menjalani survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO,
sifilis, virus hepatitis B, dll.). Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS
itu artinya ada laki-laki yang ngeseks dengan PSK tanpa kondom. Germo diberikan
sanksi hukum mulai dari peringatan, pencabutan izin usaha, sampai denda dan
kurungan.
Yang
dikhawatirkan KPA Sumut menepuk dada dan mengatakan: Di Sumut tidak ada
pelacuran!
Secara
de jure itu benar karena semua
lokalisasi yang di era Orba disebut sebagai pusat rehabilitasi dan
resosialisasi PSK dengan membekali mereka dengan keterampilan sudah ditutup.
Tapi,
secara de facto di Sumut dan semua
daerah di Indoensia praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang
waktu. Karena pelacuran ini tidak dilokalisir dengan regulasi, maka program
penanggulangan pun tidak bisa dilakukan.
Itu
artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi pada laki-laki dewasa
melalui hubungan seksual dengan PSK. Pada gilirannya laki-laki yang tertular
HIV akan menularkan HIV ke pasangannya, seperti istri, pacar, selingkuhan dan
PSK lain.
Kasus-kasus
HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga membuktikan suami mereka
melakukan hubungan seksual berisiko, al. dengan PSK.
Jika
Pemprov Sumut tidak mempunyai program penanggulann yang konkret, maka
penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermura pada “ledakan AIDS”.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.