Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch
Indonesia
* Persoalan bukan pada dua cewek
AIDS itu, tapi ada pada laki-laki dewasa penduduk Karangasem ....
“Dua Wanita
Pengidap HIV/AIDS Resahkan Warga.” Ini judul berita di Pos Bali (22/10-2014) tentang isu yang beredar di Kabupaten
Karangasem, Bali. Diisukan ada dua cewek cantik kakak-adik, berumur 20-an
tahun, yang menyebarkan HIV/AIDS. Kasus HIV/AIDS di Kab Karangasem dilaporkan 363 (tribunnews.com. 11/10-2014).
Terkait
dengan judul berita di atas, ada beberapa hal yang luput dari perhatian, yaitu:
(1)
Bagaimana masyarakat mengetahui dua wanita tsb. mengidap HIV/AIDS? Jika status
HIV kedua wanita itu diketahui masyarakat, maka ada yang salah yaitu ada pihak
atau orang yang membeberkan status HIV mereka. Bisa juga mereka sendiri yang
membuka status HIV mereka.
Kalau benar
identitas mereka disebarkan sebagai pengidap HIV/AIDS, maka sudah terjadi
perbuatan melawan hukum. Jika yang mereka lakukan itu sebagai bagian dari “balas
dendam” karena perlakuan masyarakat terhadap mereka, seperti stigmatisasi
(pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda), maka ada yang salah
dengan konseling sebelum dan sesudah tes HIV.
Bisa juga mereka tes HIV tanpa konseling, misalnya di laboratorium yang
tidak masuk jaringan Klinik VCT yang dibina pemerintah.
Jika
seseorang terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV dengan standar prosedur
operasi tes HIV yang baku, maka tidak akan pernah terjadi “balas dendam” karena
pada konseling sebelum tes mereka sudah diyakinkan agar tidak menularkan HIV ke
orang lain dan mereka juga memberikan pernyataan bahwa penularan HIV berhenti
sampai pada mereka (yang menjalani tes HIV).
(2) Kalau
pun status HIV dua wanita itu diketahui, mengapa disebutkan meresahkan warga?
Soalnya, penularan HIV/AIDS tidak bisa melalui pergaulan sehari-hari, seperti
berbicara, bersalaman, duduk bersama, minum dan makan bersama, bermain bersama,
dll.
Jika dua
cewek AIDS itu tetap dianggap meresahkan itu artinya ada laki-laki di
Karangasem yang gemar melakukan hubungan seksual dengan dua cewek itu. Risiko
tertular HIV besar kalau laki-laki tidak memakai kondom.
Disebutkan
dalam berita: “Pasalnya menurut informasi yang beredar, dua orang cewek
kakak-adik tersebut terus berkeliaran mencari mangsa menyebarkan virusnya ke
orang lain.”
Untuk
menyebarkan HIV/AIDS ke orang lain, maka dua cewek itu harus melakukan hubungan
seksual tanpa kondom dengan laki-laki. Nah, kalau ini yang terjadi, maka
persoalan bukan pada dua cewek pengidap HIV/AIDS itu tapi ada pada laki-laki
dewasa penduduk Karangasem. Sudah ada informasi bahwa ada dua cewek cantik
pengidap HIV/AIDS yang menawarkan jasa seks, mengapa laki-laki tetap mau
melakukan hubungan seksual dengan cewek-cewek itu.
Disebutlan
lagi: “Diduga telah lebih dari 30 orang yang menjadi korban dari kedua
pengidap penyakit yang mematikan itu.”
Probabilitas
(kemungkinan) tertular HIV/AIDS dari seorang pengidap HIV/AIDS melalui hubungan
seksual, di dalam dan di luar nikah, ke orang lain adalah 1:100. Artinya, dalam
100 kali hubungan seksual ada 1 kali terjadi penularan HIV. Masalahnya adalah
tidak bisa diketahui pada hubungan seksual ke berapa terjadi penularan HIV. Bisa
yang pertama, kedua, kelima, ketujuh puluh, kesembilan puluh, dst. Artinya,
setiap hubungan seksual tanpa kondom dengan pengidap HIV/AIDS selalu ada risiko
tertular HIV.
Ada lagi
pernyataan dalam berita: “Dari beberapa broadcast melalui
Blacbery beredar isu bahwa cewek yang bersangkutan sempat mandi di salah satu
tempat wisata air di karangasem dan dengan sengaja melukai dirinya agar
darahnya tersebar di air. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk menularkan
virus HIV AIDS ke banyak orang.”
Penyabaran
HIV/AIDS tidak bisa dilakukan melalui air karena HIV hanya bisa hidup di sel
darah putih manusia. Di luar tubuh mansuai, kecuali di laboratorium, HIV akan segera mati.
Menurut, I
Made Sukerana, Ketua KPAD (Komisi Pemberantasan AIDS Daerah) Karangasem, “ ....
ternyata yang sempat memakai cewek tersebut adalah kebanyakan anak-anak muda
geng motor yang sering nongkrong malam-malam di pinggir jalan raya.”
Tentu saja
itu berita buruk karena anak-anak muda geng motor itu berisiko tertular
HIV/AIDS. Jika ada di antara mereka yang tertular itu artinya mereka akan
menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan
seksual dan jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan
berbahaya).
Di bagian
lain disebutkan pula bahwa Kadis Kesehatan Karangasem, IGM Tirtayana, mengatakan,
pasca isu penyebaran HIV/AIDS yang beredar di masayarakat ternyata banyak warga
yang telah melakukan tes VCT untuk mengetahui kondisi tubuhnya.
Jika kondisi
di atas terjadi itu artinya banyak laki-laki penduduk Karangasem yang perilaku
seksnya berisiko tertular HIV/AIDS yaitu sering melakukan hubungan seksual
tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti,
serta dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja
seks komersial (PSK) dan dua cewek tadi.
Maka, yang
perlu dilakukan Pemkab Karangasem, Bali, adalah melakukan intervensi melalui
regulasi untuk memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan
seksual dengan PSK langsung yaitu PSK yang ada di lokasi pelacuran, kafe, pub,
diskotek, dll.
Jika Pemkab
Karangasem tidak melakukan intervensi, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus
terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.