Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS WatchIndonesia
“4 Warga Kuningan Tewas Terjangkit HIV/AIDS.”
Ini judul berita di kompas.com (24/9-2014).
Judul berita
ini benar-benar menyesatkan dan menimbulkan kepanikan yang pada gilirannya
mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha
(Orang dengan HIV/AIDS) atau pengidap HIV/AIDS.
Pernyataan
di judul berita tsb. dikatakan menyesatkan karena kematian pada pengidap
HIV/AIDS atau Odha bukan karena HIV/AIDS, tapi karena penyakit-penyakit yang
muncul di masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll.
Secara
statistik masa AIDS muncul pada pengidap HIV/AIDS antara 5-15 tahun setelah
tertular HIV. Pada masa AIDS kekebalan tubuh pengidap HIV/AIDS sangat rendah
sehingga rentan tertular berbagai macam penyakit. Karena kekebalan rendah, maka
penyakit-penyakit yang masuk di masa AIDS sangat potensial sebagai penyebab
kematian.
Di
lead berita disebutkan: “Sebanyak empat warga di Kabupaten Kuningan, Jawa
Barat, meninggal dunia akibat terjangkit virus mematikan, Human Immunodeficiency Virus
Infection / Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS). Mereka meninggal dunia
dalam waktu yang berdekatan, pada pertengahan Agustus hingga awal September
2014.”
Menyebutkan HIV/AIDS sebagai “virus mematikan” adalah
kesalahan besar karena sampai hari ini belum ada laporan kematian pengidap
HIV/AIDS karena terjangkit atau diserang HIV atau AIDS. Yang mematikan pada
pengidap HIV/AIDS bukan virus HIV atau AIDS, tapi penyakit-penyakit yang
disebut infeksi oportunistik.
Keterangan Kepala Pengelola Program, Komisi Penanggulangan
HIV/AIDS (KPA), Kabupaten Kuningan, Asep Susan Sonjaya, menyebutkan tiga korban
merupakan pecinta sesama jenis, sedangkan satu lainya berstatus waria.
Untuk apa menyebut ‘pecinta
sesama jenis’ karena secara terminologi mereka dikenal sebagai laki-laki gay
yaitu orientasi seks dengan homoseksual.
Dalam berita disebutkan pula: “Belum genap sembilan bulan,
sejak Januari hingga September 2014, terdapat 37 warga yang menjadi korban
keganasan virus tersebut.”
Lagi-lagi pernyataan yang bombastis dan sensasional, tapi
tidak memberikan informasi yang akurat karena kematian 37 warga Kuningan tsb.
bukan karena keganasan HIV/AIDS tapi karena penyakit lain yaitu infeksi
oportunistik.
Asep juga tidak bersikap sebagai narasumber yang berkompeten
karena al. tidak menyebutkan jenis atau nama penyakit yang menyebabkan kematian
pada tiga gay dan satu waria tsb.
Kalau dalam berita disebutkan jenis atau nama penyakit
penyebab kematian, maka masyarakat akan memahami HIV/AIDS secara benar sehingga
tidak muncul stigma dan diskriminasi.
Menurut Asep, kematian terkait HIV/AIDS di Kab Kuningan sudah
mencapai 190 sejak tahun 2004 tidak menggambarkan angka yang sebenarnya karena
tidak menutup kemungkinan banyak korban yang meninggal dunia akibat HIV/AIDS
yang tidak dilaporkan, tidak diketahui, sehingga tak masuk data.
Disebutkan bahwa masyarakat di Kab Kuninganh masih sangat takut, dan merasa aib untuk memberitahu ada anggota keluarga yang meninggal akibat AIDS.
Disebutkan bahwa masyarakat di Kab Kuninganh masih sangat takut, dan merasa aib untuk memberitahu ada anggota keluarga yang meninggal akibat AIDS.
Tentu saja karena informasi yang mereka terima tidak akurat, bahkan menakut-nakuti, seperti judul dan lead berita tsb.
Yang menjadi persoalan besar bukan tiga gay dan satu waria yang meninggal, tapi orang-orang yang menularkan HIV/AIDS dan orang-orang yang sudah tertular HIV/AIDS, terutama terkait dengan waria. Yang menularkan ada satu orang dan yang berisiko tertular ribuan orang. Mereka ini jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondo di dalam dan di luar nikah.
Studi di Kota Surabaya, Jawa Timur, menunjukkan yang menjadi
pelanggan waria adalah laki-laki heteroseksual sebagian besar yang mempunyai
istri. Celakanya, laki-laki heteroseksual justru jadi “perempuan” yang dianal
(penis waria masuk ke anus laki-laki heteroseksual) oleh waria sehingga risiko
tertular HIV sangat besar.
Laki-laki heteroseksual tsb. menjadi jembatan penyebaran
HIV/AIDS dari lingkungan waria ke masyarakat, terutama kepada istri atau
pasangan seks mereka. Jika satu waria meladeni tiga laki-laki heteroseksual
setiap malam, maka sebelum waria itu meninggal sudah ada 5.400 – 16.200 laki-laki
heteroseksual yang berisiko tertular HIV/AIDS (1 waria x 3 laki-laki/malam x 30
hari/bulan x 5 atau 15 tahun).
Disebutkan lagi: “Bahkan, ironisnya, tiap kali
melakukan tes konseling dan pemeriksaan mobile VCT, banyak sekali yang menolak,
khususnya para lelaki. Tidak hanya satu dua, hampir rata-rata para pria
menolak untuk diperiksa.”
Lho, yang benar saja, dong, Asep. Cara-cara yang Anda lakukan
tentu saja tidak komprehensif.
Pertama,
dilakukan secara terbuka sehingga semua orang mengetahui siapa saja yang
melakjkan tes HIV.
Kedua,
apakah sudah ada konseling dalam bentuk penyuluhan sebelum mereka diajak tes
HIV.
Ketiga,
apa jaminan Anda agar informasi hasil tes tidak tersebar luas jika tes
dilakukan secara terbuka.
Keempat,
tidak semua warga masyarakat harus menjalani tes. Hanya mereka yang pernah atau
sering melakukan perilaku berisko yang dianjurkan tes HIV.
Kelima,
apakah Anda sudah memberikan informasi yang akurat tentang perilaku berisko
secara luas kepada masyarakat?
Maka, kesalahan bukan pada masyarakat, tapi ada pada Anda.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.